Anda di halaman 1dari 20

Tugas Legislasi Veteriner

REGULASI/PERJANJIAN PERDAGANGAN DUNIA


BIDANG PETERNAKAN DAN PENYAKIT HEWAN
(PERJANJIAN SPS WTO)

OLEH
KELOMPOK IX
WADI OPSIMA (O111 13 310)

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
KATA PENGANTAR
1

Puji syukur kami ungkapkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul
Perjanjian

Perdagangan dunia

Regulasi /

bidang Peternakan dan Penyakit Hewan

(perjanjian SPS WTO)


Makalah ini dikerjakan demi memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Legislasi Veteriner Program Studi Kedokteran Hewan Universitas Fakultas
Kedokteran Hasanuddin. Kami menyadari bahwa makalah ini bukanlah tujuan
akhir dari belajar karena belajar adalah sesuatu yang tidak terbatas.
Terselesaikannya makalah ini tentunya tidak lepas dari dorongan dari
bantuan berbagai pihak yang telah mendorong dan membimbing kami, baik
tenaga, ide-ide, maupun pemikiran. Oleh karena itu, kami ingin mengucapkan
terimakasih kepada:
1. drh.Muhammad Fadhlullah Mursalim, M.Kes yang telah memberikan tugas
yang sangat bermanfaat, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
2. Kedua orangtua kami yang dengan sabar memberi dukungan moril dan
materil, kami menyampaikan rasa kasih sayang dan hormat.
3. Semua teman-teman O-13REV yang telah banyak membantu selama proses
kamian makalah ini.
Kami telah berupaya dengan semaksimal mungkin dalam penyelesaian
makalah ini, namun kami menyadari masih banyak kelemahan baik dari segi isi
maupun tata bahasa. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Kiranya isi makalah ini bermanfaat dalam memperkaya khasanah ilmu
pendidikan dan juga dapat dijadikan sebagai salah satu sumber referensi. Semoga
tulisan yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca pada umumnya,
dan bagi kami khususnya.
Makassar, November 2016
DAFTAR ISI
Kelompok IX

Kata Pengantar
..............................................................................
Daftar Isi .........................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ................................................................
I.1.Latar Belakang

....................................................................

I.2.Rumusan Masalah
I.3.Tujuan Kamian

..............................................................
.................................................................

BAB II PEMBAHASAN ........................................................


3
II.1 Etiologi Penyakit Listeriosis ....................................................
3
II.2 Epidemiologi Penyakit Listeriosis ..........................................
4
II.3 Patogenitas dan Infeksi ..........................................................
24
II.4 Gejala Klinis ........................ ..................................................
II.5 Diagnosa ........................ ..................................................
II.6 Pencegahan dan Pengendalian ..............................................
28
II.7 Pengobatan ............................................................................
BAB III. PENUTUP ............................................................................
III. 1. Kesimpulan
III.2. Saran

................................................................
............ ............................................................

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................

ii
iii
1
2
2
3
4
4
6
7
12
13
14
15
17
17
17
18

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Hewan dan produk hewan merupakan komoditi pokok dan
strategis sebagai bahan pangan dan bahan baku Industri di Indonesia,
dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia. Dengan hal tersebut
dapat dibayangkan bahwa dengan jumlah penduduk dan kebutuhan pangan
bagi penduduk yang begitu besar jumlahnya ditambah lagi bahwa sebagian
orang mengkonsumsi daging dan memiliki pendapatan dari peternakan
hewan, dan bagi pemerintah yang mempunyai peranan untuk dapat
memenuhi kebutuhan bahan pangan yang berasal dari hewan dan produk
hewan itu agar pencapaian ketahanan pangan dan swasembada pangan di
dalam negeri dapat terwujud sehingga dapat mensejahterakan rakyat

Indonesia.
Untuk mencapai swasembadaya pangan khususnya produk asal hewan
pemerintah mempunyai peranan untuk menjaga kesehatan lingkungan
dengan menjamin higiene dan sanitasi juga merupakan kewajiban pemerintah
dan pemerintah daerah dengan cara pengawasan, inspeksi, dan audit
terhadap tempat produksi, rumah pemotongan hewan, tempat pemerahan,
tempat penyimpanan, tempat pengolahan, dan tempat penjualan atau
penjajaan serta alat dan mesin produk hewan. Selain itu jugapemerintah juga
harus mengawasi proses impor dan ekpor.
Indonesia adalah salah satu negara anggota Persatuan Bangsa-bangsa (PBB),
dimana setiap proses impor dan ekspor telah ditentukan oleh World Trade
Organization (WTO), termasuk hewan dan produk asal hewan. Hal ini diatur
oleh Sanitary and Phytosanitary Agreements.

I.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah kamian makalah ini, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Bagaimanakah etiologi infectious bursal disease?


Bagaimanakah epidemiologi infectious bursal disease?
Bagaiamanakah patogenitas infectious bursal disease?
Apa sajakah gejala klinis infectious bursal disease?
Bagaimana cara mendiagnosa ?
Bagaimana cara pencegahan dan pengendalian?
Bagaimana cara pengobatannya?

1.2.

Tujuan Kamian
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

II.1

Tujuan kamian makalah ini adalah untuk mengetahui sebagai berikut:


Etiologi infectious bursal disease.
Epidemiologi infectious bursal disease.
Patogenitas infectious bursal disease.
Gejala klinis infectious bursal disease.
Cara mendiagnosa.
Cara pencegahan dan pengendalian.
Cara pengobatannya.

BAB II
PEMBAHASAN
Etiologi Infectious Bursal Disease (IBD)
Infectious Bursal Disease (IBD) atau gumboro adalah penyakit
menular yang sering menyerang ayam

umur

3-6

minggu

ditandai

dengan pembengkakan organ. Penyakit gumboro disebabkan oleh


virus
2

kelompok

RNA dari

familia

Birnaviridae. Kelompok

virus

familia ini

mempunyai asam nukleat beruntai ganda dengan dua

segmen yang berbeda, dan tidak beramplop. Virion mempunyai 2 protein


penting yaitu VP2 dan VP3 yang membentuk kapsid virus. Beberapa
negara seperti di Australia, Amerika Serikat dan Eropa kelompok virus
tersebut telah bisa di kelompokan dengan antibodi monoklonal (Decker,
2000).

Gambar 1. Virus IBD (Decker, 2000).

Kelompok virus familia ini mempunyai asam nukleat beruntai


ganda dengan dua segmen yang berbeda, dan tidak beramplop. Ada 2
serotipe virus

IBD, yakni

serotipe 1 dan 2.

Berdasarkan atas

virulensinya virus IBD dibedakan menjadi apatogenik, virus atenuasi,


virulen klasik

dan varian (hiper virulen).

Serotipe 1 bersifat

imunosupresif yang umumnya menyerangayam, sedangkan serotipe 2


menyerang unggas lain termasuk kalkun yang tidak menyebabkan hewan
sakit. Berdasarkan tingkat keganasannya virus IBD serotipe 1 dibedakan
atas: subclinical (Sc-IBD), classic virulent (cv-IBD), dan very virulent
(vvIBD) (Hartati, 2005).
Virus Gumboro sangat tahan terhadap perlakuan fisik dan
kimiawi yang menyebabkan virus ini dapat bertahan lama di lingkungan
tercemar. Pemberantasan Gumboro pada daerah yang sudah terserang
menjadi tidak mudah sehingga tindakan pencegahan menjadi pilihan yang
sangat penting untuk dilakukan (Hassanzadeh et al, 2006).
Lingkungan mikro pada bursa Fabrisius yang

mendukung

berpengaruh positif bagi replikasi virus karena tersedianya sel-sel yang


3

permisif dalam jumlah besar. Infeksi letal biasanya terjadi pada ayam
umur 3-8 minggu pada saat bursa fabrisius mencapai
maksimum.

Ayam pedaging umur

perkembangan

4 minggu lebih peka

terhadap

penyakit gumboro dibandingkan dengan ayam umur 3 dan 5 minggu,


sedangkan pada anak ayam umur 2 minggu infeksi virus penyakit
gumboro bersifat subklinis (Decker, 2000).

Gambar 2. Bursa Fabricius embrio ayam umur 15 hari pada kelompok kontrol
(A), kelompok yang divaksin IBD intermediet plus lokal (B), kelompok yang divaksin
IBD intermediet komersial (C) : folikel limfoid sudah terbentuk (kepala panah),
ditemukan sel heterofil (panah) dan ditemukan edema (asterik) pada jaringan interstisial.
Insert perbesaran dari sel heterofil pada jaringan interstisial (Sutiastuti et al, , 2011).

Virus IBD mempunyai kecenderungan untuk mengalami modifikasi


genetik secara cepat sehingga dapat muncul virus yang bersifat antigenic
variant dan pathogenic variant.

Virus IBD berdasarkan variasi

antigeniknya terdiri dari serotipe 1 yang bersifat patogen dan serotipe 2


yang bersifat apatogen. Virus IBD
(patotipe), terdiri dari strain

berdasarkan variasi patogeniknya

mild, intermediate,

intermediate plus,

classical, variant, dan very/hypervirulent. Hal tersebut menyebabkan virus


IBD mempunyai tingkat virulensi dan sifat imunosupresi yang
sangat beragam. Virus IBD tipe very virulent menyebabkan mortalitas dan
imunosupresi yang tinggi. Infeksi virus IBD tipe varian tidak menimbulkan gejala
klinis, tetapi menyebabkan imunosupresi yang lebih hebat (Summers et al, 2000).
II.2

Epidemiologi Infectious Bursal Disease (IBD)


Penyakit gumboro pertama kali ditemukan di Delaware Amerika
Serikat dan hingga saat ini kasus masih sering ditemukan di peternakan
ayam pedaging di Indonesia. Penyakit Gumboro ini merupakan penyakit
yang masih baru di Indonesia akan tetapi akhir-akhir ini mulai di kenal di

Indonesia. Di Indonesia Pertama kali Penyakit ini didiagnosa oleh Dr.


Masduki Partadiredja di Bogor (Summers et al, 2000).
Beberapa daerah sudah terlihat tanda-tanda adanya

wabah

penyakit ini, hanya oleh karena penyakit ini masih belum banyak
diketahui oleh peternak peternak, maka sebagian besar belum

curiga

adanya penyakit gumboro (Hartati, 2005).


Istilah gomboro berasal dari nama daerah di negara bagian
Deleware Amerika Serikat. Penyakit ini sesungguhnya sudah cukup lama
dikenal di luar negeri sebab selain di Amerika Serikat juga di dapati di
Inggris, Italia, Israel, Jerman, dan Negeri Belanda. Secara serologis
dibuktikan bahwa penyakit ini juga terdapat di Brazilia, Venezuela, dan
Chili (Decker, 2000).
Penyakit gumboro di sebut juga Infektious Bursal Disease atau
Avian
Nephrosis. Penularan penyakit ini sangat cepat, akut, menyerang anak ayam
usia muda umur 2-14 minggu. Kerugian ekonomi akibat kematian bervariasi,
namun penyakit gumboro menimbulkan penurunan tanggap kebal terhadap
perlakuan

vaksinasi

karena

immunosupression

sehingga

ayam

mudah

penyakit lain yang mematikan. Penularan sering terjadi melalui pencemaran


lingkungan oleh virus yang keluar bersama tinja anak ayam yang terserang
penyakit ini (Summers et al, 2000).
II.3

Patogenitas Bursal Disease (IBD)


Penularan penyakit Gumboro dari satu ayam ke ayam yang lain
sangat cepat. Dalam waktu singkat (18-36 jam) seluruh ayam dalam
kandang dapat tertular. Kematian terjadi pada hari ke 3 sampai ke 5.
Tidak ada carrier (hewan yang sembuh dan dapat mengandung virus yang
dapat di tularkan). Penyakit ini tidak dapat di pindahkan melalui telur
yang ditetaskan dan diduga juga tidak dapat di pindahkan melalui udara

(Decker, 2000).
Penyakit ini sangat menular dan penularan terjadi melalui kontak langsung antara
yang sakit dengan yang sehat. Disamping itu melalui ekskresi yang mencemari
peralatan kandang dan alas kandang. Kandang tercemar menjadi sumber
penularan yang potensial. Virus ini tidak pernah dikeluarkan melalui saluran
5

pernafasan, karena itu penularan melalui saluran pernafasan dianggap tidak


potensial, demikian pula tidak terjadi penularan secara vertikal melalui telur
(Acribasi et al, 2010).
Virus IBD menginfeksi ayam secara per-oral ikut bersama pakan
atau air minum yang telah tercemar virus kemudian menuju ke saluran
pencernaan. Di saluran pencernaan, virus menginfeksi makrofag dan sel
limfosit dari duodenum, jejunum, dan kaekum dalam waktu 4-5 jam post
infeksi. Setelah 5 jam,virus IBD mencapai hati melalui sistema vena
porta dan mengakibatkan viremia primer. Dalam kurun waktu kurang
lebih 11 jam setelah infeksi virus dapat ditemukan pada sel limfoid
bursa, namun virus tidak di temukan pada sel limfoid jaringan lain. Virus
yang telah di lepaskan dari jaringan bursa akan menyebabkan veremia
sekunder yang ditandai dengan mulai di temukanya virus pada jaringan
lain seperti pada lien, timus, dan bursa (Sudaryani, 2003).
Replikasi virus IBD pada bursa fabrisius mengakibatkan kerusakan
sel-sel
calon pembentuk antibodi.

Kerusakan ini

menyebabkan terjadi

penekanan

respon imunhumoral primer yang berat pada ayam yang terinfeksi dan kurang
memberikan respon terhadap vaksinasi (Acribasi et al, 2010).
Efek immunosupresi yang ditimbulkan, diawali dengan adanya
infeksi virus IBD tipe very virulent yang secara langsung menginfeksi
dan melakukan perbanyakan diri (depopulasi atau replikasi) pada bursa
Fabricius dan timus

sebagai organ target utamanya. Mekanisme

terjadinya immunosupresi akibat infeksi virus Gumboro, kemungkinan


besar terkait dengan adanya kematian sel-sel penghasil limfosit B,
terutama yang terdapat pada bursa Fabricius (Blackwell et al, 2007).
Jaringan limfoid merupakan target utama virus IBD dengan organ
target utama bursa Fabricius yang bertanggung jawab dalam pembentukan
antibodi pembentuk kekebalan. Selain itu, virus IBD juga menyerang
organ limpa, timus,

tonsil-sekum, dan kelenjar Harderian. Virus IBD

bereplikasi di sel-sel yang sedang berproliferasi aktif seperti sel limfosit


muda atau sel prekursor sehingga

menyebabkan nekrosa pada bursa

Fabricius dan lisisnya sel limfosit B (Sudaryani, 2003).


6

Kerusakan sel-sel limfoid dari bursa Fabricius sebagai akibat infeksi


virus IBD, mengakibatkan penurunan jumlah produksi sel B dari bursa
Fabricius. Akibatnya terjadi penurunan reaksi pembentukan zat kebal
tubuh dari perlakuan vaksinasi yang diberikan pada tahap selanjutnya.
Kerusakan folikel dari bursa Fabricius juga menyebabkan kemampuan
organ tersebut dalam menghasilkan zat

kebal tubuh menjadi kurang

optimal, sehingga ayam menjadi peka dan mudah


terserang berbagai macam penyakit (Decker, 2000).
Virus IBD terutama menyerang sel B yang mengekspresikan IgM
pada permukaannya. Pengaruh terhadap tingkat serum IgG dilaporkan
sangat

bervariasi, hal ini terutama tergantung pada umur ayam saat

terinfeksi. Selain itu, diduga terjadi hambatan fungsi sel B yang


disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain kerusakan sel-sel T helper atau sel-sel lain yang terlibat dalam proses
generasi sel kekebalan (Decker, 2000).
Penurunan jumlah limfosit terutama sel B dan aktivitas sel prekursor
akibat infeksi virus IBD menyebabkan ayam mengalami imunosupresi.
Efek imunosupresi terhadap respon kekebalan seluler tidak terlalu besar
dan periodenya pun lebih pendek. Respon kekebalan yang terjadi akibat
infeksi virus IBD, bersamaan dengan proses imunosupresi terhadap
beberapa antigen dapat menyebabkan stimulasi antibodi yang tinggi
terhadap virus IBD itu sendiri Bursa Fabricius mengecil pada ayam yang
berumur lebih dari 12 minggu. Fungsinya dalam membentuk kekebalan
diambil oleh sistem kekebalan lain yang telah berkembang dengan
sempurna. Oleh karena itu, penyakit ini biasanya menyerang anak ayam
yang berumur kurang dari 12 minggu (Hartati, 2005).
Gejala penyakit Gumboro dapat dibedakan berdasarkan umur anak
ayam yang terkena infeksi. Gejala pada anak ayam yang berumur 1-12 hari
di antaranya tidak memperlihatkan gejala-gejala penyakit yang nyata
sebab anak ayam masih memiliki maternal antibodi (kekebalan yang
berasal dari induk tetapi sebenarnya terjadi kerusakan dan pembinasaan sel
B yang terdapat pada bursa Fabricius (Hartati, 2005).

Rusaknya bursa Fabricius bersifat permanen, sel B tidak


berkembang dan menjadi masak dalam bursa. Anak ayam tidak mampu
lagi memproduksi antibodi
sehingga tidak mempunyai kekebalan terhadap infeksi beberapa penyakit menular,
misalnya Marek, ND, dan IB sehingga terjadi kegagalan vaksinasi untuk
menghasilkan antibodi (Lastiati, 2008).
Bursa Fabricius mengecil pada ayam yang berumur lebih dari 12
minggu. Fungsinya dalam membentuk kekebalan diambil oleh sistem ke
kebalan lain yang
telah berkembang dengan sempurna. Oleh karena itu, penyakit ini biasanya
menyerang anak ayam yang berumur kurang dari 12 minggu. Gejala penyakit
Gumboro dapat dibedakan berdasarkan umur anak ayam yang terkena infeksi.
Gejala pada anak ayam yang berumur 1-12 hari di antaranya tidak
memperlihatkan gejala-gejala penyakit

yang nyata sebab anak ayam masih

memiliki maternal antibodi (kekebalan yang berasal dari induk tetapi sebenarnya
terjadi kerusakan dan pembinasaan sel B yang terdapat pada bursa Fabricius
(Lastiati, 2008).
Gejala penyakit Gumboro yang menyerang anak ayam umur 3-6
minggu di antaranya anak ayam lesu dan mengantuk, bulu kusam dan
bulu di sekitar dubur kotor, kotoran encer berlendir dan berwarna keputihputihan seperti pasta, anak ayam sering mematuk dubur, tubuh ayam
menjadi kering karena kehilangan cairan, serta apabila tidur, paruhnya
diletakkan di lantai. Ayam yang telah mati bangkainya cepat membusuk.
Selain itu, terjadi pembengkakan di daerah bursa Fabricius yang besarnya
bisa mencapai 2-3 kali ukuran normal dan terjadi

penurunan tingkat

kekebalan (Decker, 2000).


Pada kasus outbreak di lapangan sering terjadi perdarahan di bagian
paha, otot pectoral, serta sambungan antara

proventrikulus dengan

ventriculus dan terjadi pembengkakan di bagian ginjal. Ayam yang


terserang virus IBD tipe very virulent asal lapangan menyerang ayam
dengan umur kurang dari tiga minggu, cenderung akan timbul gumboro
bersifat subklinis, walaupun pada kasus tertent dapat muncul dan diamati

bentuk klinisnya. Pada kelompok ayam yang terinfeksi walaupun tidak


menunjukkan gejala klinis, tetap berpotensi menimbulkan dampak
immunosupresi, berupa kelainan dan atau gangguan fungsi dari organ limfoid
primer seperti bursa Fabricius dan sel timus (Lastiati, 2008).
Kasus infeksi virus Gumboro ganas (vv-IBD) asal lapangan yang
menyerang ayam umur di atas 3 (tiga) minggu kecenderungannya
menampakkan gejala klinis yang sangat jelas, mulai dari adanya kelesuan
dan ayam nampak menggigil, bulu berdiri dan cenderung bergerombol
serta disertai adanya diare warna keputihan. Akibat diare, ayam menjadi
dehidrasi, ayam nampak tremor dan
sangat lemah sehingga berakhir dengan kematian (Hartati, 2005).

Gambar 3. Perubahan pada bursa Fabricius (Decker, 2000).


Keterangan A : Bursa Fabricius normal
B : Bursa Fabricius yang mengalamiatropi

Bursa Fabricius akan mengalami kerusakan setelah masa inkubasi


yang pendek yaitu sekitar 18-36 jam. Organ tersebut akan mengalami
edema dan

kongesti sehingga ukurannya menjadi lebih besar dan

mencapai puncaknya pada hari keempat pasca-infeksi. Pada bentuk akut,


akan terlihat adanya reaksi peradangan yang berat pada mukosa dan
serosa yang ditutupi oleh transudat berwarna kekuningan. Pada stadium
ini, bursa Fabricius akan meningkat ukurannya sekitar 2 kali ukuran
normal. Perubahan tersebut akan diikuti nekrosis
sel-sel limfosit yang disertai oleh infiltrasi heterofil, pada stadium akut akan
menyebabkan nekrosis dan vakuolisasi folikel

bursa. Pada hari ke-8 pasca

infeksi, bursa akan mengalami atrofi dan ukurannya akan menurun sampai
sepertiga dari ukuran normal (Decker, 2000).
9

Perjalanan penyakit IBD dimulai dari infeksi virus peroral, virus


akan menginfeksi makrofag pada usus dan sel-sel limfatik yang terdapat
pada duodenum, jejunum, dan sekum. Replikasi virus pertama kali terjadi
pada sel-sel tersebut. Viremia primer mengikuti replikasi dan virus akan
mencapai hati melalui peredaran darah porta. Sebagian besar virus tersebut
akan difagositosis oleh sel Kupffer dan sebagian lagi akan menyebar ke
bursa Fabricius. Virus yang masuk

ke dalam bursa Fabricius akan

bereplikasi secara besar-besaran, kemudian virion yang dihasilkan akan


dilepaskan ke peredaran darah dan menyebabkan terjadinya
viremia sekunder yang berakibat terdisposisinya virus pada berbagai organ lain
seperti timus, limpa, dan paru-paru (Hartati, 2005).
Terdisposisinya virus pada berbagai organ menyebabkan perubahan
pada organ tersebut dan perubahan biasanya mulai terlihat setelah virus
melisiskan sel

sasarannya. Virus IBD bersifat sitolitik membuat

perubahan yang teramati secara makroskopik adalah mengecilnya organ


sasaran akibat lisisnya sel parenkim organ tersebut. Namun hal tersebut
tidak bersifat permanen karena proses persembuhan yang disertai dengan
regenerasi organ segera terjadi (Blackwell et al, 2007).
Penyebaran penyakit Gumboro berlangsung sangat cepat, tetapi
memiliki

waktu penyerangan pendek. Penyebarannya dapat melalui

makanan, air

minum,kotoran ayam, alat peternakan, dan orang yang

tercemar virus gumboro. Virus gumboro bersifat stabil dan tahan hidup
sampai beberapa bulan. Penularan melalui telur jarang terjadi (Blackwell
et al, 2007).
II.4

Gejala Klinis Infectious Bursal Disease (IBD)


Ayam yang terserang biasanya berumur di atas tiga minggu. Gejala
klinis muncul 2-3 hari setelah ayam terpapar virus IBD. Gejala klinis yang
umumnya terlihat adalah ayam lemah atau lesu, bulu terlihat kusam, sayap
terkulai, dan kadang-kadang ditemukan kotoran berwarna putih yang
menempel pada kloaka (Decker, 2000).
Pada saat dilakukan nekropsi (bedah bangkai) ditemukan perubahan
berupa

10

Perdarahan pada otot dada dan otot paha (Acribasi et al., 2010), bursa Fabricius
membengkak, lumen bursa Fabricius berisi cairan berwarna kekuningan seperti
gelatin, serta perdarahan petechial dan ecchymotic pada permukaan mucosa dan
serosa bursa Fabricius (Blackwell et al, 2007).
Infeksi virus gumboro pada ayam dapat berakhir dengan kematian
(Park et al., 2009), dan apabila ayam bertahan hidup, kekebalan ayam
terhadap serangan penyakit lain akan menurun. Tingkat morbiditas dan
mortalitas sangat bervariasi tergantung jenis ayam dan tingkat keganasan
virus. Tingkat kematian dapat mencapai 56,09% pada ayam pedaging dan
25,08% pada ayam petelur (Decker, 2000).
Infeksi buatan pada ayam specific pathogen free umur tiga minggu,
kematian dapat mencapai 60%, bahkan dapat mencapai 100% pada ayam
spf umur empat dan enam minggu yang diinfeksi dengan vvIBD strain rB.
Gejala pertama yang terlihat berupa penurunan konsumsi pakan dan
minum. Bulu Ayam mejadi kusam, dan diare berlendir yang mengotori
bulu pantat. Anak ayam lesu, pantat sendiri di patuk, tidur dengan paruh
di letakan di lantai dan terganggu keseimbangannya. Bentuk klinis di
jumpai pada anak ayam umur 4-8 minggu. Pada anak ayam kurang dari
3 minggu biasanya subklinis dan tidak menimbulkan kematian. Angka
kematian bila tanpa komplikasi dengan penyakit lain bervariasi antara 5%
- 80 % , sedangkan angka kesakitan dapat bervariasi mencapai 100%.
Anak ayam mungin tidak mati, tetapi kurus dan lebih rentan terhadap
infeksi sekunder yang terjadi di kemudian hari. Virus gumboro merusak
sistem kebal asal bursa. Pembuatan antibodi terjadi dari sel kebal asal
bursa, sehingga tanggap kebal oleh ayam yang sembuh dari Gumboro
menurun sesuai dengan kerusakan bursa yang terjadi (Decker, 2000).
Ayam-ayam terserang gumboro mempunyai tingkat morbiditas 40
sampai 60 % dan mortalitas bisa mencapai 2-31,8 % dengan rata-rata 7,78
% (broiler) dan 7,34 % (petelur). Tingkat mortalitas paling tinggi terjadi
pada hari ke-4 dan ke-5 pascainfeksi dan kesembuhan terjadi setelah hari
ke-5 sampai ke-12. Ayam-ayam yang sembuh akan memiliki antibodi yang

11

tinggi dan bertahan lebih dari 1 tahun serta tidak ada pengaruh terhadap
respon vaksinasi ND dan produksi telur (Blackwell et al, 2007).
II.5

Diagnosa Infectious Bursal Disease (IBD)


Diagnosis didasarkan atas sejarah penyakit termasuk umur
ayam, cepatnya penyebaran, gejala klinis dan temuan pascamati
terutama pada bursal fabrisius. Untuk pemeriksaan laboratorium jaringan
yang mengalami perubahan terutama bursa
penyidikan penyakit

dikirim ke Laboratorium

Hewan dalam formalin 10%. Limpa dan bursa

dikirimkan dalam keadaan segar dingin untuk isolasi virus (Decker, 2000).
Diagnosis banding beberapa penyakit yang mempuyai gejala
sangat

mirip

dengan IBD diantaranya adalah Newcastle Disease,

coccidiosis, stunting syndrome,

chicken

infectious

anemia,

mikotosikosis, Infectious bronchitis yang neprophatogenik. Atropi bursa


pada kasus IBD subklinis dapat dikelirukan dengan penyakit marek dan
anemia infeksiosa. Diagnosis laboratorium penyakit IBD berdasarkan
atas

pengamatan

patognomosis

dari

perubahan
organ

patologi
bursa

anatomi

fabrisius

yang

(seperti

bersifat
terjadinya

pembengkakan, pendarahan maupun atrofi) (Damayanti et al, 2004).


Gumboro dapat didiagnosa berdasarkan gejala klinis, epidemiologis,
patologi, isolasi dan identifikasi virus. Beberapa uji serologis untuk
menisolasi dan identifikasi virus berupa uji AGP, FAT, CIEP, Western
II.6

Blotting Assay, SN dan ELISA (Blackwell et al, 2007).


Pencegahan Dan Pengendalian Infectious Bursal Disease (IBD)
Pencegahan terhadap serangan penyakitgumboro atau

IBD

umumnya dengan melakukan vaksinasi yang biasanya sudah rutin


dilakukan, dengan menggunakan berbagai jenis vaksin yang diaplikasikan
pada ayam. Namun demikian kasus IBD masih sering terjadi di lapangan,
yang diperparah dengan infeksi sekunder Escherichia coli, sehingga
banyak menimbulkan kematian pada ayam yang terserang. Umumnya
peternak akan segera menjual ayamnya sebelum waktu panen untuk
mencegah kerugian yang lebih besar. Pada kandang yang pernah

12

ditemukan kasus IBD dapat ditemukan kasus yang sama jika sanitasi
kandang tidak diperhatikan dengan baik (Soejoedono, 2004).
Pencegahan terhadap serangan IBD adalah dengan melakukan
vaksinasi rutin di lapangan pada saat maternal antibodi terhadap IBD
mulai menurun, yaitu memasuki minggu ke-3 umur ayam. Vaksinasi IBD
yang sering digunakan saat ini adalah vaksin hidup yang dilemahkan, dari
jenis hot intermediet yang masih patogenik. Vaksin jenis ini digunakan
karena umumnya mempunyai sifat imunogenik dan imunoprotektif lebih
tinggi dibandingkan vaksin intermediet yang lain dan tergolong masih
aman (Syahroni et al., (2007)
Vaksin hot intermediet ini menyebabkan atropi bursa Fabricius. Jika
biosekuritas tidak dilaksanakan secara ketat, maka ayam yang divaksin
gumboro mudah mendapatkan infeksi sekunder. Pengendalian penyakit
IBD yang paling efektif adalah melalui vaksinasi. Progam vaksinasi
yang ditawarkan kepada peternak tidak seragam tergantung pada produsen
vaksin. Progam vaksinasi penyakit IBD aktif maupun vaksin inaktif .
Vaksin Gumboro antara lain : Gumboro Vaccin Nobilis ( Intervet ) berisi
virus hidup strain I.B.D. (PBG 98) yang lemah, Bursavac (Sterwin Lab)
berisi virus hidup strain I.B.D. yang lemah, Gumboro (Esar dan Sons.
Inc) berisi virus strain I.B.A. (LDZ 288), Bio-Burs TM (Agri-Bio) berisi
virus hidup strain Gumboro yang lemah (Jackwood et al, 2009).
Usaha pencehahan supaya yang dapat dilakukan adalah (Hamoud et
al, 2007):
a. Melakukan sanitasi lingkungan secara berkala, dengan disinfektan;
b. Melakukan Vaksinasi Gumboro seawal mungkin pada umur 9 hari
c. Memberikan kondisi nyaman pada ayam terutama pada masa brooder,
suhu brooder sesuaid. dengan kebutuhan anak ayam ( 4 hari pertama 33oC35oC dan 3 mgg 32oC-33oC). Disesuaikan juga kondisi lingkungan, apabila
suhu lingkungan sangat panas suhu brooder bisadisesuaikan.
d. Pemberian pakan berkualitas dan minum dengan vitamin elektrolit dan
anti strees.

13

e. Perlakuan anak kandang yang baik, karena apabila perlakuan tidak baik
dapatmengakibatkan stress pada ayam, dengan stress dapat menurunkan
sistem kekebalan tubuh.
Langkah-langkah pemberantasan yang dapat dilakukan meliputi:
a. Tahap identifikasi, meliputi identifikasi wabah penyakit, strain ayam
tertular, parent stock farm, unit farm tertular dan sumber penularan (uji
kekebalan).
b. Tahap pemberantasan. Ditujukan terhadap farm tertular dengan melakukan
tindakan isolasi ayam-ayam yang sakit dan penutupan sementara farm.
c. Tahap pengamanan dan konsolidasi. Ditujukan terhadap pengamanan
konsumen meliputi pengamanan konsumsi daging dan telur, pengamanan
potensi suplai ayam. Pengamanan terhadap peternakan ayam meliputi
pemasukan ayam baru, lalu lintas dan vaksinasi rutin.
d. Vaksinasi, merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah Gumboro.
Ada 2 jenis vaksin yang biasa digunakan yaitu vaksin aktif atau hidup dan
vaksin inaktif.
II.7

Pengobatan Infectious Bursal Disease (IBD)


Apabila ayam sudah terlanjur terserang gumboro, dapat dilakukan
pengobatan. Namun sebenarnya segala penyakit yang disebabkan karena
virus tidak bisadiobati dengan antibiotik, jadi fungsi antibiotik adalah
mencegah terjadinya infeksi sekunder (Blackwell et al, 2007).
Dapat diberikan vitamin, larutan elektrolit, glukosa. Apabila
dilakukan pemberian antibiotik sebaiknya antibiotik ringan seperti
neomicin, ampicillin, doxiciclin, jangan diberikan obat kemoterapi sejenis
sulfa, sulfadiamicin dan lain-lain, karena ginjal tidak akan mampu
menerimanya sehingga terjadi kematian. Apabila ayam masih umur
dibawah 25 hari sebaiknya kita lakukan pemanasan atau brooding, namun
catatan

ventilasi

harus

lancer

karena

ayam

banyak membutuhkan oksigen (Lastiati, 2008).

14

sudah

besar

dan

BAB III
PENUTUP
1.

III.1. Kesimpulan
Infectious Bursal Disease (IBD) atau gumboro adalah penyakit menular
yang sering menyerang ayam umur 3-6 minggu ditandai dengan
pembengkakan organ

2. Penyakit gumboro pertama kali ditemukan di Delaware Amerika Serikat


dan hingga saat ini kasus masih sering ditemukan di peternakan ayam
pedaging di Indonesia.
3. Penularan penyakit Gumboro dari satu ayam ke ayam yang lain sangat
cepat.
4. Gejala klinis yang umumnya terlihat adalah ayam lemah atau lesu, bulu
terlihat kusam, sayap terkulai, dan kadang-kadang ditemukan kotoran
berwarna putih yang menempel pada kloaka.

15

5. Diagnosis didasarkan atas sejarah penyakit termasuk umur ayam,


cepatnya penyebaran, gejala klinis dan temuan pascamati terutama
pada bursal fabrisius.
6. Apabila ayam sudah terlanjur terserang gumboro, dapat dilakukan
pengobatan. Namun sebenarnya segala penyakit yang disebabkan karena
virus tidak bisadiobati dengan antibiotic.
III.2. Saran
Mungkin inilah yang diwacanakan pada kamian kelompok ini meskipun
kamian ini jauh dari sempurna minimal kami mengimplementasikan tulisan ini.
Masih banyak kesalahan dari kamian ini, karena kami adalah manusia yang
menjadi tempat salah dan dosa. Dalam hadits al insanu minal khotto wannisa,
dan kami butuh saran/ kritikan agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang
lebih baik daripada masa sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Decker JM. 2000. Introduction to Immunology. Departement of Veterinary
Science and Microbilogy. University of Arizona Tucson. Arizona :
Blackwell Scientific. Goldsby RA, Barbara AO, Kindt TJ. 2007. Kuby
Immunology. 6th Ed. USA : W.H. Freeman.
Hartati Y. 2005. Respon Kekebalan Vaksin Avian Influenza Inaktif pada Ayam
Indukan Pedaging Strain Hubbard [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran
Hewan. Institut Pertanian Bogor.
Lastiati A. 2008. Biosekuriti dan Sanitasi Kunci Pengendalian Penyakit
Gumboro.http://www.disnak-jatim.go.id/web/Biosekuriti dan Sanitasi Kunci
Pengendalian Penyakit Gumboro. [10 Oktober 2016].
Acribasi M, Jung A, Heller ED, S.RautenschleinS.
Background Influence The Induction
Immuneresponses In Chickens Depending
Infecting Infectious Bursal Disease Virus
Immunopathol 135: 7992.

2010. Differences In Genetic


of Innate and Acquired
On The Virulence Of The
(IBDv) strain. Vet Immunol

Damayanti R, Dharmayanti NLP, Indriani R, Wiyono A, Darminto. 2004.


Detection of avian influenza virus subtype H5N1 in chickens organ that

16

infected highly pathogenic avian influenza in East Java and West Java by
Immunohistochemistry techniques. Animal Sci and Vet J 9: 197203.
Hamoud MM, Villegas P, William SM. 2007. Detection of infectious bursal
disease virus from formalin-fixed paraffin-embedded tissue by
immunohistochemistry and real-time reverse transcription-polymerase chain
reaction. J Vet Diag Invest 19: 35-42.
Hassanzadeh M, Fard MHB, Tooluo A. 2006. Evaluation of the immunogenisity
of immune complex infectious bursal disease vaccine delivered In ovo to
embryonated eggs or subcutaneously to day-old chickens. Int J Poultr Sci 5:
70-74.
Jackwood DJ, Sommer-Wagner SE, Stoute ST, Woolcock PR, Crossley BM,
Hietala SK, Charlton BR. 2009. Characteristics of a very virulent infectious
bursal disease virus from California. Avian Dis 53: 592600.
Soejoedono RD. 2004. Pengaruh Vaksin Gumboro Aktif pada Ayam yang
Diinfeksi dengan Isolat Lapang. Jurnal Veteriner. 5 : 20-24.
Sudaryani T. 2003. Teknik Vaksinasi dan Pengendalian Penyakit Ayam. Edisi ke-5.
Jakarta : Penebar Swadaya.
Summers JD, Lesson S. 2000. Broiler Breeder Production. Kanada : Univ. Books.
Sutiastuti, Wahyuwardani. Dewi Ratih Agung Priyono. Wasmen Manalu. 2011.
Gambaran Patologi Bursa Fabricius Embrio Ayam Pascavaksinasi Gumboro
Secara In Ovo Menggunakan Vaksin Lokal dan Komersial. Jurnal Veteriner
September 2015. Vol. 16 No. 3 : 399-408

17

Anda mungkin juga menyukai