Anda di halaman 1dari 23

1.

Trauma Ginjal
Ginjal terletak di rongga retroperitoneum dan terlindung oleh otot
punggung di sebelah posterior dan oleh organ intraperitonealdi sebelah
anteriornya, karena itu cedera ginjal tidak jarang diikuti oleh cedera organ yang
mengitarinya. Trauma ginjal merupakan trauma terbanyak pada system
urogenitalia. Kurang lebih 10% dari trauma abdomen mengenai ginjal. (2)
Cedera ginjal dapat terjadi secara : (1). Langsung akibat benturan yang
mengenai daerah pinggang atau (2). Tidak langsung : cedera deselerasi akibat
pergerakan ginjal secara tiba-tiba di dalam rongga retroperitonium. Jenis cedera
yang dapat mengenai ginjal dapat merupakan cedera tumpul, luka tusuk atau luka
tembak. Goncangan ginjal di dalam rongga retroperitoneum menyebabkan
regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri
renalis yang memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang selanjutnya dapat
menimbulkan thrombosis arteri renalis beserta cabang-cabangnya. Cedera ginjal
dapat dipermudah jika sebelumnya sudah ada kelainan pada ginjal, seperti
hidronefrosis, kista ginjal atau tumor ginjal.
1.2

Etiologi Trauma Ginjal


Sebagian besar trauma (ruptur) ginjal terjadi akibat trauma tumpul.

Ada 3 penyebab utama dari trauma ginjal, yaitu


a.
b.
c.

Trauma tajam
Trauma iatrogenic
Trauma tumpul
Trauma tajam seperti tembakan dan tikaman merupakan 10 20 %

penyebab trauma pada ginjal di Indonesia.Baik luka tikam atau tusuk pada

abdomen bagian atas atau pinggang maupun luka tembak pada abdomen yang
disertai hematuria merupakan tanda pasti cedera pada ginjal.
Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau
radiologi intervensi, dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography,
percutaneous nephrostomy dan percutaneous lithotripsy. Biopsi ginjal juga dapat
menyebabkan trauma ginjal.
Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak langsung.
Trauma langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja
atau perkelahian. Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga
mengenai organ organ lain. Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian
yang menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam rongga
peritoneum.Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau robekan
tunika intima arteri renalis yang menimbulkan trombosis.
1.3

Klasifikasi Trauma Ginjal


Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal

dibedakan menjadi : (1) Cedera minor, (2). Cedera major, (3). Cedera pada
pedikel atau pembuluh darah ginjal. Pembagian sesuai skala cedera organ ( organ
injury scale) cedera ginjal dibagi dalam 5 derajat sesuai dengan penemuan pada
pemeriksaan pencitraan maupun hasil eksplorasi ginjal. Sebagian besar (85%)
trauma ginjal merupakan cedera minor ( derajat I dan II), 15% termasuk cedera
major ( derajat III dan IV) dan 1% termasuk cedera pedikel ginjal.
Berdasarkan American Association for the surgery of Trauma (AAST), trauma
ginjal terbagi dalam beberapa derajat:

1. Grade 1
Ditandai dengan:
Hematuria dengan pemeriksaan radiologi yang normal
Kontusio
Hematoma subkapsular non-ekspandin.
2. Grade 2
Ditandai dengan:
Hematoma perinefrik non-ekspanding yang terbatas

pada

retroperitoneum
Laserasi kortikal superficial dengan kedalaman kurang dari 1 cm

tanpa adanya trauma pada sistem lain


3. Grade 3
Ditandai dengan:
Laserasi ginjal yang kedalamannya lebih dari 1 cm tidak melibatkan
sistem lainnya.
4. Grade 4
Ditandai dengan:
Laserasi ginjal yang memanjang mencapai ginjal dan sistem lainnya
Melibatkan arteri renalis utama atau vena dengan adanya hemoragik
Infark segmental tanpa disertai laserasi
Hematoma pada subkapsuler yang menekan ginjal
5. Grade 5
Ditandai dengan:
Devaskularisasi ginjal
Avulse ureteropelvis
Laserasi lengkap atau thrombus pada arteri atau vena utama

Gambar 3. Klasifikasi Trauma Ginjal


1.4

Diagnosis

Patut dicurigai adanya cedera pada ginjal jika terdapat : (2)


1. Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah dan perut
bagian atas dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya jejas pada daerah
itu.
2. Hematuri
3. Fraktur costa sebelah bawah (T8-12) atau fraktur prosesus spinosus
vertebra
4. Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang
5. Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan
lalu lintas
Gambaran klinis yang ditunjukkan oleh pasien trauma ginjal sangat
bervariasi tergantung derajat trauma dan ada atau tidaknya trauma pada organ
lain

yang

menyertainya.

Perlu

ditanyakan

mekanisme

cedera

untuk

memperkirakan luas kerusakan yang terjadi. Pada trauma derajat ringan


mungkin hanya didapatkan nyeri

di daerah pinggang, terlihat jejas berupa

ekimosis, dan terdapat hematuria makroskopis ataupun mikroskopis. Pada


trauma major atau rupture pedikel seringkali pasien datang dalam keadaaan syok
berat dan terdapat hematoma di daerah pinggang yang makin lama makin
membesar. Dalam keadaan ini mungkin pasien tidak sempat menjalani
pemeriksaan IVU karena usaha untuk memperbaiki hemodinamik seringkali
tidak membuahkan hasil akibat perdarahan yang keluar dari ginjal cukup deras.
Untuk itu harus segera dilakuakan eksplorasi laparatomi untuk menghentikan
perdarahan.

Pada pemeriksaan radiologis dapat ditemukan :


Grade I

Hematom minor di perinephric, pada IVP, dapat memperlihatkan gambaran

ginjal yang abnomal


Kontusi dapat terlihat sebagai massa yang normal ataupun tidak
Laserasi minor korteks ginjal dapat dikenali sebagai dfek linear pada parenkim

atau terlihat mirip dengan kontusi ginjal


Yang lebih penting, pencitraan IVP pada pasien trauma ginjal grade I dapat
menunjukkan gambaran ginjal normal. Hal ini tidak terlalu menimbulkan
masalah karena penderit grade I memang tidak memerlukan tindakan operasi .
Pada CT Scan, daerah yang mengalami kontusi terlihat seperti massa cairan

diantara parenkim ginjal


Grade II

Pada IVP dapat terlihat extravasasi kontras dari daerah yang mengalami

laserasi
Extravasasi tersebut bisa hanya terbatas pada sinus renalis atau meluas
sampai ke daerah perinefron atau bahkan sampai ke anterior atau posterior

paranefron.
Yang khas adalah, batas ;uar ginjal terlihat kabur atau lebih lebar.
Dengan pemeriksaan CT Scan , fraktur parenkim ginjal dapat terlihats
Akumulasi masif dari kontras, terutama pada medial daerah perinefron,
dengan parenkim ginjal yang masih intak dan nonvisualized ureter,
merupakan duggan kuat terjadinya avulsi ureteropelvic junction

Grade III

Secara klinis pasien dalam kadaan yang tidak stabil. Kdang kadang dapat
terjadi shock dan sering teraba massa pada daerah flank.dapt diertai dengan
hematuria.

Bila pasien sudah cukup stabil, dapat dilakukan pemeriksaan IVP, dimana

terlihat gangguan fungsi ekskresi baik parsial maupun total


Ada 2 tipe lesi pada pelvis renalis yaitu trombosis A.Renalis dan avulsi A.

Renalis. Angiografi dapat memperlihtkan gambaran oklusi A.Renalis.


Viabilitas dari fragmen ginjal dapat dilihat secara angiografi. Arteriografi
memperlihatkan 2 fragmen ginjal yang terpisah cukup jauh.fragmen yang
viabel akan terlihat homogen karena masih mendapat perfusi cukup baik.
Fragmen diantaranya berarti merupaka fragmen yang sudah tidak viable
lagi.

Grade IV

Grade IV meliputi avulsi dari ureteropelvic junction.


Baik IVP maupun CT Scan memeperlihatkan adanya akumulasi kontras pada

derah perinefron tanpa pengisian ureter.


1.5
Manajemen Trauma ginjal
Pada setiap trauma tajam yang diduga mengenai ginjal harus dipikirkan
untuk melakukan tindakan eksplorasi, tetapi pada trauma tumpul, sebagian besar
tidak memerlukan operasi. Terapi yang dikerjakan pada trauma ginjal adalah :
1.5.1

Konservatif

Tindakan konservatif ditujukan pada trauma minor. Pada keadaan ini


dilakukan observasi tanda vital ( tensi, nadi, suhu, pernapasan), kemungkinan
adanya penambahan massa di pinggang, adanya pembesaran lingkar peut,
penurunan kadar hemoglobin, dan perubahan warna urine pada pemeriksaan
urin serial.
Jika selama observasi didapatkan adanya tanda-tanda perdarahan atau
kebocoran urin yang menimbulkan infeksi, harus segera dilakukan tindakan
operasi.

OBSERVASI
Didapatkan
Tanda vital
Massa di pinggang
Hb
Urin > pekat

Tanda perdarahan > hebat

Suhu tubuh
Massa dipinggang

Tanda dari kebocoran urin

Segera eksplorasi utk menghentikan perdarahan. Drainase urin segera.

1.5.2

Operasi
Operasi ditujukan pada trauma ginjal major dengan tujuan untuk segera

menghentikan perdarahan. Selanjutnya mungkin perlu dilakukan debridement,


reparasi ginjal ( berupa renorafi atau penyambungan vaskuler) atau tidak
jarangharus dilakukan nefrektomi parsial bahkan total karena kerusakan yang
berat.
1.5.3

Penyulit
Jika tidak mendapatkan perawatan yang cepat dan tepat, trauma major dan

trauma pedikelsering menimbulkan perdarahan yang hebat dan berakhir dengan


kematian. Selain itu kebocoran system kaliks dapat menimbulkan ekstravasasi
urin sehingga menimbulkan urinoma,

abses perirenal, urosepsis dan kadang

menimbulkan fistula reno-kutan. Di kemudian hari pasca cedera ginjal dapat

menimbulkan penyulit berupa

hipertensi, hidronefrosis, urolithiasis, atau

pielonefritis kronis.
2. TRAUMA URETER
Cedera ureter sangat jarang dijumpai dan merupakan 1% dari seluruh
cedera traktus urogenitalia. Cedera yang dapat terjadi pada ureter dapat terjadi
karena trauma dari luar, yaitu trauma tumpul maupun trauma tajam, ataupun
trauma iatrogenik..
2.1 Etiologi
Massa pada daerah pelvis (keganasan) dapat pula menyebabkan perubahan
posisi ureter kearah lateral dan hal tersebut dapat menyebabkan trauma pada
ureter dikarenakan malposisi selama diseksi. Karsinoma kolon dapat menginvasi
area diluar dinding kolon termasuk ureter. Devaskularisasi dapat terjadi akibat
diseksi limfonuduli daerah pelvis atau setelah radioterapi kanker pelvis. Pada
situasi ini, fibrosis dan striktur pada ureter dapat terjadi bersamaan dengan
ureteral fistula. Manipulasi endoskopik dari kalkulus ureter dengan suatu stone
basket atau ureteroskop dapat menyebabkan perforasi atau avulsi dari ureter.
2.2 Patogenesis
Ureter dapat saja terligasi dan terpotong tanpa disengaja pada pembedahan
pelvis yang sulit. Pada beberapa kasus, sepsis dan kerusakan ginjal yang parah
dapat terjadi setelah operasi. Ekstravasasi urine dapat terjadi pada beberapa
operasi yang dapat mencetuskan fistula ureterovaginal atau ureterokutan. Dapat
juga terjadi ekstravasasi intraperitoneal, sehingga menyebabkan ileus dan
peritonitis. Setelah transeksi parsial ureter, terjadi stenosis dan fibrosis reaktif.
2.3 Diagnosis
2.3.1 Kecurigaan ke arah trauma ureter didapatkan pada:

Hematuria pasca trauma


Pada trauma iatrogenik, yaitu:
Saat operasi

Pasca bedah

Lapangan operasi banyak cairan


Hematuria
Anuria/oligouri jika cedera bilateral
Demam
Ileus
Nyeri pinggang akibat obstruksi
Luka operasi selalu basah
Sampai beberapa hari cairan drainase jernih dan
banyak
Hematuria persisten dan hematoma /urinoma di
abdomen
Fistula ureterokutan/fistula urerovagina

Penunjang; pemberian zat warna yang diekskresikan lewat urin jika diduga
terdapat kebocoran urin melalui pipa drainase pasca bedah, pemeriksaan
ureum dan kreatinin yang diambil dari pipa drainase, pemeriksaan IVU
(ekstravasasi kontras ato kontras berhentidi daerah lesi atau terdapat deviasi
ureter ke lateral karena hemangioma / urinoma, atau hidro-uretronefrosis pada
cidera lama).
2.3.2 Pemeriksaan Radiologis
a. Foto polos abdomen dapat memperlihatkan peningatan densitas yang luas
pada daerah pelvis atau pada area retroperitonium dimana jejas dicurigai.
b. Setelah pemberian kontras, dapat diketahui tempat ekstravasi dan sumber
jejas.
c. Pada cedera akut akibat kekerasan eksternal, uretrogram dapat
memperlihatkan hasil yang normal.
d. Dengan uretrografi retrograde dapat membantu mengetahui secara pasti
obstruksi atau ekstravasasi.
2.4 Tatalaksana

Tindakan yang dilakukan berganting pada saat cidera terdiagnosis, keadaan


umum pasien, letak dan derajat lesi ureter. Tindakan yang dilakukan sedii
mungkin:

Anastomosis end to end. Cara ini dapat dilakukan jika tidak ada
tegangan (tension) di kedua ujung proximal dan distal pada saat
ditegangkan.

Inplantasi ureter ke buli-buli (neoimplantasi ureter pada buli-buli, flap


Boari, atau Psoas hitch)

10

Fig. Flap Boari

Uretro-kutaneustomi, yaitu menghubungkan ujung akhir ureter

dengandunia luar, melalui lubang di kulit (stoma)


Transuretro-ureterotomi

Nefrostomi (tindakan diversi)


Nefrektomi (pengangkatan ginjal

3. TRAUMA BULI-BULI
Semakin bertambahnya usia, kejadian trauma buli-buli menurun karena
letak buli-buli yang turun dari rongga abdomen ke rongga pelvis. Angka kejadian
trauma buli kurang lebih 2% dari seluruh trauma pada sistem urogenitalia. (2)
3.1 Etiologi
a. Kurang lebih 90% trauma buli-buli adalah akibat fraktur pelvis. Fiksasi
buli-buli pada daerah tulang pelvis oleh facia endopelvik dan diafragma
pelvis sangat kuat sehingga cedera deselerasi terutama jika titik fiksasi
fasiabergerak pada arah berlawanan (seperti pada fraktur pelvis), dapat
merobek buli-buli.

11

b. Pada keadaan buli-buli terisi penuh urin, buli-buli mudah ruptur jika
mendapat tekanan dari luarberupa benturan pada perut sebelah bawah.
Buli-buli akan ruptur pada bagian fundus dan menyebabkan ekstravasasi
urin ke rongga intraperitoneum.
c. Tindakan endoneurogi dapat menyebabkantrauma buli-buli iatrogenik
antara lain pada reseksi buli-buli transuretral (TUR buli-buli) atau pada
litotripsi.
d. Tindakan opresi di daerak pelvis
e. Ruptur spontan; biasanya terjadi jika didahului oleh kelainan dinding bulibuli. Infeksi tuberkulosis, tumor buli-buli, atau obstruksi intravesikal
kronis menyebabkan perubahan struktur otot buli-buli yang melemahkan
dinding buli-buli. Pada keadaan itu bisa terjadi ruptura buli-buli spontanea.

3.2 Klasifikasi
Kontusio buli-buli
Hanya terdapat memar pada

Cedera ekstraperitoneal
Terjadi kurang lebih 45-60%

Cedera intraperitoneal
Terjadi kurang lebih 25-45%

dinding,

terdapat

dari seluruh trauma buli-buli.

dari seluruh trauma buli-buli.

hematoma perivesikel, tetapi

Tidak jarang terjadi bersamaan

Terjadi

pengaliran

urin

tidak didapatkan ekstravasasi

dengan

rongga

peritoneal

sehingga

urin ke luar buli-buli

intraperitoneal

mungkin

cedera

buli

ke

menyebabkan inflamasi bahkan


infeksi (peritonitis)

3.3 Diagnosis
Setelah mengalami cedera pada abdomen sebelah bawah, pasien mengeluh
nyeri didaerah suprasimfisis, miksi bercampur darah atau mungkin pasien tidak
dapat miksi. Gambaran klinis yang lain tergantung pada etiologi trauma, bagian

12

buli-buli yang mengalami cedera yaitu intra/ekstraperitoneal, adanya organ lain


yang mengalami cedera, serta penyulit yang terjadi akibat trauma. Dalam hal ini
mungkin didapatkan tanda fraktur pelvis, syok, hematoma perivesika, atau tanpa
tanda sepsis dari suatu peritonitis atau abses perivesika.
Pemeriksaan pencitraan berupa sistografi yaitu dengan memasukkan
kontras kedalam buli-buli sebanyak 300-400 ml secara gravitasi (tanpa tekanan)
melalui kateter per-uretram. Kemudian dibuat beberapa foto, yaitu (1) foto pada
saat buli-buli terisi kontras dalam posisi anterior-posterior (AP), (2) pada posisi
oblik, dan (3) wash out film yaitu foto setelah kontras dikeluarkan dari buli-buli.

3.4 Terapi
Kotusio buli-buli
Pemasangan
kateter

Cidera intraperitoneal
Eksplorasi
laparotomi

Cidera ekstraperitoneal
Robekan
sederhana

memberi waktu istirahat pada

mencari robekan pada buli-buli,

pemasangan kateter selama 7-10

buli-buli,

serta kemugkinan cidera pada

hari, sebagian ahli menganjurkan

organ

penjahitan

diharapkan

setelah 7-10 hari.

pulih

lain.

Rongga

buli-buli

dengan

intraperitoneum dicuci, robekan

pemasangan kateter sistostomi.

pada

Tanpa

buli

dijahit

lapis,kemudian
kateter
dilewatkan

dipasang

sistostomi
di

luar

yang
sayatan

pembedahan,

kejadian

kegagalanpenyembuhan

luka

kurang

dan

lebih

kemungkinan

15%

untuk

13

terjadinya

laparotomi.

infeksi pada rongga perivesika


sebesar 12%.
Jika terjadi bersamaan dengan
cedera

organ

lain,

sebaiknya

dilakukanpenjahitan buli-buli dan


pemasangan kateter sistostomi.

Untuk memastikan bahwa buli-buli telah sembuh, sebelum melepas kateter


uretra atau kateter sistostomi, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan sistografi
guna melihat kemungkinan masih adanya ekstravasasi urin. Sistografi dibuat pada
hari ke 10-14 pasca trauma. Jika masih ada ekstravasasi kateter sistostomi
dipertahankan sampai 3 minggu.
3.5 Penyulit
Pada cedera buli-buli ekstraperitoneal, ekstravasasi urin ke rongga pelvis
yang dibiarkan dalam waktu lama dapat menyebabkan infeksi dan abses pelvis.
Yang lebih berat lagi adalah robekan buli-buli intraperitoneal, jika tidak segera
dilakukan operasi, dapat menimbulkan peritonitis akibat dari ekstravasasi urin
pada rongga intraperitoneum. Kedua keadaan itu dapat menyebabkan sepsis yang
dapat mengancam jiwa.
4. TRAUMA URETRA
Secara klinis trauma uretra dibedakan menjadi trauma uretra anterior dan
trauma uretra posterior, hal ini karena keduanya menunjukkan perbedaan dalam
hal etiologi trauma, tanda klinis, pengelolaan, serta prognosisnya.
4.1 Etiologi
Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal) dan
cedera iatrogenic akibat instrumentasi pada uretra. Trauma tumpul tang
menimbulkan

fraktur

tulang

pelvis

menyebabkan

rupture

uretra

pars

14

membranasea, sedangkan trauma tumpul pada selangkangan atau straddle injury


dapat menyebabkan rupture uretra pars bulbosa.
4.2 Gambaran klinis
Kecurigaan adanya trauma uretra adalah jika didapatkan perdarahan peruretram yaitu terdapat darah yang keluar dari meatus uretra eksternum setelah
mengalami trauma. Pada trauma uretra yang berat, seringkali pasien mengalami
retensi urin. Pada keadaan ini tidak diperbolehkan melakukan pemasangan kateter,
karena dapat menyebabkan kerusakan uretra yang lebih parah.
Diagnosis ditegakkan melalui foto uretrografi dengan memasukkan
kontras melalui uretra, guna mengetahui adanya rupture uretra.

4.3 Ruptura Uretra Posterior

15

Rupture uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang


pelvis. Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan
kerusakan pada cincin pelvis, menyebabkan robekan uretra pars prostatemembranasea.
4.3.1

Klasifikasi
Colapinto dan McCollum (1976) membagi derjat cedera uretra dalam 3

jenis :
-

Tipe I : Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching


(peregangan). Foto uretrogram tidak menunjukkan adanya ekstravasasi, dan

uretra hanya tampak memanjang.


Tipe II : Uretra posterior terputus pada perbatasan prostato-membranacea,
sedangkan diafragma urogenitalia masih utuh. Foto uretrogram menunjukkan

ekstravasasi kontras yang masih terbatas di atas diafragma urogenitalis.


Tipe III : Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa
sebelah proksimal ikut rusak. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi

kontras meluas hingga di bawah diafragma urogenitalia sampai ke perineum.


4.3.2 Diagnosis
Rupture uretra posterior seringkali memberikan gambaran yang khas
berupa: (1) perdarahan per-uretram, (2) retensi urin, dan (3) pada pemeriksaan
colok dubur didapatkan adanya floating prostate (prostat melayang) di dalam
suatu hematom. Pada pemeriksaan uretrografi retrigrad mungkin terdapat elongasi
uretra atau ekstravasasi kontra pada pars prostate-membranasea.
4.3.3

Tindakan
Ruptura uretra posterior biasanya diikuti oleh trauma mayor pada organ

lain (abdomen dan fraktur pelvis) dengan disertai ancaman jiwa berupa
perdarahan. Oleh karena itu sebaiknya di bidang urologi tidak perlu melakukan

16

tindakan yang invasif pada uretra. Tindakan yang berlebihan akan menyebabkan
timbulnya perdarahan yang lebih banyak pada kavum pelvis dan prostat serta
menambah kerusakan pada uretra dan struktur neovaskuler di sekitarnya.
Kerusakan neurovaskuler menambah kemungkinan terjadinya disfungsi ereksi dan
inkontinensia.
Pada keadaan akut tindakan yang dilakukan adalah melakukan sistostomi
untuk diversi urin. Setelah keadaan stabil sebagian ahli urologi melakukan
primary endoscopic realignment yaitu melakukan pemasangan kateter uretra
sebagai splint melalui tuntunan uretroskopi. Dengan cara ini diharapkan kedua
ujung uretra yang terpisah dapat saling didekatkan. Tindakan ini dilakukan
sebelum 1 minggu pasca rupture dan kateter uretra dipertahankan selama 14 hari.
Sebagian ahli lain mengerjakan reparasi uretra (uretoplasti) setelah 3 bulan
pasca trauma dengan asumsi bahwa jaringan parut pada uretra telah stabil dan
matang sehingga tindakan rekonstruksi membuahkan hasil yang lebih baik.
4.3.4

Penyulit
Penyulit yang terjadi pada rupture uretra adalah striktura uretra yang

seringkali kambuh, disfungsi ereksi, dan inkontinensia urin. Disfungsi ereksi


terjadi pada 13-30% kasus disebabkan karena kerusakan saraf parasimpatik atau
terjadinya insufisiensi arteria. Inkontinensia urine lebih jarang terjadi, yaitu 2-4%
yang disebabkan karena kerusakan sfingter uretra eksterna.
Setelah rekonstruksi uretra seringkali masih timbul striktura (12-15%)
yang dapat diatasi dengan uretrotomia interna (sachse). Meskipun masih bisa
kambuh kembali, striktura ini biasanya tidak memerlukan tindakan uretoplasti
ulangan.

17

4.4 Rupture Uretra Anterior


Cedera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan uretra anterior
adalah straddle injury (cedera selangkangan) yaitu uretra terjepit diantara tulang
pelvis dan benda tumpul. Jenis kerusakan urerta yang terjadi berupa: kontusio
dinding uretra, rupture parsial, atau rupture total dinding uretra.\
4.4.1

Patologi
Jika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urin

keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat
hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fasia Buck ikut robek,
ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah dapat
menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Oleh karena itu robekan ini
memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma
atau hematoma kupu-kupu.
4.4.2

Diagnosis
Pada kontusio uretra, pasien mengeluh adanya perdarahan per-uretram

atau hematuria. Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya
hematom pada penis atau hematoma kupu-kupu. Pada keadaan ini seringkali
pasien tidak dapat miksi.
Pemeriksaan uretrogafi retrograd pada kontusio uretra tidak menunjukkan
adanya ekstravasasi kontras, sedangkan pada ruptur uretra menunjukkan adanya
ekstravasasi kontras di pars bulbosa.
4.4.3

Tindakan
Kontusio uretra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera

ini dapat menimbulkan penyulit striktura uretra dikemudian hari, maka setelah 4

18

6 bulan perlu dilakukan pemeriksaan uretrografi ulangan. Pada rupture uretra


parsial dengan ekstravasasi ringan, cukup

dilakukan sistostomi untuk

mengalihkan aliran urin. Kateter sistostomi dipertahankan sampai 2 minggu, dan


dilepas setelah diyakinkan melalui pemeriksaan uretrografi bahwa sudah tidak
ada ekstravasasi kontras atau tidak timbul striktura uretra. Namun jika timbul
striktura uretra, dilakukan reparasi uretra atau sachse.
Tidak jarang ruptur uretra anterior disertai dengan ekstravasasi urine dan
hematom yang luas sehingga diperlukan debridement dan insisi hematoma untuk
mencegah infeksi. Reparasi uretra dilakukan setelah luka menjadi lebih baik.
5. TRAUMA PENIS
Trauma yang mencederai penis dapat berupa trauma tumpul, truma tajam,
terkena mesin pabrik, rupture tunika albuginea, atau strangulasi penis.
Pada trauma tumpul atau terkena mesin, jika tidak terjadi amputasi total,
penis cukup dibersihkan dan dilakukan penjahitan primer. Jika terjadi amputasi
penis total dan bagian distal dapat diidentifikasi, dianjurkan dicuci dengan larutan
faram fisiologis kemudian disimpan didalam kantung es, dan dikirim ke pusat
rujukan. Jika masih mungkin dilakukan replantasi (penyambungan) secara
mikroskopik.

19

6. Fraktur Penis
Fraktur penis adalah rupture tunika albuenia korpus kavernosum penis
yang terjadi pada saat penis dalam keadan ereksi. Rupture ini dapat disebabkan
karena dibengkokkan sendiri oleh pasien pada saat masturbasi, dibengkokkan oleh
pasangannya, atau tertekuk secara tidak sengaja pada saat hubungan seksual.
Akibat tertekuk ini, penis menjadi bengkok (angulasi) dan timbul hematoma pada
penis dengan disertai nyeri.
Untuk mengetahui letak rupture, pasien perlu menjalani pemeriksaan foto
kavernosografi yaitu memasukkan kontras kedalam korpus kavernosum dan
kemudian diperhatikan adanya ekstravasasi kontras keluar dari tunika albugenia.

6.1 Tindakan
Eksplorasi rupture dengan sayatan sirkuminisi, kemudian dilakukan
evakuasi hematoma. Selanjutnya dilakukan penjahitan pada robekan tunika
albugenia.
7. Strangulasi Penis
Strangulasi penis adalah jeratan pada pangkal penis yang menyebabkan
gangguan aliran darah pada penis. Gangguan aliran darah ini mengakibatkan penis
menjadi iskemia dan edema yang jika dibiarkan akan menjadi nekrosis. Jeratan
pada penis harus segera ditanggulangi dengan melepaskan cincin atau penjerat
yang melingkar pada penis.
20

Beberapa cara untuk melepaskan cincin yang menjerat batang penis adalah
(1) memotong logam itu dengan gerinda atau gergaji listrik, (2) melingkarkan tali
pada penis pada sebelah distal logam dan kemudian melepaskannya perlahanlahan, atau (3) melakukan insisi pada penis yang telah mengalami edema dengan
tujuan membuang cairan (edema0 sehingga logam dapat dikeluarkan.

8. Trauma genitalia eksterna


Trauma yang dapat terjadi pada trauma genitalia eksterna adalah avulsi,
crushing, luka tajam, luka tumpul, atau luka bakar.
8.1 Avulsi
Avulse adalah kehilangan sebagian atau seluruh dinding skrotum.
Pertolongan pertama adalah memberikan analgetika, sedative, serta transquiliser
untuk menenangkan pasien. Kemudian dilakukan pencucian luka dari debris dan
rambut yang menempel dengan melakukan irigasi memakai air bersi dan kalau
tersedia dengan garam fisiologis. Dilakukan debridement jaringan yang
mengalami nekrosis, tetapi diusahakan sedapat mungkin jangan terlalu banyak
membuang kulit skrotum yang masih hidup karena skrotum penting untuk
membungkus testis.

21

Jika kulit skrotum yang tersisa tidak cukup untuk membungkus testis,
dianjrkan membuat kantong di paha atau di inguinal guna meletakkan testis.

22

DAFTAR PUSTAKA

Purnomo, BP. Dasar-dasar Urologi: Trauma Urogenitalia. Edisi Kedua. Jakarta.


CV Sagung Seto. Hal 93-104.
Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke dua. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

23

Anda mungkin juga menyukai