Kusta'
Kusta'
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kusta
2.1.1. Definisi
Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae (M.leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya
menyerang
kulit,
mukosa
mulut,
saluran
napas
bagian
atas,
sistem
retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis, kecuali susunan saraf pusat.Istilah
kusta berasal dari bahasa India yakni kustha dikenal sejak 1400 tahun sebelum
Masehi. Penyakit kusta disebut juga lepra dan Morbus Hansen. Kata lepra disebut
dalam kitab injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya
mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Morbus Hansen sesuai dengan nama
yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 di
Norwegia sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen (Kosasih, 2011).
2.1.2 Epidemiologi
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat yang lain sampai
tersebar seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang
terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanisia termasuk
Indonesia, diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. Distribusi penyakit ini
tiap-tiap
negara
maupun
dalam
negara
sendiri
ternyata
berbeda-beda
peringkat ketiga, dengan jumlah penderita 22.390 jiwa pada tahun 2012
(WHO,2013).
Menurut laporan WHO tersebut, selama tahun 2012 terdapat 18.994 kasus
baru di Indonesia, dengan 15.703 kasus teridentifikasi sebagai kasus kusta tipe
Multi Basiler (MB) yang merupakan tipe yang menular. Dari data kasus kusta
baru tahun 2012 tersebut, 6.667 kasus diantaranya oleh diderita oleh kaum
perempuan, sedangkan 2.191 kasus diderita oleh anak-anak (WHO,2013).
Menurut Ress (1975) dalam Zulfikli (2002), dapat ditarik kesimpulan bahwa
penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni
bakteri Mycobacterium Leprae itu sendiri dan daya tahan tubuh penderita.
Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah:
1. Usia, anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa.
2. Jenis kelamin, laki-laki lebih banyak menderita kusta.
3. Ras, bangsa Asia dan Afrika lebih banyak menderita kusta.
4. Keadaan sosial, umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara
dengan tingkat sosial ekonomi rendah.
5. Lingkungan, fisik, biologi dan sosial yang kurang sehat.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi
(neuritis perifer) kronis.
Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan (paresis) atau kelumpuhan
(paralisis) otot.
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak-retak.
3. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit skin
smear.
2.1.4. Klasifikasi
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah
klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta
menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis,
dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan
untuk pemberantasan.
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian
tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan
lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat meninggi
menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai
penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot dan sedikit
rasa gatal.
Indeterminate (I)
Tuberkuloid (T)
Lepromatosa (L)
Pausibasilar (PB)
Hanya kusta tipe tuberculoid(TT) dan sebagian besar tipe borderline
tuberculoid (BT) dengan bakteri tahan asam (BTA) negatif menurut
kriteria Ridley dan Jopling atau tipe indeterminate (I) dan tuberkuloid (T)
menurut klasifikasi Madrid.
Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe lepramatosa (LL), tipe borderline lepramatosa (BL),
tipe mid borderline (BB) dan sebagian tipe borderline tuberculoid (BT)
menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe borderline dimorphus (B)
dan tipe lepromatosa (L) menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan
BTA positif (Syahril R. Lubis).
2.1.5 Patogenesis
M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terutama terdapat
pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel
Schwan di jaringan saraf. Bila kuman M. Leprae masuk ke dalam tubuh, maka
tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari monosit darah, sel
mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya.
Pada kusta tipe lepramatosa (LL) terjadi kelumpuhan sistem imunitas
selular, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga
kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak
jaringan.Pada kusta tipe tuberculoid (TT) kemampuan fungsi sistem imunitas
selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya
setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid
yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia type
Langerhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan
masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. Leprae di
samping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit
fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel
Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi
saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif (Syahril R. Lubis).
2.1.6. Pemeriksaan
1. Anamnesis
Anamnesis diperlukan untuk mengetahui keluhan pasien, riwayat kontak
dengan pasien, dan latar belakang keluarga, misalnya keadaan sosial ekonomi
(Amirudin et al, 2003).
2. Inspeksi
Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga
kerusakan kulit (Amirudin et al, 2003).
3. Palpasi
- Kelainan kulit: nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada
tangan dan kaki.
- Kelainan saraf
Pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti: N. aurikularis
magnus, N. ulnaris, dan N. perenous. Petugas harus mencatat adanya
nyeri tekan dan penebalan saraf. Harus diperhatikan raut wajah pasien,
apakah kesakitan atau tidak pada waktu saraf diraba. Pemeriksaan saraf
harus sistematis, meraba atau pasien mendapat kesan kurang baik.
Pemeriksaan saraf tepi :
Untuk mendapat kesan saraf mana yang mulai menebal atau sudah
menebal dan saraf mana yang masih normal, diperlukan pengalaman
yang banyak.
Cara pemeriksaan saraf tepi :
a. N. aurikularis magnus
Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka
saraf yang terlibat akan terdorong oleh otot di bawahnya
sehingga acapkali sudah bisa terlihat bila saraf membesar. Dua
apakah
ada
penebalan
atau
tidak.
Perlu
Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk
memeriksa
perasaan
rangsang
raba
dengan
Rasa nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit
dengan ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya
yang tumpul dan pasien harus mengatakan tusukan mana yang
tajam dan mana yang tumpul.
Rasa suhu
Dilakukan dengan mempergunakan 2 tabung reaksi, yang satu
berisi air panas (sebaiknya 40C) yang lainnya air dingin
(sebaiknya sekitar 20C). Mata pasien ditutup atau menoleh ke
dicurigai
secara
bergantian
dengan
sebelumnya
6. Pemeriksaan Histopatologis
Diagnosis penyakit kusta biasanya dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan
klinis secara teliti dan pemeriksaan bakterioskopis. Pada sebagian kecil
kasus, bilamana diagnosis masih diragukan, pemeriksaan histopatologis
dapat
dilakukan.
Pemeriksaan
histopatologis
digunakan
untuk
2.1.7 Pengobatan
Obat antikusta diberikan secara kombinasi 2 atau 3 obat yang terdiri dari
Diamino-difenil-sulfon (Dapson), Rifampisin, Klofazimin. DDS mulai dipakai
sejak 1948 dan di Indonesia digunakan tahun 1952. Klofazimin dipakai sejak
1962 oleh Brown dan Hogerzeil, dan rifampisin dipakai sejak tahun 1970. Pada
adalah 50mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kg
berat badan/hari. Efek sampingnya hanya terjadi pada dosis tinggi, berupa
gangguan gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksia, dan vomittus)
(Soebono, 2003).
4. Etionamid dan protionamid
Kedua obat ini merupakan obat tuberkolosis dan hanya sedikit dipakai
pada pengobatan kusta. Dahulu dipakai sebagai pengganti klofazimin, pada kasuskasus yang berat karena perubahan pigmentasinya. Obat ini bekerja bakteriostatik,
tetapi cepat menimbulkan resistensi, lebih toksik, harganya mahal serta
hepatotoksik, oleh karenanya sekarang tidak dianjurkan lagi pada rejimen
pengobatan kusta (Soebono, 2003).
Skema rejimen Multi Drug Therapy (MDT) WHO terdiri atas obat-obatan
dapson, rifampisin, klofazimin, dengan skema menurut WHO sebagai berikut:
a. Rejimen PB dengan lesi kulit 2-5 buah, terdiri atas rifampisin 600 mg
sebulan sekali, dibawah pengawasan, ditambah dapson 100 mg/hari (12 mg/kg berat badan) selama 6 bulan.
b. Rejimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 buah, terdiri atas kombinasi
rifampisim 600 mg sebulan sekali di bawah pengawasan, dapson 100
mg/hari, ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan 50
mg/hari dengan lama pengobatan 1 tahun.
c. Rejimen PB dengan lesi tunggal, terdiri atas rifampisin 600 mg
ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis
tunggal (Soebono, 2003).
gigi
bayi
dan
anak-anak,
kadang-kadang
menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai sistem saluran cerna dan
susunan saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak
dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan.
3. Klaritomisin
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas
bakterisidal terhadap Mycrobacterium Leprae pada tikus dan manusia. Pada
penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman
hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah
nausea, vomitus dan diare yang terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan
dengan dosis 2000 mg (Kosasih, 2011).
2.1.8 Prognosis
Prognosis penyakit kusta bergantung pada deteksi dini apa yang dialami
pasien, akses ke pelayanan kesehatan dan penanganan awal yang diterima oleh
pasien. Relaps pada penderita kusta terjadi sebesar 0,01 0,14 % per tahun dalam
10 tahun. Perlu diperhatikan terjadinya resistensi terhadap dapson atau rifampisin.
Secara keseluruhan, prognosis kusta pada anak lebih baik karena pada anak jarang
terjadi reaksi kusta (Lewis, 2010)
selama dan sesudah pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah
pengobatan.
1) Reaksi tipe 1
Reaksi ini lebih banyak terjadi pada pasien yang berada di spektrum borderline,
karena tipe borderline ini merupakan tipe tidak stabil. Reaksi tipe ini terutama
terjadi selama pengobatan karena adanya peningkatan hebat respons imun
selular secara tiba-tiba, mengakibatkan terjadinya respons inflamasi pada
daerah kulit dan saraf yang terkena. Inflamasi pada jaringan saraf dapat
mengakibatkan kerusakan dan kecacatan jika tidak ditangani secara adekuat.
Gejala pada reaksi tipe 1 dapat dilihat berupa perubahan pada kulit, maupun
saraf dalam bentuk peradangan. Pada kulit lesi plakat makin infiltratif dan lesi
lama menjadi bertambah luas. Pada saraf terjadi neuritis akut, berupa nyeri
pada saraf dan gangguan fungsi saraf. Kadang juga dapat terjadi gangguan
keadaan umum, seperti demam.
2) Reaksi tipe 2
Terjadi pada pasien tipe lepramatosa (LL)&tipe borderline lepromatosa (BL)
dan merupakan reaksi humoral pada penderita lepromatous dan borderline,
dimana tubuh akan membentuk antibodi karena M. Leprae bersifat antigenik.
Jika terjadi reaksi antigen-antibodi akan mengaktifkan sistem komplemen
sehingga terbentuk kompleks imun dan beredar di pembuluh darah kemudian
mengendap di jaringan menyebabkan respon inflamasi seperti: pada kulit nodul
merah yang disebut ENL (Erytema Nodosum Leprosum), pada saraf (neuritis),
limfonodus (limfadenitis), tulang (artritis), ginjal (nefritis), dan testis (orkitis).
Umumnya menghilang dalam 10 hari dan bekasnya dapat menimbulkan
hiperpigmentasi (Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta, 2012).
segala
keterbatasan
atau
kekurangmampuan
(akibat
kerusakan atau deformitas yang terlihat pada tangan, kaki, dan mata.
b. Cacat tingkat 1
deformitas yang terlihat pada tangan dan kaki. Ada gangguan pada
mata, tidak ada gangguan yang berat. Visus 6/60 atau lebih baik
c. Cacat tingkat 2
dan kaki. Terdapat gangguan penglihatan yang berat, visus kurang dari
6/60, tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 meter (Kosasih,2011).
(Kurniarto,
2006),
terdapat
beberapa
faktor
resiko
yang
rekonstruksi
untuk
koreksi
otot
yang
mengalami
kelumpuhan.
c. Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi, sehingga pada
proses penyembuhan tidak terlalu banyak jaringan yang hilang.
d. Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau
mengalami kelumpuhan otot (Wisnu, 2003).
pada lesi
yang sebelumnya
telah
menghilang,
atau