Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR COLLUM FEMUR


A. Anatomi
Kaput femur mendapat aliran darah dari tiga sumber utama, yaitu arteri
sirkumfleksia femoralis medialis, arteri sirkumfleksa femoralis lateralis, dan
arteri abturator. Pada usia dewasa, arteri abturator menyuplai sedikit aliran darah
ke kaput femur melalui ligamentum teres. Arteri sirkumfleksa femoralis lateralis
menghidupi arteri metafisis inferior melalui cabang ascendens dan menyuplai
sebagian besar aspek inferoanterior kaput femur (FKUI-RSCM, 2008).

Gambar 1. Tulang femur


Konstributor terbesar aliran darah ke kaput femur, khususnya di aspek
superolateral adalah arteri sirkumfleksa femoralis medialis. Kompleks arteri
epifiseal lateralis berasal dari arteri sirkumfleksa femoralis medialis dan berjalan
sepanjang aspek posteorosuperior kolum femur sebelum menyuplai kaput femur.
Cabang cabang terminal ini terletak intrakapsuler sehingga disrupsi atau
distorsinya akibat pergeseran fraktur kolum femur berperan terhadap terjadinya
osteonekrosis (FKUI-RSCM, 2008 ).

Gambar 2. Tulang kolum femur


B. Pengertian
Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang
disebabkan oleh kekerasan (E. Oerswari, 2009). Fraktur femur adalah rusaknya
kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung,
kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang/osteoporosis
(Long, 2005). Sedangkan fraktur kolum femur merupakan fraktur intrakapsular
yang terjadi pada bagian proksimal femur, yang termasuk kolum femur adalah
mulai dari bagian distal permukaan kaput femoris sampai dengan bagian
proksimal dari intertrokanter.
Fraktur kolum femur adalah fraktur intrakapsuler yang terjadi di femur proksimal
pada daerah yang berawal dari distal permukaan artikuler caput femur hingga
berakhir di proksimal daerah intertrokanter (FKUI-RSCM, 2008).

Gambar 3. Fraktur kolum femur


C. Epidimiologi
Berdasarkan survei pada tahun 1994 insiden fraktur kolum femur berdasarkan
usia di Amerika Serikat adalah 63, 3 per 100.000 orang per tahun pada wanita
dan 27, 7 pada laki laki. Namun fraktur ini pada dewasa muda relatif jarang
terjadi. Sedangkan insidennya tahun 2007 di RSCM pada wanita di atas 50 tahun
adalah 0,13 % atau 127 per 100.000 orang dan laki laki 0,21 % atau per
100.000 orang. Frekuensi terjadinya fraktur kolum femur setara dengan fraktur
intertrokanter (FKUI-RSCM, 2008).
D. Etiologi
Fraktur collum femur sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan lebih sering
pada wanita yang disebabkan oleh kerapuhan tulang akibat kombinasi proses
penuaan dan osteoporosis pasca menopause. Fraktur collum femur dapat
disebabkan oleh trauma langsung, yaitu misalnya penderita jatuh dengan posisi
miring dimana daerah trochanter mayor langsung terbentur dengan benda keras

(jalanan) ataupun disebabkan oleh trauma tidak langsung, yaitu karena gerakan
exorotasi yang mendadak dari tungkai bawah.
Penyebab fraktur secara umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Cedera traumatik
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba tiba dan
berlebihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran,
penekukan atau terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan.
Cedera traumatik pada tulang dapat dibedakan dalam hal berikut, yakni:
a. Cedera langsung, berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur
melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
b. Cedera tidak langsung, berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan.
2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini, kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit akibat
berbagai keadaan berikut, yakni:
a. Tumor tulang (jinak atau ganas), dimana berupa pertumbuhan jaringan
baru yang tidak terkendali dan progresif.
b. Infeksi, misalnya osteomielitis, yang dapat terjadi sebagai akibat infeksi
akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif,
c. Rakhitis, merupakan suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh
defisiensi vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet,
biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat
disebabkan kegagalan absorbsi vitamin D atau oleh karena asupan
kalsium atau fosfat yang rendah.
d. Secara spontan, dimana disebabkan oleh stress atau tegangan atau
tekanan pada tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio
dan orang yang bertugas di bidang kemiliteran.
E. Mekanisme cedera
Fraktur kolum femur dapat disebabkan baik karena energi rendah maupun energi
tinggi. Fraktur ini pada umumnya terjadi pada pasien usia lanut akibat trauma
energi rendah, seperti jatuh pada saat berdiri. Menurut frankel, fraktur kolum
femur terjadi akibat gaya asial melebihi gaya bending. Gangguan dinamika otot
dapat meningkatkan risiko fraktur kolum femur pada usia lanut. Energi akibat
jatuh akan terserap oleh otot pada pasien usia muda, namun tidak adapat diserap
dengan baik oleh otot yang lemah pada psien usia lanjut. Mekanisme lainnya
adalah akibat gaya yang berlebihan kontraksi otot pada tulang saat upaya
mendapatkan kestabilan setelah jatuh. Mekanisme lain yang juga bisa

menyebabkan fraktur adalah akibat jatuh mengenai panggul sehingga gaya


langsung mengenai trokanter mayor menimbulkan gaya aksial sepanjang kolum
femur dan menyebabkan fraktur impaksi (FKUI-RSCM, 2008 )
Beberapa peneliti menduga bahwa ekstremitas bawah dalam posisi rotasi
eksterna saat jatuh. Saat rotasi eksterna yang ekstrim kolum femur menekan bibir
acetabulum posterior, dan berlaku seperti fulcrum sehingga konsentrasi tekanan
terjadi pada daerah ini. Kombinasi gaya aksial dan rotasi menimbulkan fraktur.
Mekanisme ini dapat menerangkan bahwa kominusi kolum femur posterior pada
fraktur ini (Swiontkowski, 2008 ).
F. Klasifikasi
Klasifikasi kolum femur menurut anatomis dapat dibagi tiga. Fraktur kolum
femur terbagi menjadi tiga tipe yaitu subkapital, trans atau mid-servikal, dan
basicervikal. Tipe yang paling sering adalah subkapital pada pasien lanjut usia
dan basicervikal pada pasien dewasa muda (Greenspan, 2000).
Klasifikasi fraktur femur menurut Garden berdasarkan pengerasan fraktur dapat
dibagi menjadi empat derajat yaitu (Greenspan, 2000) :
Derajat 1
: Fraktur inkomplit impaksi kolum femur.
Derajat 2
: Fraktur komplit tidak bergeser.
Derajat 3
: Fraktur komplit dengan pergeseran moderat.
Derajat 4
: Fraktur bergeser total.
Staging Garden fraktur kolum femur subkapital adalah :
Stage I : imkomplit (abduksi atau impaksi). Sudut trabekula medial antara
kaput femur dan kolum femur > 180 derajat.
Stage II : komplit tampa pergeseran. Sudut trabekula medial antara kaput
femur dan kolum femur 180 derajat.
Stage III: komplit dengan pergeseran parsial. Trabekula medial kaput femur
tidak segaris dengan trabekula pelvis.
Stage IV : komplit, pergeseran total. Trabekula medial kaput segaris dengan
trabekula pelvis.
Meskipun klasifikasi ini memiliki keterbatasan, namun sering dipakai untuk
fraktur kolum femur pada pasien lanut usia.
G. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala yang terdapat pada pasien dengan fraktur femur menurut Black
(2003), yakni:
1. Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya. Perubahan keseimbangan dan kontur terjadi, seperti:
a. rotasi pemendekan tulang;
b. penekanan tulang.

2. Bengkak (edema)
Bengkak muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravasasi darah dalam
3.
4.
5.
6.

jaringan yang berdekatan dengan fraktur.


Ekimosis dari perdarahan subculaneous
Spasme otot (spasme involunters dekat fraktur)
Tenderness
Nyeri
Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot, perpindahan tulang dari

tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.


7. Kehilangan sensasi
8. Pergerakan abnormal
9. Syok hipovolemik
10. Krepitasi
Pada penderita muda ditemukan riwayat mengalami kecelakaan berat namun
pada penderita usia tua biasanya hanya dengan trauma ringan sudah dapat
menyebabkan fraktur collum femur. Penderita tidak dapat berdiri karena rasa
sakit sekali pada pada panggul. Posisi panggul dalam keadaan fleksi dan
eksorotasi. Didapatkan juga adanya pemendekakan dari tungkai yang cedera.
Tungkai dalam posisi abduksi dan fleksi serta eksorotasi.pada palpasi sering
ditemukan adanya hematom di panggul. Pada tipe impacted, biasanya penderita
masih dapat berjalan disertai rasa sakit yang tidak begitu hebat. Posisi tungkai
tetap dalam keadaan posisi netral.
Pada pemeriksaan fisik, fraktur kolum femur dengan pergeseran akan
menyebabkan deformitas yaitu terjadi pemendekan serta rotasi eksternal
sedangkan pada fraktur tanpa pergeseran deformitas tidak jelas terlihat. Tanpa
memperhatikan jumlah pergeseran fraktur yang terjadi, kebanyakan pasien akan
mengeluhkan nyeri bila mendapat pembebanan, nyeri tekan di inguinal dan nyeri
bila pinggul digerakkan

H. Pemeriksaan klinis
Status umum pada pasien fraktur kolum femur bisanya tidak dapat berdiri atau
berjalan pada saat baru cidera. Pada pasien usia lanjut yang hidup sendiri,
mungkin sudah menderita frakturnya beberapa jam atau beberapa hari sebelum
mereka mendapat evaluasi medis, sehingga dapat jatuh pada kondisi dehidrasi,
kekurangan nutrisi, dan kesadaran yang menurun (Koval et. All, 2004 ).
Status lokalis pada spek inspeksi (look) tergantung pada derajat pergeseran dan
kominusi fraktur. Fraktur yang tidak bergeser secara klinis tidak menunjukkan

deformitas. Sebaliknya, fraktur yang kominutif dan bergeser menunjukkan


ekstremitas bawah memendek dan rotasi eksterna. Bila pasiennya lanjut usia,
penilaian adanya dekubitus pada sakrum atau tumit. Aspek raba (feel) biasanya
jarang terjadi cidera neorovaskular. Namun evalusi menyeluruh harus dilakukan.
Sebagai contoh, bila pasien menderita penyakit vaskuler perifer atau neoropati
perifer, maka memerlukan pemntauan kulit dan menghindari tekanan yang
berlebihan pada saat melakukan reduksi. Aspek pemeriksaan gerak (move)
menunjukan limitasi gerakan pada sendi panggul (Koval et. All, 2004).
I. Pemeriksaan Penunjang.
Pemeriksaan sinar X yang diminta adalah pelvis dan panggul AP dan femur
proksimal cross-table lateral. Jika fraktur tidak terlihat jelas, proyeksi panggul
AP dilakukan dengan traksi aksial dan internal rotasi panggul. Jika penilaian
dengan sinar X tidak menunjukkan abnormalitas, namun terdapat kecurigaan
fraktur kolum femur (nyeri panggul pada saat pergerakan atau diberi gaya
aksial), maka dapat dimintakan pemeriksaan MRI. Pemeriksaan ini untuk
mengetahui adanya fraktur kolum femur yang occult. Pemeriksaan sinar X lain
juga perlu dilakukan pada derah yang ekimosis, nyeri atau bengkak untuk
menyingkirkan cidera penyerta. Radigrafi dada diminta bila terapi pembedahan
direncanakan (Koval et. all, 2004).
Evalusi diagnostik lainnya meliputi

elektrokardiogram,

urinalisis

dan

pemeriksaan darah, seperti darah lengkap, kadar elektrolit, dan profil koagulasi
(masa protrombin dan tromboplastin parsial). Pemeriksaan skrining juga sebagai
antisipasi tindakan operasi. Adanya dehidrasi dan anemia akibat perdarahan
fraktur intrakapsuler atau asupan nutrisi tidak adekuat dapat dikomfirmasi
dengan

pemeriksaan

darah

tersebut.

Pada

pasien

dengan

penyakit

kardiopulmoner, debilitasi fungsional atau demensia, analisi gas darah perlu


dilakukan,. Pada pasien usia lanjut, penyakit kardiopulmoner merupakan
determinan utama apakah pasien mampu tirah baring lama, menjalani operasi dan
mengikuti program rehabilitasi (Koval et. all, 2004).

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


PADA KASUS FRAKTUR COLLUN FEMUR
A. Pengkajian
Pengkajian yang perlu dilakukan pada klien dengan fraktur femur diantaranya
adalah:
1. Identitas pasien
Identitas ini meliputi nama, usia, TTL, jenis kelamin, alamat, pekerjaan,
suku bangsa, dan pendidikan.
2. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
memperberat dan faktor yang memperingan/ mengurangi nyeri
b. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa
sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien.
Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa
diketahui luka kecelakaan yang lain

4. Riwayat kesehatan masa lalu


Pada riwayat kesehatan masa lalu, perlu ditanyakan apakah pasien pernah
menderita penyakit infeksi tulang ataupun osteoporosis. Hal ini merupakan
informasi yang penting dalam penanganan fraktur femur pada klien
5. Riwayat kesehatan keluarga
Hal ini mencakup riwayat ekonomi keluarga, riwayat sosial keluarga, sistem
dukungan keluarga, dan pengambilan keputusan dalam keluarga.

6. Pola-Pola Fungsi Kesehatan


a. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakadekuatan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan
untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang
dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang
bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan
olahraga atau tidak
b. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi
klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal
dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama
kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang
merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada
lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
c. Pola Eliminasi
Untuk kasus multiple fraktur, misalnya fraktur humerus dan fraktur tibia
tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga
dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi

alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya,


warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan
atau tidak.
d. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal
ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
e. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien, seperti memenuhi kebutuhan sehari hari menjadi
berkurang. Misalnya makan, mandi, berjalan sehingga kebutuhan klien
perlu banyak dibantu oleh orang lain.
f. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap, klien biasanya merasa rendah
diri terhadap perubahan dalam penampilan, klien mengalami emosi yang
tidak stabil.
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan gangguan citra diri.
h. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa
nyeri akibat fraktur.
i. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien.
j. Pola Penanggulangan Stress

Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif

k. Pola Tata Nilai dan Keyakinan


Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan
karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.

7. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
1. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
1

Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tandatanda, seperti:

Kesadaran penderita:
Composmentis:
Berorientasi segera dengan orientasi sempurna
Apatis :
Terlihat mengantuk tetapi mudah dibangunkan dan pemeriksaan
penglihatan , pendengaran dan perabaan normal
Sopor:
Dapat dibangunkan bila dirangsang dengan kasar dan terus menerus
Koma:
Tidak ada respon terhadap rangsangan
Somnolen:

10

Dapat dibangunkan bila dirangsang dapat disuruh dan menjawab


pertanyaan, bila rangsangan berhenti penderita tidur lagi.
2. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
3. Antropometri
Meliputi tinggi badan dan berat badan

4. Kepala
a. Bentuk kepala
Simetris, merata muka dan tengkorak? Nesochepal ( bentuk)?
b. Rambut dan kulit kepala
Penyeberan? Ketebalan? Kebersihan? Tekstur? Warna? Kulit
kepala? Benjolan? Lesi? Nyeri tekan? Kebersihan kulit kepala,
ketombe?
c. Mata
Konjungtifa (anemis atau tidak)? Seklera? Pupil? Simetris? Bentuk?
Gerakan ekstrakuler? Ketajaman penglihatan? Memakai alat bantu
penglihatan?
d. Hidung
Saluran hidung? Septum? Epitaksis? Terpasang O2 atau tidak?
e. Telinga
Keadaaann telinga? Pendengaran bagaimana? Serumen?
f. Mulut
Keadaan lidah lembab? Kondisi lidah? Stomatitis? Gigi (karies,
keutuhan gigi)? Gusi (perdarahan, lesi)? Keadaan bibir? Tongsil?
g. Leher
Adakah pembesaran getah bening? Kelenjar tiroid? Nyeri tekan?
JVP.
5. Dada
Meliputi paru paru dan jantung dengan menggunakan :
Paru paru :
I : bentuk, kesimetrisan
P : taktil fremitus
P : bunyi sonor apa ada gangguan
A: bunyi nafas normal atau ada bunyi tambahan
Jantung
I : Ictus cordis tampak atau tidak
P : normal ictus cordis teraba di ICS 5
P : normal adalah sonor
A: apakah regular atau ada tambahan seperti murmur

11

6. Abdomen
Pemeriksaan menggunkan :
I
: gerakan pada abdomen saat inspirasi dan ekspirasi, adakah
achites lesi atau luka post op
A : berapa jumlah peristaltic usus
P : normal bunyi tympani
P : ada nyeri tekan atau tidak
7. Genetalia
Kebersihan atau terpasang kateter jika iya volume urine
8. Anus
Apakah ada benjlan pada anus atau tidak
9. Ektremitas
Gerak,adakah kelainan bawaan, akral, odema, kekuatan otot
10. Kuku dan kulit
Warna kelembabapan, suhu, tekstur, turgor, lesi, warna dasar kulit,
kokoh kuku, sirkulasi kuku.
8. Pemeriksaan Diagnostik
a

Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan
menggunakan sinar rontgen ( Sinar X ). Untuk mendapatkan gambaran
3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan
proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi
yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan
Sinar - X harus atas dasar indikasi kegunaan. Pemeriksaan penunjang dan
hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada
Sinar X mungkin dapat di perlukan teknik khusus, seperti hal hal
sebagai berikut. ( Arif Muttaqin, 2008 )
1

Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur


yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur
saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.

Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan


pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan
akibat trauma.

Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak


karena ruda paksa.

12

Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara


transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang
rusak.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratoriy menurut Arif Muttaqin, (2008), yaitu :
1

Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat

pada tahap

penyembuhan tulang.
2

Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan


kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang. Enzim otot seperti
Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino
Transferase

(AST),

Aldolase

yang

meningkat

pada

tahap

penyembuhan tulang
3
c

Hematokrit dan leukosit akan meningkat

Pemeriksaan lain-lain
Pemeriksaan lain lain yang dapat dilakukan menurut

Arif Muttaqin,

(2008), adalah :
1

Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan


mikroorganisme penyebab infeksi.

Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.

Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan


fraktur.

Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena


trauma yang berlebihan.

Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi


pada tulang.

MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

13

Pathway

Menurut Swiontkowski (2008) dan Arif Muttaqin (2008)

B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan pergeseran frakmen tulang
14

2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan laserasi kulit dan perubahan


jaringan sekitar
3. Gangguna perfusi jaringan berhunungan dengan terjadinya penyumbatan
pembuluh darah
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas dan pergeseran
tulang.
5. Syock hipovolemik berhungan dengan kehilangan volume cairan
C. Intervensi keperawatan
Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi

Kerusakan integritas kulit

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Hasil

Intervensi

NOC :
NIC : Pressure Management
Tissue Integrity : Skin and Anjurkan pasien untuk menggunakan
Mucous Membranes
pakaian yang longgar
Wound Healing : primer Hindari kerutan pada tempat tidur
dan sekunder
Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih
Setelah
dilakukan
dan kering
tindakan
keperawatan Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien)
selama..
kerusakan
setiap dua jam sekali
integritas kulit pasien Monitor kulit akan adanya kemerahan
teratasi dengan kriteria Oleskan lotion atau minyak/baby oil
hasil:
pada derah yang tertekan
Integritas kulit yang
Monitor aktivitas dan mobilisasi
baik
bisa
pasien
dipertahankan
Monitor status nutrisi pasien
(sensasi, elastisitas,
temperatur, hidrasi, Memandikan pasien dengan sabun dan
air hangat
pigmentasi)

Kaji
lingkungan dan peralatan yang
Tidak ada luka/lesi
menyebabkan tekanan
pada kulit

Observasi
luka : lokasi, dimensi,
Perfusi jaringan baik
kedalaman luka, karakteristik,warna
Menunjukkan
cairan, granulasi, jaringan nekrotik,
pemahaman dalam
tanda-tanda infeksi lokal, formasi
proses
perbaikan
traktus
kulit dan mencegah
terjadinya
sedera Ajarkan pada keluarga tentang luka
dan perawatan luka
berulang

Kolaburasi
ahli gizi pemberian diae
Mampu melindungi
TKTP, vitamin
kulit
dan

Cegah
kontaminasi feses dan urin
mempertahankan
kelembaban kulit dan Lakukan tehnik perawatan luka dengan
steril
perawatan alami

Berikan
posisi yang mengurangi
Menunjukkan
tekanan pada luka
terjadinya
proses
penyembuhan luka
15

Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Hasil

Nyeri akut

NOC :

Pain Level,
pain
control,

comfort

level
Setelah
dilakukan
tinfakan
keperawatan
selama . Pasien tidak
mengalami nyeri, dengan
kriteria hasil:
Mampu
mengontrol
nyeri (tahu penyebab
nyeri,
mampu
menggunakan
tehnik
nonfarmakologi untuk
mengurangi
nyeri,
mencari bantuan)
Melaporkan
bahwa
nyeri berkurang dengan
menggunakan

manajemen nyeri

Mampu mengenali nyeri


(skala,
intensitas,
frekuensi dan tanda
nyeri)

Menyatakan
rasa
nyaman setelah nyeri
berkurang
Tanda
vital
dalam
rentang normal
Tidak
mengalami
gangguan tidur

16

Intervensi
NIC :
Lakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif
termasuk
lokasi,
karakteristik,
durasi,
frekuensi,
kualitas dan faktor presipitasi
Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan
Bantu pasien dan keluarga untuk
mencari dan menemukan dukungan
Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
Kurangi faktor presipitasi nyeri
Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
Ajarkan
tentang
teknik
non
farmakologi: napas dala, relaksasi,
distraksi, kompres hangat/ dingin
Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri: ...
Tingkatkan istirahat
Berikan informasi tentang nyeri
seperti penyebab nyeri, berapa lama
nyeri akan berkurang dan antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur
Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik pertama
kali

Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi

Gangguan mobilitas fisik

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Hasil

Intervensi

NOC :
Joint Movement :
Active
Mobility Level
Self care : ADLs
Transfer performance
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama.gangguan
mobilitas fisik teratasi
dengan kriteria hasil:
Klien meningkat
dalam aktivitas fisik
Mengerti tujuan dari
peningkatan mobilitas
Memverbalisasikan
perasaan dalam
meningkatkan
kekuatan dan
kemampuan
berpindah
Memperagakan
penggunaan alat
Bantu untuk
mobilisasi (walker)

NIC :
Exercise therapy : ambulation
Monitoring
vital
sign
sebelm/sesudah latihan dan lihat
respon pasien saat latihan
Konsultasikan dengan terapi fisik
tentang rencana ambulasi sesuai
dengan kebutuhan
Bantu klien untuk menggunakan
tongkat saat berjalan dan cegah
terhadap cedera
Ajarkan pasien atau tenaga
kesehatan lain tentang teknik
ambulasi
Kaji kemampuan pasien dalam
mobilisasi
Latih pasien dalam pemenuhan
kebutuhan ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
Dampingi dan Bantu pasien saat
mobilisasi dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs ps.
Berikan alat Bantu jika klien
memerlukan.
Ajarkan
pasien
bagaimana
merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan

17

DAFTAR PUSTAKA
Apley, A.C & Solomon, L. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan fraktur Sistem Apley, ed 7.
Jakarta: Widya Medika.
Capernito, Linda Juall. 2003. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis, ed
6. Jakarta: EGC.
Doengoes, M.E, dkk. 2005. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, ed 3. Jakarta: EGC.
Engram, Barbara. 2008. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, vol 2.
Jakarta: EGC.
Harnowo, S. 2001. Keperawatan Medikal Bedah untuk Akademi Keperawatan.
Jakarta: Widya Medika.
Hidayat, Aziz.A. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika.
Long, B.C. 2008. Perawatan Medikal Bedah Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.
Bandung: Yayasan IAPK Padjajaran.
Price, S A & Wilson, L M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,
jilid 2. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, ed 3, jilid 2. Jakarta:
Aesculapius.

18

Anda mungkin juga menyukai