Anda di halaman 1dari 5

TATA CARA PELAKSANAAN SHOLAT SUNAT LIDAFIL BALA

PADA HARI RABU TERAKHIR DI BULAN SHAFAR


Tiap Rabu terakhir bulan Shafar dianjurkan untuk melaksanakan Sholat Sunat Lidaf'il Bala
karena pada hari itu Alloh SWT menurunkan malapetaka sebanyak 320.000 macam bala.
Sholat Rabu Akhir bulan Shafar (Disebut juga Rebo Wekasan) dilaksanakan pada pagi hari
setelah sholat Isyraq, Isti'adzah dan Istikharah (sekitar jam 6.00 WIB), disunahkan berjamaah
sebanyak 4 rakaat (2 salam).
Pelaksanaan sholat sunat Lidaf'il Bala diambil dari keterangan yang tercantum dalam kitab alJawahir al-Khomsi halaman 51-52.dilaksanakan pada pagi hari Rabu terakhir bulan
Shofar. Niatnya :

"Ushollii sunnatan lidaf"il balaai rok'ataini lillaahi ta'aalaa"


(Sengaja aku niat sholat lidaf'il balaai dua rakaat karena Alloh"
Setiap rakaat ba'da fatihah membaca :
- Surat al-Kaustar 17 kali,
- Surat al-Ikhlash 5 kali,
- Surat al-Falaq dan an-Nas masing-masing 1 kali
Sebelum melaksanakan sholat membaca istighfar :

"Astaghfirullaahal 'adziima alladzii laailaaha illaa huwal hayyul qoyyuumu wa atuubu ilaihi
tawbatan 'abdin dzoolimi laayamliku linafsihi dhorron walaa naf'an walaa mautan walaa
hayatan walaa nusyuuron"
(Saya memohon ampun kepada Allah yang Maha Agung. Saya mengakui bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah. Tuhan yang hidup terus dan berdiri dengan sendiri-Nya. Saya mohon taubat
selaku seorang hamba yang banyak berbuat dosa, yang tidak mempunyai daya upaya apa-apa
untuk berbuat mudharat atau manfaat untuk mati atau hidup maupun bangkit nanti). Dibaca 3
kali.
Do'a setelah shalat lidaf'il Bala:

Artinya : "Ya Alloh, aku berlindung kepada-Mu dengan kalimat-Mu yang sempurna dari angin
merah dan penyakit yang besar di jiwa, daging, tulang dan urat. Maha Suci Engkau apabila
memutuskan sesuatu hanyalah berkata kepadanya, "Jadilah" maka "jadilah ia". Dibaca 3 kali.

Shalat Lidafil Bala: Tradisi Islam di Bulan


Safar Warisan Para Ahli Sufiyah

Shalat sunnah lidafil bala (tolak bala) merupakan shalat sunnah hajat yang dikerjakan pada
malam atau hari rabu akhir bulan Safar, tepatnya pada hari rabu pada pekan keempat. Shalat sunnah
ini dikerjakan empat rakaat dua salam dan dilaksanakan secara berjamaah.
Shalat sunnah ini dilakukan dalam rangka memperingati sekaligus menenangkan umat dalam
rangka berlindung kepada Allah akan datangnya bala dan bencana yang terjadi pada bulan Safar.
Awal mula munculnya ibadah ini adalah berdasarkan ilham dan ijtihad para ulama salaf maupun
ulama sufiyah terdahulu yang teringat bahwa bulan safar adalah bulan yang penuh dengan kesialan
dan malapetaka, dan hari rabu pekan keempat merupakan hari yang paling naas pada bulan itu.
Seorang sufi asal India, Ibnu Khothiruddin Al-Atthor (w. th 970 H/1562 M), dalam kitab Jawahir
Al-Khomsi menyebutkan, Syekh Al-Kamil Farid-Din Sakarjanj telah berkata bahwa dia melihat
dalam Al-Awrad Al-Khawarija nya Syekh Muinuddin sebagai berikut:





.
Artinya: Sesungguhnya dalam setiap tahun diturunkan sekitar 320.000 macam bala yang
semuanya ditimpakan pada hari rabu akhir bulan Safar. Maka hari itu adalah hari tersulit dalam
tahun itu. Barang siapa shalat empat rakaat pada hari itu, dengan membaca di masing-masing
rakaatnya setelah Al-Fatihah yakni surat Al-Kautsar 17 kali, Al-Ikhlas 5 kali, muawwidzatain
masing-masing satu kali dan berdoa doanya Insya Allah akan disebutkan setelah ini, maka

dengan sifat karomnya Allah, Allah akan menjaganya dari semua bala yang turun pada hari itu
dan di sekelilingnya akan terhindar dari bala tersebut sampai genap setahun .
Adapun cara pelaksanaan shalat sunnah ini sama dengan shalat-shalat sunnah pada umumnya.
Namun yang membedakannya adalah, setiap habis membaca surat Al-Fatihah pada masing-masing
rakaatnya membaca: Surat Al-Kautsar 17 kali, Surat Al-Ikhlas 5 kali, Surat Al-Falaq dan surat AnNaas masing-masing satu kali.
Adapun doa yang dibaca setelah selesai shalat lidafil bala seperti berikut:

.

.






.
.

.
. X .




.




.
. .

Setelah pelaksanaan shalat berakhir, biasanya diadakan shodaqohan sekadarnya seperti halnya
kenduri yang diawali dengan membaca doa tahlil, kemudian dilanjutkan dengan ceramah atau
mauidhah hasanah secukupnya, yang selanjutnya acara tersebut diakhiri dengan makan bersama.
Setelah itu, para jamaah dipersilakan mengambil air barokah yang sudah dipersiapkan oleh panitia
sebelumnya. Para jamaah pun bisa langsung meminumnya di tempat, atau boleh juga dibawa pulang
untuk diminum bersama keluarga di rumah.
Status Hukum Shalat Sunnah Lidafil Bala
Walaupun ibadah ini oleh sebagian kalangan dikategorikan sebagai amalan yang tidak diajarkan
oleh Rasulullah saw dan bahkan menganggapnya sebagai bidah, namun oleh para ulama sufiyah
dan tarekat, amalan shalat lidafil bala ini tetap boleh dikerjakan asalkan tidak menganggapnya
sebagai keharusan yang mesti dilakukan. Keeksistensian ibadah ini pula jangan sampai dijadikan
barang perselisihan sehingga timbul pertentangan di kalangan internal umat muslim. Akan tetapi
justru amalan ini dijadikan momentum peningkatan kualitas ibadah kepada Allah swt serta sebuah

sarana agar dapat berlindung kepada-Nya dari segala macam bencana dan mara bahaya yang akan
menimpanya.
Allah swt berfirman:
(45 : )


Carilah pertolongan (Allah) dengan sabar dan shalat (QS. Al-Baqarah: 45).
Ayat diatas diperkuat dengan hadirnya sunnah Rasulullah saw:
( )
:
Dari Hudzaifah ra berkata: Apabila Rasulullah saw menemui suatu kesulitan, maka beliau segera
menunaikan shalat (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Apalagi semua shalat baik shalat wajib maupun shalat sunnah merupakan sebuah ibadah yang
ditekankan untuk dilakukan oleh setiap muslim. Rasulullah saw telah bersabda:


Shalat adalah sebaik-baik amal yang ditetapkan (Allah untuk hamba-Nya)
Ditambah lagi, setelah selesai shalat dilanjutkan dengan mauidhoh hasanah dan disertai dengan
shadaqahan ala kadarnya. Inipun juga dianjurkan oleh Nabi saw dalam sabda beliau:


( )

Segeralah bershadaqah, sebab bala bencana tidak akan melangkahinya (HR. Thabrani).
Yang menjadi permasalahan disini ialah, banyak di kalangan umat Islam meyakini bahwa amalanamalan yang tidak ada tuntunannya secara langsung dari Rasulullah saw seperti halnya shalat
lidafil bala ini dianggapnya sebagai keharusan yang mesti dikerjakan, akan tetapi ibadah-ibadah
yang jelas-jelas ada tuntunannya dari Rasulullah saw, oleh masyarakat tidak dianggap sebagai
keharusan seperti shalat berjamaah, shadaqah dan semacamnyabahkan terasa malas untuk
mengerjakannya. Pandangan seperti inilah yang sangat keliru, dan perkara ini amat dekat dengan
bidah. Padahal, perkara yang sifatnya qathi (jelas dalil dan contohnya) harus didahulukan untuk
diamalkan daripada perkara yang tidak langsung dicontohkan oleh Rasulullah saw, atau
terakulturasi oleh budaya-budaya tertentu. Namun yang jelas, bentuk ibadah seperti di atas, bukan
bermaksud untuk mengubah-ubah syariat, tetapi sebagai bentuk strategi dalam rangka
meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah, dengan catatan tidak menafikkan perkara-perkara yang
jelas dalilnya.
Jadi tidak benar apabila shalat ini dianggap sebagai bidah dan statusnya haram dikerjakan oleh
umat Islam.

Anda mungkin juga menyukai