ada otonomi manusia. Menurut Libois dalam buku Haryatmoko menyatakan bahwa hak untuk
berkomunikasi di ruang publik ini tidak bisa dilepaskan dari otonomi demokrasi yang yang
didasarkan pada kebebasan nurani dan kebebasan untuk untuk berekspresi. Jadi, untuk menjamin
otonomi demokrasi ini hanya mungkin apabila hak untuk berkomunikasi di publik dihormati.
Etika komunikasi merupakan bagian dari upaya untuk menjamin otonomi demokrasi tersebut.
Etika komunikasi tidak hanya berhenti pada masalah perilaku actor komunikasi (wartawan,
editor, agen iklan, dan pengelola rumah produksi). Ia tidak dibatasi hanya pada deontologi
jurnalisme (pandangan etika normatif yang menilai moralitas adalah tindakan patuh pada
peraturan jurnalisme yang berlaku). Etika komunikasi berhubungan juga dengan praktek institusi,
hukum, komunitas, struktur sosial, politik dan ekonomi. Maka, aspek sarana atau etika strategi
dalam bentuk regulasi sangat perlu.
Deontologi Jurnalisme
Untuk mengimbangi kelemahan deontologi jurnalisme diperlukan undang-undang atau
hukum. Di satu sisi, sebagai institusi, hukum dan undang-undang ini membantu mengorganisir
tanggung jawab para aktor komunikasi. Dengan tuntutan yang jelas dan sanksi yang tegas, hukum
mencegah agar orang tidak mangkir dari tanggung jawabnya. Dengan kata lain, undang-undang
dan hukum menjamin stabilitas tindakan dari luar diri pelaku dan bahkan juga dari luar profesi. Di
sisi lain, bila terlalu banyak aturan hukum, kebebasan pers dan kebebasan berekspresi akan
semakin dikebiri.
Campur tangan penguasa publik dan kritik ilmiah terhadap peran pers akan dimasukkan ke
dalam kategori tiadanya kepedulian terhadap nilai demokrasi. Para aktor komunikasi menurut
Libois selalu memegang slogan: Semua upaya mengatur media melalui hukum akan membunuh
informasi. Dalam situasi dilematis seperti itu, negara harus dengan cermat bisa menemukan
perannya. Di satu pihak, negara diharapkan sesedikit mungkin campur tangan demi menjamin
kebebasan pers karena hanya dengan cara itu penguasa publik menunjukkan keseriusannya dalam
memperjuangkan nilai demokrasi.
Regulasi melalui undang-undang dan hukum itu menandai dimensi etika komunikasi yang
kedua, yaitu sarana (polity) dan dimensi tujuan (policy).
Sebagai bagian dari filsafat politik, menurut Ricoeur perjuangan etika komunikasi tidak lepas
dari tujuan etika politik, yaitu hidup baik bersama dan untuk orang lain agar semakin
memperluas lingkup kebebasan dan menciptakan institusi yang adil. Sedangkan dimensi tujuan
(policy) menyangkut nilai demokrasi, terutama kebebasan untuk berekspresi, kebebasan pers, dan
juga hak akan informasi yang benar.
Meta-etika mengarah pada teoretisasi materi moral, yang lebih luas dari sekadar etika
normatif. Ia menjangkau sampai pada refleksi dan pengujian batas-batas yang bisa diterima dalam
pelaksanaan praktek jurnalistik yang sah. Jadi, yang dipertaruhkan meliputi berbagai hak dan
kebebasan: nilai dasar kebebasan pers, terutama pembenaran status istimewanya dibandingkan
dengan kebebasan berekspresi dan hak akan informasi dibandingkan dengan hak individual
lainnya; hierarkisasi berbagai nilai yang mencakup pelaksanaan kebebasan pers, hubungan antara
kebebasan pers dan demokrasi atau antara kebebasan berekspresi dan kekuasaan ekonomi atau
politik.
Penguatan Deontologi Jurnalisme dan Batas Kebebasan Pers
Orang perlu memperhitungkan hak individual yang lain, masalah pelayanan publik, hak
publik akan informasi yang benar, mekanisme pasar, pengguna jasa, dan peran negara. Oleh
karena itu, untuk menjamin profesionalisme para aktor komunikasi tidak cukup bila hanya
mengandalkan nurani wartawan karena yang dihadapi adalah sistem. Mekanisme kontrol dari
dalam profesi sendiri dalam bentuk deontologi jurnalisme juga dianggap masih belum menjawab
kepentingan masyarakat konsumen informasi. Maka, untuk menghindari krisis kepercayaan
terhadap media, selain penguatan deontologi jurnalisme, pengikutsertaan publik harus semakin
nyata dalam organisasi perwakilan, misalnya asosiasi pemirsa televisi, asosiasi pendengar radio,
asosiasi pembaca, dan sebagainya.
Etika komunikasi harus memperhitungkan segi politik dan ekonomi tersebut. Tidak dapat
diingkari bahwa masyarakat selalu berada dalam posisi di bawah belas kasih negara dan pasar.
Kalau politik berarti kekuasaan untuk memutuskan dalam masyarakat, politik hanya merupakan
bidang beberapa orang saja. Negara seharusnya menyesuaikan aturan permainannya, tetapi arena
di mana mereka bermain sesungguhnya tidak pernah terjadi kesempatan yang terbuka dan setara
untuk semua. Pola pembagian akses ke informasi dan juga keputusan dalam bidang informasi
yang ditentukan oleh kedua mekanisme kekuasaan tersebut tidak memungkinkan warga negara
bisa berada dalam lingkaran pengambil keputusan, bahkan cenderung terpinggirkan. Warga
negara hanya bisa berpartisipasi bila mengorganisasi diri untuk menghadapi mereka. Tujuan
pengorganisasian diri ini ialah agar mampu tidak hanya menekan atau mempengaruhi dalam
perbaikan kualitas informasi, tetapi juga kritis dan bisa mencegah manipulasi informasi serta
alienasi masyarakat karena informasi yang tidak benar.
Perluasan Prosedur Regulasi dan Pembentukan Komisi
Etika komunikasi mendorong adanya penyadaran agar masyarakat mengefektifkan dan
mengoptimalkan penggunaan jalur hukum. Tujuannya ialah selain agar bisa terwujud apropriasi
hukum oleh masyarakat, juga agar perubahan dalam perjuangan keadilan dapat mengubah secara
structural kondisi dominasi media melalui permainan legal, bukan dengan cara kekerasan. Di
kebanyakan negara Eropa Barat, jalan tengah yang ditempuh ialah membentuk komisi independen
yang bukan bagian dari pemerintah atau parlemen. Komisi mandiri itu dimaksudkan untuk
regulasi dalam masalah budaya.
Hanya ada beberapa kritik terhadap dibentuknya komisi semacam itu. Pertama, cukup sering
komisi seperti itu tidak cukup mandiri berhadapan dengan kekuasaan politik atau hukum. Komisi
semacam itu dituduh terlalu dekat dengan organ legislative atau eksekutif yang membentuknya.
Kedua, bahaya kolusi antara pembuat regulasi dan operator media sangat mungkin. Kekuatan
tawar produktor lebih kuat karena merasa dibutuhkan dan menciptakan lapangan kerja. Komisi
semacam itu cenderung akan didikte oleh produktor yang sebaiknya dikontrol. Akibatnya justru
komisi itu akan didiskriminatif terhadap saingan para pengguna. Ketiga, cengkraman terhadap
komisi semacam itu biasanya cukup kuat. Hal ini disebabkan oleh keunggulan para operator
dalam hal informasi, teknologi, dan keahlian. Akibatnya, kepentingan public dikendalikan oleh
kepentingan kelompok. Banyak keputusan diambil lebih demi kelompok.
Determinasi Ekonomi dalam Etika Komunikasi
Legitimasi masyarakat modern langsung pada dua hal: kemakmuran dan pertumbuhan
ekonomi. Bila gagal memberi dua hal itu, masyarakat kehilangan hormat dan kesetiaan dari
warganya. Mereka berharap hdup lebih baik dan standar hidup mereka meningkat (E. Gellner,
1998).
Perbaikan terus-menerus dalam performance ekonomi menuntut selalu ada inovasi. Tuntutan
ini menciptakan struktur kesibukan yang tidak stabil. Mobilitas menurut manusia harus
menyesuaikan diri dengan standar perubahan terus-menerus (posisi baru dalam struktur ekonomi
dan sosial yang berubah). Masyarakat yang bertarung dalam kompetisi ini menjadi arena dimana
individu dan kelompok bertarung tanpa ada yang menengahi. Suasana seperti ini sangat
mempengaruhi perkembangan media. Persaingan menjadi sangat tajam. Terlebih lagi media
elektronik dan computer memungkinkan pertukaran informasi dalam waktu singkat. Teknologi ini
menjamin mobilitas modal yang sangat tinggi.
Budaya Baru: Organisasi Luwes dan Iklim Persaingan
Menurut Sennet logika waktu pendek menuntut pilar institusi kapitalis menyesuaikan diri
dengan memperpendek kerangka waktu organisasi, menekankan tugas jangka pendek dan segera.
Kontrak terbatas menjadi praktek biasa untuk menghindari pembayaran jaminan sosial, biaya
kesehatan, pensiun, dan supaya tidak direpotkan oleh konflik masalah kerja. Dalam rezim ini,
pekerja dengan mudah bisa dipindah dari satu tugas ke tugas yang lain. Kontrak dengan pekerja
berubah sesuai dengan perubahan aktivitas perusahaan. Maka, wartawan juga harus mengikuti
kebutuhan proyek dan orientasi sesaat dari media dimana dia bekerja, yang kadang-kadang harus
mengabaikan spesialisasinya untuk penyesuaian diri.
Organisasi semakin dituntut luwes. Pekerja harus memiliki keterampilan penyesuaian diri:
pertama, proaktif berhadapan dengan situasi tak menentu. Kedua, dalam struktur yang cair,
kepekaan atas apa yang harus segera ditangani menggantikan tugas yang sudah terdefinisi. Di
menjadi keharusan suatu lembaga untuk membangun citra dengan selalu merekayasa diri.
Ironisnya, upaya merekayasa diri ini berfungsi seperti alibi tanggung jawab. Rekayasa diri
semakin dibutuhkan ketika evaluasi menunjukkan tiadanya kinerja yang baik dalam
pengorganisasian lembaga tersebut. Biasanya cara yang paling mudah ialah mendatangkan
konsultan. Tugas konsultan adalah membantu dalam mengorganisasi lembaga supaya kinerja
menjadi maksimal. Karena struktur organisasi yang ada tidak mampu lagi mendominasi lembaga,
biasanya akan dibuat unit kerja baru yang berperan mendobrak kemandekan.
Kerugian yang diabaikan antara lain: pertama, defisit sosial dalam bentuk melemahnya
pengetahuan atau keterampilan kerja kelembagaan. Kedua, berkurangnya saling kepercayaan di
antara tim kerja. Ketiga, rendahnya loyalitas pada lembaga.
Konsultan, Legitimasi, dan Rasionalitas Sosial
Apa yang bisa didapat oleh penguasa dengan mendatangkan konsultan? Pertama, bila
perubahan ke arah yang lebih baik sungguh terjadi, maka jelas menjadi poin positif. Kedua,
kehadiran konsultan menunjukkan bahwa kekuasaan berjalan, pesan bahwa penguasa
menghendaki yang terbaik dan mempunyai determinasi tidak diragukan lagi. Ketiga, dengan
mengundang konsultan, penguasa bisa menggeser dirinya dari tanggung jawab untuk mengambil
keputusan yang berat atau setidaknya berbagi tanggung jawab.
Hanya sangat jarang konsultan ambil bagian dalam reorganisasi lembaga sehingga dengan
mudah bisa menghindar dari tanggung jawab. Mereka dibayar, lalu pergi. Biasanya konsultan
tidak perduli terhadap keterlibatan beberapa stakeholders. Bentuk keterlibatan ini keterlibatan ini
merupakan cermin kepentingan di masyarakat yang ikut mewarnai rasionalitas sosial.
Teknik informasi yang melahirkan logika waktu pendek mendesak pemerintah mengambil
keputusan yang cepat sehingga prosedur birokratis atau parlementer sering dianggap sebagai
faktor lamban. Padahal keputusan penguasa itu diperlukan untuk menjamin sirkulasi informasi,
kapital, dan manusia. Maka, tidak mungkin mengamputasi kekuasaan politik demi memberi
konsesi kepada para penguasa ekonomi. Justru kepada penguasa politik harus diberikan sarana
yang memungkinkan diterimanya aturan transnasional kekuasaan oleh masyarakat. Bahkan
negara, menurut Beck, harus menyiapkan suatu bentuk legitimasi post-hoc untuk keputusan yang
sering diambil dengan cara kurang demokratis. Sering hanya lingkaran dalam penguasa dilibatkan
untuk pengambilan keputusan, termasuk di dalamnya ialah para pakar itu. Mekanisme seperti ini
sering perlu dijalani bila tidak ingin ketinggalan kereta.
Dari mekanisme semacam itu, akibat yang ditimbulkan ialah bahwa mitra kerja merasa
ditinggalkan atau aspirasinya tidak mendapat tanggapan. Dengan kata lain, logika sosial yang
menekankan pada partisipasi dan keadilan agak diabaikan. Bagaimana prinsip etika komunikasi
akan dihormati bila melihat betapa berat tekanan atau determinasi ekonomi baik pada tingkat
institusi maupun individu wartawan atau pelaku komunikasi? Pada tingkat institusi, perusahaan
media selalu di bawah tekanan persaingan dengan media lain dan tuntutan performance dari
pemegang saham. Ancaman hengkang selalu membayangi.
Ancaman seperti PHK mengundang ketakutan. Sebab, bukan semakin lama bekerja, semakin
matang dalam pengalaman, namun juga terjadi skill-extinction. Akibatnya, institusi lebih senang
mempekerjakan tenaga muda baru yang lebih kompeten daripada mengirim karyawan yang sudah
lama bekerja. Dalam situasi yang menekan dan penuh persaingan seperti itu, wacana etika
komunikasi harus mampu menembus celah-celah etos sukses diri dan keuntungan akibat dari
pragmatisme. Maka, dimensi pelayanan publik harus menjadi fokus perhatian etika komunikasi.
DILEMA REGULASI PUBLIK KEBEBASAN BEREKSPRESI DAN TANGGUNG JAWAB
1. Alasan regulasi publik : ketika informasi selalu interpretasi :
Memang prioritas itu tidak bisa dimutlakkan. Hanya kesulitan muncul ketika realitas tertentu
ingin memaksakan diri menjadi opini entah secara halus dengan hegemoni atau secara kasar
dengan penekanan pemihakan yang demonstratif.
Dalam hal ini prinsip demokrasi harus memberi proiritas pada kepentingan public. Public tidak
bisa dipaksa untuk menerima informasi atau opini tanpa persetujuan mereka. Hanya saja berbagi
teknik presentasi, berkembangnya berbagi jenis media, dan beragam kesempatan dengan mudah
akan memberi sarana unruk menebus ke pemirsa, pembaca atau pendengar tanpa merasa di paksa.
Namun, sejauh mana hak itu efektif sangat di tentukan oleh dukungan regulasi. Regulasi tidak
bisa dibuat tanpa membertimbangkan hierarkisasi hak. Untuk kepentingan ini harus ada
interpretasi dalam kerangka suatu regulasi media mendasarkan pada prioritas hak individu.
2. Regulasi public dan pluralisme : Memperkuat Deontologi Profesi.
- Pluralisme terdiri dari dua kata prular = beragam dan isme = paham yang berarti beragam
pemahaman.
- Dalam ilmu social Pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa
kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain.
- Dalam ilmu pengetahuan Pluralisme bisa diagrumentasikan bahwa sofat pluralisme proses
ilmiah adalah faktos utama dalam perumbuhan pesat ilmu pengetahuan.
- Etika Deontologi adalah pandangan etika normatif yang menilai moralitas suatu tindakan
berdasarkan kepatuhan pada peraturan.
Regulasi untuk menjamin pluralisme ini memiliki beragam bentuk menurut Libois:
a) Bisa dalam rangka menghindari dominasi suatu bidang terhadap yang lain dengan
mengusulkan pengorganisasian distribusi atau alokasi progam. Jangan sampai suatu media
hanya didominasikan oleh spektakularisasi informasi.
b) Menjamin oembedaan lingkup riil dengan kekhasan ekspresinya untuk tetap mendapatkan
akses yang cukup representative ke ruang publik.
c) Memungkinkan definisi politik menurut tatanan prioritas sehingga ruang publik menjadi
tempat berlangsungnya penentuan hierarkisasi nilai oleh masyarakat.
d) Memungkinkan untuk mempertahankan adanya pemisahan berbagai ranah dan menentukan
bagian atau hak masing-masing.
Regulasi publik terhadap media yang bersifat membatasi diharapkan lebih menekankan dimensi
strategis, yaitu bahwa etika komunikasi, termasuk deontology profesi, harus bisa diterjemahkan
secara efektif ke dalam realitas sesuai dengan situasi. Sedangkan Negara dalam regulasi media
mengusahakan agar terjadi optimalisasi interaksi atau hubungan antara persaingan pasar dan
kesejahterahaan umum (kebaikan publik), antara efiensi dan keadilan.
Optimalisasi itu dimaksudkan agar jangan sampai, dalam media, logika ekonomi melepaskan
diri sama sekali dari logika social sehingga satu-satunya penentuan media seakan hanya mencari
keuntungan.
Kemungkinan lain regulasi publik ialah dengan membentuk komisi mandiri yang bukan bagian
dari pemerintah. Namun, pendanaan biasanya berasal dari pemerintah karena tugasnya dikaitkan
langsung dengan upaya menjamin kualitas pelayanan public dalam hal pemenuhan hak akan
infromasi yang benar.
3. Regulasi Prosedural
Prosedural menurut Hiebert dan Lefevre menggambarkan pengetahuan procedural sebagai
pengetahuan tentang prosedur tentang prosedur baku yang dapet diaplikasikan juka beberapa
isyarat tertentu disajikan.
Cara peliputan, pengolahan, dan presentai yang penuh rekayasa menonjol dalam televisi
contoh menarik adalah bagaimana sensor yang tidak tampak beroperasi dalam media televisi,
seperti diangkat oleh Pierre Bourdieu. Akses ke televisi harus dibayar dengan sensor topic yang
dibicarakan sudah ditentukan, syarat komunikasi sudah di batasi dengan ketat seperti menekankan
bahwa waktu sangat dibatasi dan wacana harus di singkat. Ada serangkaian mekanisme televisi
yang sebetulnya merupakan suatu bentuk kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik adalah
kekerasan yang berlangsung dengan persetujuan tanpa terungkap dari korbannya, tetapi juga tanpa
disadari oleh pelakunya. Misalnya, serba-serbi dalam televisi merupakan acara yang menghibur
atau mengalihkan perhatian.
Menurut Bourdieu, berita di televisi mirip sekali dengan prinsip tukang sulap, yaitu justru
menarik perhatian kea rah lain dari hal sedang dilakukannya. Dalam hal informasi, pemirsa
dibawah ke fakta yang harus menarik semua orang. Maka, tidak boleh membuat shock siapa pun,
berarti tidak ada yang dipertaruhkan, yang tidak memecah belah, dan yang membawa ke