Penyakit layu bakteri pertama kali ditemukan yaitu di Pati tahun 1962.
Selanjutnya ditemukan di persemaian Kucur di Ngawi (1996, 1998) dan persemaian
Pongpoklandak, Cianjur (1999). Kasus kerusakan jati muda akibat penyakit layu bakteri
di lapangan juga muncul di Haur Geulis, Indramayu (2005), Jember (2006) dan Pati
Utara (20062008). Bahkan kasus serangan penyakit layu bakteri di Pati Utara sudah
sangat luas, menyerang tanaman jati muda hingga umur 5 tahun.
Gejala Penyakit Layu Bakteri
Gejala penyakit layu pada jati diawali dengan timbulnya kelayuan. Kelayuan ini
bisa secara temporer atau permanen. Kelayuan temporer yaitu kelayuan yang hanya
tampak pada siang hari dan sore harinya tanaman kembali segar, sedangkan kelayuan
permanen yaitu tanaman menampakkan gejala layu seterusnya. Layunya bagian daun
dapat serentak ataupun perlahan-lahan, dimulai dari bagian daun tua atau pucuk lama
kelamaan seluruh daun layu dan berwarna kuning kecoklat-coklatan dan menghitam
seperti terbakar, daun luruh yang diikuti dengan kematian tanaman dalam waktu yang
relatif singkat. Apabila tanaman yang telah mati tersebut dicabut, akan tampak pada
bagian pangkal batang dan akarnya agak menghitam dan membusuk, warna hitam ini
juga terlihat pada bagian kayu. Bila dipotong secara melintang tampak berkas-berkas
pembuluh berwarna coklat kehitam-hitaman, apabila dipotong secara membujur berkasberkas pembuluh tampak seperti garis coklat.
drainase buruk. Bakteri ini tersebar luas di daerah tropis, sub tropis dan beberapa
daerah hangat lainnya. R. solanacearum adalah spesies yang sangat kompleks. Hal ini
disebabkan oleh variabilitas genetiknya yang luas dan kemampuannya untuk
beradaptasi dengan lingkungan setempat, sehingga di alam dijumpai berbagai strain R.
solanacearum dengan ciri yang sangat beragam.
Apabila dalam kondisi tidak baik, bakteri ini dapat hidup dorman (tidur) di dalam
tanah sampai lebih dari 6 bulan di daerah tropis, sedangkan di daerah sub tropis dapat
bertahan sampai 6 tahun dan dapat hidup sampai di kedalaman 1 m dari permukaan
tanah. Tumbuh optimal pada suhu udara 28 oC dan bertahan hidup pada suhu 1535 oC
serta pada kelembaban 40100%. Kurang berkembang pada suhu kurang dari -5 oC
dan lebih dari 35 oC. R. solanacearum berkembang dengan baik pada pH lingkungan
5,05,5 dan dapat hidup normal di dalam air, bahan organik dan tanah. R.
solanacearum tidak membentuk spora sebagai alat perkembangbiakan, tetapi beberapa
tipe dari bakteri ini diketahui dapat menyebar melalui udara (air borne), dapat berpindah
melalui banyak hal seperti serangga, hewan, manusia, alat-alat pertanian, perpindahan
bahan tanaman seperti cutting, bibit, okulasi, dsb. Akan menjadi problem besar pada
tanah-tanah yang drainasenya kurang baik atau kandungan liatnya tinggi
Pengendalian Penyakit Layu Bakteri
Pengendalian penyakit layu bakteri dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu cara
biologi, cara kimiawi dan cara silvikultur. Untuk serangan pada masa persemaian,
pengendalian cocok dilakukan dengan cara biologi dan kimiawi. Adapun untuk kasus
serangan pada tanaman yang sudah ada di lapangan, maka cara silvikultur lebih efektif
dan aman.
1.
Cara biologi, dilakukan dengan menggunakan bakteri antagonis Pseudomonas
fluorescens dengan konsentrasi 108 cfu/ml dengan dosis 1525 ml/pot semai,
disemprotkan ke seluruh permukaan tanaman dan sekitar perakaran. Hasil uji coba P.
fluorescens efektif menekan bakteri patogen R. solanacearum, dengan meningkatnya
persen tumbuh bibit dari 70% menjadi 100%. P. flourescent mempunyai kemampuan
untuk melindungi akar dari infeksi patogen tanah dengan cara mengkolonisasi
permukaan akar, menghasilkan senyawa kimia seperti anti jamur dan antibiotik serta
kompetisi dalam penyerapan kation Fe. Bakteri ini juga menghasilkan fitohormon dalam
jumlah yang besar khususnya IAA untuk merangsang pertumbuhan (akar) dan
pemanjangan batang pada tanaman
2.
Cara kimiawi, menggunakan bakterisida, disemprotkan ke seluruh permukaan
tanaman dan sekitar perakaran. Pada benih biasanya dilakukan langkah pencegahan
dengan cara merendam benih dengan bakterisida.
3.
Cara fisik mekanik yaitu dengan melakukan sterilisasi pada alat yang akan
digunakan, media yang akan digunakan untuk pembibitan. Dapat dilakukan dengan
menggunakan desinfektan atau dengan pemanasan (heating/solarization). Selain media
yang digunakan untuk pembibitan harus steril, air yang digunakan untuk menyiram
diusahakan bersih dan disterilkan dengan desinfektan (kaporit/pemutih). Langkah
selanjutnya adalah melakukan eradikasi tanaman yang terserang. Tanaman yang sudah
terserang dipotong, kemudian sisa potongan ditutupi atau diolesi dengan ter, bakterisida
atau alkohol sehingga ooze yang keluar tidak menyebar ke tempat lain. Bagian
tanaman yang dipotong dibakar, apabila memungkinkan dilakukan pembongkaran,
maka sisa akar diberikan bakterisida. Lubang bekas pembongkaran dibiarkan terbuka
agar cahaya matahari dapat masuk.
4.
Cara silvikultur, dilakukan dengan melakukan seleksi bibit terpilih, penggunaan
varietas/klon yang tahan terhadap penyakit layu bakteri ini. Serta menyediakan
lingkungan tempat tumbuh tanaman hutan sehingga dapat diperoleh tanaman sehat
dengan produktivitas tinggi. Aplikasi silvikultur untuk penanganan penyakit layu bakteri
adalah dengan memperbaiki drainase lahan dan pengaturan jenis tumpang sari pada
tanaman pokok jati. Kedua langkah tersebut perlu dilakukan agar dapat diperoleh zona
perakaran jati yang sarang, tidak jenuh air, sebuah persyaratan yang dibutuhkan bagi
budidaya jati yang sehat. Perbaikan drainase lahan dilakukan dengan pembuatan paritparit drainase khususnya di daerah-daerah dengan topografi datar. Pemilihan jenis
tanaman tumpang sari yang perlu dihindari yaitu dari dari famili Solanaceae. Selain itu,
jenis tumpang sari jati dengan padi cenderung buruk bagi tanaman pokok jati karena
menciptakan lingkungan tempat tumbuh yang cocok untuk perkembangan patogen P.
Tectonae (Orwa et al. 2009)