NAMA
NIM
: 1302012166
DPA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2016 / 2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
taufik, serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah. Tidak lupa
shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang kita tunggu
syafaatnya di yaumul akhir.
Tujuan dan maksud dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas uts
mata kuliah Hukum Dagang dan Bisnis pada semester IV. Makalah ini dapat terwujud berkat
bantuan dari berbagai pihak.
Semoga dengan disusunnya makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita
dalam mempelajari dan memahami pokok-pokok bahasan dalamKontrak, khususnya mengenai
Hukum Dagang dan Bisnis.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sempurna.Oleh sebab
itu, dengan segala kerendahan hati kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi
perbaikan dan untuk itu kami ucapkan terima kasih.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Masalah
Upaya manusia untuk memenuhi berbagai kepentingan bisnis, diantaranya adalah
mewujudkannya dalam bentuk kontrak bisnis.Dalam bisnis, kontrak merupakan bentuk
perjanjian yang dibuat secara tertulis yang didasarkan kepada kebutuhan bisnis. Kontrak atau
contracts (dalam bahasa Inggris) dan overeenskomst (dalam Bahasa Belanda) dalam pengertian
yang lebih luas kontrak sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian . Istilah kontrak atau
perjanjian dalam sistem hukum nasional memiliki pengertian yang sama, seperti halnya di
Belanda tidak dibedakan antara pengertian contract dan overeenkomst.Kontrak adalah suatu
perjanjian (tertulis) antara dua atau lebih orang (pihak) yang menciptakan hak dan kewajiban
untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu.Dalam hukum kontrak sendiri
terdapat asas yang dinamakan kebebasan berkontrak.Menurut Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata
menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Dari bunyi pasal tersebut sangat jelas terkandung asas :
a.
Konsensualisme, adalah perjanjian itu telah terjadi jika telah ada konsensus antara
b.
c.
Communis opinio doctorum selama ini dengan bertitik tolak pada pasal 1313 KUH Perdata
menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum yang berisi dua (een
tweezijdige rechtshandeling) untuk menimbulkan persesuaian kehendak guna melahirkan
akibat hukum.Yang dimaksud dengan satu perbuatan hukum yang berisi dua ialah penawaran
(aanbod/offer) dan penerimaan (aanvaarding acceptance).Penawaran dan penerimaan itu masingmasing pada hakekatnya adalah perbuatan hukum.Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan
hukum adalah perbuatan subyek hukum yang didasarkan pada kehendak yang dinyatakan untuk
menimbulkan akibat hukum yang dikehendaki dan diakui oleh hukum.Berarti masing-masing
pihak seyogyanya mempunyai kebebasan kehendak.Itulah sebabnya Buku III KUH Perdata
dikatakan menganut sistem terbuka. Tetapi kebebasan kehendak tersebut dalam kenyataanya
seringkali didapati salah satu pihak yang menentukan syarat didalam suatu kontrak, sedangkan
pihak lain hanya dapat menerima atau menolak (misalnya dalam kontrak standar: syarat umum
dari bank, syarat penyerahan dari produsen, dan sebagainya). Tidak dipungkiri bahwa kegiatan
bisnis tersebut menjadi latar belakang tumbuhnya perjanjian baku. Menurut Gras dan Pitlo, latar
belakang lahirnya perjanjian baku antara lain merupakan akibat dari perubahan susunan
masyarakat. Masyarakat sekarang bukan lagi merupakan kumpulan individu seperti pada abad
XIX, tetapi merupakan kumpulan dari sejumlah ikatan kerja sama (organisasi). Perjanjian baku
lazimnya dibuat oleh organisasi-organisasi poerusahaan. Hal inilah yang membuat perjanjian
baku sering telah distandarisasi isinya oleh pihak-pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya
hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur menerima isinya
pernjanjian tersebut, ia menandatangani perjanjian tersebut, tetapi apabila ia menolak, perjanjian
itu sianggap tidak ada karena debitur tidak menandatangani perjanjian itu. Disinilah letak
kontradiksi antara asas kebebasan berkontrak dengan pemberlakuan pelaksanaan perjanjian baku.
Akan tetapi dewasa ini marak sekali akan terjadinya pelanggaran kontak wanprestasi.
Kasus yang sekarang sedang hangat di bicarakan adalah kasus wanprestasi PT.Horison kepada
PT.Arkindo terkait proyek pembuatan Trans Metro Bandung (TMB) yang akhirnya menyeret
PT.Horison berurusan dengan kepolisisan.
1.2Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan yaitu:
1. apa yang menjadi dasar berlakunya perjanjian baku/standar kontrak ditinjau dari sudut
pengenyampingan asas kebebsan berkontrak?
2.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Kronologinya Perjanjian
Didalam sebuah perjanjian memang selalu terdapat 2 pihak atau lebih yang memiliki hak
dan kewajiban masing-masing. Demikian pula dengan Pemerintah Kota Bandung yang
bekerjasama dengan PT.Horison dalam hal pembuatan proyek Trans Metro Bandung (TMB).
Dalam hal ini Pemerintah Kota Bandung meminta PT.Horison sebagai Sponsor utama dengan
tujuan agar dalam pengadaan proyek ini tidak dengan uang APBD. Pemkot Bandung
mengadakan perjanjian timbal balik yang dalam hal ini PT.Horison bersedia mengeluarkan
sejumlah uang untuk mendirikan semua shettler total senilai 9,9 Milyar. Sebagai kompensasinya
PT.Horison berhak mendapatkan izin atas pemasangan reklame di semua Shettler.
Kemudian PT.Horison atas izin dari pemkot Bandung mengadakan kerjasama dengan jasa
kontraktor yaitu PT.Arkindo. Dalam melaksanakan kesepakatan perjanjian kerjasama tersebut di
lakukan di hadapan seorang notaris yaitu Ramlan Utomo, SH. Dalam perjanjian yang di lakukan
keduanya, mereka bersepakat jika pembayaran di lakukan secara bertahap yaitu total terdapat 3
tahap dimana tahap awal di bayarkan setelah sebulan kerja dan sisanya di bayarkan disetiap satu
semester masing-masing sekitar 3Milyar. Perjanjian tersebut
mengikat masing-masing pihak. Proyek Trans Metro Bandung pun di mulai pembangunanya
pada Juli kemarin, sehingga jika menilik apa yang terdapat dalam surat perjanjian maka
PT.Horison harus membayar uang muka kepada PT.Arkindo sebagai jasa Kontraktor di bulan
agustus 2011 atau sebulan setalah proyek di mulai. Namun sampai satu setengah bulan proyek
berjalan, PT.Horison belum sepeserpun membayar uang muka kepada PT.Arkindo. Hal ini tentu
memancing kemarahan dari pihak PT.Arkindo, dimana PT.Horison telah lalai melaksanakan
kewajibannya seperti apa yang telah di perjanjikan atau juga dapat di katakana jika PT.Horison
telah melakukan Wanprestasi.
Tidak sepantasnya PT.Horison sebagai perusahaan besar melakukan wanprestasi apalagi
mereka juga melakukan kompromi dengan Pemerintah Kota Bandung, sampai-sampai pemkot
Bandung mengeluarkan surat teguran kepada PT.Horison sebagai mitra nya. Padahal jika menilik
salah satu azas Pacta Sun Servanda, artinya kontrak itu merupakan Undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya (mengikat), sehingga baik PT.Horiaon maupun PT.Arkindo memiliki
kewajiban masing-masing. Karena tidak mendapatkan respon dari pihak PT.Horison, maka
PT.Arkindo melaporkan kepada kepolisian dengan bukti-bukti yang menguatkan bahwa mitranya
melakukan wanprestasi.Namun anehnya, Pt.Horison malah menganggap bahwa perjanjian
kontrak yang telah mereka buat pada dasarnya tidak sah padahal perjanjian tersebut di lakukan di
hadapan notaris.
Padahal menurut pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus
memenuhi empat syarat yaitu :
1.
Sepakat untuk mengikatkan diri Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang
mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai segala
sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada
pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.Dalam hal ini adalah PT.Horison dan
PT.Arkindo.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat
perjanjian atau mngadakan hubungan hukum.Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa
3.
4.
menyatakan bahwa pihak yang sebenarnya bertanggung jawab adalah dari pemkot Bandung.
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang
dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para
pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan. Pada umumnya perjanjian yang
diatur dalam BW bersifat konsensual.Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah
pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang
dikatakan memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang
menghendaki apa yang disepakati. Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat
sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihakpihak.Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte).Pernyataan pihak yang
menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Jadi pertemuan kehendak dari pihak
yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu
yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian sehingga pemkot Bandung tidak dapat
disalahkan karena yang membuat kerjasama dan mendatangani surat perjanjian adalah dari pihak
PT.Horison sendiri.
Karena dalam kasusu tersebut masing-masing pihak harus menggunakan Teori
penerimaan (Ontvangtheorie). Dimana lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban,
tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat
tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya
kontrak.
Hingga akhirnya pemkot Bandung membatalkan perjanjian kerjasama dengan PT.Horison
dengan beberapa alas an diantaranya:
1.
Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu
2.
BAB III
KESIMPULAN
3.1.
Kesimpulan
Melihat kasus diatas dapat kita simpulkan bahwa dalam membuat suatu perjanjian baik yang
di buat secara resmi (otentik) maupun di bawah tangan harus mengerti secara benar dari teori
Pacta Sund Servanda, dimana perjanjian yang di buata adalah merupakan UU bagi para pihak
yang membuat sehingga masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban
tersebut harus di jalankan dengan baik dan benar sebagai suatu konsekuensi dari kerjasama yang
di buat yaitu dengan memberikan prestasi kepada pihak yang lain.
Tetapi alangkah lebih baiknya jika dalam mengdakan perjanjian mengunakan perjanjian
resmi yang di saksikan oleh notaris, sehingga apabila nantinya terdapat persoalan hukum maka
draft atau surat perjanjian yang telah di sepakati dan di tandatangani tersebut dapat di jadikan
sebagai alat bukti yang paling kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Johannes dkk. Tanpa Tahun. Beberapa hal Tentang Itikad Baik dan Tanggung
Jawab Hukum. Bandung. Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.
Ibrahim, Johannes. 2004. Hukum Bisnis Dalam Persepsi Dunia Modern. Jakarta: PT Refika
Aditama.
Salim.2007. Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUH Perdata. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Saliman, Abdul R & dkk.2004. Esensi Hukum Bisnis Indonesia. Jakarta: Kencana.
Subekti, R. 1984. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.
Winarno. 2011. Kasus wanprestasi terbaru. Dalam Http://winekonom.wordpress.com
(Diakses pada 23 September 2011).