Anda di halaman 1dari 21

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN

JAKARTA

REFERAT

TUBERKULOSIS PADA ANAK


Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun oleh :
Sarah Zhafirah Fadillah

161 0221 043

Pembimbing
dr. Tundjungsari Ratna,Msc,Sp.A

Kepaniteraan Klinik Departemen Anak


Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
2016

LEMBARPENGESAHANKOORDINATORKEPANITERAANANAK

Referat dengan judul :

TUBERKULOSIS PADA ANAK


Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Departemen Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun oleh :

Sarah Zhafirah Fadillah

161 0221 043

Telah dipresentasikan pada 5 September 2016

Ambarawa, 5 September 2016


Pembimbing

dr. Tundjungsari Ratna,Msc,Sp. A

TUBERKULOSIS ANAK
A. DEFINISI
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis
yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi
terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer. TB Anak adalah penyakit TB
yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun.1,2
TB merupakan penyakit infeksi yang sudah sangat lama dikenal manusia, setua
peradaban manusia. Pada awal penemuan obat antituberkulosis (OAT), timbul harapan penyakit
ini akan dapat ditanggulangi. Namun dengan perjalanan waktu terbukti penyakit ini tetap menjadi
masalah kesehatan yang sangat serius, baik dari aspek gangguan tumbuh-kembang, morbiditas,
mortalitas, dan kecacatan. TB anak yang tidak mendapat pengobatan yang tepat akan menjadi
sumber infeksi TB pada saat dewasanya nanti.1
Perlu ditekankan sejak awal adanya perbedaan antara infeksi TB dengan sakit TB. Infeksi
TB relatif mudah diketahui, yaitu dengan berbagai perangkat diagnostik infeksi TB, misalnya uji
tuberkulin. Seseorang (dewasa atau anak) yang positif terinfeksi TB (uji tuberkulin positif) belum
tentu menderita sakit TB. Pasien sakit TB perlu mendapat terapi OAT, namun seseorang yang
mengalami infeksi TB tanpa sakit TB, tidak perlu terapi OAT. Untuk kelompok risiko tinggi,
pasien dengan infeksi TB tanpa sakit TB, perlu mendapat profilaksis.1
B.
ETIOLOGI
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, suatu organisme aerob
dengan struktur dinding sel kompleks yang mengandung asam mikolat, suatu asam lemak 70-80
karbon, dan arabinogalaktan yang terikat pada asam muramat. Kandungan lipid yang tertinggi
menyebabkan organisme bersifat tahan asam pada pewarnaan Ziehl-Nelseen atau Kinyoun
Gabbet yang digunakan untuk mengindentifikasi organisme ini. Mycobacterium tuberculosis
berbentuk batang lurus atau agak bengkok dengan ukuran 0,2-0,4 x 1-4 um, kuman ini tumbuh
lambat, koloni tampak setelah lebih kurang 2 minggu atau setelah 6-8 minggu. Suhu optimum
37C, tidak tumbuh pada suhu 25C atau lebih dari 40C. pH optimum 6,4-7,0. Mycobacterium
tuberculosis tidak tahan panas, akan mati pada suhu 6C selama 15-20 menit. Biakan dapat mati
jika terkena sinar matahari langsung selama 2 jam. Dalam dahak dapat bertahan 20-30 jam. Basil
yang berada dalam percikan bahan dapat bertahan hidup 8-10 hari. Biakan basil tersebut dalam
suhu kamar dapat hidup 6-8 bulan dan dapat disimpan dalam lemari dengan suhu 20C selama 2
tahun. M. tuberculosis dapat dibedakan dengan mikobakteri lain dengan tidak adanya pigmentasi,

dengan angka pertumbuhan lambat, dengan waktu penggandaan 24-36 jam, dan dengan
penggunaan probe DNA spesifik.3,4
C. EPIDEMIOLOGI
Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih tetap
menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993 WHO mendeklarasikan
TB sebagai global helath emergency. TB dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang
penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh mikobakterium TB. Pada tahun
1998 ada 3.617.047 kasus TB yang tercatat di seluruh dunia. 5 Sebagian besar dari kasus TB ini
(95%) dan kematiannya (98%) terjadi di negara-negara yang sedang berkembang.
Setiap tahunnya, di Indonesia bertambah seperempat juta kasus baru TB dan sekitar
140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh TB. Survei prevalensi TB yang
dilakukan di enam provinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TB di
Indonesia berkisar antara 0,2 0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TB Global
yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada tahun 2002 mencapai
555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya diperkirakan merupakan
kasus baru.7 Tuberkulosis lebih sering pada masyarakat semiindustri yang penuh sesak dan di
antara orang-orang miskin. Infeksi pada anak terjadi sesudah inhalasi droplet pernapasan yang
terkontaminasi (dari batuk atau bersin) dari sekresi saluran napas yang terinfeksi berat. Infeksi
pada anak khususnya merupakan akibat dari kontak erat yang lama dengan individu yang
memiliki sputum positif, aktif, berkaverna, dan tidak diobati.3,4,6
D. PATOFISIOLOGI
Tempat masuk kuman M. tuberculosis adalah saluran pernapasan, saluran cerna (GI), dan
luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu inhalasi droplet yang
mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.7
TB adalah penyakit yang dikendalikan olek respons imunitas diperantarai sel. Sel efektif
adalah makrofag, dan limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunoresponsif. Tipe imunitas seperti
ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan
limfokinnya. Respons ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas seluler (lambat).7

Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit
yang terdiri dari satu sampai tiga basil; gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di
saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam
ruang alveolus biasanya di bagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah, basil
tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit poliomorfonuklear tampak pada tempat
tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah berharihari pertama, leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami
konsolidasi, dan timbul pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya,
sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus, dan bakteri terus
memfagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening
menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih
panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh
limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.7
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju
disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di
sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblas menimbulkan respons berbeda. Jaringan
granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.7
Lesi primer paru disebut fokus Gohn dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening
regional dan lesi primer disebut kompleks Gohn. Kompleks Gohn yang mengalami perkapuran
ini dapat terlihat pada orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin.
Respons lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, yaitu bahan cair
lepas ke dalam bronkus yang berhubungan dan menimbulkan kavitas. Bahan tuberkular yang
dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke dalam percabangan trakeobronkial. Prosis ini
dapat berulang kembali di bagian lain paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laringm telinga
tengah, atau usus.
Walaupun tanpa pengobatan, kavitas yang kecil dapat menutup dan meninggalkan
jaringan parut fibrosis. Bila peradangan mereda, lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup
oleh jaringan parut yang terdapat dekat dengan taut bronkus dan rongga. Bahan perkijuan dapat
mengental dan tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung, sehingga kavitas penuh dengan

bahan perkijuan, dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat
tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus
dan menjadi tempat peradangan aktif.7
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang
lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai darah dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang
dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai
penyebaran limfohematogen yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan
suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan TB milier; ini terjadi apabila fokus nekrotik
merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskular dan
tersebar ke organ-organ tubuh.7

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG3,8,9
a Test Tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik yang kuat.
Jika disuntikan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB (telah ada
kompleks primer dalam tubuhnya dan telah terbentuk imunitas seluler terhadap TB), maka
akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Indurasi ini terjadi karena vasodilatasi
lokal, edema, endapan fibrin dan terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah suntikan.
Ukuran indurasi dan bentuk reaksi tuberkulin tidak dapat menentukan tingkat aktivitas dan
beratnya proses penyakit.
Uji tuberkulin merupakan alat diagnosis TB yang sudah sangat lama dikenal, tetapi hingga
saat ini masih mempunyai nilai diagnostik yang tinggi terutama pada anak, dengan
sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%.
Ada 2 macam tuberkulin yang dipakai yaitu Old tuberkulin dan Purified protein derivate
(PPD) dengan cara Mantoux. Yaitu dengan menyuntikkan 0,1 ml tuberkulin PPD intrakutan
di volar lengan bawah. Reaksi dilihat 48 72 jam setelah penyuntikan. Uji Tuberkulin
positif menunjukkan adanya infeksi TB. Reaksi ini akan bertahan cukup lama walaupun
pasien sudah sembuh sehingga uji Tuberkulin tidak dapat digunakan untuk memantau
pengobatan.
Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi 10 mm dinyatakan positif
tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi
TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi Bacille Calmette Guerin
(BCG) atau infeksi (BCG) atau infeksi Mycobacterium atipik.
Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-15 mm dinyatakan uji
tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin
disebabkan oleh BCG-nya. Akan tetapi bila ukuran indurasi 15 mm, hasil positif ini sangat
mungkin karena infeksi TB alamiah. Jika membaca hasil tuberkulin pada anak berusia lebih
dari 5 tahun, faktor BCG dapat diabaikan. Diameter 5-9 mm dinyatakan positif meragukan.
Bila mendapatkan hasil meragukan, tes tuberkulin dapat diulang, namun untuk menghindari
efek booster tuberkulin, ulangan dilakukan 2 minggu kemudian, dan penyuntikan dilakukan
pada lokasi yang lain, minimal berjarak 2 cm.

Tuberkulosis pada anak tidak selalu bermanifestasi klinis secara jelas, sehingga perlu
dilakukan deteksi dini yaitu dengan uji tuberkulin. Pada anak yang tinggal di daerah endemis
TB uji tuberkulin perlu dilakukan secara rutin, bila hasilnya negatif dapat diulang setiap
tahun.
Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada keadaan sebagai berikut:
a

Infeksi TB alamiah
Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)
Infeksi TB dan sakit TB
TB yang telah sembuh
b Imunisasi BCG (infeksi TB buatan).
c Infeksi mycobacterium atipik.
Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada keadaan sebagai berikut:
a
b
c
b

Tidak ada infeksi TB.


Dalam masa inkubasi infeksi TB.
Anergi, yaitu keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai keadaan, sehingga tubuh

tidak memberikan reaksi terhadap tuberkulin walaupun sebenarnya sudah terinfeksi TB.
Laboratorium hematologi
Tidak banyak membantu. Laju endap darah meninggi pada keadaan aktif dan kronik. Pada
stadium akut bisa terjadi lekositosis dengan sel polimorfonuklear yang meningkat
selanjutnya limfositosis. Gambaran hematologi dapat membantu mengamati perjalanan
penyakitnya. Gambaran darah yang normal, tidak / belum dapat menyingkirkan diagnosis
tuberkulosis.

Radiologi
Gambaran foto thorax pada TB tidak khas, kelainan-kelainan radiologi pada TB dapat juga
dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya, foto thorax yang normal (tidak terdeteksi secara
radiologi) tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan pemeriksaan penunjang
lain mendukung. Dengan demikian, pemeriksaan foto thorax saja tidak dapat digunakan
untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran milier.
Secara umum, gambaran radiologi yang sugestif TB adalah sebagai berikut:
a Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat.
b Konsolidasi segmental/lobar.
c Milier.
d Kalsifikasi dengan infiltrat.
e Atelektasis.
f Kavitas.

g
h

Efusi pleura.
Tuberkuloma.

Foto thorax tidak cukup hanya dibuat secara antero-posterior (AP), tetapi harus disertai
dengan foto lateral, mengingat bahwa pembesaran KGB di daerah hilus biasanya lebih jelas
pada foto lateral.
d

Serologis
Hasil kurang memuaskan dan masih kontroversi, hasil tergantung dari :
a) Umur
b) Status imunisasi
c) Mycobacterium atypic
d) Tidak dapat membedakan infeksi dan sakit
e Mikrobiologis
Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan kuman TB pada pemeriksaan mikrobiologi.
Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari dua macam, yaitu pemeriksaan
mikroskopis apusan langsung untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman M.
tuberculosis.
Namun pemeriksaan tersebut sulit dilakukan pada anak, karena sulitnya mendapatkan
specimen berupa sputum. Sebagai gantinya, dilakukan pemeriksaan bilas lambung (gastric
lavage) 3 hari berturut-turut, minimal 2 hari. Hasil pemeriksaan mikroskopik langsung pada
anak sebagian besar negatif, sedangkan hasil biakan M. tuberculosis memerlukan waktu
yang lama yaitu sekitar 6-8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan yang hasilnya
diperoleh lebih cepat (1-3 minggu), yaitu pemeriksaan Bactec, tetapi biayanya mahal dan
secara teknologi lebih rumit.
Bisa juga dengan menggunakan PCR, akan tetapi terdapat beberapa kelemahan untuk
menerapkan pemeriksaan PCR sebagai pemeriksaan klinis rutin, yaitu tingginya variasi
tingkat sensitivitas pada pemeriksaan PCR di berbagai laboratorium, dan mudahnya terjadi
kontaminasi kuman/bagian dari kuman yang berasal dari pemeriksaan sebelumnya, sehingga
dapat menyebabkan positif palsu. Hasil positif pun tidak selalu menunjukkan kuman yang
f

aktif, karena kuman dorman atau persisten dapat terdeteksi dengan pemeriksaan ini.
Pemeriksaan fungsi paru
Pada umumnya fungsi paru tak terganggu kecuali pada bronkhiektasis hebat. Pemeriksaan
ini perlu dilakukan pada TB anak yang memerlukan tindakan operatif.
Pemeriksaan terhadap sumber penularan

Dicari sumber infeksi baik dari keluarga maupun orang lain, dilakukan pemeriksaan sputum,
foto paru, pemeriksaan darah. Bila positif sebaiknya diisolasi untuk mengurangi kontak dan
dilakukan pengobatan.
h

Uji interferon
Uji IFN- didasarkan adanya pelepasan sitokin inflamasi yang dihasilkan oleh sel limfosit T
yang sebelumnya telah tersensitisasi antigen M. tuberculosis. Pada uji IFN-, limfosit darah
tepi distimulasi secara in-vitro dan kadar IFN- yang dihasilkan oleh sel limfosit T
tersensitisasi diukur dengan cara ELISA. Hasil pemeriksaan ini ternyata sampai saat ini
belum dapat membedakan infeksi saja atau ada penyakit.

F. DIAGNOSIS
Berdasarkan kasus yang ada, diagnosis kerja yang bisa ditegakkan adalah kemungkinan
adanya infeksi tuberculosis pada anak tersebut. Diagnosis kerja TB pada anak dibuat berdasarkan
adanya kontak terutama dengan pasien TB dewasa aktif/baru, kumpulan gejala, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Meskipun demikian, sumber penularan/kontak tidak selalu dapat
teridentifikasi, sehingga analisis yang seksama terhadap semua data klinis sangat diperlukan.9
Diagnosis pasti TB dapat ditegakkan apabila ditemukannya M. tuberculosis pada
pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal (CSS), cairan pleura, atau biopsi
jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti desebabkan oleh dua hal, yaitu
sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya pengambilan specimen (sputum).9
Kesulitan menegakkan diagnosis TB pada anak menyebabkan banyak usaha membuat
pedoman diagnosis dengan sistem skoring dan alur diagnosis. Perhatikan tabel 1 dan gambar 1.10
Tabel 1. Sistem Skoring Diagnosis Tuberkulosis Anak
Parameter
Kontak TB

Tidak jelas

Laporan keluarga,
BTA (-) atau
tidak tahu

2
Kavitas (+), BTA
tidak jelas

3
BTA (+)

Negatif

Positif ( 10 mm
atau 5 mm pada
keadaan
imunosupresi)

Uji Tuberkulin

Berat
badan/keadaan
gizi
Demam tanpa
sebab yang jelas
Batuk
Pembesaran
kelenjar limfe
kolli, aksila,
inguinal
Pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut,
phalanx

BB/TB < 90% atau


BB/U < 80%
2 minggu
3 minggu
1 cm, jumlah >
1, tidak nyeri

Ada
pembengkakan

Normal/tidak
jelas
Foto rontgen
thorax

Klinis buruk atau


BB/TB < 70% atau
BB/U < 60%

Infiltrat
Pembesaran
kelenjar
Konsolidasi
segmental/
lobar
Atelektasis

Kalsifikasi +
infiltrat
Pembesaran
kelenjar +
infiltrat

Catatan:

Diagnosis dengan sistem scoring ditegakkan oleh dokter.


Jika dijumpai skrofuloderma, langsung di diagnosis tuberkulosis.
Berat badan dinilai saat datang.
Demam dan batuk tidak ada respons terhadap terapi sesuai baku.
Foto rontgen thorax bukan alat diagnosis utama pada TB anak.
Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
Didiagnosis TB jika skor 6 (skor maksimal 14). Cut off-point ini masih bersifat
tentative/sementara, nilai definitif menunggu hasil penelitian yang masih dilaksanakan.

Gambar 1.
Alur

Deteksi

Dini

dan
Rujukan

TB

Anak
(sumber:

http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-xgdt286.htm)

G. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Asma Bronkial
Asma Bronkial adalah penyakit saluran nafas dengan karakteristik berupa peningkatan
reaktivitas (hiperaktivitas) trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi
klinis berupa penyempitan saluran nafas yang menyeluruh dan menimbulkan gejala episodik
berulang: seperti mengi (wheezing), sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama
malam atau dini hari. Pada anak kecil diagnosa asma sulit dilakukan, dengan bertambahnya usia
(>3 tahun) diagnosa akan lebih definitif.

Adapun rangsangan atau faktor pencetus yang sering menimbulkan asma adalah:
a

Asma alergi (ekstrinsik): Jenis asma ini adalah hasil dari reaksi alergi terhadap pemicu
dari lingkungan, seperti debu rumah, serbuk sari, jamur, dll. Asma alergi menimpa
sebagian besar anak-anak.

Non-asma alergi (intrinsik): Jenis asma biasanya disebabkan oleh infeksi sebelumnya
dari saluran pernapasan. Kerusakan infeksi selaput lendir dari bronkial. Kerusakan ini
menyebabkan bronkial menjadi terlalu sensitif terhadap lingkungan pemicu, seperti
udara dingin, asap rokok dan polusi. Jenis asma kebanyakan mempengaruhi orang
dewasa di atas usia 40.
Asma bronkial adalah peradangan pada saluran pernafasan. Ini berarti bahwa selaput

lendir bronkus menjadi meradang dan bengkak. Para kejang otot bronkus dan selaput lendir
menghasilkan terlalu banyak lendir yang menghambat saluran udara. Akibatnya, diameter
berkurang pada bronkial dan bernafas menjadi sulit. Terjadinya serangan asma tidak terduga dan
bisa terjadi kapan saja, terutama jika terkena alergen dan lingkungan pemicu. Penyebab asma
masih belum diketahui. Beberapa penilitian mengataakan bahwa bila asma anak segera diketahui
dan mendapatkan penanganan optimal maka akan mengurangi frekuensi serangan dan akan terus
meningkatkan kualitas hidup, jadi prognosisnya baik.4
Pneumonia5
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut paru yang disebabkan terutama oleh bakteri
merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang paling sering menyebabkan
kematian pada bayi dan anak balita. Bakteri penyebab penumonia paling sering adalah
Streptococcus pneumoniae (pneumokokus), Hemopsilus influenzae tipe b (Hib) dan
Staphylococcus aureus (Saureus). Diperkirakan 75% pneumonia pada anak balita di negara
berkembang termasuk Indonesia disebabkan oleh pneumokokus dan Hib. Gejala yang biasa
muncul yaitu gejala prodromal seperti: demam, rewel, lesu, nafsu makan menurun, batuk,
takipneu, sesak napas, sianosis. Beberapa keadaan seperti gangguan nutrisi (malnutrisi), usia
muda, kelengkapan imunisasi, kepadatan hunian, defisiensi vit A, defisiensi Zn, paparan asap
rokok secara pasif, dan polusi merupakan faktor resiko untuk terjadinya pneumonia. Sebagian

besar pneumonia timbul melalui aspirasi kuman atau penyebaran langsung kuman dari saluran
respiratorik atas. Hanya sebagian kecil yang merupakan akibat sekunder dari viremia/bakterimia
atau penyebaran dari infeksi intra abdomen. Pemberian imunisasi memberikan arti yang sangat
penting dalam pencegahan pneumonia. Pneumonia diketahui sebagai komplikasi dari campak,
pertusis, dan varisela sehingga imunisasi dengan vaksin yang berhubungan dengan penyakit
tersebut akan membantu menurunkan insiden pneumonia.
Bronkitis
Bronkitis terbagi atas dua bronkitis akut dan kronik. Bronkitis akut merupakan inflamasi
saluran napas besar trakea dan bronkus yang biasanya disertai dengan infeksi saluran napas
akut (ISNA). Etiologinya sendiri bisa disebabkan oleh virus dan bakteri, seperti adenovirus,
influenza virus, RSV, Bordetella pertusis, H. influenza, M. pneumonia. Gejala pada bronkitis
demam, (37-39C), diawali dengan gejala ISNA (3-4 hari) seperti batuk kering, nyeri dada, pilek,
dalam beberapa hari kemudian batuk menjadi produktif (lendir) dan dalam 5-10 hari sekresi
berkurang serta batuknya hilang. Pada pemeriksaan fisik anak biasa ditemukan suara ronki basah
kasar/halus, suara napas yang kasar, dan wheezing. Untuk terapi penyakit bronkitis akut bersifat
self limiting disease, tapi bisa diberikan antibiotik sesuai indikasi, dan humidifikasi.
Bronkitis Kronik (BKB)
merupakan keadaan klinis yang disebabkan oleh berbagai penyebab dengan gejala batuk
yang berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu berturut-turut dan atau berulang paling sedikit
3x dalam 3 bulan dengan atau tanpa gejala respiratorik lainnya. Etiologinya sama dengan
bronkitis akut. Keadaan yang berhubungan dengan BKB adalah asma, TBC paru, iritan (aspirasi
susu), rokok, polusi, dan lain-lain. Untuk gejalanya, bronkitis kronik punya gejala utama berupa
batuk produktif/kering, disertai nyeri dasa, kadang wheezing, dan gejala memberat pada malam
hari.
H. MANIFESTASI KLINIS
Patogenesis TB sangat kompleks, sehingga manifestasi klinis TB sangat bervariasi dan
bergantung pada beberapa faktor. Faktor yang berperan adalah kuman TB, penjamu, serta
interaksi antar keduanya. Faktor kuman bergantung pada jumlah dan virulensi kuman, sedangkan
faktor pejamu bergantung pada usia, dan kompetensi imun serta kerentanan pajama pada awak

terjadinya infeksi. Anak kecil seringkali tidak menunjukkan gejala walaupun sudah tampak
pembesaran kelenjar hilus pada foto thorax. Manifestasi klinis TB terbagi menjadi dua, yaitu
manifestasi sistemik dan manifestasi spesifik organ/lokal.3,4,6,9
Gejala umum pada TB anak adalah sebagai berikut:9

Demam lama ( 2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid,
infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain), yang dapat disertai dengan keringat malam.

Demam umumnya tidak terlalu tinggi.


Batuk lama > 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan.
Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau tidak naik dalam 1 bulan dengan penanganan

gizi yang adekuat.


Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik dengan

adekuat (failure to thrive).


Lesu atau malaise.
Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.
Manifestasi klinis spesifik organ/lokal bergantung pada organ yang terkena, misalnya

kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), kulit, dan tulang.


I. PENATALAKSANAAN
- Medikamentosa3,6,8,9
Tujuan pengobatan TB anak adalah :
Menurunkan / membunuh kuman dengan cepat.
Sterilisasi kuman untuk mencegah relaps dengan jalan pengobatan.
Mencegah terjadinya resistensi kuman TB.
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase, yaitu:
1 Fase intensif (2 bulan) : mengeradikasi kuman dengan 3 macam obat: Isoniazid (INH),
2

Rifampisim dan Pirazinamid (PZA).


Fase pemeliharaan/lanjutan (4 bulan atau lebih): akan memberikan efek sterilisasi untuk
mencegah terjadinya relaps, menggunakan 2 macam obat yaitu Isoniazid (INH) dan
Rifampisin.

Prinsip pengobatan TB pada anak:


a

Kombinasi lebih dari satu macam obat. Hal ini untuk mencegah terjadinya resistensi

terhadap obat.
Jangka panjang, teratur, dan tidak terputus. Hal ini merupakan masalah kadar kepatuhan
pasien.

Obat diberikan secara teratur tiap hari, bertujuan untuk mengurangi ketidakteraturan
menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan setiap hari.
Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal pada fase intensif

diberikan minimal 4 macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau
streptomisin). Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan.
Perhatikan tabel 3.
Tabel 3. Obat yang Sering Digunakan pada TB Anak
Obat

Sediaan
Tablet 100 mg

INH

Pirazinamid

Dosis

(mg/kg BB)
5 15 mg

maksimum
300 mg

Tablet 300 mg
Sirup 10 mg/ml
Kapsul/ kaplet

Rifampicin

Dosis

Tablet 500 mg

10 20 mg

600 mg

Urine/sekret merah
hepatitis, mual

15 30 mg
15 20 mg

2g
1,2 g

Etambuzol

Streptomisin

Hepatitis, neuritis
perifer hipersensitif

150,300,450,600
Sirup 20 mg/ml
Tablet 500 mg

Efek samping

flulike reaktion
Hepatitis
hipersensitif
Neurilis optika ggn
visus /warna ggn

Injeksi

15 40 mg

1g

saluran cerna
Ototoksis nefrotokis

Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama
dengan jumlah obat yang banyak, paduan OAT disediakan dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap
= KDT (Fixed Dose Combination = FDC). Tablet KDT untuk anak tersedia dalam 2 macam
tablet, yaitu:
a. Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin), H (Isoniazid) dan Z
(Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif.
b. Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan H (Isoniazid) yang
digunakan pada tahap lanjutan.

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang biasa digunakan yaitu Isoniazid, Rifampisin,
Piranizamid, Etambutol dan Streptomisin. Terapi OAT untuk tuberkulosis paru yaitu INH,
Rifampisisn, Pirazinamid selama 2 bulan fase intensif dilanjutkan INH dan Rifampisin hingga 6
bulan terapi (2HRZ-4HR). Efek samping OAT jarang dijumpai pada anak jika dosis dan cara
pemberiannya benar. Efek samping yang biasa muncul yaitu hepatotoksisitas dengan gejala
ikterik, keluhan ini biasa muncul pada fase intensif (awal).11
Tabel 4. Dosis KDT (R75/H50/Z150 dan R75/H50) pada anak
Berat Badan

2 bulan tiap hari RHZ

4 bulan tiap hari RH

(Kg)
5-9

(75/50/150)
1 tablet

(75/50)
1 tablet

10-14

2 tablet

2 tablet

15-19

3 tablet

3 tablet

20-32

4 tablet

4 tablet

Keterangan:
A.
B.
C.
D.

Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit


Anak dengan BB 33 kg , disesuaikan dengan dosis dewasa
Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau
digerus sesaat sebelum diminum.

Sumber: Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak.11

Pemberian kortikosteroid:
Sebagai anti inflamasi digunakan predison oral dengan dosis 1 2 mg /kgBB/kari, dibagi
dalam 3 dosis, maksimal 60 mg dalam 1 hari. Lama pemberian 2-4 minggu kemudian

dilakukan tapering off selama 1-2 minggu. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi
proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.
Sebaiknya pasien control setiap bulan untuk menilai perkembangan hasil terapi
memantau timbulnya efek samping obat. Evaluasi dilakukan setelah 2 bulan menjalani
terapi, dengan berbagai cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan
LED.
- Non medikamentosa6,9
Pendekatan DOTS
Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan pasien meminum obatnya adalah
dengan melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed
treatment). Directly observed treatment shortcourse adalah strategi yang telah
direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB, dan telah
dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1995.

Aspek Edukasi dan Sosial Ekonomi


Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosioekonomi, karena pengobatan TB
memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka
biaya yang diperlukan cukup besar. Selain itu, perlu penangan gizi yang baik, meliputi
kecukupan asupan makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanpa penangan gizi yang baik,
pengobatan saja tidak akan mencapai hasil yang optimal. Edukasi ditujukan kepada
keluarganya agar mengetahui mengenai TB. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena
sebagian besar TB pada anak tidak menular kepada orang di sekitarnya. Aktifitas fisik
pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB berat.9

J.

PENCEGAHAN

Pencegahan tuberculosis anak meliputi:3,6,8,9


Perlindungan terhadap sumber penularan. Prioritas pengobatan sekarang ditujukan
terhadap orang dewasa. Akan tetapi TB anak yang tidak mendapat pengobatan akhirnya menjadi
TB dewasa dan akan menjadi sumber penularan.
Vaksinasi BCG (Bacillus Calmette-Guerin) merupakan strain M. bovis yang dilemahkan.
Diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml,

diberikan secara intrakutan di daerah inserti otot deltoid kanan. Bila BCG diberikan > 3 bulan
sebaiknya dilakukan uji tuberkulin dulu.
Kemoprofilaksis
Primer, untuk mencegah terjadinya infeksi TB. Diberikan isoniazid dengan dosis 5-10
mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Dapat diberikan pada anak yang kontak dengan TB
menular, terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif).
Obat diberikan selama 6 bulan, jika tetap negatif profilaksis tetap dilanjutkan hingga 6 bulan.

Pada akhir bulan keenam apabila hasil tuberkulin masih negatif profilaksis boleh dihentikan.
Sekunder, untuk mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Lama pemberian

profilaksis 6-12 bulan.


Pengobatan terhadap infeksi dan penemuan sumber penularan.
Pencegahan terhadap menghebatnya penyakit dengan diagnosis dini.
Penyuluhan dan pendidikan kesehatan.

K. KOMPLIKASI
Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut:5

Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus, Poncets arthropathy
Komplikasi lanjut: Obstruksi jalan napas SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis),
kerusakan parenkum berat fibrosis paru, sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering
terjadi pada TB milier dan kavitas TB.

L. PROGNOSIS
Prognosis baik, jika pasien minum obat dengan teratur walau dalam jangka masa 6 bulan
dan sering berkonsultasi dengan dokter, buruk jika disertai komplikasi. Dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti umur anak, berapa lama telah mendapat infeksi, luasnya lesi, keadaan gizi, keadaan
sosial ekonomi keluarga, diagnosis dini, pengobatan adekuat dan adanya infeksi lain seperti
morbili, pertusis, diare yang berulang dan lain-lain.6

DAFTAR PUSTAKA

1. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Hormaniati ED.
Tuberkulosis. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Badan Penerbit
IDAI. 2009: 323-5.
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta. 2013: 1-2,
11-5.
3. Starke JR. Tuberkulosis. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Ilmu kesehatan
anak nelson volume 2. Edisi ke-15. Jakarta: EGC; 2000.h.1028-42.
4. Behrman RE, Kliegman RM. Esensi pediatric nelson. Jakarta: EGC, 2010.h.431-6, 445-7.
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 31-2, 1608; 2196-9, 2230-47, 22567.
6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku
kuliah ilmu kesehatan anak jilid 2. Jakarta: Penerbit FKUI; 2000.h.593-7, 655-7, 573-83.
7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC; 2006. h.784-6, 852-61.
8. Sunarjo D. Tuberculosis pada anak. Edisi 2007. Diunduh dari http://rsud.patikab.go.id/?
page=download&file=TBC.doc&id=6, 3 September 2016.
9. Rahajoe NN, Setyanto DB. Diagnosis tuberkulosis pada anak. Dalam: Rahajoe NN,
Supriyanto B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2008.h.169-70;194-207;214-26.
10. Seriawati L, Makmuri MS, Asih RS. Tuberkulosis. Edisi 2006. Diunduh dari
http://www.pediatrik.com/isi03.php?

page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-xgdt286.htm, 3
September 2016.
11. Putra, Septia. Tuberkulosis Anak dan Gizi Buruk. Universitas Muhammadiyah Semarang.
2011: 1-10.

Anda mungkin juga menyukai