Anda di halaman 1dari 52

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kelahiran

seorang

anak

merupakan

suatu

saat

yang

sangat

membahagiakan pada hampir setiap orang. Beberapa beranggapan pasca


melahirkan merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan, dan merupakan masa
dimana wanita beresiko tinggi untuk mengalami gangguan mood, bahkan stres
fisik dan emosional menyebabkan suatu keadaan cemas hingga depresi. Lebih dari
80% wanita setelah melahirkan mengalami beberapa bentuk dari gejala depresi
postpartum, yang secara umum dikenal sebagai baby blues atau kesedihan
karena kehadiran anak. Gejala depresi yang ringan ini seringnya bersifat
sementara dan menghilang tanpa pengobatan. Namun 7 sampai 26 % wanita,
mengalami peningkatan gejala depresi, menetap untuk waktu yang lama dan
membutuhkan pengobatan khusus. Wanita dengan tingkat gejala depresi yang
terus meningkat dapat menjadi suatu keadaan depresi postpartum. Tidak seperti
depresi minor (baby blues), depresi postpartum biasanya tidak dapat sembuh tanpa
intervensi klinis. Di Negara berkembang, prevalensinya berkisar antara 5-25%.
Depresi postpartum juga dapat terjadi diberbagai daerah di dunia maupun
Indonesia. Prevalensi gangguan depresi pada populasi dunia adalah 3-8% dengan
50% kasus terjadi pada usia produktif yaitu 20-50 tahun.World Health
Organization (WHO) (2008) menyatakan bahwa gangguan depresi postpartum
adalah 20% berada pada urutan keempat penyakit di dunia. Hasil penelitian

OHara dan Swain (1996) menemukan kejadian depresi postpartum di Belanda


sekitar 2%-10%, di Amerika Serikat 8%-26%, di Kanada 50%-70% dan sekitar
13% wanita primipara mengalami depresi postpartum pada periode tahun pertama
pasca melahirkan.
Berdasarkan hasil dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
prevalensi depresi postpartum berkisar antara 11,7%-20,4% pada tahun 20042005 (Barclay, 2008). Pada suatu penelitian yang dilakukan di Osaka, Jepang,
pada tahun 2010 dengan jumlah responden sebanyak 771 orang yang
menghubungkan pekerjaan, penghasilan dan pendidikan dengan kejadian depresi
postpartum mendapat hasil prevalensi postpartum sebanyak 13,8% (Miyake, dkk,
2010). Di Malaysia pada tahun 1995, diketahui bahwa ibu mengalami depresi
pasca persalinan sebanyak 3,9%. Singapura angka kejadiannya hanya 1% (Saleha,
2009).
Di Indonesia semula diperkirakan bahwa angka kejadiannya rendah atau
setidaknya lebih rendah dari negara lain atau masyarakat di tempat lain. Ternyata
di Indonesia tahun 1998-2001, seperti di Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya
ditemukan bahwa angka kejadiannya 11-30% (Elvira, 2007). Namun untuk saat
ini angka kejadian depresi postpartum di Indonesia belum diketahui secara pasti
mengingat belum adanya lembaga terkait yang melakukan penelitian terhadap
kasus tersebut (Saleha, 2009).
Depresi

postpartum

dapat

terjadi

pada

wanita

manapun

tanpa

mempertimbangkan usia, ras, agama, tingkat pendidikan, maupun latar belakang


sosial ekonomi dan dapat dialami lagi pada kehamilan selanjutnya (Barsky, 2006).

Banyak faktor yang diduga berperan pada terjadinya depresi postpartum, antara
lain adalah faktor hormonal, umur, paritas, pengalaman dalam proses kehamilan
dan persalinan, tingkat pendidikan, status perkawinan, kehamilan yang tidak
diinginkan, riwayat gangguan kejiwaan sebelumnya, sosial ekonomi, dan
keadekuatan dukungan sosial dari lingkungannya (Savage, 2008). Dan terutama
faktor paritas, depresi postpartum dapat terjadi pada ibu primipara maupun
multipara yang mana ibu primipara merupakan kelompok yang paling rentan
mengalami depresi postpartum dibanding ibu multipara atau grande multipara.
Depresi postpartum adalah suatu perasaan sendu atau sedih yang biasanya
disertai dengan diperlambatnya gerak dan fungsi tubuh mulai dari perasaan
murung sedikit sampai pada keadaan tidak berdaya (Hadi, 2004). Faktor hormonal
sering disebut sebagai faktor utama yang dapat memicu timbulnya depresi
postpartum. Faktor ini melibatkan terjadinya perubahan kadar sejumlah hormon
progesteron dan estrogen. Walaupun demikian masih banyak faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam terjadinya depresi postpartum seperti harapan persalinan
yang tidak sesuai dengan kenyataan, adanya perasaan kecewa dengan fisik dirinya
dan juga bayinya, kelelahan akibat proses persalinan yang baru dilaluinya,
kesibukan mengurus bayi dan perasaan ibu yang merasa tidak mampu atau
khawatir akan tanggung jawab barunya sebagai ibu, kurangnya dukungan dari
suami dan orang-orang sekitar, terganggu dengan penampilannya yang masih
tampak gemuk dan kekhawatiran pada keadaan sosial ekonomi yang membuat ibu
harus kembali bekerja setelah melahirkan (Kasdu, 2005).

Hal lain yang dapat memicu terjadinya depresi pascasalin adalah nyeri
setelah persalinan, termasuk kelelahan, kurang tidur, asupan nutrisi yang
menurun, kecemasan dan rasa takut, konflik marital, tindakan yang salah terhadap
anak, gangguan hubungan ibu dan anak termasuk gangguan peran sebagai orang
tuadan masalah perilaku bayi; dukungan keluarga terutama suami, dan anggota
keluarga dekat lainnya, komplikasi kehamilan dan persalinan, keadaan
lingkungan, gangguan jiwa sebelum hamil, dan latar belakang budaya (Alfiben,
2000).
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi kejadian depresi pada ibu
post partum yaitu dengan dukungan sosial. Dukungan memberi pengaruh dalam
mengurangi depresi yang dihadapi wanita pada masa postpartum. Wanita yang
merasa dihargai, diperhatikan dan dicintai oleh suami dan keluarganya tentunya
tidak akan merasa diri kurang berharga. Sehingga salah satu ciri dari seseorang
menderita depresi dapat dihambat. Wanita yang kurang mendapatkan dukungan
sosial tentunya akan lebih mudah merasa dirinya tidak berharga dan kurang
diperhatikan oleh suami maupun keluarga, sehingga wanita yang kurang
mendapat dukungan sosial pada masa postpartum lebih mudah untuk mengalami
depresi (Urbayatun, 2012).
Gangguan mood postpartum bukan persoalan sepele. Dampaknya bisa
memorakporandakan kehidupan ibu, keluarganya, bayi dan anak-anak lainnya. Ibu
akan mengalami kesulitan dalam mengasuh serta menjalin ikatan emosional yang
memadai terhadap bayi maupun anaknya yang lain. Dampaknya, anak-anak
mereka bisa mengalami gangguan emosional dan perilaku, keterlambatan
berbahasa dan gangguan kognitif. Bagi ibu sendiri, dalam kondisi berat bisa

memunculkan keinginan untuk mengakhiri penderitaan lewat jalan yang


membahayakan diri maupun anaknya. Dari beberapa uraian masalah di atas, maka
peneliti tertarik untuk mengambil judul Hubungan antara paritas dengan kejadian
depresi ibu post partum di Puskesmas Padangan Kabupaten Bojonegoro Tahun
2017.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut: Apakah terdapat hubungan antara paritas dengan kejadian depresi ibu
post partum di Puskesmas Padangan Kabupaten Bojonegoro?.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara paritas dengan kejadian depresi ibu post
partum di Puskesmas Padangan Kabupaten Bojonegoro.
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Mengidentifikasi paritas pada ibu post partum di Puskesmas Padangan
Kabupaten Bojonegoro.
2) Mengidentifikasi kejadian depresi ibu post partum di Puskesmas Padangan
Kabupaten Bojonegoro.
3) Menganalisis hubungan antara paritas dengan kejadian depresi ibu post
partum di Puskesmas Padangan Kabupaten Bojonegoro.
1.4 Manfaat Penelitian
1) Bagi Instansi Pelayanan Kesehatan
Sebagai bahan masukan bagi Rumah sakit dan bidan untuk mengurangi faktor
pencetus terjadinya depresi postpartum mengingat bahwa setiap ibu
postpartum mempunyai resiko untuk terjadinya depresi postpartum.

2) Bagi Penelitian Keperawatan


Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data tambahan untuk
melakukan penelitian selanjutnya terkait dengan masalah depresi pada ibu
post partum.
3) Bagi Pendidikan Keperawatan
Manfaat bagi pendidikan keperawatan sebagai bahan kajian dalam
menerapkan program kesehatan psikologis khususnya ibu yang mengalami
depresi postpartum.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Konsep Masa Nifas (Post Partum)

2.1.1

Pengertian
Masa nifas adalah (Puerpurium) dimulai setelah kelahiran plasenta dan

berakhir ketika alat alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil.
Masa nifas berlangsung selama kira kira 6 minggu. (Saifuddin, 2009).
Masa nifas atau puerperium dimulai sejak 1 jam setelah lahirnya plasenta
sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelah itu. Pelayanan persalinan harus
terselenggara pada masa itu untuk memenuhi kebutuhan ibu dan bayi, yang
meliputi upaya pencegahan, deteksi dini pengobatan dan komplikasi dan penyakit
yang mungkin terjad, serta penyediaan pelayanan pemberian ASI, cara
menjarangkan kehamilan, imunisasi, dan nutrisi bagi ibu. (Prawirohardjo, 2010).
Masa nifas (puerperium) adalah masa pulih kembali, mulai dari masa
persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti prahamil. Sekitar
50% kematian ibu terjadi dalam 24 jam pertama postpartum sehingga pelayanan
pasca persalinan yang berkualitas harus terselenggara pada masa itu untuk
memenuhi kebutuhan ibu dan bayi. (Dewi, 2014).
Menurut Bennet V.R dan Brown L.K (1996) puerperium adalah waktu
mengenai perubahan besar yang berjangka pada periode transisi dari puncak

pengalaman melahirkan untuk menerima kebahagiaan dan tanggung jawab dalam


keluarga (Anggraini, 2010).
Masa Nifas (pueperium) dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika
alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas
berlangsung selama kira-kira 6 minggu. Wanita yang melalui periode pueperium
disebut puerpura. Pueperium (Nifas) berlangsung selama 6 minggu atau 42 hari,
merupakan waktu yang diperlukan untuk pulihnya alat kandungan pada keadaan
yang normal (Ambarwati, 2009).
2.1.2

Prinsip dan Sasaran Asuhan Masa Nifas


Berdasarkan standar pelayanan kebidanan menurut Dewi (2014), standar

pelayanan untuk untuk ibu nifas meliputi perawatan bayi baru lahir (standar 13),
penanganan 2 jam pertama setelah persalinan (standar 14), serta pelayanan bagi
ibu dan bayi pada masa nifas (standar 15) apabila merujuk pada kompetensi 5
(standar kompetensi bidan) maka prinsip asuhan kebidanan bagi ibu pada masa
nifas dan menyusui harus yang bermutu tinggi serta tanggap terhadap budaya
setempat. Jika dijabarkan lebih luas sasaran asuhan kebidanan masa nifas meliputi
hal-hal sebagai berikut:
1) Peningkatan kesehatan fisik dan Psikologis.
2) Identifikasi penyimpangan dari kondisi normal baik fisik maupun psikis.
3) Mendorong agar dilaksanakan metode yang sehat tentang pemberian makanan
anak dan peningkatan dan penimbangan hubungan antara ibu dan anak yang
baik
4) Mendukung dan memperkuat percaya diri ibu dan memungkinkan ia
melaksanakan peran ibu dalam situasi keluarga dan budaya khusus
5) Pencegahan, diagnosa dini dan pengobatan komplikasi pada ibu

6) Merujuk ibu ke asuhan tenaga ahli jika perlu


2.1.3

Tujuan Asuhan Masa Nifas


Menurut Nurul Jannah (2011), tujuan asuhan masa nifas meliputi:

1)
2)
3)
4)

Meningkatkan kesejahteraan fisik dan fsikologis bagi ibu dan bayi


Mencegah, diagnosa dini, dan pengobatan komplikasi pada ibu
Merujuk ibu ke asuhan tenaga ahli bila diperlukan
Mendukung dan memperkuat keyakinan ibu serta memungkinkan ibu untuk
mampu melaksanakan perannya dalam situasi keluarga dan budaya yang

khusus
5) Mendorong pelaksanaan metode yang sehat tentang pemberian makanan anak
serta peningkatan pengembangan hubungan yang baik antara ibu dan anak.
2.1.4

Tahapan Masa Nifas

Beberapa tahapan masa nifas adalah sebagai berikut:


1) Puerperium dini : yaitu kepulihan dimana ibu diperbolehkan berdiri dan
berjalan, serta menjalankan aktifitas layaknya wanita normal lainya.
2) Puerperiun intermediat : yaitu suatu kepulihan menyeluruh alat alat genitalia
yang lamanya sekitar 6 8 minggu.
3) Poerperium remote : waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna
terutama apabila ibu selama hamil atau persalinan mempunyai komplikasi
(Dewi, 2014).

10

2.1.5

Kebijakan Program Nasional Masa Nifas

1) Kunjungan pertama, 6-8 jam setelah persalinan yang bertujuan untuk:


(1) Mencegah perdarahan masa nifas karena persalinan akan terjadinya atonia
uteri.
(2) Mendeteksi dan merawat penyebab lain perdarahan, segera merujuk bila
perdarahan terus menerus berlanjut.Memberikan konseling pada ibu dan
anggota keluarga bagaimana cara mencegah perdarahan masa nifas akibat
atonia uteri.
(3) Konseling tentang pemberian ASI awal.
(4) Melakukan bonding attachment antara ibu dan bayi yang baru
dilahirkannya.
(5) Menjaga bayi tetap sehat dengan cara mencegah hipotermi
(6) Jika petugas kesehatan menolong persalinan ibu dan bayi yang baru
dilahirkn untuk 2 jam pertama atau sampai keadaan iu dan bayinya stabil.
2)
3) Kunjungan kedua, 6 hari setelah persalinan yang bertujuan untuk:
(1) Memastikan proses involusi uteri berjalan dengan normal.
(2) Evaluasi adanya tanda-tanda demam ,infeksi , atau perdarahan abnormal
(3) Memastikan ibu cukup makan ,minum, dan istirahat.
(4) Memastikan ibu menyusui dengan benar dan tidak ada tanda-tanda adanya
penyulit.
(5) Memberikan konseling pada ibu mengenai hal-hal berkaitan dengan
asuhan pada bayi.
4) Kunjungan ketiga, 2 minggu setelah perslinan yang bertujuan untuk : Sama
seperti kunjungan kedua.
5) Kunjungan ke empat, 6-8 minggu setelah persalinan yang bertujuan untuk:
(1) Menanyakan penyulit-penyulit yang ada.
(2) Memberi konseling untuk ber KB
(Jannah, 2011).
2.1.6

Isu Terbaru Perawatan Masa Nifas


Beberapa isu terbaru mengenai perawatan masa nifas adalah sebagai

berikut:

11

1) Mobilisasi dini. Senam nifas bertujuan untuk mengurangi bendungan lokia


dalam lahir, memperlancar peredaran darah sekitar alat kelamin, dan
mempercepat normalisasi alat kelamin.
2) Rooming in (perawatan ibu dan anak dalam satu ruang / kamar)
3) Meningkatkan pemberian ASI, bonding attachment, mengajari ibu, cara
perawatan bayi terutama pada ibu primipara, dimulai dengan penerapan
inisiasi menyusui dini.
4) Pemberian ASI. Untuk meningkatkan volume ASI pada masa nifas, ibu dapat
memberi terapi pijat pada bayi (Dewi, 2014).
2.1.7

Adaptasi Psikologis Postpartum


Ada 3 fase penyesuaian ibu terhadap perannya sebagai orangtua, yaitu fase

taking in, fase taking hold, fase letting go (Suherni, 2009).


1) Fase taking in. Fase ini merupakan periode ketergantungan yang berlangsung
dari hari pertama sampai hari kedua setelah melahirkan. Pada saat itu, fokus
perhatian ibu terutama pada dirinya sendiri. Pengalaman selama proses
persalinan sering berulang diceritakannya. Kelelahan membuat ibu cukup
istirahat untuk mencegah gejala kurang tidur, seperti mudah tersinggung. Hal
ini membuat ibu cenderung menjadi pasif terhadap lingkungannya. Oleh
karena itu kondisi ibu perlu dipahami dengan menjaga komunikasi yang baik.
Gangguan psikologis yang mungkin dirasakan ibu adalah:
(1) Kekecewaan karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan tentang
bayinya misalnya jenis kelamin tertentu, warna kulit, jenis rambut dan
lain-lain.

12

(2) Ketidaknyamanan sebagai akibat dari perubahan fisk yang dialami ibu
misalnya rasa mules karena rahim berkontraksi untuk kembali pada
keadaan semula, payudara bengkak, nyeri luka jahitan.
(3) Rasa bersalah karena belum bisa menyusui bayinya.
(4) Suami atau keluarga yang mengkritik ibu tentang cara merawat bayinya
dan cenderung melihat tanpa membantu.
2) Fase Taking Hold. Fase ini berlangsung antara 3-10 hari setelah melahirkan.
Pada fase taking hold, ibu merasa khawatir atau ketidak mampuan dan rasa
tanggung jawabnya dalam merawat bayi. Selain itu perasaannya sangat
sensitif sehingga mudah tersinggung jika komunikasinya kurang hati-hati.
Oleh karena itu ibu memerlukan dukungan karena saat ini merasakan
kesempatan yang baik untuk menerima berbagai penyuluhan dalam merawat
diri dan bayinya sehingga tumbuh rasa percaya diri.

13

3) Fase Letting Go. Fase ini merupakan fase menerima tanggung jawab akan
peran barunya yang berlangsung 10 hari setelah melahirkan. Ibu sudah mulai
menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya. Keinginan untuk merawat
diri dan bayinya meningkat pada fase ini.
2.1.8

Jenis Gangguan Psikologis Ibu Postpartum


Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental disorder (American

Psychiatric Association, 2000) tentang petunjuk resmi untuk pengkajian dan


diagnosis penyakit psikiater, bahwa gangguan yang dikenali selama postpartum
adalah :
1) Postpartum Blues. Fenomena pasca postpartum awal atau baby blues
merupakan sekuel umum kelahiran bayi, terjadi hingga 70% wanita.
Postpartum blues, maternity blues atau baby blues merupakan gangguan
mood/efek ringan sementara yang terjadi pada hari pertama sampai hari ke 10
setelah persalinan ditandai dengan tangisan singkat, perasaan kesepian atau
ditolak, cemas, bingung, gelisah, letih, pelupa dan tidak dapat tidur (Pillitteri,
2003). Bobak (2005) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan postpartum
blues adalah perubahan mood pada ibu postpartum yang terjadi setiap waktu
setelah ibu melahirkan tetapi seringkali terjadi pada hari ketiga atau keempat
postpartum dan memuncak antara hari kelima dan ke-14 postpartum yang
ditandai dengan tangisan singkat, perasaan kesepian atau ditolak, cemas,
bingung, gelisah, letih, pelupa dan tidak dapat tidur. Ibu postpartum yang
mengalami postpartum blues mempunyai gejala antara lain rasa marah,
murung, cemas, kurang konsentrasi, mudah menangis (tearfulness), sedih

14

(sadness), nafsu makan menurun (appetite), sulit tidur (Pillitari, 2003; Lyn dan
Pierre, 2007 dalam Macmudah, 2010). Keadaan ini akan terjadi beberapa hari
saja setelah melahirkan dan biasanya akan berangsur-angsur menghilang
dalam beberapa hari dan masih dianggap sebagai suatu kondisi yang normal
terkait dengan adaptasi psikologis postpartum. Apabila memiliki faktor
predisposisi dan pemicu lainnya maka dapat berlanjut menjadi depresi
postpartum.
2) Depresi Postpartum. Gejala yang ditimbulkan antara lain kehilangan harapan
(hopelessness), kesedihan, mudah menangis, tersinggung, mudah marah,
menyalahkan diri sendiri, kehilangan energi, nafsu makan menurun (appetite),
berat badan menurun, insomnia, selalu dalam keadaan cemas, sulit
berkonsentrasi, sakit kepala yang hebat, kehilangan minat untuk melakukan
hubungan seksual dan ada ide untuk bunuh diri (Beck, 2001; Lynn dan Pierre,
2007 dalam Macmudah, 2010).
3) Postpartum Psikosis. Mengalami depresi berat seperti gangguan yang dialami
penderita depresi postpartum ditambah adanya gejala proses pikir (delusion,
hallucinations and incoherence of association) yang dapat mengancam dan
membahayakan keselamatan jiwa ibu dan bayinya sehingga sangat
memerlukan pertolongan dari tenaga professional yaitu psikiater dan
pemberian obat (Olds, 2000, Pilliteri, 2003, Lynn dan Pierre, 2007).

15

2.2
Konsep Paritas
2.2.1 Pengertian
Paritas adalah jumlah total kehamilan yang berlangsung lebih dari usia
gestasi 20 minggu tanpa memerhatikan hasil akhir janin (Paulette S H, 2008).
Paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin hidup atau mati,
bukan jumlah janin yang dilahirkan (Jensen B L, 2004).
2.2.2 Klasifikasi Paritas
1) Primipara adalah wanita yang pernah mengalami kehamilan lebih dari usia
gestasi 20 minggu (Paulette S H, 2008). Primipara adalah seorang wanita yang
melahirkan bayi hidup untuk pertama kali (Sofian A, 2012).
2) Multipara adalah wanita yang pernah mengalami dua atau lebih kehamilan
yang berlangsung lebih dari usia gestasi 20 minggu. Paritas dibagi lebih lanjut
menjadi empat kategori : cukup bulan, prematur, aborsi, dan kelahiran hidup
(mis., G9 P2345 = 9 kehamilan; 2 cukup bulan, 3 prematur, 4 aborsi, 5 hidup)
(Paulette S H, 2008). Multipara atau pleuripara adalah wanita yang pernah
melahirkan bayi viable beberapa kali (sampai 5 kali) (Sofian A, 2012).
3) Grandemultipara adalah wanita yang terlalu banyak punya anak, 4 atau lebih
(Rochjati P, 2011).
2.2.3 Kriteria paritas
Paritas merupakan faktor risiko yang mempengaruhi perdarahan
postpartum primer. Pada paritas yang rendah (paritas 1) dapat menyebabkan
ketidaksiapan ibu dalam menghadapi persalinan sehingga ibu hamil tidak mampu
dalam menangani komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas.
Sedangkan semakin sering wanita mengalami kehamilan dan melahirkan (paritas
lebih dari 3) maka uterus semakin lemah sehingga besar risiko komplikasi
kehamilan (Manuaba IBG, 2012).

16

Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan
pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan
paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian perdarahan
pascapersalinan lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal.
Risiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik yang lebih baik,
sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga
berencana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan
(Saifuddin AB, 2008).
2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Paritas
1) Pendidikan. Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang
terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita-cita tertentu.
Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka makin mudah dalam
memperoleh menerima informasi, sehingga kemampuan ibu dalam berpikir
lebih rasional. Ibu yang mempunyai pendidikan tinggi akan lebih berpikir
rasional bahwa jumlah anak yang ideal adalah 2 orang.
2) Pekerjaan. Pekerjaan adalah simbol status seseorang dimasyarakat. Pekerjaan
jembatan untuk memperoleh uang dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup
dan untuk mendapatkan tempat pelayanan kesehatan yang diinginkan. Banyak
anggapan bahwa status pekerjaan seseorang yang tinggi, maka boleh
mempunyai anak banyak karena mampu dalam memenuhi kebutuhan hidup
sehari-sehari.

17

3) Keadaan Ekonomi. Kondisi ekonomi keluarga yang tinggi mendorong ibu


untuk mempunyai anak lebih karena keluarga merasa mampu dalam
memenuhi kebutuhan hidup.
4) Latar Belakang Budaya. Cultur universal adalah unsur-unsur kebudayaan
yang bersifat universal, ada di dalam semua kebudayaan di dunia, seperti
pengetahuan bahasa dan khasanah dasar, cara pergaulan sosial, adat-istiadat,
penilaian-penilaian umum. Tanpa disadari, kebudayaan telah menanamkan
garis pengaruh sikap terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai
sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaan pulalah yang memberi
corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompok
masyarakat asuhannya. Hanya kepercayaan individu yang telah mapan dan
kuatlah yang dapat memudarkan dominasi kebudayaan dalam pembentukan
sikap individual. Latar belakang budaya yang mempengaruhi paritas antara
lain adanya anggapan bahwa semakin banyak jumlah anak, maka semakin
banyak rejeki.
5) Pengetahuan. Pengetahuan merupakan domain dari perilaku. Semakin tinggi
tingkat pengetahuan seseorang, maka perilaku akan lebih bersifat langgeng.
Dengan kata lain ibu yang tahu dan paham tentang jumlah anak yang ideal,
maka ibu akan berperilaku sesuai dengan apa yang ia ketahui (Samsiatik,
2012).
2.3

Konsep Depresi

2.3.1 Pengertian depresi


Depresi adalah suatu perasaan sedih dan pesimis yang berhubungan dengan
suatu penderitaan, dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau
perasaan marah yang dalam (Nugroho, 2012).

18

19

2.3.2 Jenis-jenis depresi


Penggolongan depresi menurut Wilkinson (2013) dapat dibedakan menjadi
2, yaitu :
1) Menurut gejalanya
(1) Depresi neurotik. Depresi neurotik biasanya terjadi setelah mengalami
peristiwa yang menyedihkan tetapi jauh lebih berat dari pada biasanya.
Penderitanya sering kali dipenuhi trauma emosional yang mendahului
penyakit, misalnya ; kehilangan orang yang dicintai, pekerjaan, miliknya
yang berharga atau seorang kekasih. Orang yang menderita depresi
neurotik bisa merasa gelisah, cemas dan sekaligus merasa depresi. Mereka
menderita hipokondria atau ketakutan yang abnormal seperti agrofobia
tetapi mereka tidak menderita delusi atau halusinasi.
(2) Depresi psikotik. Secara tegas istilah psikotik harus dipakai untuk
penyakit depresi yang berkaitan dengan delusi dan halusinasi atau
keduanya.
(3) Psikosis depresi manik. Depresi manik biasanya merupakan penyakit yang
kambuh kembali disertai gangguan suasana hati yang berat. Orang yang
mengalami gangguan ini menunjukkan gabungan depresi dan rasa cemas
tetapi kadang-kadang ini dapat diganti dengan perasaan gembira, gairah
dan aktivitas secara berlebihan, gambaran ini disebut mania.
(4) Pemisahan diantara keduanya. Pada dokter membedakan antara depresi
neurotik dan psikotik tidak hanya berdasarkan gejala lain yang ada dan
seberapa terganggunya perilaku orang tersebut.

20

2) Menurut penyebabnya
(1) Depresi reaktif. Pada depresi reaktif, gejalanya diperkirakan akibat stres
luar seperti kehilangan seseorang atau kehilangan pekerjaan.
(2) Depresi endogenous. Pada depresi endogenius, gejalanya terjadi tanpa
dipengaruhi oleh faktor lain.
(3) Depresi primer dan sekunder. Tujuan penggolongan ini adalah untuk
memisahkan depresi yang disebabkan penyakit fisik atau psikatrik atau
kecanduan obat atau alkohol (depresi sekunder) dengan depresi yang tidak
mempunyai penyebab-penyebab ini (depresi primer). Penggolongan ini
lebih banyak digunakan untuk penelitian tujuan perawatan.
3) Menurut arah penyakit
(1) Depresi tersembunyi. Diagnosa depresi tersembunyi (autoditipikal)
kadang-kadang dibuat bilamana depresi dianggap mendasari gangguan
fisik dan mental yang tidak dapat diterangkan, misalnya rasa sakit yang
lama tanpa sebab yang nyata atau hipokondria atau sebaliknya perilaku
yang tidak dapat diterangkan seperti wanita lanjut usia yang suka
mengutil.
(2) Berduka. Proses kesedihan itu wajar dan merupakan reaksi yang
diperlukan terhadap suatu kehilangan. Proses ini membuat orang yang
kehilangan itu mampu menerima kenyataan tersebut, mengalami rasa sakit
akibat kesedihan yang menimpa, menderita putusnya hubungan dengan
orang yang dicintai dan penyesuaian kembali.

21

(3) Depresi pasca lahir (postpartum). Banyak wanita kadang-kadang


mengalami periode gangguan emosional dalam 10 hari pertama setelah
melahirkan bayi ketika emosi mereka masih labil dan mereka merasa sedih
dan suka menangis. Seringkali hal itu berlangsung selama satu atau dua
hari, kemudian berlalu.
(4) Depresi dan manula. Usia tua merupakan saat meningkatnya kerentanan
terhadap depresi. Namun kadang-kadang depresi pada manula ditutupi
oleh penyakit fisik dan cacat tubuh seperti penglihatan atau pendengaran
yang terganggu. Oleh karena itu sangatlah penting untuk mengingat
kemungkinan terjadinya penyakit depresi pada orang tua.
2.3.3 Faktor predisposisi
Terapat 2 teori untuk menjelaskan faktor pendukung terjadinya depresi
(Townsend, 2008) :
1) Teori biologis
(1) Genetik. Dari sejumlah penyelidikan yang telah dilakukan, ditemukan
bahwa terdapat dukungan keterlibatan herediter dalam penyakit depresi.
Luasnya akibat pada pokoknya tampak menjadi lebih tinggi diantara
individu-individu yang memiliki hubungan keluarga dengan kelainan
tersebut dari pada diantara populasi umum.
(2) Biokimia. Ketidakseimbangan elektrolit tampak memainkan peranan
dalam penyakit depresif suatu kesalahan hasil metabolisme dalam
perubahan natrium dan kalium di dalam neuron.

22

(3) Teori biokimia yang lainnya menyangkut biogenik amin norepinefrin,


depamin dan serotinin. Tingkatan zat-zat kimia ini mengalami defisiensi
dalam individu penyakit depresif.
2) Teori psikososial
(1) Psikoanalisa. Teori ini melibatkan suatu ketidakpuasan dalam hubungan
awal ibu-bayi sebagai suatu predisposisi untuk penyakit depresif.
Kebutuhan bayi tidak terpenuhi, suatu kondisi yang digambarkan sebagai
suatu kehilangan. Respon berduka belum terpecahkan, kemarahan dan
permusuhan ditujukan kepada diri sendiri. Ego tetap lemah, sementara
super ego meluas dan menjadi menghukum.
(2) Kognitif. Ahli teori-teori ini yakin bahwa penyakit depresif terjadi sebagai
suatu hasil dari kelainan kognitif. Kelainan proses pikir membantu
perkembangan

evaluasi

diri

individu.

Persepsi

merupakan

ketidakadekuatan dan ketidakberhargaan. Pandangan untuk masa depan


merupakan suatu kepesimisan, keputusasaan.
(3) Teori pembelajaran. Teori ini mengemukakan bahwa penyakit depresif
dipengaruhi oleh keyakinan individu bahwa ada kurang kontrol atau
situasi-situasi kehidupannya. Ini dianggap bahwa keyakinan ini muncul
dari pengalaman-pengalaman yang mengakibatkan kegagalan (baik yang
dirasakan atau yang nyata). Setelah sejumlah kegagalan, individu merasa
tidak berdaya untuk berhasil dalam usaha-usaha yang keras dan oleh
karena itu berhenti mencoba. Pembelajaran ketidakberdayaan ini
digambarkan sebagai suatu predisposisi untuk penyakit depresif.

23

(4) Teori kehilangan obyek. Teori ini menyatakan bahwa penyakit depresif
terjadi jika pribadi tersebut terpisah dari atau ditolak orang terdekat selama
6 buolan pertama kehidupan. Proses ikatan diputuskan dan anak menarik
diri dari orang lain dan lingkungan.
2.3.4 Faktor pencetus
Ada empat sumber utama stessor yang dapat menyebabkan gangguan alam
perasaan (Stuart & Sundeen, 2012) :
1) Kehilangan keterikatan. Kehilangan yang nyata atau yang dibayangkan,
termasuk kehilangan cinta, seseorang, fungsi fisik, kedudukan atau harga diri.
Karena elemen aktual dan simbolik melibatkan konsep kehilangan maka
persepsi pasien merupakan hal yang sangat penting.
2) Peristiwa besar dalam kehidupan. Peristiwa besar dalam kehidupan sering
dilaporkan sebagai pendahulu episode depresi dan mempunyai dampak
terhadap masalah-masalah yang dihadapi sekarang dan kemampuan
menyelesaikan masalah.
3) Peran dan ketegangan peran. Telah dilaporkan mempengaruhi perkembangan
depresi, terutama pada wanita.
4) Perubahan fisiologik. Perubahan fisiologik yang diakibatkan oleh obat-obatan
atau berbagai penyakit fisik, seperti infeksi, neoplasma dan gangguan
keseimbangan metabolik, dapat mencetuskan gangguan alam perasaan.
2.3.5 Gejala Depresi
Depresi satu waktu mungkin terlihat hanya dalam bentuk gangguan badani.
Akan terlihat perbedaan antara satu gejala dengan gejala lainnya, walaupun hal itu

24

hanya muncul dalam bentuk keluhan badani. Gejala-gejala depresi diantaranya


yaitu :
1) Perasaan sedih atau mudah tersinggung. Artinya, pada suatu saat dalam
perjalanan penyakit depresi ini, timbul perasaan yang tidak menyenangkan
dan terjadi setiap saat selama perjalanan penyakit tersebut.
2) Kehilangan rasa senang. Tidak ada gairah/ ketertarikan pada hal-hal yang
sebelumnya disenangi atau disukai.
3) Makan terlalu banyak atau terlalu sedikit.
4) Tidur terganggu. Susah masuk tidur atau terbangun beberapa saat sesudah
tertidur dan susah kembali masuk tidur. Atau bangun terlalu cepat di pagi hari.
5) Gelisah yang berlebih-lebihan, tanpa alas an yang jelas, timbul gelisah dan
kecemasan yang berlebihan.
6) Merasa tidak berguna, tidak ada harapan atau merasa menjadi beban bagi
orang lain karena penderitaan yang dihadapi.
7) Konsentrasi berkurang.
8) Tidak dapat mengingat dan gampang lupa.
9) Rasa lelah atau dirasakan bahwa energinya hilang sama sekali, sehingga hanya
untuk hal-hal yang kecil membutuhkan energi yang luar biasa.
10) Berpikir bahwa hidup ini tak ada gunanya. Seringkali timbul dalam pikiran
untuk bunuh diri dan segera harus menyudahi hidupnya. Berarti kematian
segera atau dihadapkan datang (Ibrahim, 2011).

25

2.3.6 Klasifikasi Depresi


Menurut PPDGJ (Maslim, 2010), klasifikasi depresi adalah sebagai
berikut:
1) Episode depresif ringan
(1) Minimal harus ada dua dari tiga gejala utama depresi
(2) Ditambah sekurang- kurangnya dua gejala sampingan (yang tidak boleh
ada gejala berat diantaranya)
(3) Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu
(4) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya.
2) Episode depresif sedang
(1) Minimal harus ada dua dari 3 gejala utama
(2) Ditambah sekurang- kurangnya 3 (dan sebaiknya empat) dari gejala
lainnya
(3) Seluruh episode berlangsung minimal 2 minggu
(4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan
dan urusan rumah tangga.
(5) Tanpa gejala somatik atau dengan gejala somatik.
3) Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
(1) Semua gejala utama harus ada
(2) ditambah minimal 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya harus
berintensitas berat
(3) Episode depresi terjadi minimal 2 minggu, namun dibenarkan dalam
kurung waktu yang lebih singkat apabila gejala luar biasa beratnya dan
berlangsung cepat.
(4) Sangat tidak mungkin pasien untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan,
atau urusan rumah tangga kecuali pada taraf yang sangat terbatas.
4) Episode depresif berat dengan gejala psikotik
(1) Memenuhi seluruh kriteria episode depresif berat tanpa gejala psikotik
(2) Disertai waham, halusinasi, atau stupor depresif
2.3.7 Penatalaksanaan

26

1) Terapi fisik
(1) Obat. Secara umum, semua obat antideprean sama efektifitasnya.
Pemilihan jenis antidepresan ditentukan oleh pengalaman klinikus dan
pengenalan terhadap berbagai jenis antidepresan. Biasanya pengobatan
dimulai dengan dosis separuh dosis dewasa, lalu dinaikkan perlahan-lahan
sampai ada perbaikan gejala.
(2) Terapi elektrokonvulsif (ECT). Untuk pasien depresi yang tidak bisa
makan dan minum, berniat bunuh diri atau retardasi hebat maka ECT
merupakan pilihan terapi yang efektif dan aman. ECT diberikan 1-2 kali
seminggu pada pasien rawat inap, urilateral untuk mengurangi confulsion
atau memory problem. Terapi ECT diberikan sampai ada perbaikan mood
(sekitar 5-10 kali), dilanjutkan dengan antidepresan untuk mencegah
kekambuhan.

27

2) Terapi psikologik
(1) Psikoterapi. Psikoterapi individual maupun kelompok paling efektif
dilakukan bersama-sama dengan pemberian antidepresan. Baik pendekatan
psikodinamik maupun kognitif behavior sama keberhasilannya. Meskipun
mekanisme psikoterapi tidak sepenuhnya dimengerti, namun kecocokan
antara terapi dan pasien dalam proses terapeutik akan meredakan gejala
dan membuat paisen lebih nyaman, lebih mampu mengatasi persoalannya
serta lebih percaya diri.
(2) Terapi kognitif. Terapi kognitif-perilaku bertujuan mengubah pola pikir
pasien yang selalu negatig (persepsi diri, masa depan, dunia, diri tak
berguna, tidak mampu dan sebagainya). Kearah pola pikir yang netral atau
positif. Melalui latihan-latihan tugas dan aktivitas tertentu kognitif
bertujuan mengubah perilaku dan pola pikir.
(3) Terapi keluarga. Problem keluarga dapat berperan dalam perkembangan
penyakit depresi, sehingga dukungan terhadap keluarga pasien sangat
penting. Proses penuaan mengubah dinamika keluarga ada perubahan
posisi dari dominan menjadi dependen pada usia lanjut. Tujuan terapi
terhadap keluarga pasien depresi adalah untuk meredakan perasaan frustasi
dan putus asa, mengubah dan memperbaiki sikap atau struktur dalam
keluarga yang menghambat proses penyembuhan pasien.

28

2.4
Konsep Depresi Post Partum
2.4.1 Pengertian
Depresi postpartum adalah perasaan sedih akibat berkurangnya kebebasan
bagi ibu, penurunan estetika dan perubahan tubuh, berkurangnya interaksi sosial
dan kemandirian yang disertai dengan gejala sulit tidur, kurang nafsu makan,
cemas, tidak berdaya, kehilangan kontrol, pikiran yang menakutkan mengenai
kondisi bayi, kurang memerhatikan bentuk tubuhnya, tidak menyukai bayi dan
takut menyentuh bayinya dimana hal ini terjadi selama 2 minggu berturut-turut
dan menunjukkan perubahan dari keadaan sebelumnya (Lubis, 2010).
Jadi dapat disimpulkan bahwa depresi postpartum adalah salah satu bentuk
depresi yang timbul setelah ibu melahirkan bayi dan berlangsung pada tahun
pertama setelah kelahiran bayi. Hal ini disebabkan karena periode tersebut
merupakan periode transmisi kehidupan yang baru yang cukup membuat stress,
dimana ibu harus beradaptasi perubahan fisik dan psikologis dan sosial yang
dialaminya karena melahirkan dan mulai merawat bayi. Namun tidak semua ibu
mampu melakukan adaptasi dan mengatasi stressor sehingga timbul keluhankeluhan antara lain berupa stress, cemas dan depresi.
2.4.2 Faktor Penyebab Depresi Postpartum
Menurut Kruckman dalam Soep (2008), terjadinya depresi postpartum
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
1) Faktor biologis berupa perubahan kadar hormonal seperti estrogen,
progesteron, prolaktin dan estradiol yang terlalu tinggi atau terlalu rendah
dalam masa melahirkan atau mungkin perubahan hormon tersebut terlalu
cepat atau terlalu lambat.
2) Faktor demografi yaitu umur perempuan yang bersangkutan saat kehamilan
dan persalinan seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental perempuan

29

tersebut untuk menjadi seorang ibu, umur yang tepat bagi seorang perempuan
untuk melahirkan pada usia antara 20-30 tahun.
3) Faktor pengalaman melahirkan yaitu dari paritas ibu, depresi postpartum lebih
banyak ditemukan pada perempuan yang baru pertama kali melahirkan
(primipara) bahwa peran seorang ibu dan segala yang berkaitan dengan
bayinya merupakan situasi yang sama sekali baru bagi dirinya dan dapat
menimbulkan stress.
4) Faktor pendidikan, perempuan yang berpendidikan tinggi menghadapi tekanan
sosial dan konflik peran, antara tuntutan sebagai perempuan yang memiliki
dorongan untuk bekerja atau melakukan aktivitasnya diluar rumah, dengan
peran sebagai ibu rumah tangga dan orang tua dari anak-anaknya.
5) Faktor selama persalinan, hal ini mencakup lamanya persalinan serta
intervensi medis yang digunakan selama proses persalinan. Diduga semakin
besar trauma fisik yang ditimbulkan pada saat persalinan, maka akan semakin
besar pula trauma psikis yang muncul dan kemungkinan perempuan yang
bersangkutan akan menghadapi depresi postpartum.
6) Faktor dukungan sosial dari suami dan keluarga yang membantu pada saat
kehamilan, persalinan, dan pascasalin, beban seorang ibu sedikit banyak
berkurang.
Menurut Pilliterri dalam Regina (2001), faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya depresi postpartum yaitu :
1) Kelelahan setelah melahirkan yang menyebabkan berubahnya pola tidur dan
kurangnya istirahat menyebabkan ibu yang baru melahirkan belum kembali ke
kondisi normal.
2) Kegalauan dan kebingungan dengan kelahiran bayi yang baru, dan perasaan
tidak percaya diri untuk dapat merawat bayinya yang baru sementara masih
merasa bertanggung jawab dengan semua pekerjaan yang ada.

30

3) Perasaan stress dari perubahan dalam pekerjaan maupun rutinitas dalam


rumah tangga.
4) Perasaan kehilangan akan identitas, akan kemampuan diri, akan figur tubuh
sebelum kehamilan dan perasaan akan menjadi kurang menarik.
5) Kurangnya waktu untuk diri sendiri sebagaimana yang dillakukan sebelum
dan selama kehamilan dan harus tinggal di dalam rumah dalam jangka waktu
yang lama.
Menurut Bownes (2003), yang mengutip pendapat Pillitteri faktor
perubahan fisik yang dapat mempengaruhi keadaan psikologis ibu yaitu:
1) Involusio Uterus
Involusio uterus adalah kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil baik
dalam bentuk maupun posisi. Selain uterus, vagina, ligament uterus dan otot
dasar panggul juga kembali ke keadaan sebelum hamil. Selama proses
involusio, uterus menipis dan mengeluarkan lochea yang digantikan dengan
endometrium baru. Proses involusio juga disertai dengan penurunan tinggi
fundus uteri (TFU). Pada hari pertama TFU diatas sympisis pubis atau sekitar
12 cm. hal ini terus berlangsung dengan penurunan TFU 1 cm setiap harinya,
sehingga pada hari ketujuh TFU berkisar 5 cm dan pada hari ke 10 TFU tidak
teraba di sympisis pubis. Seminggu setelah melahirkan, uterus sudah berada di
dalam panggul dan pada minggu ke 6 beratnya menjadi 50-60 gram.
2) Ekskresi Lochea
Lochea adalah ekskresi cairan rahim selama masa nifas. Lochea
mengandung darah dan sisa jaringan desidua yang nekrotik dari dalam uterus.
Lochea dibedakan atas tiga yaitu 1) lochea rubra : lochea yang keluar pada
hari pertama sampai hari keempat masa postpartum. Dengan ciri darah segar,

31

terdapat sisa jaringan plasenta, lanugo dan mekonium. 2) lochea sanguinolenta


berwarna merah kecoklatan dan berlendir, berlangsung pada hari ke-4 sampai
hari ke-7. 3) lochea serosa berwarna kuning kecoklatan karena mengandung
serum, leukosit dan laserasi jalan lahir, keluar pada hari ke-7 sampai hari ke14. 4) lochea alba mengandung leukosit, sel desidua, selaput lendir serviks dan
serabut jaringan yang mati, berlangsung selama 2-6 minggu (Sulistyawati,
2009).
3) Perubahan pada Vulva, Vagina dan Perineum
Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang sangat
besar selama proses melahirkan bayi, dan dalam beberapa hari organ ini tetap
berada dalam keadaan kendur, setelah minggu ketiga rugae dalam vagina
secara berangsur-angsur akan muncul kembali sementara labia jadi lebih
menonjol. Perubahan pada perineum pasca melahirkan terjadi pada saat
perineum mengalami robekan. Robekan jalan lahir dapat terjadi secara
spontan ataupun episiotomi.
4) Perubahan Sistem Endokrin
Keadaan hormon plasenta menurun dengan cepat, hormon plasenta
lactogen tidak dapat terdeteksi dalam 24 jam post partum, hormon HCG
menurun dengan cepat, estrogen turun sampai 10%. Adanya perubahan dari
hormon plasenta yaitu estrogen dan progesteron yang menurunmengakibatkan
prolaktin meningkat, FSH dan LH menurun.
2.4.3 Tanda dan Gejala Depresi Postpartum
Gejala depresi seringkali timbul bersamaan dengan gejala kecemasan
dengan keluhan seperti sukar tidur, merasa bersalah, kelelahan, sukar konsentrasi,

32

hingga pikiran mau bunuh diri. Menurut Vandenburg (dalam Cunningham, dkk,
2014) menyatakan bahwa keluhan dan gejala depresi postpartum tidak berbeda
dengan yang terdapat pada kelainan depresi lainnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ling dan Duff (2001), bahwa gejala
depresi postpartum yang dialami 60% wanita mempunyai karakteristik sebagai
berikut:
1) Mimpi buruk. Karena mimpi-mimpi yang menakutkan, individu sering
terbangun sehingga dapat mengakibatkan tidak dapat tidur kembali.
2) Insomnia, biasanya timbul sebagai gejala suatu gangguan lain yang
mendasarinya seperti kecemasan dan depresi atau gangguan emosi lain yang
terjadi dalam hidup manusia.
3) Phobia, rasa takut yang irrasional terhadap sesuatu benda atau keadaan yang
tidak dapat dihilangkan atau ditekan oleh ibu, biarpun diketahuinya bahwa hal
itu irrasional adanya.
4) Kecemasan, ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran yang timbul
karena dirasakan akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, tetapi
sumbernya sebagaian besar tidak diketahuinya.
5) Meningkatnya sensitivitas. Periode pasca melahirkan meliputi banyak sekali
penyesuaian diri dan pembiasaan diri. Bayi harus diurus, ibu harus pulih
kembali dari persalinan, ibu harus belajar bagaimana merawat bayi, ibu perlu
belajar merasa puas atau bahagia terhadap dirinya sendiri sebagai seorang ibu.
Kurangnya pengalaman atau kurangnya rasa percaya diri dengan bayi yang
lahir atau waktu tuntutan yang ekstensif akan meningkatkan sensitivitas ibu.

33

6) Perubahan mood, depresi postpartum muncul dengan gejala sebagai berikut :


kurang nafsu makan, sedih-murung, terganggu dengan perubahan fisik,sulit
konsentrasi, melukai diri, menyalahkan diri, lemah dalam kehendak, tidak
mempunyai harapan untuk masa depan, tidak mau berhubungan dengan orang
lain. Disisi lain kadang ibu jengkel dan sulit untuk mencintai bayinya yang
tidak mau tidur dan menangis terus serta mengotori kain yang baru diganti.
Hal ini menimbulkan kecemasan dan perasaan bersalah pada diri ibu walau
jarang ditemui ibu yang benar-benar memusuhi bayinya.

34

Menurut Sitti Saleha (2009), tanda dan gejala yang mungkin diperlihatkan
pada penderita depresi postpartum adalah sebagai berikut :
1) Perasaan sedih dan kecewa.
2) Sering menangis.
3) Merasa gelisah dan cemas.
4) Kehilangan ketertarikan terhadap hal-hal yang menyenangkan.
5) Nafsu makan menurun.
6) Kehilangan energi dan motivasi untuk melakukan sesuatu.
7) Tidak bisa tidur (insomnia)
8) Perasaan bersalah dan putus harapan (hopeless).
9) Penurunan atau peningkatan berat badan yang tidak dapat dijelaskan.
10) Memperlihatkan penurunan keinginan untuk mengurus bayinya.
Menurut Anshari dalam Soep (2008), secara global diperkirakan 20%
wanita setelah melahirkan mengalami depresi postpartum dengan gejala-gejala
yang hampir sama dengan gejala-gejala tersebut lebih khas antara lain:
1) Perasaan yang negatif pada bayi yang dilahirkannya
2) Kesulitan untuk tidur
3) Sering menangis
4) Makan terlalu banyak atau terlalu sedikit
5) Rasa tidak berharga dan bersalah
6) Menjauhkan diri dari teman atau keluarga
7) Kehilangan harapan dan pesimistik
8) Sakit kepala, nyeri dada, jantung berdebar-debar dan napas cepat

35

9) Sulit untuk berkonsentrasi dan tidak dapat membuat keputusan


10) Merencanakan dan percobaan bunuh diri
2.4.4 Penatalaksanaan Depresi Postpartum
Menurut Albin (dalam Soep, 2008), banyak perempuan tidak mau bercerita
bahwa mereka menderita depresi postpartum, karena merasa malu, takut dan
merasa bersalah karena merasa depresi disaat seharusnya merasa bahagia, dan
takut dikatakan tidak layak untuk menjadi ibu, ada beberapa bantuan yang dapat
dilakukan untuk mengatasi depresi tersebut antara lain :
1) Banyak istirahat sebisanya, tidurlah selama bayi tidur.
2) Hentikan membebani diri sendiri untuk melakukan semuanya sendiri.
Kerjakan apa yang dapat dilakukan dan berhenti saat merasa lelah
3) Mintalah bantuan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan pemberian
makan pada malam hari, mintalah pada suami untuk mengangkat bayi untuk
disusui saat malam hari sehingga ibu dapat menyusui di tempat tidur tanpa
harus banyak bergerak.
4) Bicarakan dengan suami, keluarga, teman, mengenai perasaan yang dimiliki.
5) Jangan sendirian dalam jangka waktu lama, pergilah keluar rumah untuk
merubah suasana hati.
6) Bicaralah dengan ibunda agar dapat saling bertukar pengalaman.
7) Ikuti group support untuk perempuan dengan depresi melalui edukasi.
8) Jangan membuat perubahan hidup yang sangat drastis selama kehamilan
seperti pindah pekerjaan, pindah rumah, memulai usaha baru, merenovasi atau
membangun rumah.

36

Menurut Sitti Saleha (2009 : 67), beberapa intervensi berikut dapat


membantu seorang wanita terbebas dari ancaman depresi setelah melahirkan.
Diantara yaitu :
1) Pelajari diri sendiri. Pelajari dan mencari informasi mengenai depresi
postpartum, sehingga Anda sadar terhadap kondisi ini. Apabila terjadi, maka
Anda akan segera mendapatkan bantuan secepatnya.
2) Tidur dan makan yang cukup. Diet nutrisi cukup penting untuk kesehatan,
lakukan usaha yang terbaik dengan makan dan tidur yang cukup. Keduanya
penting selama periode postpartum dan kehamilan.
3) Olahraga. Olahraga adalah kunci untuk mengurangi postpartum. Lakukan
peregangan selama 15 menit dengan berjalan setiap hari, sehingga membuat
Anda merasa lebih baik dan menguasai emosi berlebihan dalam diri Anda.
4) Hindari

perubahan

hidup

sebelum

atau

sesudah

melahirkan.

Jika

memungkinkan, hindari membuat keputusan besar seperti membeli rumah atau


pindah kerja, sebelum atau setelah melahirkan. Tetaplah hidup secara
sederhana dan menghindari stres, sehingga dapat segera dan lebih mudah
menyembuhkan postpartum yang diderita.
5) Beritahukan

Perasaan

Anda.

Jangan

takut

untuk

berbicara

dan

mengekspresikan perasaan yang Anda inginkan dan butuhkan demi


kenyamanan Anda sendiri. Jika memiliki masalah dan merasa tidak nyaman
terhadap sesuatu, segera beritahukan pada pasangan atau orang terdekat.

37

6) Dukungan keluarga dan orang lain diperlukan. Dukungan dari keluarga atau
orang yang Anda cintai selama melahirkan, sangat diperlukan. Ceritakan pada
pasangan atau orangtua Anda, atau siapa saja yang bersedia menjadi
pendengar yang baik. Yakinkan diri Anda, bahwa mereka akan selalu berada di
sisi Anda setiap mengalami kesulitan.
7) Persiapkan diri dengan baik. Persiapan sebelum melahirkan, sangat
diperlukan. Ikutlah kelas senam hamil yang sangat membantu, serta buku atau
artikel lainnya yang Anda perlukan. Kelas senam hamil akan sangat membantu
Anda dalam mengetahui berbagai informasi yang diperlukan, sehingga
nantinya Anda tak akan terkejut setelah keluar dari kamar bersalin. Jika Anda
tahu apa yang diinginkan, pengalaman traumatis saat melahirkan akan dapat
dihindari.
8) Lakukan pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan rumah tangga sedikitnya dapat
membantu Anda melupakan golakan perasaan yang terjadi selama periode
postpartum. Kondisi Anda yang belum stabil, bisa Anda curahkan dengan
memasak atau membersihkan rumah. Mintalah dukungan dari keluarga dan
lingkungan Anda, meski pembantu rumah tangga Anda telah melakukan
segalanya.
9) Dukungan emosional. Dukungan emosi dari lingkungan dan juga keluarga,
akan membantu Anda dalam mengatasi rasa frustasi yang menjalar. Ceritakan
kepada mereka bagaimana perasaan serta perubahan kehidupan Anda, hingga
Anda merasa lebih baik setelahnya.

38

10) Dukungan kelompok Depresi Postpartum. Dukungan terbaik datang dari


orang-orang yang ikut mengalami dan merasakan hal yang sama dengan Anda.
Carilah informasi mengenai adanya kelompok depresi postpartum yang bisa
Anda ikuti, sehingga Anda tidak merasa sendirian menghadapi persoalan ini.
2.4.5 Skrining Depresi Postpartum
Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) ialah salah satu metode
untuk mendeteksi depresi pasca persalinan. Walaupun tidak umum, EPDS dapat
dengan mudah digunakan selama 6 minggu pasca persalinan. EDPS berupa
kuisioner yang terdiri dari 10 pertanyaan mengenai bagaimana perasaan pasien
dalam satu minggu terakhir. (Perfetti J, Clark L dan Fillmore CM, 2005; Bloch
dkk, 2005; Cohen dan Nonacs, 2005; Elvira 2006; Klainin dan Arthur, 2009;
Muhdi, 2009; O'Hara dkk, 1991).
1) Cara penilaian EPDS : 1) Pertanyaan 1, 2, dan 4 Mendapatkan nilai 0, 1, 2,
atau 3 dengan kotak paling atas mendapatkan nilai 0 dan kotak paling bawah
mendapatkan nilai 3. 2) Pertanyaan 3,5 sampai dengan 10 merupakan
penilaian terbalik, dengan kotak paling atas mendapatkan nilai 3 dan kotak
paling bawah mendapatkan nilai 0. 3) Pertanyaan 10 merupakan pertanyaan
yang menunjukkan keinginan bunuh diri. 4) Nilai maksimal : 30. 5)
Kemungkinan depresi: nilai 10 atau lebih
2) Cara pengisian EPDS : 1) Para ibu diharap untuk memberikan jawaban
tentang perasaan yang terdekat dengan pertanyaan yang tersedia dalam 7 hari
terakhir. 2) Semua pertanyaan kuisioner harus dijawab. 3) Jawaban kuisioner
harus berasal dari ibu sendiri. Hindari kemungkinan ibu mendiskusikan
pertanyaan dengan orang lain. 4) Ibu harus menyelesaikan kuisioner ini

39

sendiri, kecuali ia mengalami kesulitan dalam memahami bahasa atau tidak


bisa membaca.
3) Keuntungan EPDS : 1) Mudah dihitung (oleh perawat, bidan, petugas
kesehatan lain). 2) Sederhana. 3) Cepat dikerjakan (membutuhkan waktu 5-10
menit bagi ibu untuk menyelesaikan EPDS). 4) Mendeteksi dini terhadap
adanya depresi pasca persalinan. 5) Lebih diterima oleh pasien. 6) Tidak
memerlukan biaya
4) Kekurangan EPDS : 1) Tidak bisa mendiagnosis depresi pasca persalinan.
2) Tidak bisa mengetahui penyebab dari depresi pasca persalinan. 3) Belum
divalidasi di Indonesia
Para ibu yang memiliki skor diatas 10 sepertinya menderita suatu depresi
dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Skala ini menunjukan perasaan sang
ibu dalam 1 minggu terakhir Khusus untuk nomor 10, jawaban: ya, cukup sering,
merupakan suatu tanda dimana dibutuhkan keterlibatan segera dari perawatan
psikiatri. Wanita yang mengalami gangguan fungsi (dibuktikan dengan
penghindaran dari keluarga dan teman, ketidakmampuan menjalankan kebersihan
diri, ketidakmampuan merawat bayi) juga merupakan keadaan yang
membutuhkan penanganan psikiatri segera. Wanita yang memiliki skor antara 5
dan 9 tanpa adanya pikiran untuk bunuh diri sebaiknya dilakukan evaluasi ulang
setelah 2 minggu untuk menentukan apakah episode depresi mengalami
perburukan atau membaik. EPDS yang dilakukan pada minggu pertama pada
wanita yang tidak menunjukkan gejala depresi dapat memprediksi kemungkinan
terjadinya depresi pasca persalinan pada minggu ke 4 dan 8. EPDS tidak dapat
mendeteksi kelainan neurosis, phobia, kecemasan, atau kepribadian, namun dapat
dilakukan sebagai alat untuk mendeteksi adanya kemungkinan depresi

40

antepartum. Sensitifitas dan spesifisitas EPDS sangat baik. Dengan menggunakan


cut of point.
2.5

Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat

dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan


antarvariabel (baik variable yang diteliti maupun yang tidak diteliti) (Nursalam,
2016).
Ringan
Sedang
Normal
Berat

Faktor penyebab depresi postpartum :


Faktor yang mempengaruhi paritas:
Pendidikan

Faktor biologis

Pekerjaan

Faktor demografi.

Keadaan Ekonomi

Faktor pendidikan

Latar Belakang Budaya

Faktor selama persalinan.

Pengetahuan

Faktor dukungan sosial.


Paritas
Primipara

Multipara

Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
: Mempengaruhi

Depresi
post partum
Grandemultipara

41

Gambar 2.1

2.6

Kerangka konseptual hubungan antara paritas dengan kejadian


depresi ibu post partum di Puskesmas Padangan Kabupaten
Bojonegoro Tahun 2017.

Hipotesis
Menurut La Biondo-Wood dan Haber (2002), hipotesis adalah suatu

pernyataan asumsi tentang hubungan antara dua atau lebih variable yang diharapkan
bias menjawab suatu pertanyaan dalam penelitian (Nursalam, 2016).
Dalam penelitian ini hipotesis yang dipakai adalah :
H1 : Ada hubungan antara paritas dengan kejadian depresi ibu post partum di
Puskesmas Padangan Kabupaten Bojonegoro Tahun 2017.

42

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Desain penelitian adalah hasil akhir dari suatu tahap keputusan yang
dibuat oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu penelitian bisa
diterapkan (Nursalam, 2016).
Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian korelasional
yaitu suatu penelitian yang mengkaji hubungan antar variabel. Peneliti dapat
mencari, menjelaskan suatu hubungan, memperkirakan, dan menguji berdasarkan
teori yang ada (Nursalam, 2016).
Pada penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional yaitu jenis
penelitian yang menekankan waktu pengukuran/observasi data variabel
independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat (Nursalam, 2016).
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
1) Waktu Penelitian
Penelitian ini dimulai dari study pendahuluan hingga pengambilan data
penelitian yang dilaksanakan mulai bulan Januari-Maret 2017.
2) Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Padangan Kabupaten
Bojonegoro.

43

3.3 Kerangka Kerja


Kerangka kerja pentahapan (langkah-langkah dalam aktivitas ilmiah) mulai
dari pentahapan populasinya sampel dan seterusnya yaitu kegiatan sejak awal
penelitian akan dilaksanakan (Nursalam, 2016).

Populasi : Semua ibu post partum di Puskesmas Padangan Kabupaten Bojonegoro pada bulan Januari-Maret 2017.

Sampling menggunakan teknik Non-Probability Sampling dengan consecutive sampling

Sampel :Sebagian ibu post partum di Puskesmas Padangan Kabupaten Bojonegoro pada bulan Januari- Maret 2017.

Identifikasi variabel

Variabel independent

Variabel dependent

Paritas

Kejadian depresi ibu post partum

Kuesioner

Kuesioner

Pengolahan data, tabulasi dan analisa data dengan Uji Spearmans Rho

Kesimpulan

Gambar 3.1

Kerangka kerja hubungan antara paritas dengan kejadian depresi


ibu post partum di Puskesmas Padangan Kabupaten Bojonegoro
Tahun 2017.

44

3.4 Populasi, Sampel Dan Sampling


3.4.1 Populasi
Populasi dalam penelitian adalah subjek (misalnya manusia; klien) yang
memenuhi kriteria yang ditetapkan (Nursalam, 2016). Populasi dalam penelitian
ini adalah semua ibu post partum di Puskesmas Padangan Kabupaten Bojonegoro
pada bulan Januari-Maret 2017.
3.4.2 Sampel
Sampel adalah bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai
subyek penelitian melalui sampling (Nursalam, 2016). Sampel dalam penelitian
ini adalah sebagian ibu post partum di Puskesmas Padangan Kabupaten
Bojonegoro pada bulan Januari- Maret 2017.
3.4.3 Sampling
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat
mewakili populasi. Teknik sampling merupakan cara-cara yang di tempuh dalam
pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan
dengan keseluruhan subjek penelitian (Nursalam, 2016).
Pada penelitian ini menggunakan non-probability sampling dengan cara
consecutive sampling. Non-Probability Sampling adalah teknik pengambilan
sampel dengan tidak memberikan peluang yang sama dari setiap anggota populasi,
yang bertujuan tidak untuk generalisasi, yang berasas pada probabilitas yang tidak
sama (Hidayat, 2014). Consecutive Sampling adalah cara pengambilan sampel ini
dilakukan dengan memilih sampel yang memenuhi kriteria penelitian sampai
kurun waktu tertentu sehingga jumlah sampel terpenuhi (Hidayat, 2014).

45

3.5 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional


3.5.1 Identifikasi Variabel
Variabel adalah sebuah konsep yang dapat dibedakan menjadi dua, yakni
yang bersifat kuantitatif dan kualitatif, sebagai contoh, variabel kuantitatif adalah
variabel berat badan, umur, tinggi badan, sedangkan variabel kualitatif di
antaranya adalah persepsi, respons, sikap, dan lain-lain (Hidayat, 2014).
Pada penelitian ini ada 2 variabel yaitu :
1) Variabel Independent (bebas)
Variabel independen ini merupakan variabel yang menjadi sebab
perubahan atau timbulnya variabel dependen (terikat). Variabel ini juga
dikenal dengan nama variabel bebas artinya bebas dalam memngaruhi variabel
lain, variabel ini punya nama lain seperti variabel prediktor, risiko, atau kausa
(Hidayat, 2014). Variabel independent dalam penelitian ini adalah Paritas.
2) Variabel Dependent (terikat)
Variabel dependen ini merupakan variabel yang dipengaruhi atau
menjadi akibat karena variabel bebas. Variabel ini tergantung dari variabel
bebas terhadap perubahan. Variabel ini juga disebut sebagai variabel efek,
hasil, outcome, atau event (Hidayat, 2014). Variabel dependent dalam
penelitian ini adalah Kejadian Depresi Ibu Post Partum.

46

3.5.2 Definisi Operasional


Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati
dari sesuatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2016).
Tabel 3.1

Variabel
Variabel
independen
Paritas

Variabel
dependen
Kejadian
depresi ibu
post partum

Definisi operasional hubungan antara paritas dengan kejadian depresi


ibu post partum di Puskesmas Padangan Kabupaten Bojonegoro
Tahun 2017.
Definisi
operasional

Parameter

Pemantauan
ibu terhadap
Jumlah
kehamilan
yang
menghasilkan
janin hidup
atau mati,
bukan jumlah
janin yang
dilahirkan

Paritas :
1. Primipara
2. Multipara
3. Grande
multipara

Gangguan
psikologis ibu
post partum
yang diukur
berdasarkan
skala
Edinburgh
Postnatal
Depression
Scale (EPDS)

Alat ukur depresi


pada ibu post
partum
dengan
Edinburgh
Postnatal
Depression Scale
(EPDS), dengan
gejala-gejala khas
antara lain:
1. Perasaan
yang negatif
pada
bayi
yang
dilahirkannya

Alat ukur

Skala

Kuesioner

Ordinal

1.

Skor

Skor :
1 : Primipara
2 : Multipara
3 : Grande
multipara
Dengan kriteria :
1. Primipara, jika
ibu hamil 1
kali.
2. Multipara, jika
ibu hamil 2-4
kali.
3. Grande
multipara, jika
ibu hamil 5
kali.

Kuesioner

Ordinal

Penilaian EPDS :
1) Pertanyaan 1, 2,
dan 4
Mendapatkan
nilai 0, 1, 2,
atau 3 dengan
kotak paling
atas
mendapatkan
nilai 0 dan
kotak paling
bawah
mendapatkan
nilai 3.

47

Variabel

Definisi
operasional

Parameter
2. Kesulitan
untuk tidur
3. Sering
menangis
4. Makan terlalu
banyak atau
terlalu sedikit
5. Rasa
tidak
berharga dan
bersalah
6. Menjauhkan
diri
dari
teman
atau
keluarga
7. Kehilangan
harapan dan
pesimistik
8. Sakit kepala,
nyeri
dada,
jantung
berdebardebar
dan
napas cepat
9. Sulit
untuk
berkonsentrasi dan tidak
dapat
membuat
keputusan
10. Merencanakan
dan
percobaan
bunuh diri

Alat ukur

Skala

Skor
2) Pertanyaan 3,5
sampai dengan
10 merupakan
penilaian
terbalik, dengan
kotak paling
atas
mendapatkan
nilai 3 dan
kotak paling
bawah
mendapatkan
nilai 0
3) Pertanyaan 10
merupakan
pertanyaan
yang
menunjukkan
keinginan
bunuh diri.
4) Nilai
maksimal : 30
5) Kemungkinan
depresi: nilai 10
atau lebih
Dengan kriteria
depresi :
1. Normal :
Skor < 10 tanpa
ada gejala pada
kuesioner item
10.
2. Ringan :
Skor 10 tanpa
ada gejala pada
kuesioner item
10.
3. Sedang :
Skor 15-20
tanpa ada gejala
pada kuesioner
item 10.
4. Berat
:
Skor > 20
dengan atau
tanpa ada gejala
pada kuesioner

48

Variabel

Definisi
operasional

Parameter

Alat ukur

Skala

Skor
item 10.

3.6 Pengumpulan dan Analisa Data


3.6.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subyek dan
proses pengumpulan karakteristik subyek yang dikumpulkan dalam suatu
penelitian (Nursalam, 2016). Prosedur pengumpulan data dilakukan sebagai
berikut :
Prosedur pengumpulan data primer pada penelitian ini diawali dengan
peneliti

terlebih

dahulu

mendapat

rekomendasi

dari

Ketua

STIKES

Muhammadiyah Lamongan, kemudian peneliti meminta ijin kepada Kepala


Puskesmas Padangan Kabupaten Bojonegoro. Proses pengambilan data diawali
dengan memberikan lembar persetujuan (informent consent) pada ibu post partum
yaitu persetujuan pasien untuk berpartisipasi menjadi subyek penelitian. Setelah
itu proses pengumpulan data dilanjutkan dengan memberikan kuesioner kepada
responden pada hari ke-8 post partum yang sebelumnya peneliti telah mengadakan
pendekatan dengan mengedepankan masalah etika. Kuesioner yang diberikan
berupa pertanyaan tentang data diri ibu post partum, pertanyaan tentang paritas
ibu, dan tentang keadaan psikologi ibu post artum dengan kuesioner berupa skala
EPDS (Edinburgh Postnatal Depression Scale).
3.6.2 Instrument Penelitian
Instrumen adalah alat pada waktu penelitian menggunakan suatu metode
(Arikunto, 2012). Instrument yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian

49

ini adalah dengan kuesioner dan observasi. Kuesioner merupakan teknik


pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan
atau pertanyaan tertulis kepada responden untuk dijawabnya (Sugiyono, 2009).
Kuesioner digunakan untuk pengambilan data variabel independen yaitu tentang
Paritas dan kuesioner untuk variabel dependen yaitu tentang kejadian depresi post
partum (kuesioner Edinburgh Postnatal Depression Scale-EPDS).
3.6.3 Pengolahan Data
1) Editing
Langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi kesalahan-kesalahan data
yang telah dikumpulkan. Juga memonitor jangan sampai terjadi kekosongan
data yang dibutuhkan.
2) Coding
Setiap responden diberi kode sesuai dengan nomor urut (nomer
responden). Untuk variable independen paritas, untuk primipara diberi kode 1,
multipara diberi kode 2, dan grandemultipara diberi kode 3. Kemudian untuk
variabel dependen kejadian depresi postpartum, untuk depresi berat diberi
kode 1, depresi sedang diberi kode 2, depresi ringan diberi kode 3 dan tidak
ada gejala depresi (normal) diberi kode 4.
3) Scoring
(1) Variabel independen (Paritas)
Skor 1 = Primipara, Skor 2 = Multipara, dan skor 3 = Grandemultipara.
(2) Variabel dependen (kejadian depresi postpartum)

50

1) Pertanyaan 1, 2, dan 4 Mendapatkan nilai 0, 1, 2, atau 3 dengan kotak


paling atas mendapatkan nilai 0 dan kotak paling bawah mendapatkan
nilai 3.
2) Pertanyaan 3,5 sampai dengan 10 merupakan penilaian terbalik,
dengan kotak paling atas mendapatkan nilai 3 dan kotak paling bawah
mendapatkan nilai 0
3) Pertanyaan 10 merupakan pertanyaan yang menunjukkan keinginan
bunuh diri.
4) Nilai maksimal : 30
5) Kemungkinan depresi: nilai 10 atau lebih
4) Tabulating
Dari pengolahan data hasil penelitian yang telah dilaksanakan, data
kemudian dimasukkan dalam tabel distribusi yang dikonfirmasi dalam bentuk
prosentase dan narasi, kemudian dintepretasikan.
Dari hasil jawaban responden yang telah dinilai dijumlahkan dan
dibandingkan dengan total skor kemudian dikalikan 100%.

f
x 100%
N

Keterangan :
P = Prosentase.
f = Nilai yang diperoleh.
n = Frekuensi total atau keseluruhan (Budiarto, 2015).
Interprestasi data adalah sebagai berikut :
(1) 90%-100%

: mayoritas.

(2) 66%-89%

: sebagian besar.

(3) 51%-65%

: lebih dari 50%.

51

(4) < 50%

: kurang dari 50% (Nursalam, 2016).

Data yang telah terkumpul tersebut diolah menggunakan piranti lunak


komputer yaitu SPSS versi 22. Selanjutnya dilakukan analisa deskriptif yaitu
menggambarkan variabel dalam bentuk distribusi frekuensi, prosentase dan
tabulasi silang antar dua variabel. Metode analisis data yang digunakan untuk
mengetahui hubungan antara paritas dengan kejadian depresi ibu post partum
yaitu dengan analisis statistik metode Spearmans Rho. Karena penelitian
bertujuan untuk mencari korelasi antara variabel, dengan jenis variabel
kuantitatif distribusi populasi tak normal, dan dengan skala ukur variabel
ordinal (Nursalam, 2016).

3.7 Etika Penelitian


Masalah etika penelitian merupakan masalah yang sangat penting dalam
penelitian, pada penelitian ini berhubungan langsung dengan manusia maka segi
etika penelitian harus diperhatikan (Hidayat, 2014).
1) Lembar persetujuan penelitian atau Informent Consent
Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan
penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak untuk bebas berpartisipasi
atau menolak menjadi responden. Pada informed concent juga perlu
dicantumkan bahwa data diperoleh hanya dipergunakan untuk pengembangan
ilmu.

52

2) Tanpa nama atau Annonimity


Untuk

menjaga

kerahasiaan

identitas

responden,

pada

lembar

pengumpulan data atau observasi yang diisi adalah kode responden atau hanya
nama inisialnya saja dan lembar tersebut hanya diberi kode.
3) Kerahasiaan atau Confidentiality
Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dari subyek dijamin oleh
peneliti, data tersebut hanya akan disajikan atau dilaporkan kepada yang
berhubungan dengan penelitian ini.

Anda mungkin juga menyukai