Anda di halaman 1dari 16

PAPER

INSOMNIA NON ORGANIK


Disusun Sebagai Tugas
Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior ( KKS )
Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa

PEMBIMBING :
dr. Vita Camelia, M. Ked. KJ, Sp. KJ
Oleh :
Regina Nada El Ashar
7112080315

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF


ILMU KESEHATAN JIWA
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
SUMATERA UTARA
2017

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan paper dengan judul Insomnia Non
Organik sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik
Senior Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada pembimbing, dr. Vita Camelia, M. Ked. KJ, Sp. KJ dan Dokter PPDS Ilmu
Kesehatan Jiwa yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingan selama
dirumah sakit.
Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam makalah ini mungkin
masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, maka penulis mengharapkan
kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun.
Medan, 23 Januari 2017

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................5
2.1 Diare.......................................................................................................5
2.1.1 Definisi..........................................................................................5
2.1.2 Klasifikasi.....................................................................................5
A. Diare akut.....................................................................................5
1. Etiologi......................................................................................5
2. Patofisiologi..............................................................................7
3. Diagnosis...................................................................................7
4. Penatalaksanaan........................................................................9
5. Komplikasi..............................................................................12
B. Diare kronik................................................................................13
1. Etiologi....................................................................................13
2. Patofisiologi............................................................................15

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Ganguan tidur merupakan salah satu keluhan yang paling sering
ditemukan pada penderita yang berkunjung ke praktek. Gangguan tidur
dapat dialami oleh semua lapisan masyarakat baik kaya, miskin,
berpendidikan tinggi dan rendah maupun orang muda, serta yang paling
sering ditemukan pada usia lanjut.1
Pada orang normal, gangguan tidur yang berkepanjangan akan
mengakibatkan perubahan-perubahan pada siklus tidur biologiknya,
menurun daya tahan tubuh serta menurunkan prestasi kerja, mudah
tersinggung, depresi, kurang konsentrasi, kelelahan, yang pada akhirnya
dapat mempengaruhi keselamatan diri sendiri atau orang lain. Menurut
beberapa peneliti gangguan tidur yang berkepanjangan didapatkan 2,5 kali
lebih sering mengalami kecelakaan mobil dibandingkan pada orang yang
tidurnya cukup.1
Gangguan tidur dibagi menjadi gangguan tidur organik dan
gangguan tidur non organik. Dimana dalam makalah ini akan dibahas
tentang insomnia non organik yang merupakan bagian dari gangguan tidur
non organik. Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan
berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan
untuk itu. Gejala tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat
bangun dan beraktivitas di siang hari. Sekitar sepertiga orang dewasa
mengalami kesulitan memulai tidur dan/ atau mempertahankan tidur dalam
setahun, dengan 17% di antaranya mengakibatkan gangguan kualitas
hidup. Sebanyak 95% orang Amerika telah melaporkan sebuah episode
dari insomnia pada beberapa waktu selama hidup mereka. Di Indonesia,
pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami insomnia.2

Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka


pendek. Dalam beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini
sering disebut sebagai gangguan penyesuaian tidur karena paling sering
terjadi dalam konteks situasional stres akut, seperti pekerjaan baru atau
menjelang ujian. Insomnia ini biasanya hilang ketika stressor hilang atau
individu telah beradaptasi dengan stressor. Namun, insomnia sementara
sering berulang ketika tegangan baru atau serupa muncul dalam kehidupan
pasien.2
Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini
biasanya berhubungan dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapat
situasional (seperti kematian atau penyakit) atau lingkungan (seperti
kebisingan). Insomnia kronis adalah setiap insomnia yang berlangsung
lebih dari 6 bulan.2
Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidak
mengeluh mengantuk di siang hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa
lelah dan letih, dengan konsentrasi yang buruk. Hal ini mungkin berkaitan
dengan keadaan fisiologis hyperarousal. Bahkan, meskipun tidak
mendapatkan tidur cukup, pasien dengan insomnia seringkali mengalami
kesulitan tidur bahkan untuk tidur siang.2
Insomnia kronis juga memiliki banyak konsekuensi kesehatan
seperti berkurangnya kualitas hidup, sebanding dengan yang dialami oleh
pasien dengan kondisi seperti diabetes, arthritis, dan penyakit jantung.
Kualitas hidup meningkat dengan pengobatan tetapi masih tidak mencapai
tingkat yang terlihat pada populasi umum.2
Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatan
kondisi medis atau kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia dapat
meningkatkan resiko kekambuhan penyakit primernya. Dalam hal ini,
dokter perlu memahami bahwa insomnia adalah suatu kondisi tersendiri
yang membutuhkan pengakuan dan pengobatan untuk mencegah
morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup bagi pasien mereka.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Definisi
Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan
berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada
kesempatan untuk itu.2

2.2.

Etiologi
Insomnia adalah kesulitan memulai atau mempertahankan tidur.
Gangguan ini merupakan keluhan tidur yang paling lazim ditemui dan
dapat bersifat sementara atau menetap.3
Suatu periode singkat insomnia paling sering disebabkan ansietas,
baik sebagai gejala sisa suatu pengalaman yang mencemaskan atau
antisipasi pengalaman yang mencetuskan ansietas (cth, ujian atau
wawancara pekerjaan yang akan berlansung). Pada beberapa orang,
insomnia sementara jenis ini dapat disebabkan berkabung, kehilangan,
atau nyaris semua perubahan kehidupan maupun stres. Keadaan ini
cenderung tidak berat, meskipun episode psikotik atau depresi berat
kadang-kadang dimulai dengan insomnia akut.3
Insomnia menetap adalah kelompok keadaan yang cukup lazim
ditemukan dengan masalah yang paling sering adalah kesulitan untuk jatuh
tertidur bukannya untuk tetap mempertahankan tidur. Insomnia ini
melibatkan dua masalah yang kadang-kadang dapat dipisahkan, tetapi
sering saling berkaitan, yaitu: tegangan somatisasi serta ansietas dan
respon asosiatif yang dipelajari. Pasien sering tidak memiliki keluhan yang
jelas selain insomnia. Mereka mungkin tidak mengalami ansietas itu
sendiri tetapi melepaskan ansietasnya melalui saluran fisiologis; mereka
terutama dapat mengeluhkan perasan gelisah atau pikiran yang mendalam
dan tampaknya membuat mereka tetap terjaga. Kadang-kadang (tetapi
tidak selalu), seseorang pasien menjelaskan perburukan gejala terjadi saat
stres di tempat kerja atau di rumah dan perbaikan terjadi saat sedang
berlibur.3

2.3.

Klasifikasi
1.
Insomnia Primer

Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas.


insomnia atau susah tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10
orang yang menderita insomnia. Pola tidur, kebiasaan sebelum tidur
dan lingkungan tempat tidur seringkali menjadi penyebab dari jenis
insomnia primer ini.2
2.

Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain,
misalnya kondisi medis. Masalah psikologi seperti perasaan
bersedih, depresi dan dementia dapat menyebabkan terjadinya
insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu masalah fisik
seperti penyakit arthritis, diabetes dan rasa nyeri juga dapat
menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan biasanya
mempengaruhi 1 dari 10 orang yang menderita insomnia atau susah
tidur. Insomnia sekunder juga dapat disebabkan oleh efek samping
dari obat-obatan yang diminum untuk suatu penyakit tertentu,
penggunaan obat-obatan yang terlarang ataupun penyalahgunaan
alkohol. Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang
menderita insomnia.2

Secara internasional insomnia masuk sistem diagnostik yaitu


International Code of Diagnosis (ICD) 10.2
Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu :
1.

Organik

2.

Non organik
A. Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)

B. Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur


seperti mimpu buruk, berjalan sambil tidur, dll)
Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau
sekunder. Insomnia disini adalah insomnia kronik yang sudah diderita
paling sedikit 1 bulan dan sudah menyebabkan gangguan fungsi dan
sosial.
2.4.

Diagnosis4
Pedoman diagnostik berdasarkan PPDGJ III:
Hal tersebut dibawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis
pasti:
a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan
tidur, atau kualitas tidur yang buruk;
b. Gangguan terjadi minimal 3 kali dalam seminggu selama
minimal satu bulan;
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur (sleeplessness) dan
peduli yang berlebihan terhadap akibatnya pada malam hari
dan sepanjang siang hari;
d. Ketidak-puasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur
menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi

fungsi dalam sosial dan pekerjaan.


Adanya gejala gangguan jiwa lain seperti depresi, anxietas, atau
obsesi tidak menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan. Semua
ko-morbiditas harus dicantumkan karena membutuhkan terapi

tersendiri.
Kriteria lama

tidur

(kuantitas)

tidak

digunakan

untuk

menentukan adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi


individual. Lama gangguan yang tidak memenuhi kriteria diatas
(seperti pada transient insomnia) tidak di diagnosis disini, dapat
dimasukkan dalam Reaksi Stres Akut atau Gangguan Penyesuaian.
2.5.

Penatalaksanaan2
1. Non Farmakoterapi
a. Terapi Tingkah Laku

Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru
dan mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi
tingkah laku ini umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap
pertama untuk penderita insomnia.
Terapi tingkah laku meliputi

Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.

Teknik Relaksasi.
Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat
biofeedback, dan latihan pernapasan. Cara ini dapat membantu
mengurangi kecemasan saat tidur. Strategi ini dapat membantu
Anda mengontrol pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.

Terapi kognitif.
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur
dengan pemikiran yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan
pada konseling tatap muka atau dalam grup.

Kontrol stimulus
Terapi ini dimaksudakan untuk membatasi waktu yang
dihabiskan untuk beraktivitas.

Restriksi Tidur.
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang
dihabiskan di tempat tidur yang dapat membuat lelah pada
malam berikutnya.

b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah


Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :

Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur.

Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.

Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.

Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.

Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca,


latihan pernapasan atau beribadah.

Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan


menyulitkan tidur pada malam hari.

Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti


menghindari kebisingan.

Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30


menit setiap hari sekitar lima hingga enam jam sebelum tidur.

Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin.

Menghindari makan besar sebelum tidur.

Cek kesehatan secara rutin.

Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik.

2. Farmakologi
Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan
yaitu benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)
Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :

Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)


Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Sleep inducing antiinsomnia yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting).
Misalnya pada gangguan anxietas.

Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit


masuk kembali ke proses tidur selanjutnya)

Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Prolong latent phase


Anti-Insomnia, yaitu golongan heterosiklik antidepresan

(Trisiklik dan Tetrasiklik). Misalnya pada gangguan depresi


Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh
dan terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple
awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Sleep Maintining AntiInsomnia, yaitu golongan phenobarbital atau golongan
benzodiazepine (Long acting). Misalnya pada gangguan stres
psikososial.

Pengaturan Dosis

Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum


pergi tidur.

Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan


dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya
tapering off (untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi
obat)

Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis
lebih perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan
intoksikasi

Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif

dosis

kecil 2-3 kali seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi


insomnia pada usia lanjut

Lama Pemberian

Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu


saja, tidak lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan
kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan

perubahan Sleep EEG yang menetap sekitar 6 bulan


lamanya.

Kesulitan

pemberhetian

obat

seringkali

oleh

karena

Psychological Dependence (habiatuasi) sebagai akibat rasa


nyaman setelah gangguan tidur dapat ditanggulangi.

Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik


obat anti-insomnia (waktu paruh) :

Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam) gejala


rebound lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi
panik.

Waktu paruh sedang, seperti Estazolam gejala rebound lebih


ringan.

Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam menimbulkan gejala


hang over pada pagi harinya dan juga intensifying daytime
sleepiness

Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine


dapat terjadi disinhibiting effect yang menyebabkan rage reaction
Interaksi obat
-

Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan


potensiasi efek supresi SSP yang dapat menyebabkan oversedation

and respiratory failure


Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal
enzyme atau produce protein binding displacement sehingga jarang

menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.


Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol
atau CNS Depressant lain, resiko kematian akan meningkat.

Perhatian Khusus

Kontraindikasi :
o Sleep apneu syndrome
o Congestive Heart Failure
o Chronic Respiratory Disease

Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko


menimbulkan teratogenic effect (e.g.cleft-palate abnormalities)
khususnya

pada

trimester

pertama.

Juga

benzodiazepine

dieksresikan melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi


SSP).

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan

Insomnia adalah kesulitan memulai atau mempertahankan tidur.


Gangguan ini merupakan keluhan tidur yang paling lazim ditemui dan
dapat bersifat sementara atau menetap.3
Suatu periode singkat insomnia paling sering disebabkan ansietas,
baik sebagai gejala sisa suatu pengalaman yang mencemaskan atau
antisipasi pengalaman yang mencetuskan ansietas (cth, ujian atau
wawancara pekerjaan yang akan berlansung). Pada beberapa orang,
insomnia sementara jenis ini dapat disebabkan berkabung, kehilangan,
atau nyaris semua perubahan kehidupan maupun stres. Keadaan ini
cenderung tidak berat, meskipun episode psikotik atau depresi berat
kadang-kadang dimulai dengan insomnia akut.3
Insomnia menetap adalah kelompok keadaan yang cukup lazim
ditemukan dengan masalah yang paling sering adalah kesulitan untuk jatuh
tertidur bukannya untuk tetap mempertahankan tidur. Insomnia ini
melibatkan dua masalah yang kadang-kadang dapat dipisahkan, tetapi
sering saling berkaitan, yaitu: tegangan somatisasi serta ansietas dan
respon asosiatif yang dipelajari. Pasien sering tidak memiliki keluhan yang
jelas selain insomnia. Mereka mungkin tidak mengalami ansietas itu
sendiri tetapi melepaskan ansietasnya melalui saluran fisiologis; mereka
terutama dapat mengeluhkan perasan gelisah atau pikiran yang mendalam
dan tampaknya membuat mereka tetap terjaga. Kadang-kadang (tetapi
tidak selalu), seseorang pasien menjelaskan perburukan gejala terjadi saat
stres di tempat kerja atau di rumah dan perbaikan terjadi saat sedang
berlibur.

Pedoman diagnostik berdasarkan PPDGJ III:


Hal tersebut dibawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis
pasti:
a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan
tidur, atau kualitas tidur yang buruk;
b. Gangguan terjadi minimal 3 kali dalam seminggu selama
minimal satu bulan;

c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur (sleeplessness) dan


peduli yang berlebihan terhadap akibatnya pada malam hari dan
sepanjang siang hari;
d. Ketidak-puasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur
menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi

fungsi dalam sosial dan pekerjaan.


Adanya gejala gangguan jiwa lain seperti depresi, anxietas, atau
obsesi tidak menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan. Semua
ko-morbiditas harus dicantumkan karena membutuhkan terapi

tersendiri.
Kriteria lama

tidur

(kuantitas)

tidak

digunakan

untuk

menentukan adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi


individual. Lama gangguan yang tidak memenuhi kriteria diatas
(seperti pada transient insomnia) tidak di diagnosis disini, dapat
dimasukkan dalam Reaksi Stres Akut atau Gangguan Penyesuaian.

DAFTAR PUSTAKA
1. Japardi, Iskandar. 2002. Gangguan Tidur. Medan: Universitas Sumatera
Utara.
2. Sabryla, Ade., Kanti, E A A., Damayanti, I T., Bustam, K A. 2013.
Insomnia. Lampung: Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung.

3. Sadock, B J., Sadock, V A. 2014. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Maslim, Rusdi. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.

Anda mungkin juga menyukai