Genesa Batubara
Genesa Batubara
GENESA BATUBARA
1998
KATA PENGANTAR
1. PENDAHULUAN
Dua tahap penting yang dapat dibedakan untuk mempelajari genesa
batubara adalah gambut dan batubara. Dua tahap ini merupakan hasil dari
suatu proses yang berurutan terhadap bahan dasar yang sama (tumbuhan).
Secara definisi dapat diterangkan sebagai berikut (Wolf, 1984) :
Gambut adalah batuan sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari
tumpukan hancuran atau bagian dari tumbuhan yang terhumifikasi dan
dalam kondisi tertutup udara (di bawah air), tidak padat, kandungan air lebih
dari 75% (berat) dan kandungan mineral lebih kecil dari 50% dalam kondisi
kering.
Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, berasal
dari tumbuhan, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya
terkena proses fisika dan kimia, yang mana mengakibatkan pengkayaan
kandungan karbonnya.
Untuk menjadi batubara, ada beberapa tahapan yang harus dilewati oleh
bahan dasar pembentuknya. Pada tiap tahapan ada proses yang terjadi
dan proses-proses tersebut unik untuk tiap tahapan. Proses-proses ini
tergantung pada banyak faktor.
Mempelajari genesa batubara secara lengkap memerlukan banyak disiplin
ilmu yang saling mendukung (Botani, Kimia, Geologi, Fisika, dsb). Pada
bahan kuliah ini akan diuraikan secara umum mulai dari perkembangan
tumbuh-tumbuhan (evolusi tumbuh-tumbuhan dalam kaitannya dengan
evolusi bumi) sebagai bahan dasar pembentuk batubara, faktor yang
mempengaruhi terjadinya gambut sebagai tahap awal terjadinya batubara
dengan tipenya masing-masing, proses-proses yang terjadi dan faktor
penyebabnya selama perkembangan dari gambut menjadi batubara, serta
manfaat pengetahuan genesa untuk eksplorasi penambangan, pengolahan
dan pemanfaatan.
Sejarah dan Perkembangan Batubara - 3
Tabel 1. Rank dan klasifikasi batubara menurut ASTM dan DIN dengan
berbagai parameternya (Teichmuller & Teichmuller, 1982).
variasi gaya berat dasar laut dalam. Kedua hasil ini dikombinasikan oleh
Hess dan Dietz (1960) dan menghasilkan konsep ocean floor spreading.
Sebagai bagian akhir dari pemikiran bahwa bumi itu dinamis maka muncul
teori plate tectonics (tektonik lempeng).
LAURENTIA
dan Subkontinen yang lebih kecil
SIBERIA KAZKHSTANIA
CHINA
GONDWANA
500 juta
LAURASIA
270
150
PANGAEA (Supercontinent)
LAURASIA
GONDWANA
Beberapa subkontinen
Sekarang Amerika Utara Eurasia
India
Australia
Afrika
Amerika Selatan
Arabia Antaractica
Gambar 14. Perubahan muka bumi dari Jaman Kambrium sampai Karbon
Atas (Scotese et al., 1979)
Gambar 15. Perubahan muka bumi dari Jaman Perm sampai sekarang
(Bambach et al., 1980)
SOAL-SOAL
Pembentukan Gambut
-1
DAFTAR PUSTAKA
Pembentukan Gambut
-2
Pembentukan Gambut
-3
ini
akan
memudahkan
untuk
menginterpretasikan
-4
di
Haliseriten-Schichten
dari
Rhenish-Schiefergebirge
(Jerman). Pada batuan ini ada lapisan Vitrinit yang terbentuk dari
Taeniocrada decheniana (Psilophytes). Tumbuhan darat pertama yang
mendukung
terbentuknya
batusabak
dengan
karbon
yang
banyak
lokasi
ditemukan
Paku
(Leginopteris
Oldhamia)
atau
Pembentukan Gambut
-5
-6
Pembentukan Gambut
-7
Kalau muka air tanah cepat naik (atau penurunan dasar rawa cepat) maka
kondisi akan menjadi limnic atau bahkan akan terjadi endapan marine
(lempung, napal atau gamping). Kalau terlalu lambat maka tumpukan sisa
tumbuhan akan menjadi merah (teroksidasi) dan tererosi. Oleh karena itu
pembentukan lapisan batubara berhubungan dengan Paleogeografi dan
struktur daerah. (Gambar 2)
1.1.3.1. Paleogeografi
Jika air tanah cukup tingginya dan berlangsung lama maka kadang-kadang
di iklim steppe (padang rumput tanpa adanya pohon) pun bisa terjadi
gambut. Ini hanya tergantung
pada
-8
Pembentukan Gambut
-7
-1
maka ada tiga katagori berdasarkan pada pemanasan 550 0 C. Disebut Moor
kalau
pada
temperatur
tersebut
kehilangan
berat
75-100%.
Kalau
kehilangan berat 15-75% maka disebut Anmoor dan kalau kehilangan berat
0-15% maka disebut mineral atau tanah.
Beberapa kemungkinan bentuk morfologi moor dapat dilihat pada Gambar 3
dan 4. Dilihat dari bentuk permukaannya maka moor dapat dibagi menjadi
dua, Hochmoor (highmoor) dan Niedemoor (lowmoor). Jenis tumbuhan yang
hidup pada masing-masing tipe moor itu berbeda. Pada Niedemoor
biasanya tumbuh rumput-rumputan dengan daun yang lebar dan tumbuhan
perdu (sehingga pada musim semi dan musim panas kelihatan sangat hijau).
Sementara hochmoor ditumbuhi oleh jenis tumbuhan yang sangat terbatas
(lumut, rumput dengan daun yang kecil). Untuk daerah yang beriklim sedang
maka hochmoor ditumbuhi oleh Sphagnum dan untuk daerah tropis
ditumbuhi oleh hutan lebat dengan bermacam tumbuhan.
1.2.1. Niedermoor / Lowmoor
Niedermoor terbentuk pada lingkungan yang kaya akan bahan makanan
(eutroph) atau pada suatu bagian perairan (danau) yang menjadi darat
(Verlandung nahrstoffreicher Gewasser), dimana kekayaan makanan untuk
tumbuhan sebagai penyebab berlimpahnya/tumbuh suburnya vegetasi.
Air tanah atau air laut yang bergerak bisa mengakibatkan suatu
penghancuran yang cepat dari tumbuhan yang telah mati, sehingga
penumpukan gambut menjadi lambat. Dalam hal ini gambut sangat basah
(banyak air). Permukaan moor dalam jangka waktu yang panjang tertutup air
(periode dalam setahun) sehingga jenis tumbuhan yang hidup disini
menyesuaikan diri. Sering permukaan moor datar atau cekung. Hanya moor
di lereng gunung bisa miring permukaannya. Moor ini tidak secara langsung
tergantung pada air hujan, karena supply airnya bisa dari sekitarnya (sungai
atau air tanah).
A.
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan
-2
Diagramatic cross-section of Klang Langat Delta, Malaysia, showing the development of raised swamps within an active
elastic environment. Mangrove swamps which are flooded at high tide, are areas of clay, not peat, deposition (modified
from Coleman et. al., 1970)
Generalized cross-section of peat stratigraphy resulting from marine transgression in the Everglades
(after Spackman et. al., 1976)
B.
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan
-3
Theoritical model of fluvial architecture in an area swamps. The elevated swamp restricts overbank flooding and
prevents avulsion, leading to the development of stacked channel sandstones
Cross-section of sediments between two rivers in northern Borneo, showing the development of thick peat in
a raised swamp. Section is based on 25 boreholes drilled during planning for a canal (from Wilford, 1961)
-4
demikian
penghancuran
sisa
tumbuhan
menjadi
terhambat
kolk
stadium
genesa
troph
typ
terestris
ombrogen
oligotroph
high moor
semi terestris
akibat
muka air
positif
mesotroph
moor antara
topogen
eutroph
lowmoor
lagg
gambut
sedenter
gambut + mineral
karbonat, lempung
pasir
telmatis
limnis
sedimenter
Pertumbuhan sebuah hochmoor dapat terlihat pada Gambar 6. Tipe ini bisa
tumbuh langsung pada kondisi yang sangat basah dengan dasar yang tidak
tembus air (permeabel). Pada kondisi lain hochmoor bisa berasal dari
suatu Niedemoor yang tumbuh (Verlandeten Moor). Untuk topografi yang
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan
-5
datar biasanya bentuk moor symetris dan pada bagian pinggir timbul mata
air, pada bagian tengah ada kolam-kolam kecil (Kolk atau Blindsee).
istilah
autochtonous,
karena
batubara
yang
diendapkan
secara
-6
ini
hanya
ditumbuhi
oleh
jenis
rumput-rumputan
yang
-7
kandungan
hydrogen, selulose dan tar temperatur rendahnya yang tinggi. Reed coal
dan Angiosperm forest coal briquetting propertiesnya (kedapatan untuk
dijadikan briket) lebih baik dari coniferous coals. Hampir sebagian
bituminous coal dan brown coal berasal dari forest swamp (contohnya
Pantai Timur dan Selatan USA). Di daerah yang beriklim hangat dan basah
proporsi pepohonan kayu bertambah, tidak lagi reed plant, tetapi tumbuhan
khusus yang penyebarannya luas, flat root system, khususnya aereal roots
dan broadened stem basis. Contoh yang modern/resen adalah Cypress
swamp (Taxodium distichum) di daerah Subtropis Amerika Utara. Forest
swamp fasies (berhubungan dengan element bawah air), sebagai contohnya
adalah Taxodiaceae-Nyssaceae forest coals dari lower Rhein brown coal.
Pada Carboniferous, pohon Sigilarian berkembang ke arah air dalam.
Kulitnya dijumpai sebagai Vitrit layer.
Pantai daerah tropis (saat ini) dihuni oleh hutan bakau (Mangrove)
mengganti rumput laut. Kalau tak terjadi gangguan laut maka gambut akan
terakumulasi. Kalau gangguan laut kuat dengan oxigen segar dalam air
mengakibatkan batang mati yang berada di atas air menjadi rusak sehingga
yang terawetkan hanyalah akarnya saja. Di daerah marine/payau maka
rhizophora mangle tidak hanya berkembang ke arah laut tetapi juga
berkembang ke arah darat. Di daerah tropis bisa terjadi tumbuhan kayu yang
membentuk raised bog.
Secara umum material hasil tumbuhan (terbesar dari forest swamp) di
daerah tropis, sebagai contohnya : biji Erythrina dalam satu tahun untuk satu
pohon bisa menghasilkan 3,0 - 4,5 m tingginya dan 2,5 - 3,75 kg kering.
Sehingga pembentukan gambut relatif cepat pada forest swamp kalau muka
air tanah bertahan cukup tinggi.
-8
Biasanya wood rich peat (gambut yang kaya akan bahan kayu) dengan
kandungan lignin yang tinggi, terendapkan dan selama pembatubaraan akan
ditransformasikan menjadi Xylite rich soft brown coal dan Vitrain rich
bituminous coal dengan (biasanya) Telinit dan Tellocolinit.
Reed swamp dengan rerumputan, sedge dan paku secara umum
membutuhkan muka air yang lebih tinggi dari forest swamp, miskin akan
lignin, strukturnya terdekomposisi dengan kuat. Elemen bawah air dan
mineral tercuci lebih baik. Contohnya South Florida (Eleocharis, Mariscus
Utricularia). Reed peat menghasilkan Liptinit rich coal (batubara yang kaya
akan liptinit) contohnya : light band of the Cologne Soft Brown Coal, dull
layer with Exinit rich clarites, trimacerit dan durit of bituminous coal.
Vitrinitnya di dominasi oleh Desmocollinit.
Marine swamp dengan rumput Halophyte dijumpai di banyak pantai saat ini
(khususnya pantai Atlantik Amerika Utara).
Sphagnum adalah tumbuh-tumbuhan rawa di daerah beriklim sedang yang
menghasilkan gambut yang asam (pH 3 - 5) atau raised bog. Raised bog
mempertahankan airnya dengan mengandalkan air hujan, sehingga kadar
abunya sangat rendah (sering < 1%). Dengan pH yang rendah maka
aktifitas bakteri berkurang mengakibatkan pengawetan kayu menjadi lebih
baik. Gambut dari Raised bog banyak mengandung
sellulose
dan
-9
Dull coal dengan banyak liptinit (Liptinit rich Clarit dan Durit) atau sapropilit
coal berasal dari Gyttjae. Vitrinit relatif jarang, Desmocollinit didominasi oleh
Corpocollinit. Subaquatik coal spesies secara alam banyak atau relatif kaya
akan mineral yang tidak hanya klastik tetapi juga anorganik syngenetik yang
terendapkan dari lautan seperti Siderit atau Pyrit.
2.3. LINGKUNGAN PENGENDAPAN
- Telmatis / terrestrial
Lingkungan pengendapan ini menghasilkan gambut yang tidak terganggu
dan tumbuh di situ (forest peat, peed peat dan high moor moss peat).
- Limnis / subaquatik / lingkungan bawah air, terendapkan di rawa danau,
Batubara yang terendapkan pada lingkungan telmatis dan limnis sulit
dibedakan karena pada forest swamp biasanya ada bagian yang berada
di bawah air (feed swamp).
- Payau / marine
Batubara yang terbentuk pada lingkungan ini mempunyai ciri khas : Kaya
abu, S dan N dan mengandung fosil laut. Untuk daerah tropis biasanya
terbentuk dari mangrove (bakau) dan kaya S. Batubara Jaman Karbon
yang terbentuk pada lingkungan ini mengandung konkresi Kalsit (Calcitic
Dolomitic atau Ankeritic) / Coal ball. Vitrinitnya tidak mempunyai struktur
lagi akibat pH tinggi sehingga aktifitas bakteri tinggi. Tingginya S akibat
naiknya kemampuan ion Sulphat dari air laut dan oleh aktifitas anaerobik
bakteri. Banyaknya H dan N berasal dari protein tubuh bakteri, yang juga
diperkaya oleh material Huminnya yang kemudian membentuk Perhidrous
Vitrite, Bituminit dan kemudian Macrimit.
- Ca-rich
Batubara yang terendapkan pada lingkungan yang kaya akan Ca
mempunyai ciri yang sama dengan yang terendapkan pada lingkungan
marine. Lingkungan pengendapan pada batuan gamping atau campuran
air yang kaya akan Ca dari daerah sekitarnya mengurangi keasaman
gambut. Akibatnya aktifitas bakteri naik sehingga degradasi tumbuhan
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan
- 10
dari
oligotrophic
banyak
menyisakan
kayu
yang
tidak
terdekomposisi karena C/N ratio dan asam Humin tinggi akibat aktifitas
bakteri rendah. Kandungan nutrisi (Ca, Phosphoric acid, K dan N) pada high
moor adalah 1/5 dari low moor. Kandungan S rendah (0,06 - 0,15%) dan
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan
- 11
mengakibatkan
dekomposisi
struktur
yang
kuat,
dengan
pembentukan Humin gel dan produk penggambutan yang kaya akan N dan
H.
- Low moor peat biasanya mempunyai pH 4,8 - 6,5
- High moor peat mempunyai pH 3,3 - 4,6
Disamping type batuan dasar dan air yang mengalir masuk ke rawa maka
keasaman rawa tergantung pada rumpun tumbuhan yang ada, supply O 2,
konsentrasi asam Humin yang sudah terbentuk.
Sphagnum peat mempunyai pH yang sangat rendah (3,3-4,6) yang
diakibatkan oleh supply O2 yang tinggi karena kondisi raised bog yang
kering dan asam humin yang terbentuk tidak terlarutkan oleh air sehingga
menjadi banyak. Begitu juga dengan raised bog di Indonesia, gambut yang
dihasilkan juga sangat asam (pH = 3,5 - 4,5). PH gambut akan naik dengan
naiknya kedalaman.
Bakteri hidup dengan baik pada kondisi netral (pH 7,0 - 7,5), kondisi makin
asam maka bakteri makin sedikit dan struktur kayu terawetkan dengan
lebih baik. Pada bagian paling atas dari gambut hanya jamur yang bisa
hidup (pH = 4,0).
Kandungan N dan persediaan garam sangat penting untuk aktifitas bakteri.
C/N kecil (banyak N) atau kondisi eutrophic maka aktifitas bakteri banyak.
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan
- 12
Protein terkonsentrasi pada low moor peat akibat aktifitas bakteri. Jumlah
bakteri berkurang dengan naiknya kedalaman dan jenisnya ditentukan oleh
potensial redox. Pada bagian paling atas dari gambut (disamping
Actinomyces dan jamur) maka aerobic bakteri mengambil O 2 dari udara,
membentuk Carbohidrat yang mudah larut (seperti : gula dan kanji/starch,
juga sellulose dan hemisellulose). Pada bagian bawah anaerobic bakteri
menggunakan O2 dari substansi organik yang hidup dibalik produk sisa yang
kaya H (diperkirakan bakteri ini masih hidup sampai kedalaman 10 meter).
Bakteri sulfur mempunyai peran khusus pada gambut (lumpur organik).
Bakteri ini mengambil S dari Sulphates untuk membentuk syngenetic
Pyrit/Markasit.
2.6. TEMPERATUR
Temperatur permukaan gambut memegang peran yang sangat penting untuk
proses dekomposisi primer. Pada iklim yang hangat dan basah membuat
bakteri hidup dengan lebih baik sehingga proses-proses kimia akibat bakteri
bisa berjalan dengan lebih baik. Temperatur tertinggi untuk Bakteri
penghancur sellulose pada gambut adalah 35 - 40 0 C.
2.7. POTENSIAL REDOX
Pada rumpun tumbuhan yang sama, iklim dan kondisi lingkungan yang
sama, maka potensial redox (Eh) memegang peranan yang penting untuk
aktifitas bakteri dan penggambutan. Persediaan O 2 menentukan apakah
proses penggambutan berjalan atau tidak (Tabel 1).
- 13
aerobic
Product
disintegration
mouldering
mould
peatification
peat
putrefaction
sapropel
Process
anaerobic
decrease of O-supply
humic coals
sapropelic coals
sapropelites
petroleum
Secara umum urutan di tabel ini dicirikan oleh kenaikan air tanah. Air
mengalir membawa Oksigen terlarut. Makin banyak produksi organik matter
maka makin cepat pemisahan Oksigen dari air tergenang yang dikonsumsi
untuk akhirnya membentuk kondisi reduksi. Dengan tak terbatasnya
persediaan Oksigen di udara dan air maka muncul desintegrasi yang
menghasilkan pembentukan gas dan produk dekomposisi cairan. Sering sisa
padatan (Resin, atau Liptinit yang resisten dan Inertinit) tersisa terus.
Selama mouldering, aerobic bakteri dan jamur ambil bagian untuk
membentuk humic substan yang miskin Oksigen yang akhirnya menjadi
Oxyfusinit dan Macrinit.
Proses penggambutan terjadi di permukaan kalau oksigen terbatas. Humic
acid ciri produknya membentuk Lignin hanya lewat oksidasi.
Putrefication (permentasi) bisa terjadi pada kondisi reduksi kalau bakteri
anaerobis
mengkonsumsi
Oksigen
dari
organik
substan
dan
- 14
dari
lapisan
yang
dengan
berkurangnya potensial redox dari gambut asalnya, namun H/O ratio dan
VM naik. Perubahan ini adalah akibat naiknya komponen lilin-getah (waxresin component) pada Vitrinit.
SOAL-SOAL
1. Mungkinkah gambut tumbuh di pegunungan ? Kalau mungkin, di bagian
mananya ?
- 15
Rumpun tumbuhan
Ketersediaan bahan makanan
PH
Temperatur
DAFTAR PUSTAKA
- 16
10. Van Krevelen D. W. (1993) : Coal, Typology-Chemistry-PhysicsConstitution, 3rd Comp. Rev. ed., Elsevier, Amsterdam, London,
New York, Tokyo : 979 S.
11. William Spackman, Arthur D. Gohen, Peter H. Given, Daniel J.
Casagranole : Okefenokee and The Everglades.
- 17
akan
oksigen
di
permukaan
(sellulose
dan
hemi
sellulose)
Kandungan air
Kandungan karbon
Brown Coal
>75%
<75%
% Carbon (daf)
< 60%
> 60%
Sellulose bebas
ya
tidak
Dapat dipotong
ya
tidak
Karena batas antara gambut dan brown coal bertahap maka sulit ditentukan
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan
- 18
secara pasti, tetapi kira-kira untuk kondisi normal pada kedalaman mencapai
200-400 m.
2. COALIFICATION (PEMBATUBARAAN)
Gambar 1.
- 19
kedalaman
Kandungan air total merupakan parameter utama pada kenaikan rang pada
brown coal (hukum Schurmann).
Dull brown coal stage (lignit - sub. bit. C) 1% moisture / 100 m kenaikan
kedalaman
Bright brown coal (sub. bit. B-A) 1% moisture / 100 m kenaikan kedalaman
Dengan turunnya kandungan air maka nilai kalori naik. Penurunan moisture
content akibat berkurangnya porositas dan juga pada dekomposisi dari
hydrophylic funktional groups, khususnya OH - group (khususnya pada
tahap awal brown coal). Disamping hydroxyl (-OH) group, carboxyl (-COOH)
group, methoxyl (-OCH3) group, carbonyl (>C=O) group, maka ring oksigen
juga temperatur sehingga mengakibatkan kenaikan kandungan karbon.
Selama tahap hard brown coal (lignit - sub bituminous) maka sisa terakhir
dari sellulose dan lignin ditransformasikan menjadi material humic dan asam
himic, terkondensasi menjadi molekul yang besar dengan melepaskan sifat
asamnya dan membentuk humin yang tak terlarutkan oleh alkali. Rusia dan
Jerman memakai metoda KOH untuk membedakan brown coal dengan
bituminous coal. Asam humic bereaksi dengan KOH sedangkan humic tidak
(Tabel 2).
Vollatile matter berubah sedikit selama tahap brown coal dan hasil reaksinya
terdiri dari (paling banyak dari) : CO 2, air, methan (Gambar 2).
Pada batas antara dull dan bright brown coal yang paling menonjol terjadi
adalah perubahan petrografis yang diakibatkan oleh gelifikasi geokimia
(vitrinitisasi) dari substan humin batubara yang berubah menjadi hitam dan
mengkilap sebagai bright brown coal (sub bituminous C/B coal). Proses ini
unik untuk tahap ini.
Kandungan karbon kurang baik untuk menentukan rang pada bituminous
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan
- 20
< 30% VM karena perubahan yang terjadi tidak banyak (kurang sensitif).
Tahap antrasit dicirikan oleh penurunan H secara cepat (ratio H/c),
khususnya penaikan cepat dari reflektivitas dan juga anisotrop.
Methan menurun akibat penurunan H mulai pada C = 87% dan 29% VM
pada tahap bituminous.
- 21
Tabel 2. Kenampakan megaskopik dan mikroskopik serta kimia dan fisika batubara berdasarkan klasifikasi Jerman (diambil dari
Stach et. al. 1982)
-5
Gambar 2. Hubungan antara jumlah gas yang keluar dengan rang batubara
-6
-7
-8
Asal batubara terutama dari lignin dan sellulose dari tumbuhan tinggi yang
mengalami proses penggambutan (biochemical humification)
dengan
-9
aromatik rendah dan aliphatik yang tinggi. Pada proses biokimia dan
selanjutnya diikuti oleh proses bituminisasi lipid menjadi bersatu dengan
kerogen pada batuan induk. (Menurut Welte, 1972 : Kerogen adalah
padatan organik yang kaya H dan tak larut pada pelarut organik).
Dengan naiknya temperatur kerak bumi (subsidence) minyak bumi dan gas
alam yang terlepaskan dari kerogen mulai bermigrasi untuk selanjutnya
berkumpul pada suatu tempat (endapan minyak pada batuan). Pembentukan
minyak dan gas dari kerogen mulai pada temperatur, tekanan dan waktu
yang sama untuk batubara tahap sub bituminous A dan berakhir kalau sudah
mencapai rang medium volatile bituminous coal (26% VM).
Dari Gambar 5 terlihat bahwa kandungan ekstrak mencapai maksimum pada
rang 0,9% yang dibarengi oleh kandungan aromatiknya.
Pengamatan petografi batubara mendukung bahwa bituminous (petroleum
like substance/material seperti minyak bumi) terbentuk dari maseral liptinit
(dan vitrinit ?). Bituminisasi pada batubara mulai pada rang sub bituminous
(high volatile bituminous C-B). Disini terjadi loncatan proses pembatubaraan
yang pertama (coalification jump) untuk maseral grup liptinit dan grup vitrinit
(hal ini dihubungkan dengan pembentukan minyak bumi pada batuan induk).
Bersamaan dengan itu maka terbentuk maseral mikrinit yang mempunyai R
yang tinggi sebagai produk padatan.
- 10
Tabel 4.
- 11
Gambar 5. Hubungan antara reflektan vitrinit perolehan ekstrak dan aromatik dari
batubara
Pada minyak bumi maka bitumen yang terbentuk akan bermigrasi ke batuan sumber
tetapi pada umumnya pada bitumen pada batubara tidak bermigrasi karena sistem
pori yang sangat kecil dari vitrinit sebagai penyaring (diadsorpsi atau berasosiasi
secara kimia).
Proses bituminisasi terjadi pada rang antara vitrinit reflektan / Rr (random reflektan)
= 0,5% (sub bituminous coal) sampai Rr vitrinit = 1,3% (medium volatile bituminous
coal). Daerah ini dikenal dengan istilah oil window / oilfenster (Tabel 3). Selanjutnya
bitumen yang baru terbentuk akan pecah / retak untuk membentuk molekul
hidrokarbon dengan ukuran kecil dan produk sisa yang mempunyai R yang tinggi
(polykondensat).
Dekomposisi ini mulai pada rang medium volatile bituminous coal (29 - 28% VM).
Daerah ini merupakan loncatan proses pembatubaraan yang kedua. Sementara
dekomposisi berjalan makan dibarengi dengan naiknya R liptinit dan vitrinit dengan
sangat cepat dan fluorisensinya hilang.
Jumlah bitumen yang terbentuk tergantung dari material induk pembentuk batubara
dan lingkungan pengendapannya. Bitumen rich coal sering diasosiasikan dengan
lingkungan pengendapan yang marin atau dengan batuan gamping yang mana
batubaranya kaya akan mineral pyrit dan organik sulfur (mikrolitotyp bawah air yang
kaya akan liptinit dan desmocollinit). Vitrit dengan kandungan H relatif tinggi dan tar,
H2O dan R rendah tetapi fluoresen kuat.
SOAL-SOAL
12
2. Faktor apa saja yang berperan dalam diagenesa dan proses pembatubaraan ?
DAFTAR PUSTAKA
13
14
pantul)
maseral
dapat
dibedakan
berdasarkan
pada
reflektifitasnya
dan
morfologinya. Maseral dengan sifat optis dan susunan kimia yang sama dimasukkan
dalam satu grup maseral (Stach, 1982). Menurut ICCP (International Committee for
Coal Petrology, 1963, 1971 dan 1975), klasifikasi maseral dapat terlihat seperti
Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Klasifikasi maseral pada browncoal (ICCP, 1975)
GRUPMASERA SUBGRUPMASE
L
RAL
MASERAL
TIPE MASERAL
Textinit
Humotelinit
Ulminit
Texto-Ulminit
Eu-Ulminit
Humodetrinit
Huminit
Attrinit
Densinit
Gelinit
Humocollinit
Porigelinit
Levigelinit
Corpohuminit
Phlobaphinit
Pseudophlobaph
init
Sporinit
Cutinit
Resinit
Liptinit
Suberinit
Alginit
Liptodetrinit
Chloriphyllinit
Fusinit
Semifusinit
Inertinit
Macrinit
Sclerotinit
Inertodetrinit
15
MASERAL
MASERALTYP
Telinit
Vitrinit
Liptinit
Inertinit
Collinit
Telicollinit
Gelocollinit
Desmocollinit
Corpocollinit
Vitrodetrinit
Sporinit
Cutinit
Resinit
Alginit
Suberinit
Bituminit
Fluorinit
Exsudatinit
Chlorophyllinit
Liptodetrinit
Fusinit
Semifusinit
Sclerotinit
Macrinit
Inertodetrinit
Micrinit
Maseral grup Liptinit (Exinit) dan maseral grup Inertinit pada Browncoal dan
Hardcoal mempunyai nama yang sama. Korelasi grup maseral Huminit pada
Browncoal dan Vitrinit pada Hardcoal dapat terlihat pada Tabel 3.
Pada batubara dengan rank rendah (browncoal), maka Liptinit yang relatif kaya akan
Hidrogen, mempunyai reflektifitas yang paling rendah. Sementara Inertinit, yang
relatif kaya akan unsur karbon , mempunyai reflektifitas yang paling tinggi (Gambar
1).
16
Menurut Teichmueller (1987) dan Alpern & Lemos de Sousa (1970) Liptinit pada
batubara mempunyai kandungan zat terbang paling rendah dan bisa mencapai
harga reflektifitas yang sama dengan Vitrinit pada rank batubara dengan R-Vitrinit
kira-kira 1,5% (Gambar 2).
Tabel 3. Korelasi maseral huminit dan maseral vitrinit (ICCP, 1975)
BROWNCOAL
Grup
Maseral
Subgrup
Maseral
Maseral
HARDCOAL
Maseraltyp
Maseraltyp
Maseral
Texto-Ulminit
Telinit 1
Telinit
Eu-Ulminit
Telinit 2
Grup
Maseral
Textinit
Humotelinit
Humodetrinit
Ulminit
Atrinit
Vitrodetrinit
Densinit
Desmocollinit
Huminit
Detrogelinit
Gelinit
Levigelinit
Humocollinit
Vitrinit
Telogelonit
Telocollinit
Eugelinit
Gelocollinit
Collinit
Porigelinit
Corpohuminit
Phlobaphinit
Corpocollinit
Pesudophlobaphinit
17
Vitrinit pada dasarnya berasal dari selulosa (C 6 H10 O5) dan lignin dinding sel pada
tumbuhan. Beberapa maseral pada grup Vitrinit berasal dari Tanin yang
terimpregnasi pada dinding sel atau sebagai pengisi rongga sel. Protein dan Lipide
juga merupakan material pembentuk dari Vitrinit (seperti Huminit). Maseral ini dapat
dikenal dari fraksi aromatik yang tinggi dan kaya akan Oksigen.
Vitrinit dan Liptinit dibedakan dari material pembentuknya. Liptinit berasal dari sisa
tumbuhan berupa : spora, resin/getah, lilin dan lemak. Maseral ini dicirikan oleh
kandungan fraksi alifatik (parafin) yang tinggi. Inertinit berasal dari material yang
sama dengan material vitrinit dan Liptinit.
1. GRUP VITRINIT
Teichmueller (1989) membagi bagian awal pembentukan maseral ini dalam dua
proses, yaitu Humifikasi dan Gelifikasi Biokimia.
Humifikasi adalah proses utama dalam stadium gambut. Proses ini terjadi paling
kuat pada bagian permukaan gambut akibat oksidasi lemah dan aktifitas
mikrobiologi.
Gelifikasi
biokimia
merupakan
proses
lanjutan
dari
material
yang
sudah
terhumifukasi. Material ini total atau sebagian struktur selnya hilang (peptidisation,
softening, plasticity, compaction dan homogenisation). Proses ini sebagian
berlangsung pada stadium gambut dan total pada stadium Weichbraunkohle.
Proses gelifikasi biokimia berlangsung pada fase gambut dan braunkohle dibawah
air atau subaquatik (Teichmueller, 1950, 1898 ; Chaffe et.al., 1984; Cohen et. al.,
1987; Lamberson et. al., 1991; Calder et. al. 1991).
Keberadaan selulosa akan berkurang dengan bertambahnya kedalaman karena
dengan bertambahnya kedalaman maka aktifitas algae dan bakteri aerobik
berkurang dan diganti dengan bakteri anaerobik (Cassagrande et. al. ; 1985).
Penurunan selulosa akan teramati dibawah mikroskop berupa penurunan sifat
18
anisotropinya dan hilangnya autofluoresen pada dinding sel. Kejadian ini khas untuk
Humifikasi (Teichmueller, 1987).
Pembatubaraan Pada Grup Huminit
Proses gelifikasi geokimia adalah proses pembatubaraan dimana Huminit berubah
menjadi Vitrinit (Vitrinittization). Proses ini berbeda dengan gelifikasi biokimia yang
tergantung pada fasies. Vitrinitisasi berlangsung di antara studium browncoal dan
Hard coal. Proses ini memberikan banyak perubahan pada kenampakan petrografi
dimana warna berubah dari coklat ke hitam dari kusam ke mengkilap dan dari lunak
ke keras (Teichmueller, 1987).
Gambaran di bawah mikroskop menunjukkan perubahan dari material yang berasal
selulosa dan lignin (lepas-lepas dan terdiri dari macam-macam maseral huminit) ke
material Vitrinit yang homogen dan kompak. Penyebab proses ini adalah kenaikan
temperatur dan tekanan.
Cook dan Struckmeyer (1986) mengatakan bahwa tekanan merupakan penyebab
utama dari Vitrinitisasi karena proses fisika utama yang terjadi adalah mengurangan
air. Pengurangan air terjadi karena porositas berkurang. Namun tekanan tidak
menyebabkan gelifikasi selama pembatubaraan pada studium browncoal (kira-kira
sampai
lignit)
karena
gelifikasi
geokimia
(vitrinitisasi)
akan
disertai
oleh
19
pembatubaraan (Teichmueller, 1987, 1989; Stach, 1982; Alpern & Lemos de Sousa,
1970).
Berdasarkan morfologinya maka maseral pada grup Huminit dibagi menjadi :
- Subgrup maseral Humotelinit : berasal dari dinding sel dan terdiri dari Textinit dan
Ulminit.
- Subgrup maseral Humodetrinit : berasal dari detritus dan terdiri dari Attrinit dan
Densinit.
- Subgrup maseral Humocollinit : berasal dari gel dan terdiri dari Gelinit dan
Corpohuminit.
Pembagian Humotelinit (begitu juga Humodetrinit dan Humogelinit) menjadi dua
maseral adalah berdasarkan tingkat gelifikasinya. Seperti contohnya :
Textinit = belum tergelifikasi
Ulminit = tergelifikasi lemah
Textinit A dikenal dari reflektifitasnya yang rendah akibat dari sisa selulosa atau
resin yang terimpregnasi pada dinding sel, walaupun impregnasi resin pada dinding
sel ini terjadi hanya pada tumbuhan Konifera (Jurasky, 1940 ; dikutip dari
Teichmueller, 1989). Russel & Barron (1984) menulis bahwa maseral textinit masih
mengandung selulosa. Kebanyakan textinit dan Ulminit pada Browncoal berasal dari
tumbuhan Konifern karena Angiosperm dan serat kulit kayu tumbuhan perdu yang
tidak
sempat
tergelifikasi
akibat
strukturnya
yang
mudah
termusnahkan
20
Kandungan
abu
Desmocollinit
(inherent
ash)
relatif
tinggi
dan
komposisinya heterogen (Alpern & Quesson, 1956; dikutip dari Teichmueller, 1989).
Desmocollinit menggambarkan kumpulan detritus tumbuhan dan humusgel. Ini
terbentuk melalui sisa tumbuhan yang kaya selulosa dan terhumifikasi kuat dan
akhirnya bergelifikasi geokimia, yang mana akhirnya partikel detritus dan humus gel
ini menjadi satu kesatuan massa. (Teichmueller, 1982a). Diessel (1982) mengatakan
bahwa bahan dasar dari Humodetrinit adalah kemungkinan didominasi oleh serat
tumbuhan yang kaya selulosa dan mudah rusak seperti : daun-daunan, rumput dan
tumbuhan perdu.
Alpern (1966) membagi Collinit menjadi dua sub maseral, yakni Humocollinit
(Telocollinit menurut ICCP) dan Heterocollinit (Desmocollinit menurut ICCP) dan
21
untuk kedua Collinit ini Brown et. al. (1964) menyebut masing-masing dengan Vitrinit
A dan Vitrinit B.
Berlawanan dengan Desmocollinit maka ada Pseudovitrinit (Benedict et. al., 1968).
Desmocollinit kaya akan hidrogen (perhidrous) dan Pseudovitrinit adalah subhidrous
dan dapat dikenali dari reflektifitasnya yang tinggi dan potensial untuk kokas yang
rendah. Material asal dari pseudovitrinit
jelas. Pseudovitrinit sering masih menunjukkan sel strukturnya tetapi sering juga
teramati sebagai Vitrinit yang homogen dengan struktur khasnya yaitu : Struktur
koma dan pinggiran butir yang berbentuk tangga (Benedict et. al., 1968; Kaegi,
1985). Reflektifitas pseudovitrinit berada sedikit lebih tinggi dari Telocollinit. Banyak
penulis mengatakan bahwa Pseudovitrinit merupakan produk awal dari oksidasi,
tetapi Kaegi (1985) dengan percobaan oksidasi temperatur rendah terhadap
batubara Medium Volatile Bituminous Coal tidak bisa sepaham. Teichmueller (1989)
mengatakan bahwa Pseudovitrinit mewakili vitrinit yang kaya akan Asphalten.
Maseral ini mencapai tingkat kematangan yang lebih sehingga sering muncul pada
Low Volatile Bituminous Coal (Fett & Esskohle). Pemunculan Pseudovitrinit
merupakan indikator lingkungan pengendapan terestrial, sewaktu waktu mencapai
kondisi eorobik.
Gelinit pada browncoal adalah serat tumbuhan yang secara total tergelifikasi
geokimia (Telogelinit) atau humic detritus yang tergelifikasi (Detrogelinit) atau gel
murni yang berasal dari larutan koloid pengisi ruang sel (Eugelinit).
Gelifikasi Geokimia meningkat dibawah air. Kondisi ini khas untuk type fasies
anaerobik di bawah permukaan air, seperti Humic Gyttjae (Teichmueller, 1950;
Diessel, 1986; Lamberson et.al., 1991). Bagaimanapun juga oksidasi karena air
dalam gambut dan browncoal mengakibatkan oksidasi dini.
Batubara yang kaya akan Kalsium kaya akan Gelinit. Sering terpresipitasi sebagai
Ca-Humat (Dopplerit). Gelinit pada stadium browncoal terkorelasi dengan Collinit
pada Hardcoal.
22
Corpohuminit adalah pengisi ruang sel dan merupakan produk primer (diperkirakan)
dari tumbuhan hidup atau produk langsung setelah sel tertentu mati (khususnya kulit
kayu). Secara kimia Corpohuminit adalah produk oksidasi atau produk kondensasi
dari Tanin. SOOS (1963, 1966 ; dikutip dari Teichmueller, 1989) meneliti tentang
Corpohuminit pada browncoal
dan menamakannya
dengan Phlobaphenites
Corpocollinit teramati
sebagai suatu yang homogen, butir Vitrinit bulat sampai oval, sering terisolasi pada
Desmocollinit
dan juga sebagai pengisi sel pada Telinit (insitu). Ini bisa
mencerminkan ketahanan terhadap penghancuran dari produk primer sel hidup atau
terbentuk sekunder akibat pengisian ruang sel oleh humus gel (Teichmueller,
1982a). Corpohuminit atau Corpocollinit sangat resistan sehingga sering pada Coal
Ball sebagai material batubara yang tidak terbatukan tetapi dinding selnya yang dari
karbonat/silika terbatukan.
Sementara Vitrodetrinit adalah Vitrinit dengan ukuran < 20 mikrometer, bersudut dan
sering terendapkan pada daerah yang kaya mineral lempung. Reflektifitasnya bisa
berada antara Desmocollinit dan Telocollinit.
2. GRUP LIPTINIT
Liptinit berasal dari organ tumbuhan (ganggang, spora, kotak spora, kutikula dan
getah), yang relatif kaya dengan ikatan alifatik sehingga kaya akan hidrogen
(Techmueller, 1982; Wolf, 1988) atau bisa juga sekunder, terjadi selama proses
pembatubaraan dari bitumen.
Sifat optis (Refektivitas rendah dan fluoresense tinggi) dari Liptinit mulai gambut dan
23
batubara pada rank rendah sampai pada batubara sub-bituminus relatif stabil
(Techmueller, 1989).
Pembatubaraan Pada Grup Liptinit
Naiknya reflektivitas dibarengi sifat fluoresense menurun (Gambar 3). Warna
fluoresense berubah dari panjang gelombang yang pendek (hijau dan kuning) ke
panjang gelombang yang lebih tinggi (merah). Liptinit-liptinit tertentu mempunyai
loncatan proses pembatubaraan masing-masing, seperti: Sporinit mempunyai
loncatan pertama (R vitrinit = 0.5%) dimana substansi seperti minyak terbentuk.
Loncatan kedua (R vitrinit = 0.8-1.0%) adalah pada oilgeneration yang maksimum.
Loncatan ketiga (R vitrinit =
Sporinit mencapai
membentuk mikrinit yang berupa sisa padatan (dari Resinit dan Bituminit). Liptinitliptinit yang lain (Sporinit dan Kutinit) berkurang kemudian mencapai reflektivitas
yang lebih tinggi dari reflektivitas vitrinit.
Eksudatinit adalah maseral sekunder pada grup Liptinit dan terbentuk selama
proses pembatubaraan (awal bituminisasi). Eksudatinit mencapai reflektivitas yang
lebih tinggi dari reflektivitas vitrinit pada awal stadium coking coal. Banyak metaeksudatinit dikenal dari anisotropinya yang tinggi. Secara umum R Liptinit dan
fluoresensenya berubah pada stadium oilwindow.
Sporinit terbentuk dari bagian luar dinding sel spora dan kotak spora. Secara kimia
substansi ini mengandung sporopollenin. Pada lingkungan yang kaya akan kalsium
dan relatif kering, spora dan kotak spora akan terhancur dengan kuat oleh bakteri.
Tetapi dalam lingkungan yang basah (di bawah air) spora dan kotak spora
terawetkan dengan baik (Teichmueller, 1989).
24
Kulit spora sering sama-sama tertindih sehingga ruang dalam spora hanya bisa
dikenali sebagai satu garis hitam di bagian tengah (Gambar 4 dan 5). Bagian luar
spora terpisahkan secara simetris. Berdasarkan besarnya sporinit dibagi menjadi
megasporinit dan mikrosporinit. Mikrosporinit lebih kecil dari 100 mikrometer.
Berdasarkan pada ketebalan dindingnya maka mikrosporinit dibagi menjadi dua,
yaitu Tenuisporinit yang mempunyai dinding yang tipis dan Crassisporinit yang
mempunyai dinding yang tebal (Stach, 1982).
Cutinit berasal dari kutikula dan lapisan kutikula yang biasanya berada pada
permukaan daun, cabang dan bagian lain dari tumbuhan sebagai pelindung dari
kekeringan. Substansi kimianya disebut cutin dan komposisinya adalah asam lemak
dan lilin. Dalam sayatan yang tegak lurus dengan perlapisan, cutinit mempunyai
lapisan berbentuk gigi yang unik dengan berbagai ketebalan. Dalam sayatan yang
lain sering terlihat sebagai struktur jaring (Gambar 6 dan 7).
25
Suberinit, resinit dan fluorinit berbeda dengan sporinit, alginit dan cutinit. Material
asalnya hanya diketahui secara umum. Suberinit berasal dari lapisan suberin dari
dinding sel yang tergabuskan khususnya kulit kayu.
Three dimensional schematic picture of a cuticle with broad cuticular ledges forming
a kind of framework. (After E. Stach, 1935)
26
a) Cross section through a cuticle (black) and epidermis (white); b) Cuticle without
epidermis; c) , d) Cuticle strongly folded. (After E. Stach, 1935)
(B)
27
Resinite : a) Very dark resinite, well preserved resin in Eocene hard lignite from
Borneo, polished surface, oil imm., 375 x; b) Isolated elliptical resin bodies (resinite
cell fillings) from a high-volatile Ruhr coal, polished surface, oil imm., 135 x; c)
Elongated resin body, showing zonal structure, from a high-volatile Ruhr coal,
polished surface, oil imm., 450 x; d) Resinite layers on the left side with formerly
spherical droplets from a high-volatile Ruhr coal, polished surface, oil imm., 300 x;
e) Spherical dark grey resinite bodies, gradually transformed into fusinite, from a
high-volatile Ruhr coal, polished surface, oil imm., 350 x;
28
3. GRUP INERTINIT
Sifat khas untuk Inertinit adalah reflektivitas tinggi, sedikit atau tanpa fluoresense,
kandungan karbon yang tinggi dan sedikit kandungan hidrogen, aromatis kuat
karena beberapa penyebab, seperti pembakaran (charring), mouldering dan
penghancuran oleh jamur, gelifikasi biokimia dan oksidasi serat tumbuhan. Menurut
Teichmueller (1982 a) inertinit berasal dari melanin (inertinit primer).
29
Sebagian besar inertinit sudah terbentuk pada bagian awal proses pembatubaraan.
Inertinit tidak menunjukkan perubahan selama proses pembatubaraan. Hanya semiinertinit berubah menjadi inertinit.
Smith dan Cook (1980) mengatakan sebagian besar inertinitisasi (penaikan
reflektivitas) terjadinya tidak lebih awal dari stadium brown coal dan sub-bitumious.
Penyebab proses ini adalah reaksi yang tidak seimbang. Aromatisasi (inertinisasi)
berada disatu pihak dan pembentukan hidrokarbon disisi yang lain (Teichmueller,
1987a). Reaksi ini sama dengan pembentukan mikrinit pada rank bitumious.
Pada meta-antrasit, reflektan vitrinit menjadi lebih tinggi dari reflektan inertinit (Alper
& Lemos de Sousa, 1971). kandungan hidrogen yang tinggi dari vitrinit dan
kecenderungan pembentukan grafit yang lebih awal merupakan penyebab kondisi
ini (Teichmueller, 1987b).
Fusinit dan semi-fusinit terbentuk akibat proses pembatubaraan dari material
tumbuhan atau pembakaran pada gambut. Fusinit dan semi-fusinit akibat
pembakaran disebut pyrofusinit atau pyrosemifusinit dan mewakili tipe utama dari
inertinit pada gambut dan stadium brown coal. Batubara jaman Perm atau Karbon
kaya akan degradofusinit (khususnya degradosemifusinit), dimana pengawetan
struktur selnya dapat dibedakan dari pyrofusinit. Pyro- dan degradofusinit
(semifusinit) merupakan indikasi dari lingkungan pengendapan yang diperkirakan
relatif kering.
Ruang sel yang bulat, oval atau memanjang pada semi fusinit dapat diisi oleh
mineral lempung, karbonat, pyrit atau kadang juga oleh eksudatinit dan resinit.
Akibat penghancuran dinding sel muncul potongan-potongan fusinit yang khas yang
disebut Bogenstruktur.
Karena gambut dan brown coal resen mengandung lebih sedikit fusinit dan
semifusinit dibanding pada hard coal maka Teichmeuller (1982 a) mengambil
30
kesimpulan bahwa fusinit dan begitu juga inertinit yang lain terutama terbentuk pada
proses pembatubaraan (rank fusinit). Dapat dikatakan serat kayu berubah menjadi
fusinit pada proses pembatubaraan. Konsep ini didukung pula oleh penelitian Smith
dan Cook (1980) terhadap batubara dari Australia. Diungkapkan bahwa banyak
inertinit antara gambut dan high volatile bitumious coal (R max = 0,2 - 0,9 %)
reflektivitasnya berubah secara drastis. Fusinit seperti ini dapat juga terjadi dari sifat
material tumbuhan awal.
Semifusinit merupakan maceral antara vitrinit dan fusinit (Stach, 1982). Reflektivitas
semifusinit sangat bervariasi. Namun demikian selalu lebih kecil dari fusinit dan
lebih besar dari vitrinit pada batubara yang sama. Dibandingkan dengan fusinit,
semifusinit pada mikroskop (sinar pantul putih) berwarna abu-abu terang, dinding
sel lebih tebal, tidak teratur, sel struktur lebih tidak jelas, begitu juga reliefnya lebih
rendah. Seperti pada fusinit maka ruang selnya diisi oleh mineral.
Makrinit mempunyai reflektivitas tinggi, amorf dan mengandung gel. Material asalnya
sampai sekarang masih belum jelas. Diperkirakan makrinit terbentuk akibat oksidasi
yang intensif, pengeringan tumbuhan dan gambut, produk metabolisma oleh jamur
dan bakteri. Karena itu makrinit jarang muncul pada gambut dan brown coal
(Teichmueller, 1989). Hipotesa Cohen et. al. (1987) yang benar-benar berlawanan
tentang pembentukan makrinit adalah material yang tergelifikasi pada saat awal
dimana dibedakan dari reflektivitasnya yang tinggi dan masih bersifat huminit pada
stadium gambut (terbentuk pada lingkungan pengendapan bawah air). Makrinit
mencapai reflektivitas inertinit pada proses pembatubaraan dalam stadium hard coal
(seperti fusinit sekunder). Beberapa makrinit berasal dari charred peat.
Sclerotinit mewakili jamur mycelia yang mengandung melanin hitam sejak saat
hidupnya. Spora dari jamur hitam ini diserang oleh jamur karat, jamur hangus, dan
rumput-rumputan. Jamur hitam bisa hidup pada kondisi yang kurang baik tetapi
jamur yang kaya akan melanin tertentu saja yang membentuk sclerotinit. Pendapat
lama yang menyatakan bahwa chitin sebagai pembentuk utama dari jamur
menyebabkan tingginya reflektivitas sclerotinit tidak dapat diterima lagi.
31
Bartram et. al. (1987, dikutip dari Teichmueller 1989) dengan penelitian terhadap
batubara dari Yorkshire, England dan Goodarzi (1984, dikutip juga dari Teichmueller,
1989) dengan penelitian batubara dari Kanada mengatakan bahwa sclerotinit adalah
transculent (transparan) dan mempunyai fluoresense (berlawanan dengan pendapat
yang lain).
Frey-Wisslyng (1959) mengatakan bahwa chitin sama seperti selulosa dalam sifat
optisnya sehingga jamur yang terendapkan pada gambut tidak akan membentuk
sclerotinit. Sekarang secara umum diperkirakan bahwa sebagian besar dari
sclerotinit dalam batubara karbon dan batubara Perm berasal dari sekresi sel (tanin
dan atau resin). Material ini terkarbonisasi sebelum atau sesaat setelah
pengendapannya pada permukaan gambut (Taylor & Cook, 1962 ; Koch, 1970).
Inertodetrinit dipakai untuk partikel inertinit yang kecil karena besar butirnya yang
lebih kecil dari 30 mikro meter sulit untuk dimasukkan ke dalam maceral lain dalam
grup inertinit. Sebagai contoh adalah pecahan dari pyrofusinit atau sisa dari
degradofusinit yang tertransport oleh udara atau air. Inertodetrinit adalah maceral
khas untuk facies bawah air atau batuan klastik (Teicmueller, 1989).
Sebagai detritus partikel inertinit dapat ditransport oleh air dan angin untuk jarak
yang jauh karena tahan terhadap pelapukan kimia. Sering pengendapan
inertodetrinit bersama sporinit dan alginit sehingga dapat menunjukkan bahwa
kondisi asalnya adalah kering, terbentuk dalam kondisi oksidasi, tertransport dan
terendapkan pada lingkungan di bawah air (sekunder).
Mikrinit memegang peran yang besar. Walaupun memiliki reflektivitas tinggi namun
sangat sensitif terhadap oksidasi dan pemanasan (Stach, 1936 ; Nandi &
Montogmery, 1967). Teichmueller (1944) mengamati transisi resinit pengisi ruang sel
ke mikrinit pada batubara Bitumious rank rendah dari jaman Upper-Silesian dan
Teichmueller (1955) menyatakan bahwa banyak mikrinit (pada batubara Ruhr yang
terendapkan pada lingkungan marine diketahui dari sifat petrografi dan sifat
32
33
SOAL-SOAL
3.
4.
Maseral apa yang berubah selama proses pembatubaraan dan apanya yang
berubah ?
34
DAFTAR PUSTAKA
35
Penerapan atau manfaat genesa batubara cukup banyak, tidak hanya untuk
eksplorasi batubara sendiri tetapi juga untuk keperluan yang lain. Genesa batubara
sampai saat ini sangat mendukung beberapa keperluan yang masih ada hubungan
dengan geologi, eksplorasi maupun pengolahan, pencucian ataupun pemanfaatan
batubara. Belakangan ini ilmu genesa batubara sangat banyak dipakai dalam
eksplorasi minyak bumi. Secara garis besar untuk contoh, diberikan uraian dari
masing-masing manfaat di bawah ini :
Eksplorasi batubara
Mempelajari tektonik
struktur
bisa
dikaitkan
dengan
cekungan
tempat
batubara
terendapkan. Stabilitas tektonik dan akibatnya terhadap endapan batubara baik dari
36
37
Gambar 5.1. Pengurangan porositas pada batuan reservoir dikaitkan dengan rank
batubara (reflektan vitrinit) dan kematangan hidrokarbon (diambil dari
Taylor, 1998)
Genesa batubara memberikan gambaran yang jelas untuk rank dalam kaitan dengan
terbentuknya minyak bumi. Terbentuknya maseral sekunder seperti Exsudatinit dan
mikrinit pada batubara) sebagai indikator oil window (daerah rank terbentuknya
minyak bumi pada sedimen), sehingga dengan mengetahui indikator ini maka
eksplorasi minyak dan gas bumi bisa diarahkan sesuai dengan kemungkinan arah
migrasinya.
Bahkan beberapa ahli pernah memikirkan tentang terbentuknya minyak bumi yang
bersumber dari batubara (batubara sebagai batuan induk minyak bumi). Hal ini
secara teori mungkin terbentuk tetapi migrasi untuk akumulasi dalam jumlah yang
banyak masih tidak mungkin karena pori-pori pada batubara sangat kecil.
Rank pada batubara merupakan akibat dari temperatur, tekanan dalam waktu yang
relatif panjang. Sehingga hal ini analog dengan proses yang terjadi pada batuan
sedimen yang lain yang mengalami proses diagenesa. Pada batubara dengan
mudah dapat diketahui rank-nya sedangkan pada batuan sedimen yang lain agak
sulit. Rank pada batubara merupakan posisi meterial organik akibat proses
pembatubaraan dan ini merupakan proses irreversible sehingga kalau suatu rank
sudah dicapai maka tidak akan bisa kembali ke kondisi aslinya. Dengan anggapan
bahwa setiap batuan sedimen mengandung unsur organik yang bisa diukur
reflektifitasnya sebagai indikator rank maka dengan cepat dapat diketahui proses
atau akibat proses diagenesa yang dialami oleh batuan sedimen itu. Artinya
walaupun keberadaannya saat ini di permukaan (tersingkap) bukan berarti dari sejak
terbetuknya tidak pernah berada pada kedalaman yang tinggi dimana temperatur
38
tinggi (akibat gradien geothermal) dan tebal batuan penutup yang mengakibatkan
tekanan yang tinggi juga. Dengan demikian komponen organik yang berasal dari
tumbuhan akan mempunyai rank yang tinggi sesuai dengan temperatur dan tekanan
yang pernah dialaminya (Gambar 5.2).
Gambar 5.2. Hubungan antara beban yang dialami, temperatur dan reflektan vitrinit
(diambil dari Taylor, 1998)
4. MEMPELAJARI TEKTONIK
Dari rank batubara yang terdapat pada suatu cekungan bisa dipelajari sejarah
cekungan tempat terdapatnya endapan batubara tersebut. Rank batubara yang
tinggi bisa dikaitkan dengan masa lalu cekungan itu yang pernah berada turun
sampai kedalaman tertentu (tinggi). Proses naik turunnya cekungan sulit diketahui
dari sedimen yang lain, sedangkan dari komponen organik (batubara pada sedimen)
itu dapat diketahui bahwa komponen organik yang ada pada sedimen itu sudah
pada rank tertentu dengan korelasi temperatur dan beban yang pernah dialami
(Gambar 5.2). Distribusi rank yang tidak merata mencerminkan keberadaan
penyebab lokal. Hal ini bisa akibat struktur sesar, pelipatan ataupun akibat intrusi.
Yang penting adalah keberadaan suatu proses yang mengakibatkan adanya
temperatur atau tekanan yang tinggi atau bahkan keduanya sekaligus.
Tidak homogennya lapisan, adanya banyak sisipan atau lapisan bercabang
mecerminkan kondisi cekungan tempat pengendapan batubara yang tidak stabil,
dalam artian penurunan cekungan yang tidak homogen.
39
Disamping itu faktor penentu kualitas batubara bisa terjadi bersamaan dengan
proses pembatubaraan (tidak mencerminkan lingkungan pengendapannya).
Dari genesa bisa diinterpretasikan jenis tumbuhan pembentuknya, tempat terjadinya,
cara terjadinya dan seberapa jauh proses pembatubaraan berlangsung. Batubara
terbentuk dari berbagai jenis tumbuhan. Jenis tumbuhan pembentuk akan
bertanggung jawab terhadap komposisi maseral yang sangat menentukan
karakteristik batubara yang berkaitan dengan peruntukannya. Dalam hal ini bukan
hanya jenis tumbuhan saja yang penting tetapi juga dari bagian apanya dari
tumbuhan batubara terbentuk.
Tempat terjadinya apakah di cekungan di lingkungan darat/air tawar, payau atau
bahkan laut, akan membawa konsekuensi terhadap tipe dan kualitas batubara.
Apakah dia berlapis ataupun tidak berlapis tentu akan sangat mempengaruhi dalam
proses pemanfaatan/pengolahan.
Batubara yang terbentuk dari tipe atau fasies bawah air akan mempunyai
kandungan abu dan sulfur yang lebih tinggi dibanding yang terjadi dari gambut tipe
highmoor.
Keterdapatan mineral (baik jenis maupun bentuknya) akan sangat mempengaruhi
cara pengolahan atau pencuciannya. Keterdapatan mineral ini bisa banyak
ragamnya dengan genesa yang beragam pula. Oleh karena itu keberadaan mineral
dalam bentuk yang
40
Batubara yang banyak unsur gelinit yang diyakini merupakan produk gelifikasi
(bagian awal proses pembatubaraan yang berlangsung tergantung air) akan kurang
baik untuk briket.
Sebenarnya masih sangat banyak aplikasi ilmu genesa batubara untuk keperluan
baik ilmu perbatubaraan maupun industri perbatubaraan.
41
SOAL-SOAL
42
DAFTAR PUSTAKA
MODUL KURSUS
43
GENESA BATUBARA
1. LATAR BELAKANG
Industri batubara saat ini sedang mengarah kepada puncak aktivitasnya, karena
batubara dianggap sebagai komoditi unggulan dan sumber energi alternatif untuk
Indonesia. Aktivitas dalam bidang batubara dimulai dari eksplorasi, penambangan,
pengolahan, pemasaran, pemanfaatan dan sebagainya.
Genesa batubara yang merupakan ilmu untuk mengetahui bagaimana cara terjadinya
serta bahan dasar pembentuk endapan batubara menjadi sangat penting untuk
diketahui, terutama untuk kegiatan eksplorasi, pengolahan dan pemanfaatan.
Sehingga pelaku industri batubara terutama yang menekuni bidang eksplorasi dan
pemanfaatan menjadi mutlak untuk mengetahui genesa batubara.
2. TUJUAN KURSUS
2.1. Tujuan Instruksional Umum
Memberikan pengetahuan bagi para peserta tentang terjadinya endapan batubara,
distribusinya di muka bumi dan Indonesia sehingga menjadikan modal untuk
eksplorasi, pengolahan dan pemanfaatannya.
3. MATERI KURSUS
44
Sesuai dengan judul modul yang diusulkan maka materi yang akan dibahas
dalam modul ini adalah sbb:
Cerita singkat tentang endapan batubara di dunia mengenai distribusinya,
pemakaiannya dikaitkan dengan sejarah perkembangan bumi serta distribusi
endapan batubara di Indonesia.
Faktor-faktor fasies pembentukan gambut (Type-type gambut serta proses - proses
yang terjadi).
Bahan dasar pembentuk batubara (Jenis tumbuhan pembentuk serta bagian dari
tumbuhan yang berperan dalam pembentukan batubara).
Proses pembatubaraan (Faktor penting yang mempengaruhi proses, jenis proses
yang terjadi, saat proses itu terjadi serta produk proses masing-masing).
Beberapa
manfaat
genesa
batubara
untuk
eksplorasi,
pengolahan
dan
pemanfaatannya.
4. LAMPIRAN
Perincian dari masing-masing modul :
45
Pendahuluan
II.
Sejarah Batubara
II.
Moor
II.1. Niedermoor
II.2. Hochmoor / Highmoor
Tipe Pengendapan
46
I.
Untuk Eksplorasi
47
5. DAFTAR BACAAN
48
zur
Vorlesung,
Lehrstuch
fur
Geologie,
Geochemie
und
49