Anda di halaman 1dari 85

MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

GENESA BATUBARA

GENESA BATUBARA DITINJAU DARI MASERAL

JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

Sejarah dan Perkembangan Batubara - 1

1998

KATA PENGANTAR

Submodul Sejarah dan Perkembangan Batubara adalah sebagian dari


Modul Pendidikan dan Pelatihan Genesa Batubara yang ditujukan sebagai
pelengkap modul-modul yang sudah ada di Jurusan Teknik Pertambangan
FTM-ITB. Modul ini dimaksudkan untuk menggalakkan pembuatan Modul
Pendidikan dan Pelatihan lainnya.
Submodul ini disusun oleh :
Dr.Ir. Komang Anggayana, MS.
Atas kesempatan yang diberikan, penulis menyampaikan penghargaan dan
terima kasih, khususnya kepada Jurusan Teknik Pertambangan FTM-ITB
dan kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian penyusunan
submodul ini.

Sejarah dan Perkembangan Batubara - 2

1. PENDAHULUAN
Dua tahap penting yang dapat dibedakan untuk mempelajari genesa
batubara adalah gambut dan batubara. Dua tahap ini merupakan hasil dari
suatu proses yang berurutan terhadap bahan dasar yang sama (tumbuhan).
Secara definisi dapat diterangkan sebagai berikut (Wolf, 1984) :
Gambut adalah batuan sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari
tumpukan hancuran atau bagian dari tumbuhan yang terhumifikasi dan
dalam kondisi tertutup udara (di bawah air), tidak padat, kandungan air lebih
dari 75% (berat) dan kandungan mineral lebih kecil dari 50% dalam kondisi
kering.
Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, berasal
dari tumbuhan, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya
terkena proses fisika dan kimia, yang mana mengakibatkan pengkayaan
kandungan karbonnya.
Untuk menjadi batubara, ada beberapa tahapan yang harus dilewati oleh
bahan dasar pembentuknya. Pada tiap tahapan ada proses yang terjadi
dan proses-proses tersebut unik untuk tiap tahapan. Proses-proses ini
tergantung pada banyak faktor.
Mempelajari genesa batubara secara lengkap memerlukan banyak disiplin
ilmu yang saling mendukung (Botani, Kimia, Geologi, Fisika, dsb). Pada
bahan kuliah ini akan diuraikan secara umum mulai dari perkembangan
tumbuh-tumbuhan (evolusi tumbuh-tumbuhan dalam kaitannya dengan
evolusi bumi) sebagai bahan dasar pembentuk batubara, faktor yang
mempengaruhi terjadinya gambut sebagai tahap awal terjadinya batubara
dengan tipenya masing-masing, proses-proses yang terjadi dan faktor
penyebabnya selama perkembangan dari gambut menjadi batubara, serta
manfaat pengetahuan genesa untuk eksplorasi penambangan, pengolahan
dan pemanfaatan.
Sejarah dan Perkembangan Batubara - 3

Sebelum mulai dengan genesa maka akan diperkenalkan klasifikasi dan


istilah rank pada batubara, sehingga tidak menjadikan penghalang untuk
mengenal tahap-tahap yang dicapai, yang akan selalu disebut dengan rank /
peringkat, karena batubara merupakan suatu nama yang mencakup semua
tahap yang dicapai dalam prosesnya setelah stadium gambut terlewati
(Tabel 1).
Istilah rank / peringkat dipakai untuk menyatakan tahap yang telah dicapai
oleh batubara dalam urutan proses pembatubaraan. Rank bukanlah suatu
besaran yang dapat diukur tetapi ditentukan berdasarkan beberapa faktor.
Ada beberapa parameter yang dipakai untuk menentukan rank batubara
(Tabel 1) dan setiap parameter mempunyai ruang pakai tersendiri dalam
kaitannya dengan rank yang dicapai. Hampir setiap negara penghasil
batubara dengan jumlah yang besar memiliki istilah tersendiri untuk
menyatakan rank-nya. Sebagai contoh diberikan rank batubara untuk ASTM
(Amerika) dan DIN (Jerman). Berdasarkan rank yang dicapai maka batubara
dapat diklasifikasikan. Ada banyak sekali klasifikasi batubara. Beberapa
klasifikasi dibuat hanya untuk keperluan pemanfaatan dan perdagangan
batubara (berkaitan dengan kualitas) dan ini kebanyakan tidak berkaitan
dengan genesanya, atau mencerminkan genesanya.
Sebagai pengetahuan umum tentang batubara sebelum mempelajari genesa
maka pada bagian awal sekali disinggung sedikit tentang pengenalan orang
terhadap batubara.

Tabel 1. Rank dan klasifikasi batubara menurut ASTM dan DIN dengan
berbagai parameternya (Teichmuller & Teichmuller, 1982).

Pengetahuan tentang genesa batubara tidak terlepas dari kejadian bumi

Sejarah dan Perkembangan Batubara - 4

itu sendiri, karena perkembangan bumi disertai dengan perkembangan iklim


yang berikutnya dikaitkan dengan perkembangan makhluk hidup (terutama
dalam hal ini tumbuhan). Sejarah geologi perkembangan bumi membawa
akibat distribusi endapan batubara secara geografis dan secara waktu
geologi seperti yang dijumpai keberadaannya saat ini. Tidak setiap tempat di
bumi ini mempunyai endapan batubara dan tidak setiap waktu geologi
menghasilkan endapan batubara yang ekonomis.
Di dalam pegangan kuliah ini juga akan diterangkan komposisi batubara
secara makroskopis maupun mikroskopis. Pengamatan batubara secara
makroskopis bisa memberikan informasi tentang cara terjadinya endapan
batubara yang bersangkutan. Lebih lagi pengamatan secara mikroskopis
akan sangat membantu penafsiran genesa suatu endapan batubara, karena
setiap komponen mikroskopis batubara (maseral) mempunyai genesa
masing-masing.
Pengetahuan kimia organik batubara sangat berperan dalam mempelajari
genesa batubara. Hampir seluruh studi tentang endapan batubara saat ini
disertai dengan hasil analysa geokimia organiknya, disamping secara
mikroskopis. Kelengkapan dengan hasil analisis paleobotanik juga sangat
memberikan hasil interpretasi yang lebih baik lagi. Dari gabungan metode ini
bisa diketahui bukan saja lingkungan pengendapannya tetapi juga sampai
pada jenis tumbuhan pembentuknya dan juga proses yang terjadi dan
dominan dari sekian banyak proses yang tercakup dalam proses
pembatubaraan.
Sebagai bagian akhir akan diperkenalkan genesa batubara Indonesia yang
terkenal dengan kandungan abu dan sulfur yang rendah, kandungan vitrinit
yang selalu sangat dominan (terutama densinit, ulminit atau desmocolinit,
telocolinit dan vitrodetrinit).

2. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BATUBARA

Sejarah dan Perkembangan Batubara - 5

2.1. SEJARAH BATUBARA


Diperkirakan orang China mengenal dan menambang batubara sejak
beberapa abad sebelum Masehi (Chengi mines). Lama sesudah itu
Marcopolo (1280) menyebutnya sebagai benda ajaib dari Cina. Filosof dari
Yunani Theophrastos (muridnya Aristoteles) mengenal batubara dan
menyebutnya dengan anthrax geodes yang merupakan asal dari kata
Antrasit yang dikenal sekarang.
Sejarah geologi mengenal dua jaman (great era) pembentukan humolith
(humolith adalah suatu istilah yang diperkenalkan oleh Patonie tahun 1920
untuk mencakup gambut, lignit dan batubara), seperti pada Tabel 2.
Pertama adalah Anthracolithicum yang dimulai dari Jaman Karbon Bawah
sampai dengan Perm. Ini merupakan masa pembentukan batubara yang
maha hebat (khususnya Jaman Karbon). Contohnya Amerika Utara dan
Eropa. Sebagian besar batubara jaman ini terjadi pada belahan bumi bagian
utara. Formasi ini pernah mencapai kedalaman lebih dari 3 mil dan
membentang dari Skotlandia sampai dengan Silesia (Polandia).
Kedua adalah dari Kretasius Bawah sampai dengan Tersier. Hampir seluruh
lignit dan brown coal terbentuk pada jaman ini. Kecuali batubara di Moskow
Basin yang berasal dari Jaman Karbon Bawah. Selanjutnya seluruh
endapan gambut diasumsikan terjadi pada Jaman Kuarter. Seluruh endapan
batubara Indonesia terbentuk pada Jaman Tersier. Walaupun demikian
masih dapat dibedakan antara batubara paleogen (endapan batubara yang
terbentuk pada cekungan intramontain; Ombilin, Bayah, Kalimantan
Tenggara, Sulawesi Selatan, dsb) dan neogen (untuk batubara yang
terbentuk pada cekungan foreland; Tanjung Enim dan delta; hampir semua
endapan batubara di Kalimantan Timur).

Sejarah dan Perkembangan Batubara - 6

2.2. DISTRIBUSI ENDAPAN BATUBARA DI DUNIA


Endapan batubara di dunia tersebar seperti terlihat pada Gambar 1 s/d
Gambar 11. Pada gambar tersebut ditunjukkan lapangan batubara dengan
produksi yang besar seperti USA, Inggris, Jerman, Rusia, Cina, Jepang,
Australia, Afrika Selatan, Canada dan India. Negara-negara tersebut
memproduksi 2/3 dari produksi batubara dunia dan dengan cadangan 96%
dari cadangan batubara dunia (Van Krevelen, 1993). Disamping itu negaranegara tersebut memiliki batubara dengan rank dari brown coal sampai
dengan antrasit dan dengan cara penambangan konvensional bermula sejak
Revolusi Industri (Inggris) sampai dengan awal abad ini (Afrika Selatan).
Gambar 1. Distribusi endapan batubara terkenal di dunia (Fettweis, 1979)
Gambar 2. Distribusi endapan batubara di USA (Averiti, 1975)
Gambar 3. Distribusi endapan batubara di Inggris (Fettweis, 1979)
Gambar 4. Distribusi endapan batubara di Jerman Bagian Barat
Gambar 5. Distribusi endapan batubara di USSR (Fettweis, 1979)
Gambar 6. Distribusi endapan batubara di Cina (Fettweis, 1979)
Gambar 7. Distribusi endapan batubara di Jepang (Mori et al., 1980
Gambar 8. Distribusi endapan batubara di Australia (Fettweis, 1979)
Gambar 9. Distribusi endapan batubara di Afrika Selatan (Fettweis, 1979)
Gambar 10. Distribusi endapan batubara di Canada (Fung, 1982)
Gambar 11. Distribusi endapan batubara di Perm dan Tersier di India
(Chandra & Chakrabarki, 1989)

Sejarah dan Perkembangan Batubara - 7

2.3. PERKEMBANGAN BUMI DAN TERJADINYA ENDAPAN BATUBARA


Dengan adanya era dan distribusi endapan batubara yang tertentu di muka
bumi ini maka beberapa pertanyaan atau teka-teki kemudian timbul bagi
para ahli batubara seperti :
a. Kenapa hanya pada periode tertentu saja batubara terbentuk.
b. Kenapa hanya pada tempat tertentu saja batubara terbentuk.
c. Bagaimana bisa batubara dari tempat yang berjauhan dapat dikorelasikan
sedangkan batubara yang berdekatan sangat sulit dikorelasikan.
Pertanyaan ini bisa dijawab dengan Geologi Modern (continental drift dan
perkembangannya), Paleontologi (paleobotani/evolusi flora) dan Climatologi
(siklus iklim dalam kaitannya dengan perkembangan atau pergeseran benua).
Dulu orang beranggapan bahwa bumi itu diam. Tetapi berikutnya disepakati
bahwa bumi itu bergerak dan dinamis. Dikenal 3 fase dalam perkembangan
konsep teori ini (Van Krevelen, 1993) :
Theories of the continental drift.
Theories of ocean floor spreading (pemekaran lantai samudera).
Theories of the plate tectonics (tektonik lempeng).
Continental drift dikemukakan oleh Antonio Snider-Pellegrini tahun 1958 dan
lebih dari lima puluh tahun berikutnya (1915) dikembangkan oleh Alfred
Wegener. Teori ini berikutnya bisa menerangkan pembentukan pegunungan,
gempa bumi, perubahan iklim, distribusi tumbuhan dan binatang di bumi
serta perpindahan kutub dan sebagainya. Menurut Wegener bahwa dulu
benua itu menjadi satu yang disebut Pangaea (Gambar 12) dan satu lautan
Panthalassa. Pangaea pecah menjadi dua benua besar yaitu Laurasia dan
Gondwana (dinamai oleh Alex Du Toit / ahli geologi Afrika Selatan).
Berdasarkan rekonstruksi continental drift yang dibuat oleh Bambach,
Scotese dan Ziegler (1980) dari data paleomagnetik hasil penyelidikan di
Greenland maka sebelum menjadi Pangaea, benua-benua itu asalnya
terpisah satu sama lain (paleogeografi mulai 540 juta tahun yang lalu,

Sejarah dan Perkembangan Batubara - 8

Gambar 13 s/d Gambar 15).

Gambar 12. Pecahnya Pangaea


Sesudah Wegener maka ada lagi Holmes (sekitar tahun 1935) dengan arus
konveksi pada mantel bumi dan Vening Meinesz (hasil penelitian dasar laut
dengan Kapal Belanda dari tahun 1923 sampai dengan 1938) menemukan
Sejarah dan Perkembangan Batubara - 9

variasi gaya berat dasar laut dalam. Kedua hasil ini dikombinasikan oleh
Hess dan Dietz (1960) dan menghasilkan konsep ocean floor spreading.
Sebagai bagian akhir dari pemikiran bahwa bumi itu dinamis maka muncul
teori plate tectonics (tektonik lempeng).

LAURENTIA
dan Subkontinen yang lebih kecil
SIBERIA KAZKHSTANIA

CHINA

GONDWANA

500 juta

LAURASIA

270

150

PANGAEA (Supercontinent)

LAURASIA

GONDWANA

Beberapa subkontinen
Sekarang Amerika Utara Eurasia

India

Australia

Afrika

Amerika Selatan

Arabia Antaractica

Gambar 13. Skema rekonstruksi perubahan muka bumi

Sejarah dan Perkembangan Batubara - 10

Gambar 14. Perubahan muka bumi dari Jaman Kambrium sampai Karbon
Atas (Scotese et al., 1979)

Gambar 15. Perubahan muka bumi dari Jaman Perm sampai sekarang
(Bambach et al., 1980)

Iklim merupakan faktor tunggal terpenting yang menentukan, kapan dan


dimana batubara terbentuk. Iklim daerah tertentu ditentukan oleh iklim global
yang bervariasi terhadap waktu geologi (Gambar 16). Posisi kontinen
terhadap waktu geologi juga menghasilkan iklim yang berbeda (akibat
kontinental drift). Evolusi spesies tumbuhan menghasilkan perubahan
sangat besar dari material pembentuk batubara (dari Cryptogam, Conifern
sampai Angiosperm).
Gambar 16. Temperatur global dan curah hujan di permukaan bumi (Frakes,
1979)
Kebanyakan tumbuhan Jaman Karbon adalah cryptogam yang terendapkan
pada iklim (sub) tropis di lagun atau rawa delta. Batubara perm termuda
terendapkan pada iklim yang dingin pada cekungan kontinental yang
mengandung Glossopteris (Ziegler et al., 1977). Pada jaman Kretasius dan
Tersier, Konifern dan tumbuhan berbunga sangat banyak. Flora Gondwana
yang uniform adalah akibat tidak adanya pegunungan atau rintangan yang
lain seperti yang terjadi di Cina dan Siberia yang merupakan akibat
pengangkatan pegunungan (akibat tumbukan kontinental).

SOAL-SOAL
Pembentukan Gambut

-1

1. Kenapa endapan batubara yang ada hanya di daerah tertentu saja di


dunia ?

2. Kenapa pengendapan batubara hanya terjadi pada waktu tertentu saja ?

3. Bagaimana penyebaran endapan batubara Indonesia berdasarkan


waktu pengendapan dan daerah terdapatnya ?

4. Negara mana saja yang memiliki endapan batubara yang banyak ?

DAFTAR PUSTAKA

Pembentukan Gambut

-2

1. Diessel C. F. K. (1984) : Coal Geology, Australian Mineral Foundation,


Workshop Course 274/84, Indonesia : 208 S.
2. Stach E., Mackowsky M. TH., Teichmller M., Taylor G. H., Chandra D.,
Teichmller R. (1982) : Stachs Textbooks of Coal Petrology,
Gebrder Borntraeger, Berlin-Stuttgart : 535 S.
3. Taylor G. H., Teichmueller M., Davis A., Diessel C. F. K., Littke R., Robert
P. (1998), Organic Petrologi, Gebrueder Borntraeger, Berlin,
Stuttgart.
4. Tissot B. P., Welte D. H. (1984) : Petroleum Formation and Occurrence,
2nd Edition, Springer Verlag, Berlin : 538 S.
5. Van Krevelen D. W. (1993) : Coal, Typology-Chemistry-PhysicsConstitution, 3rd Comp. Rev. ed., Elsevier, Amsterdam, London,
New York, Tokyo : 979 S.

1. FAKTOR-FAKTOR YANG PENTING DALAM PEMBENTUKAN


GAMBUT

Pembentukan Gambut

-3

1.1. TUMBUHNYA RAWA GAMBUT


Gambut merupakan tahap paling awal dari proses pembentukan batubara.
Untuk bisa terbentuknya gambut maka ada beberapa faktor yang
menentukan. Disamping itu dengan adanya berbagai faktor tersebut maka
bisa terjadi gambut dengan bermacam tipe. Faktor-faktor yang penting dari
pengendapan gambut pada rawa-rawa :
- Evolusi tumbuhan
- Iklim
- Geografi dan posisi serta struktur daerah
1.1.1. Evolusi Tumbuhan
Ragam tumbuh-tumbuhan seperti yang dikenal pada saat ini telah
mengalami proses evolusi yang sangat panjang mulai dari Jaman Devon.
Perkembangan jenis tumbuhan untuk setiap waktu geologi terlihat pada
Gambar 1. Mulai dari satu jenis tumbuhan (Algae/ganggang) pada jaman
sebelum Devon menjadi sekian banyak pada waktu-waktu berikutnya.
Perkembangan ini perlu diketahui karena ada beberapa tumbuhan yang
hanya tumbuh pada jaman tertentu saja sehingga dengan mengenal
perkembangan

ini

akan

memudahkan

untuk

menginterpretasikan

genesanya. Sisa tumbuhan pembentuk batubara kadang-kadang mudah


dikenal di bawah mikroskop. Sisa tumbuhan seperti spora, tepung sari,
serat, sel, dsb sering dipakai untuk mengenal jenis tumbuhan pembentuk
batubara (paleobotani atau maseral). Disamping itu ada beberapa metoda
yang lain (seperti geokimia organik) yang sering dipakai untuk mengenal
jenis tumbuhan pembentuk batubara.

Gambar 1. Evolusi Flora (Maegdefrau, 1968)


Antrasit sudah dikenal dari Algoncium pada Middle Huronian of Michigan.
Batubara ini tidak berulang dan kotor, tetapi di bawah mikroskop dengan
Pembentukan Gambut

-4

pembesaran yang tinggi, strukturnya terlihat berasal dari tumbuhan Algae


(Ganggang) dan Fungal (Jamur) yang diisolasi oleh rijang dengan umur
yang sama.
Pada Jaman Devon Bawah tumbuhan bawah air tumbuh pada lagun yang
dangkal (terendam). Dari sini terjadi lapisan batubara yang tipis, yang
diketemukan

di

Haliseriten-Schichten

dari

Rhenish-Schiefergebirge

(Jerman). Pada batuan ini ada lapisan Vitrinit yang terbentuk dari
Taeniocrada decheniana (Psilophytes). Tumbuhan darat pertama yang
mendukung

terbentuknya

batusabak

dengan

karbon

yang

banyak

(Carbonaceous shale, di Eiffel - Jerman) yang juga hanya menghasilkan


lapisan vitrinit yang tipis.
Penyebaran tumbuhan darat di seluruh benua mengakibatkan pembentukan
lapisan batubara yang berkemungkinan lebih potensial (Devon Tengah
sampai Devon Atas). Contohnya : Kazakhstan, Kuznetsk basin dan Bear
island. Pada Devon Tengah di Kuznetsk basin masih ada Psiliphytes,
ditemukan di lapisan batubara dengan tebal 3-4 meter. Batubara Devon Atas
(Rusia, Bear Island) terbentuk dari tumbuhan yang sama dengan batubara
Jaman Karbon (Pteridophyta, Equisetophyta, Lycophyta), tetapi masih tidak
ekonomis. Sampai pada Jaman Karbon Bawah lapisan batubara masih
belum ekonomis (Karaganda, Moscow basin, West Donetz basin).
Pada Jaman Karbon Atas (Bituminous Coal Period) batubara terbentuk dari
tumbuhan (hutan) rawa, seperti Lepidodendron dan Sigillaria yang tingginya
mencapai lebih dari 30 m. Fosil Sigillaria dengan tinggi lebih dari 7 m
ditemukan di Distrik Ruhr (Jerman). Pada jaman ini juga tumbuh Calamitean
yang diidentifikasi pada Siliceous coal balls (Ruhr Carboniferous). Pada
beberapa

lokasi

ditemukan

Paku

(Leginopteris

Oldhamia)

atau

Lepidophytean sebagai tumbuhan karakteristiknya.


Batubara Jaman Perm di Rusia (Kuznetsk, Tunguska basin) didominasi oleh
Gymnosperm Cordaites, yang juga sebagai pembentuk batubara dengan
proporsi yang tinggi pada Jaman Karbon Atas.

Pembentukan Gambut

-5

Pada Jaman Mezosoikum (Jura dan Lower Cretaceous) batubara didominasi


oleh Gymnosperm (Gingkgophyta, Cycadophyta dan Conifern), ditemukan
khususnya di Siberia dan Asia Tengah.
Cepatnya perkembangan tumbuhan pada Lower dan Upper Cretaceous
mengarah pada perkembangan Angiosperm pada Upper Cretaceous dan
Tersier di rawa-rawa di Eropa, Amerika Utara, Jepang dan Australia.
Dibandingkan dengan Flora pada Jaman Karbon maka tumbuhan rawa pada
Jaman Mezosoikum (khususnya Tersier) mempunyai ragam yang lebih
banyak dan terspesialisasi, sehingga banyak type fasies ditemukan pada
lapisan gambut yang tebal.
1.1.2. Iklim
Iklim suatu daerah secara tidak langsung bisa mengendalikan faktor yang
lain. Iklim tropis menawarkan terbentuknya gambut yang lebih cepat karena
kecepatan tumbuh dari tumbuh-tumbuhan lebih besar dengan ragam yang
sangat bervariasi. Temperatur yang tinggi dengan kelembaban yang tinggi
juga berpengaruh pada proses pembentukan gambut.
Rawa di daerah tropis bisa menghasilkan kayu yang mencapai ketinggian
30 meter dalam waktu 7 - 9 tahun sementara tumbuhan di daerah rawa
dengan iklim sedang hanya mencapai ketinggian 5 - 6 meter dalam jangka
waktu yang sama. Daerah dengan iklim sedang miskin akan bahan makanan
sehingga hanya didominasi oleh lumut, sedangkan daerah tropis didominasi
oleh pohon.
Pembentukan gambut terjadi kebanyakan di daerah yang beriklim panas,
banyak air (khususnya Karbon Atas). Formasi yang terkaya akan lapisan
batubara terendapkan pada daerah beriklim panas (termasuk juga untuk
batubara yang penting pada Jaman Upper Cretaceous dan Tersier Bawah di
Amerika Utara dan di belahan bumi bagian Selatan yang beriklim kadang
dingin dan basah), contohnya : Siberia, Inter dan Post Glacial Permo
Karbon, Gondwana Coal dengan Gangamopteris Glossopteris dan Perm dan
Pembentukan Gambut

-6

Jura-Cretasius Bawah dari Angara Continent (Tunguska dan Lena Regions).


Lapisan batubara yang terendapkan di daerah yang banyak air dan hangat
akan menghasilkan banyak lapisan dan tebal yang terjadi dari batang kayu
yang besar/tebal (bright coal), dan sebaliknya untuk iklim dingin. Contohnya
Post Glacial Gondwana Coal yang terbentuk dari tumbuhan yang relatif
tahan pelapukan, biasanya merupakan hasil rombakan halus, tetapi
bercampur dengan mineral lempung yang terhembuskan dari gunung
sekitarnya ke rawa (Plumstead, 1962, dikutip dari Teichmueller 1989).
Dengan naiknya suhu tidak hanya pertumbuhan pohon menjadi lebih cepat
tetapi juga proses dekomposisi juga menjadi lebih cepat. Sebagai
konsekuensinya (sampai beberapa dekade berlalu) dianggap bahwa gambut
dengan ketebalan yang tinggi hanya akan terjadi pada daerah dengan iklim
sedang. Tetapi belakangan diketemukan gambut dengan ketebalan lebih
dari 30 m di daerah tropis.
Raised bog hanya akan muncul pada iklim yang basah dimana hujan lebih
besar dari pada penguapan (suhu 8 - 9 0 C dengan curah hujan 700 mm
cukup untuk menghasilkan gambut). Pada daerah iklim sedang umumnya
akan didominasi oleh lumut dan spagnum (ciri khasnya). Tetapi raised bog
untuk daerah tropis seperti Sumatra dan Kalimantan (dengan curah hujan
3000-4000 mm/tahun, merata sepanjang tahun) dicirikan oleh tumbuhan
besar/kayu tetapi tidak banyak spesiesnya (di Kalimantan hanya didominasi
oleh Dipterocarp, Shorea Albida). Di Kalimantan tinggi muka gambut
mencapai 15 m dengan kemiringan pada pinggir 4 - 5 m/km.
1.1.3. Paleogeografi Dan Tektonik
Syarat untuk terbentuknya formasi batubara :
- Kenaikan secara lambat muka air tanah
- Perlindungan rawa (sand bar dsb) terhadap pantai atau sungai
- Energi relief rendah

Pembentukan Gambut

-7

Kalau muka air tanah cepat naik (atau penurunan dasar rawa cepat) maka
kondisi akan menjadi limnic atau bahkan akan terjadi endapan marine
(lempung, napal atau gamping). Kalau terlalu lambat maka tumpukan sisa
tumbuhan akan menjadi merah (teroksidasi) dan tererosi. Oleh karena itu
pembentukan lapisan batubara berhubungan dengan Paleogeografi dan
struktur daerah. (Gambar 2)
1.1.3.1. Paleogeografi
Jika air tanah cukup tingginya dan berlangsung lama maka kadang-kadang
di iklim steppe (padang rumput tanpa adanya pohon) pun bisa terjadi
gambut. Ini hanya tergantung

pada

penurunan permukaan. Disini bisa

menghasilkan highmoors / hochmoor / raised bog (climatically conditioned)


atau topogenic low moors (akibat erosi oleh air atau es atau dapat juga
terjadi karena collapse dimana penurunan terjadi karena pelarutan batuan
karbonat di bawahnya pada daerah karst). Rawa bisa juga terjadi pada
bekas kawah gunung api.
Rawa bisa tawar atau sudah tercampur dengan air asin di tepi pantai atau di
tepi danau besar. Berdasarkan posisinya (geografi) maka endapan batubara
dapat dibedakan menjadi : paralis (sea coast/tepi pantai, contohnya batubara
miosen di Jerman Tengah yang terendapkan pada tepi delta, external distal
margins of delta dan limnis (inland / tepi danau).
Rawa di daerah delta ditumbuhi oleh banyak pepohonan sedangkan di
daerah lagun kadang sampai tidak ada pohon. Sedangkan Mangrove forest
(hutan bakau) hanya bisa terjadi di daerah pantai tropis.
Pada daerah rawa bisa terjadi regresi atau transgresi. Pada transgresi
dimana air laut mendesak air tanah, sedimen fluviatil terletak di bawah
lapisan batubara sedangkan sedimen marine berada di atasnya. Contohnya:
batubara ditemukan di dasar teluk Mexico dan berada di bawah batu
gamping, contoh untuk Indonesia adalah endapan batubara di cekungan
Ombilin.
Pembentukan Gambut

-8

Gambar 2. Keseimbangan tektonik dan pembentukan gambut

Pembentukan Gambut

-7

1.1.3.2. Struktur / Tektonik


Rawa gambut di daerah subsiden menghasilkan batubara dengan banyak
lapisan. Endapan seperti ini biasanya terendapkan pada Foredeep (bagian
depan dari pegunungan lipatan). Urutan sedimen tebal dengan banyak
lapisan batubara yang tipis (> 2 m) dengan penyebaran yang luas, selangseling dengan sedimen marin. Ini merupakan ciri khas batubara foredeeps.
Contohnya : Cekungan batubara Ruhr (Jerman) yang terendapkan pada
Subvariscan (Namurian C sampai Westphalian D), sedimen 4000 m dengan
40 lapisan batubara yang ekonomis (workable), endapan batubara di
Belanda Bagian Selatan, Belgia Selatan, Prancis Utara, dsb.
Batubara yang terendapkan pada Appalachian foredeep adalah Lapisan
batubara jaman Karbon di Pennsylvania, W. Virginia, Kentucky, Tennessee
dan Alabama. Rocky Mountain foredeep menghasilkan formasi batubara
great coal basin of the Laramie (Kretasius sampai Eosen). Backdeep
subsidence dari pegunungan lipatan tidak banyak terjadi. Contohnya
Backdeep of the Apennines in Tuscany, Italia. Resen foredeep dan
backdeep terdapat di Indonesia, sedimen dengan ketebalan sampai 13.000
m dengan beberapa lapisan batubara.
1.2. MOOR
Pengertian moor untuk ilmu geologi (pengertian endapan dalam Ilmu
Tambang) berlaku untuk suatu lapisan gambut dengan ketebalan minimum
30 cm (dalam hal tertentu lumpur juga termasuk di dalamnya).
Gambut terjadi akibat tumpukan sisa tumbuhan (proses sedenter) yang tidak
secara keseluruhan (memerah/teroksidasi) karena terjadi di bawah kondisi
basah (di bawah air) sehingga tidak seluruhnya berhubungan dengan udara.
Untuk highmoor/hochmoor dimana C/N-Ratio > 50 dan pH kecil menghambat
proses oksidasi. Sementara lumpur yang ada pada gambut terendapkan
secara sedimentasi.
Menurut Ilmu Tanah : Gambut adalah sedimen yang mengandung > 30%
substansi Organik (kondisi kering). Menurut pengertian yang lebih baru lagi,
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

-1

maka ada tiga katagori berdasarkan pada pemanasan 550 0 C. Disebut Moor
kalau

pada

temperatur

tersebut

kehilangan

berat

75-100%.

Kalau

kehilangan berat 15-75% maka disebut Anmoor dan kalau kehilangan berat
0-15% maka disebut mineral atau tanah.
Beberapa kemungkinan bentuk morfologi moor dapat dilihat pada Gambar 3
dan 4. Dilihat dari bentuk permukaannya maka moor dapat dibagi menjadi
dua, Hochmoor (highmoor) dan Niedemoor (lowmoor). Jenis tumbuhan yang
hidup pada masing-masing tipe moor itu berbeda. Pada Niedemoor
biasanya tumbuh rumput-rumputan dengan daun yang lebar dan tumbuhan
perdu (sehingga pada musim semi dan musim panas kelihatan sangat hijau).
Sementara hochmoor ditumbuhi oleh jenis tumbuhan yang sangat terbatas
(lumut, rumput dengan daun yang kecil). Untuk daerah yang beriklim sedang
maka hochmoor ditumbuhi oleh Sphagnum dan untuk daerah tropis
ditumbuhi oleh hutan lebat dengan bermacam tumbuhan.
1.2.1. Niedermoor / Lowmoor
Niedermoor terbentuk pada lingkungan yang kaya akan bahan makanan
(eutroph) atau pada suatu bagian perairan (danau) yang menjadi darat
(Verlandung nahrstoffreicher Gewasser), dimana kekayaan makanan untuk
tumbuhan sebagai penyebab berlimpahnya/tumbuh suburnya vegetasi.
Air tanah atau air laut yang bergerak bisa mengakibatkan suatu
penghancuran yang cepat dari tumbuhan yang telah mati, sehingga
penumpukan gambut menjadi lambat. Dalam hal ini gambut sangat basah
(banyak air). Permukaan moor dalam jangka waktu yang panjang tertutup air
(periode dalam setahun) sehingga jenis tumbuhan yang hidup disini
menyesuaikan diri. Sering permukaan moor datar atau cekung. Hanya moor
di lereng gunung bisa miring permukaannya. Moor ini tidak secara langsung
tergantung pada air hujan, karena supply airnya bisa dari sekitarnya (sungai
atau air tanah).

A.
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

-2

Cross-section of a coastline undergoing a marine transgression. Preservation of peat is dependent


on the nearshore gradient (based on Kraft, 1971)

Diagramatic cross-section of Klang Langat Delta, Malaysia, showing the development of raised swamps within an active
elastic environment. Mangrove swamps which are flooded at high tide, are areas of clay, not peat, deposition (modified
from Coleman et. al., 1970)

Generalized cross-section of peat stratigraphy resulting from marine transgression in the Everglades
(after Spackman et. al., 1976)

B.
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

-3

Theoritical model of fluvial architecture in an area swamps. The elevated swamp restricts overbank flooding and
prevents avulsion, leading to the development of stacked channel sandstones

Cross-section of sediments between two rivers in northern Borneo, showing the development of thick peat in
a raised swamp. Section is based on 25 boreholes drilled during planning for a canal (from Wilford, 1961)

Gambar 3. Contoh-contoh bentuk / morfologi moor

Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

-4

Gambar 4. Tipe-tipe moor (Gothlich, 1986)

1.2.2. Hochmoor / Highmoor


Hochmoor bisa mencapai beberapa meter dari permukaan tanah dengan
bentuk yang cembung. Moor ini tidak tergantung pada air tanah atau air
kolam karena moor ini mempunyai system air tersendiri yang tergantung
hanya pada air hujan. Moor ini terjadi akibat neraca air yang positif
(penguapan lebih kecil dari curah hujan) sehingga air hujan tersimpan dalam
gambut. Akibatnya pH menjadi kecil dan miskin akan oksigen. Aktifitas
mikroorganisme pada moor ini juga kecil karena terbatasnya oksigen.
Dengan

demikian

penghancuran

sisa

tumbuhan

menjadi

terhambat

(penumpukan gambut menjadi cepat). Karena miskin akan bahan makanan


maka disebut Ombrotroph. Beberapa realitas penting yang berkaitan dengan
moor dapat dilihat pada Gambar 5.

kolk

stadium

genesa

troph

typ

terestris

ombrogen

oligotroph

high moor

semi terestris

akibat
muka air
positif

mesotroph

moor antara

topogen

eutroph

lowmoor

lagg

muka air pasang


muka air surut

gambut
sedenter
gambut + mineral
karbonat, lempung
pasir

telmatis
limnis

sedimenter

Gambar 5. Skema sebuah Hochmoor (Gothlich, 1986)

Pertumbuhan sebuah hochmoor dapat terlihat pada Gambar 6. Tipe ini bisa
tumbuh langsung pada kondisi yang sangat basah dengan dasar yang tidak
tembus air (permeabel). Pada kondisi lain hochmoor bisa berasal dari
suatu Niedemoor yang tumbuh (Verlandeten Moor). Untuk topografi yang
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

-5

datar biasanya bentuk moor symetris dan pada bagian pinggir timbul mata
air, pada bagian tengah ada kolam-kolam kecil (Kolk atau Blindsee).

Gambar 6. Perkembangan menjadi Moor yang Ombrogen (Mc Cabe, 1984)

Dalam perkembangan dari

niedemoor ke hochmoor dikenal

istilah

Ubergangsmoor (kondisi pertumbuhan antara niedermoor dan hochmoor).


Contohnya Schwingrasen. Istilah Zwischenmoor kurang tepat dipakai karena
ini biasanya untuk suatu bentuk yang tidak tumbuh tetapi antara hochmoor
dan niedermoor (kondisinya memang sudah seperti itu).

2. FAKTOR-FAKTOR FASIES PADA PEMBENTUKAN GAMBUT


Fasies batubara diekspresikan melalui komposisi maseral, kandungan
mineral, komposisi kimia (S, N, H/C Vitrinit) dan tekstur. Faktor-faktor fasies
yang sangat menentukan karakteristik primer batubara, seperti :
- Tipe pengendapan (authochtonous, allochtonous)
- Rumpun tumbuhan pembentuk
- Lingkungan pengendapan (telmatic, limnic, brackish-marine/payau, Ca-rich)
- Nutrien supply (eutrophic, oligotrophic)
- pH, aktivitas bakteri, persediaan sulfur
- Temperatur gambut
- Potensial redok (aerobic, anaerobic)

2.1. TIPE PENGENDAPAN


Hampir semua endapan batubara yang terkenal (ekonomis) diendapkan
secara

autochtonous,

karena

batubara

yang

diendapkan

secara

allochtonous biasanya berupa detritus halus, kandungan mineral tinggi dan


Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

-6

lapisan tipis (microlayering). Gambut terhancurkan menjadi detritus halus


dan terendapkan kembali. Dekomposisi tumbuhan juga berlangsung selama
proses transport oleh air (angin) sehingga maseral yang tahan terhadap
proses dekomposisi akan terkonsentrasi pada sedimen klastik.
2.2. RUMPUN TUMBUHAN PEMBENTUK
Berdasarkan rumpun tumbuhan pembentuknya maka dikenal 4 tipe rawa :
- Rawa daerah terbuka dengan tumbuhan air (in part submerged).
Pada daerah ini sebagian tumbuhan terendam air dan jenis tumbuhannya
bisa bermacam-macam. Jenis tumbuhan ini juga sangat dipengaruhi oleh
pengaruh air laut atau tidak (tawar, payau dan asin).
- Open reed swamp, sering dengan sedges
Daerah

ini

hanya

ditumbuhi

oleh

jenis

rumput-rumputan

yang

membutuhkan banyak air.


- Forest swamps
Rawa dengan tumbuhan kayu.
- Moss swamps
Rawa dengan tumbuhan lumut-lumutan.
Pada daerah yang beriklim sedang dan lembab terjadi perkembangan
rumpun tumbuhan dari dasar ke atas, mulai dari lumpur, detritus gyttjae
(lumpur organik), reed peat, forest peat dan most peat.
Pada jaman Karbon (di Belahan Bumi Bagian Utara) perkembangan gambut
biasanya dimulai dari tumbuhan hutan rawa (Sigillaria dan Lepidodendron)
dan berakhir dengan ditutup lumpur. Sehingga bagian bawah lapisan
batubara bright coal (Vitrain/mengkilap), banyak mengandung Vitrinit dan
Clarit yang miskin akan Liptinit. Bagian atas lapisan biasanya dull coal
(Durain/batubara kusam) seperti : Duroclarit, Clarodurit dan Durit. Durit yang
berada pada bagian paling atas sering berubah menjadi carbonaceous shale
(carbargillites) dan kadang-kadang menjadi cannels dan cannel ironstones.
Pada batubara berlapis lemah (light layer) yang terendapkan di Reed moor
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

-7

biasanya mengandung >90% Humodetrinit dan Sporinit 10% (lebih banyak


dari di kebanyakan dark strata yang terendapkan pada forest swamp).
Coniferous Forest Coal menghasilkan pengawetan yang lebih baik sehingga
partikelnya lebih besar (Cellular tissue/Humotelinit) dari pada yang berasal
dari Angiosperm forest coal. Reed coal type dibedakan dari

kandungan

hydrogen, selulose dan tar temperatur rendahnya yang tinggi. Reed coal
dan Angiosperm forest coal briquetting propertiesnya (kedapatan untuk
dijadikan briket) lebih baik dari coniferous coals. Hampir sebagian
bituminous coal dan brown coal berasal dari forest swamp (contohnya
Pantai Timur dan Selatan USA). Di daerah yang beriklim hangat dan basah
proporsi pepohonan kayu bertambah, tidak lagi reed plant, tetapi tumbuhan
khusus yang penyebarannya luas, flat root system, khususnya aereal roots
dan broadened stem basis. Contoh yang modern/resen adalah Cypress
swamp (Taxodium distichum) di daerah Subtropis Amerika Utara. Forest
swamp fasies (berhubungan dengan element bawah air), sebagai contohnya
adalah Taxodiaceae-Nyssaceae forest coals dari lower Rhein brown coal.
Pada Carboniferous, pohon Sigilarian berkembang ke arah air dalam.
Kulitnya dijumpai sebagai Vitrit layer.
Pantai daerah tropis (saat ini) dihuni oleh hutan bakau (Mangrove)
mengganti rumput laut. Kalau tak terjadi gangguan laut maka gambut akan
terakumulasi. Kalau gangguan laut kuat dengan oxigen segar dalam air
mengakibatkan batang mati yang berada di atas air menjadi rusak sehingga
yang terawetkan hanyalah akarnya saja. Di daerah marine/payau maka
rhizophora mangle tidak hanya berkembang ke arah laut tetapi juga
berkembang ke arah darat. Di daerah tropis bisa terjadi tumbuhan kayu yang
membentuk raised bog.
Secara umum material hasil tumbuhan (terbesar dari forest swamp) di
daerah tropis, sebagai contohnya : biji Erythrina dalam satu tahun untuk satu
pohon bisa menghasilkan 3,0 - 4,5 m tingginya dan 2,5 - 3,75 kg kering.
Sehingga pembentukan gambut relatif cepat pada forest swamp kalau muka
air tanah bertahan cukup tinggi.

Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

-8

Biasanya wood rich peat (gambut yang kaya akan bahan kayu) dengan
kandungan lignin yang tinggi, terendapkan dan selama pembatubaraan akan
ditransformasikan menjadi Xylite rich soft brown coal dan Vitrain rich
bituminous coal dengan (biasanya) Telinit dan Tellocolinit.
Reed swamp dengan rerumputan, sedge dan paku secara umum
membutuhkan muka air yang lebih tinggi dari forest swamp, miskin akan
lignin, strukturnya terdekomposisi dengan kuat. Elemen bawah air dan
mineral tercuci lebih baik. Contohnya South Florida (Eleocharis, Mariscus
Utricularia). Reed peat menghasilkan Liptinit rich coal (batubara yang kaya
akan liptinit) contohnya : light band of the Cologne Soft Brown Coal, dull
layer with Exinit rich clarites, trimacerit dan durit of bituminous coal.
Vitrinitnya di dominasi oleh Desmocollinit.
Marine swamp dengan rumput Halophyte dijumpai di banyak pantai saat ini
(khususnya pantai Atlantik Amerika Utara).
Sphagnum adalah tumbuh-tumbuhan rawa di daerah beriklim sedang yang
menghasilkan gambut yang asam (pH 3 - 5) atau raised bog. Raised bog
mempertahankan airnya dengan mengandalkan air hujan, sehingga kadar
abunya sangat rendah (sering < 1%). Dengan pH yang rendah maka
aktifitas bakteri berkurang mengakibatkan pengawetan kayu menjadi lebih
baik. Gambut dari Raised bog banyak mengandung

sellulose

dan

hemisellulose, fat dan lilin yang berlebihan dan sedikit protein.


Batubara yang berasal dari ombrogenous moos peat di Cologne Brown
Coal, berlapis lemah, dengan detritus masa dasar yang kecil/halus dan kayu
Konifern yang terawetkan dengan baik.
Pada dasar rawa air terbuka, organic mud deposite / Gyttjae terakumulasi
dari sisa tumbuhan terapung (Nymphaeaceae, Utricularia dan tumbuhan
bawah air seperti Alge), binatang air dan bakteri. Materi lainnya seperti
lempung halus, tepung sari, spora dan debu yang berasal dari pembakaran
di permukaan gambut (Charcoal flakes), dsb.
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

-9

Dull coal dengan banyak liptinit (Liptinit rich Clarit dan Durit) atau sapropilit
coal berasal dari Gyttjae. Vitrinit relatif jarang, Desmocollinit didominasi oleh
Corpocollinit. Subaquatik coal spesies secara alam banyak atau relatif kaya
akan mineral yang tidak hanya klastik tetapi juga anorganik syngenetik yang
terendapkan dari lautan seperti Siderit atau Pyrit.
2.3. LINGKUNGAN PENGENDAPAN
- Telmatis / terrestrial
Lingkungan pengendapan ini menghasilkan gambut yang tidak terganggu
dan tumbuh di situ (forest peat, peed peat dan high moor moss peat).
- Limnis / subaquatik / lingkungan bawah air, terendapkan di rawa danau,
Batubara yang terendapkan pada lingkungan telmatis dan limnis sulit
dibedakan karena pada forest swamp biasanya ada bagian yang berada
di bawah air (feed swamp).
- Payau / marine
Batubara yang terbentuk pada lingkungan ini mempunyai ciri khas : Kaya
abu, S dan N dan mengandung fosil laut. Untuk daerah tropis biasanya
terbentuk dari mangrove (bakau) dan kaya S. Batubara Jaman Karbon
yang terbentuk pada lingkungan ini mengandung konkresi Kalsit (Calcitic
Dolomitic atau Ankeritic) / Coal ball. Vitrinitnya tidak mempunyai struktur
lagi akibat pH tinggi sehingga aktifitas bakteri tinggi. Tingginya S akibat
naiknya kemampuan ion Sulphat dari air laut dan oleh aktifitas anaerobik
bakteri. Banyaknya H dan N berasal dari protein tubuh bakteri, yang juga
diperkaya oleh material Huminnya yang kemudian membentuk Perhidrous
Vitrite, Bituminit dan kemudian Macrimit.
- Ca-rich
Batubara yang terendapkan pada lingkungan yang kaya akan Ca
mempunyai ciri yang sama dengan yang terendapkan pada lingkungan
marine. Lingkungan pengendapan pada batuan gamping atau campuran
air yang kaya akan Ca dari daerah sekitarnya mengurangi keasaman
gambut. Akibatnya aktifitas bakteri naik sehingga degradasi tumbuhan
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

- 10

menjadi makin tinggi. Pada awal Humifikasi dan gelifikasi biokimia


membentuk dopplerit (Calsium Humate). Kalau Kalsium dan Oxigen
bereaksi bersama (lingkungan aerobsi) maka sporopollenin yang tahan
juga akan terhancurkan sehingga tak akan terbentuk gambut.
Oleh karena itu maka Ca-rich coal selalu terjadi pada lingkungan bawah air
dengan kondisi oksigen terbatas. Sisa binatang (tulang yang kaya Ca) yang
seharusnya terlarutkan oleh asam humin, maka pada Ca-rich akan
terawetkan dengan baik. Sehingga pada batubara yang terendapkan pada
lingkungan ini akan banyak fosilnya. Sebagian besar batubara yang kaya Ca
akan kaya dengan S dan syngenetic pyrit. Mungkin ini akibat aktifitas bakteri
yang tinggi dengan supply protein dari binatang atau akibat adanya S yang
banyak. Keberadaan unsur N pada batubara yang terendapkan pada
lingkungan ini juga naik. Disamping itu Ca-rich coal juga akan menghasilkan
banyak bitumen.
2.4. PERSEDIAAN BAHAN MAKANAN
Rawa Eutrophic, Mesotrophic dan Oligotrophic dibedakan tergantung dari
banyak sedikitnya bahan makanan yang bisa digunakan. Topogenic low
moor biasanya eutrophic (kaya bahan makanan) karena menerima air dari
air tanah yang banyak mengandung bahan makanan terlarut. Sementara
Raised bog / Hoch moor adalah oligotropic karena hanya mengandalkan air
hujan. Transisi antara topogenic low moor dan raised bog disebut
mesotrophic.
Di bawah kondisi hidrologi yang seragam maka tumbuh-tumbuhan rawa
eutrophic banyak spesiesnya. Oligotrophic di daerah beriklim sedang pada
umumnya merupakan Sphagnum bog, sedang untuk daerah tropis bisa
ditumbuhi oleh hutan kayu tetapi tidak banyak spesiesnya, karena rawa jenis
ini akan asam (pH 3,5 - 4,0) dan kandungan mineralnya sangat rendah.
Gambut

dari

oligotrophic

banyak

menyisakan

kayu

yang

tidak

terdekomposisi karena C/N ratio dan asam Humin tinggi akibat aktifitas
bakteri rendah. Kandungan nutrisi (Ca, Phosphoric acid, K dan N) pada high
moor adalah 1/5 dari low moor. Kandungan S rendah (0,06 - 0,15%) dan
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

- 11

biasanya bitumen yang terekstraksi akan tinggi. Disamping itu batubara


yang berasal dari oligotrophic moor akan mempunyai kandungan abu yang
rendah. Pengawetan sisa tumbuhan yang baik terlihat sebagai Textinit/
Telinit. Hasil abu atau sisipan-sisipan tipis lapisan lempung atau napal pada
batubara bisa diinterpretasikan sebagai akibat banjir.
2.5. pH, AKTIFITAS BAKTERI DAN SULFUR
Keasaman gambut sangat mempengaruhi keberadaan bakteri sehingga
dengan demikian akan sangat mempengaruhi pengawetan sisa tumbuhan.
Contohnya : Akibat pengaruh laut / Ca-rich, lingkungan pengendapan yang
Alkalin

mengakibatkan

dekomposisi

struktur

yang

kuat,

dengan

pembentukan Humin gel dan produk penggambutan yang kaya akan N dan
H.
- Low moor peat biasanya mempunyai pH 4,8 - 6,5
- High moor peat mempunyai pH 3,3 - 4,6
Disamping type batuan dasar dan air yang mengalir masuk ke rawa maka
keasaman rawa tergantung pada rumpun tumbuhan yang ada, supply O 2,
konsentrasi asam Humin yang sudah terbentuk.
Sphagnum peat mempunyai pH yang sangat rendah (3,3-4,6) yang
diakibatkan oleh supply O2 yang tinggi karena kondisi raised bog yang
kering dan asam humin yang terbentuk tidak terlarutkan oleh air sehingga
menjadi banyak. Begitu juga dengan raised bog di Indonesia, gambut yang
dihasilkan juga sangat asam (pH = 3,5 - 4,5). PH gambut akan naik dengan
naiknya kedalaman.
Bakteri hidup dengan baik pada kondisi netral (pH 7,0 - 7,5), kondisi makin
asam maka bakteri makin sedikit dan struktur kayu terawetkan dengan
lebih baik. Pada bagian paling atas dari gambut hanya jamur yang bisa
hidup (pH = 4,0).
Kandungan N dan persediaan garam sangat penting untuk aktifitas bakteri.
C/N kecil (banyak N) atau kondisi eutrophic maka aktifitas bakteri banyak.
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

- 12

Protein terkonsentrasi pada low moor peat akibat aktifitas bakteri. Jumlah
bakteri berkurang dengan naiknya kedalaman dan jenisnya ditentukan oleh
potensial redox. Pada bagian paling atas dari gambut (disamping
Actinomyces dan jamur) maka aerobic bakteri mengambil O 2 dari udara,
membentuk Carbohidrat yang mudah larut (seperti : gula dan kanji/starch,
juga sellulose dan hemisellulose). Pada bagian bawah anaerobic bakteri
menggunakan O2 dari substansi organik yang hidup dibalik produk sisa yang
kaya H (diperkirakan bakteri ini masih hidup sampai kedalaman 10 meter).
Bakteri sulfur mempunyai peran khusus pada gambut (lumpur organik).
Bakteri ini mengambil S dari Sulphates untuk membentuk syngenetic
Pyrit/Markasit.
2.6. TEMPERATUR
Temperatur permukaan gambut memegang peran yang sangat penting untuk
proses dekomposisi primer. Pada iklim yang hangat dan basah membuat
bakteri hidup dengan lebih baik sehingga proses-proses kimia akibat bakteri
bisa berjalan dengan lebih baik. Temperatur tertinggi untuk Bakteri
penghancur sellulose pada gambut adalah 35 - 40 0 C.
2.7. POTENSIAL REDOX
Pada rumpun tumbuhan yang sama, iklim dan kondisi lingkungan yang
sama, maka potensial redox (Eh) memegang peranan yang penting untuk
aktifitas bakteri dan penggambutan. Persediaan O 2 menentukan apakah
proses penggambutan berjalan atau tidak (Tabel 1).

Tabel 1. Transformasi material organik dalam kaitannya dengan persediaan


oksigen

Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

- 13

aerobic

Product

disintegration

usually no solid residue,


possibly liptobioliths

mouldering

mould

peatification

peat

putrefaction

sapropel

increase of hydrogen and


nitrogen in transformation
product

Process

anaerobic
decrease of O-supply

humic coals
sapropelic coals
sapropelites
petroleum

Secara umum urutan di tabel ini dicirikan oleh kenaikan air tanah. Air
mengalir membawa Oksigen terlarut. Makin banyak produksi organik matter
maka makin cepat pemisahan Oksigen dari air tergenang yang dikonsumsi
untuk akhirnya membentuk kondisi reduksi. Dengan tak terbatasnya
persediaan Oksigen di udara dan air maka muncul desintegrasi yang
menghasilkan pembentukan gas dan produk dekomposisi cairan. Sering sisa
padatan (Resin, atau Liptinit yang resisten dan Inertinit) tersisa terus.
Selama mouldering, aerobic bakteri dan jamur ambil bagian untuk
membentuk humic substan yang miskin Oksigen yang akhirnya menjadi
Oxyfusinit dan Macrinit.
Proses penggambutan terjadi di permukaan kalau oksigen terbatas. Humic
acid ciri produknya membentuk Lignin hanya lewat oksidasi.
Putrefication (permentasi) bisa terjadi pada kondisi reduksi kalau bakteri
anaerobis

mengkonsumsi

Oksigen

dari

organik

substan

dan

mentransformasikannya menjadi Bituminous yang kaya Hydrogen. Selama


permentasi dari Sellulose, H, Methan, Acetic Acid, Butyric Acid akan
terbentuk carbon dioksida.
Selama bituminisasi dan pembatubaraan, maka bituminit dan Vitrinit dengan
Reflektan (R) rendah akan menghasilkan banyak bitumen yang bisa
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

- 14

diekstraksi. Ini merupakan produk bakteri anaerobis, karena material awal


yang kaya protein (alge, plankton, sisa bakteri) dan karena penghancuran
anaerobis maka batubara berkembang menjadi sapropel coal yang relatif
kaya akan Nitrogen.
Umumnya R Vitrinit

dari

lapisan

yang

sama akan turun

dengan

berkurangnya potensial redox dari gambut asalnya, namun H/O ratio dan
VM naik. Perubahan ini adalah akibat naiknya komponen lilin-getah (waxresin component) pada Vitrinit.

SOAL-SOAL
1. Mungkinkah gambut tumbuh di pegunungan ? Kalau mungkin, di bagian
mananya ?

2. Apa beda antara low moor dan high moor ?

3. Ceritakan tentang hal tersebut di bawah sebagai faktor-faktor fasies :


Tipe pengendapan
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

- 15

Rumpun tumbuhan
Ketersediaan bahan makanan
PH
Temperatur

DAFTAR PUSTAKA

6. Gttlich K., Editor (1980) : Moor und Torfkunde, 2. Auflage, E.


Schweizerbartsche Verlagsbuchhandlung (Ngele u. Obermiller),
Stuttgart : 338 S.
7. Hollerbach A. (1985) : Grundlagen der organischen Geochemie,
Springer Verlag, Berlin-Heidelberg : 190 S.
8. Stach E., Mackowsky M. TH., Teichmller M., Taylor G. H., Chandra D.,
Teichmller R. (1982) : Stachs Textbooks of Coal Petrology,
Gebrder Borntraeger, Berlin-Stuttgart : 535 S.
9. Taylor G. H., Teichmueller M., Davis A., Diessel C. F. K., Littke R., Robert
P. (1998), Organic Petrologi, Gebrueder Borntraeger, Berlin,
Stuttgart.

Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

- 16

10. Van Krevelen D. W. (1993) : Coal, Typology-Chemistry-PhysicsConstitution, 3rd Comp. Rev. ed., Elsevier, Amsterdam, London,
New York, Tokyo : 979 S.
11. William Spackman, Arthur D. Gohen, Peter H. Given, Daniel J.
Casagranole : Okefenokee and The Everglades.

1. DIAGENESA GAMBUT (PEATIFICATION/PENGGAMBUTAN)

Peatification mencakup proses mikrobial dan perubahan kimia (biochemical


coalification). Selanjutnya diikuti oleh proses geochemical coalification. Pada
tahap geochemical coalification ini bakteri tidak ikut berperan.
Alterasi yang kuat dengan jumlah oksigen terbatas di permukaan dan di
bawahnya (+ 50 cm) disebut peatigenic layer. Bagian ini merupakan daerah
aerobic bakteri, actinomyces dan fungi untuk aktif. Dengan bertambahnya
kedalaman maka aerobic bakteri diganti oleh anaerobic bakteri. Pada
kedalaman lebih dari 10 cm tidak ada bakteri lagi, sehingga yang terjadi
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

- 17

hanyalah perubahan kimia saja (primarily condensation, polymerization dan


reaksi reduksi).
Proses terpenting dari peatification adalah pembentukan humic substan atau
humication yang didorong oleh supply oksigen, kenaikan temperatur gambut
(tropis) dan lingkungan alkali. Derajat humifikasi tergantung pada fasies dan
tak tergantung pada kedalaman.
Pada profil gambut bagian permukaan kandungan karbon bertambah
dengan cepat dengan bertambahnya kedalaman sehingga substan yang
kaya

akan

oksigen

di

permukaan

(sellulose

dan

hemi

sellulose)

terdekomposisi oleh mikrobiologi yang mengakibatkan pengkayaan lignin


yang kaya karbon dan terbentuknya asam humin.
Sebaliknya akibat kenaikan tekanan, maka kandungan air (moisture content)
berkurang dengan cepat sehingga kandungan air ini merupakan pengukur
diagenesa yang baik pada diagenesa gambut. Pemunculan sellulose bebas
(tak bercampur dengan lignin) juga merupakan indikator yang baik untuk
derajat diagenesa. Untuk membedakan gambut dengan soft brown coal ada
beberapa hal yang dipakai :

Kandungan air

Kandungan karbon

Pemunculan sellulose bebas

Dapat dipotong atau tidak

Tabel 1. Perbedaan antara gambut dan brown coal


Gambut

Brown Coal

Moisture (bed moisture)

>75%

<75%

% Carbon (daf)

< 60%

> 60%

Sellulose bebas

ya

tidak

Dapat dipotong

ya

tidak

Karena batas antara gambut dan brown coal bertahap maka sulit ditentukan
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

- 18

secara pasti, tetapi kira-kira untuk kondisi normal pada kedalaman mencapai
200-400 m.

2. COALIFICATION (PEMBATUBARAAN)

Proses pembatubaraan adalah perkembangan gambut lewat lignit, sub


bituminous dan bituminous coal menjadi antrasit dan metaantrasit. Untuk
suatu perubahan temperatur maka batubara merupakan alat ukur yang baik
untuk diagenesa sedimen. Reaksi yang timbul bisa berupa perubahan
struktur kimia atau fisik.
Porositas menurun dan anisotropi naik paralel dengan bidang perlapisan
bisa dikorelasikan dengan tekanan overburden. Porositas bisa dilihat dari
kandungan airnya (moisture content) yang menurun dengan cepat selama
proses perubahan dari gambut menjadi brown coal. Hal ini memberikan
indikasi bahwa masih terjadi kompaksi.
Selanjutnya derajat pembatubaraan ditentukan oleh perubahan komposisi
kimianya (C, O, H dan VM) atau dengan sifat optis (reflektan dari vitrinit)
yang juga tergantung pada komposisi kimia (Gambar 1). Tiap elemen kimia
mempunyai perilaku yang berbeda terhadap derajat pembatubaraan maka
untuk parameter dipakai salah satu saja. Contohnya reflektan vitrinit diukur
maseral Eu Ulminit B untuk brown coal dan telocollinit untuk derajat
berikutnya (steinkohle untuk rang Jerman).

Gambar 1.

Beberapa parameter rang batubara dan dikorelasikan terhadap


Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

- 19

kedalaman
Kandungan air total merupakan parameter utama pada kenaikan rang pada
brown coal (hukum Schurmann).

Soft brown coal (lignit) 4% moisture / 100 m kenaikan kedalaman

Dull brown coal stage (lignit - sub. bit. C) 1% moisture / 100 m kenaikan
kedalaman

Bright brown coal (sub. bit. B-A) 1% moisture / 100 m kenaikan kedalaman

Dengan turunnya kandungan air maka nilai kalori naik. Penurunan moisture
content akibat berkurangnya porositas dan juga pada dekomposisi dari
hydrophylic funktional groups, khususnya OH - group (khususnya pada
tahap awal brown coal). Disamping hydroxyl (-OH) group, carboxyl (-COOH)
group, methoxyl (-OCH3) group, carbonyl (>C=O) group, maka ring oksigen
juga temperatur sehingga mengakibatkan kenaikan kandungan karbon.
Selama tahap hard brown coal (lignit - sub bituminous) maka sisa terakhir
dari sellulose dan lignin ditransformasikan menjadi material humic dan asam
himic, terkondensasi menjadi molekul yang besar dengan melepaskan sifat
asamnya dan membentuk humin yang tak terlarutkan oleh alkali. Rusia dan
Jerman memakai metoda KOH untuk membedakan brown coal dengan
bituminous coal. Asam humic bereaksi dengan KOH sedangkan humic tidak
(Tabel 2).
Vollatile matter berubah sedikit selama tahap brown coal dan hasil reaksinya
terdiri dari (paling banyak dari) : CO 2, air, methan (Gambar 2).
Pada batas antara dull dan bright brown coal yang paling menonjol terjadi
adalah perubahan petrografis yang diakibatkan oleh gelifikasi geokimia
(vitrinitisasi) dari substan humin batubara yang berubah menjadi hitam dan
mengkilap sebagai bright brown coal (sub bituminous C/B coal). Proses ini
unik untuk tahap ini.
Kandungan karbon kurang baik untuk menentukan rang pada bituminous
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

- 20

< 30% VM karena perubahan yang terjadi tidak banyak (kurang sensitif).
Tahap antrasit dicirikan oleh penurunan H secara cepat (ratio H/c),
khususnya penaikan cepat dari reflektivitas dan juga anisotrop.
Methan menurun akibat penurunan H mulai pada C = 87% dan 29% VM
pada tahap bituminous.

Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

- 21

Tabel 2. Kenampakan megaskopik dan mikroskopik serta kimia dan fisika batubara berdasarkan klasifikasi Jerman (diambil dari
Stach et. al. 1982)

Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

-5

Gambar 2. Hubungan antara jumlah gas yang keluar dengan rang batubara

3. PENYEBAB PROSES PEMBATUBARAAN

Proses pembatubaran terutama dikontrol oleh temperatur dan waktu


(Gambar 3 a,b dan Gambar 4). Hal ini bisa terlihat pada kontak metamorfosa
batubara (contohnya batubara Tanjung Enim). Rang gradien geothermal dan
konduktivitas panas dari batuan. Contohnya : sedimen tersier dari upper
rhein graben yang mempunyai gradien geothermal bervariasi lokal antara
7 - 8o C/100 m menghasilkan batubara bituminous pada kedalaman 1.500 m
dan pada daerah dingin (4 o C/100 m) mencapai rang tersebut pada
kedalaman 2.600 m. Biasanya temperatur yang dibutuhkan untuk proses
pembatubaraan di alam jauh lebih rendah dari yang dibutuhkan untuk
percobaan di laboratorium. Di alam dengan temperatur 100 - 150 o C cukup
untuk pembentukan bituminous coal (berdasarkan penyelidikan geologi,
max. depth of subsidence dan gradien geothermal).

Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

-6

Gambar 3. Hubungan antara reflektan vitrinit, kedalaman dan temperatur

Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

-7

Gambar 4. Hubungan waktu pemanasan efektif, temperatur maksimum


batuan dan reflektan vitrinit (Rmax, Rm)
Pengaruh waktu dalam hal pembentukan batubara adalah semu. Contohnya
:
gulf coast of lousiana, upper miocen rock yang mengandung batubara
tenggelam sampai 5.440 m selama 17 juta tahun, T = 140 o C menghasilkan
high volatile bituminous coal (35 - 40% VM). N.W. carboniferous rock, pada
kedalaman sama untuk 270 juta tahun hanya mencapai low volatile
bituminous coal (14 - 16% VM). Waktu mempunyai efek yang penting
kalau temperatur tinggi, contohnya : lignit di Moskow Basin yang berumur
karbon bawah, tetapi tidak pernah mengalami penurunan (untuk mencapai
T > 20 - 25o C).
Tekanan makin tinggi maka proses pembatubaraan makin cepat, terutama di
daerah patahan, terlipat, dan sebagainya.
Proses pembatubaraan yang diakibatkan oleh radioaktif masih jarang
diamati, tetapi sampai saat ini dilaporkan hanya menyebabkan kenaikan
reflektan di sekitar inklusi mineral redioaktif saja.

4. BITUMINISASI DAN KORELASINYA DENGAN GENESA


MINYAK BUMI

Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

-8

Bituminisasi adalah proses diagenesa yang selama proses berlangsung


menghasilkan suatu produk yang mobil (gas/bitumen) atau proses
aromatisasi dan kondensasi dari produk sisa padatan (kerogen pada batuan
induk untuk minyak).
Proses bituminisasi bisa diketahui dari terbentuknya maseral sekunder
(exshudatinit). Hubungan antara rang batubara, sifat optik liptinit dan
pembentukan hidrokarbon dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hubungan antara rang batubara, sifat optis liptinit dan terbentuknya
hidrokarbon

Asal batubara terutama dari lignin dan sellulose dari tumbuhan tinggi yang
mengalami proses penggambutan (biochemical humification)

dengan

persediaan oksigen terbatas. Sedangkan minyak bumi berasal dari algae,


plankton dan bakteri yang mempunyai kandungan sellulose, protein, lemak
dan lilin yang tinggi dengan kondisi anaerobik. Proses pembentukan lipid
dari lilin merupakan proses yang penting pada minyak bumi. Lipid lebih kaya
dengan H kalau dibandingkan dengan sebstan humic (pada batubara yang
selanjutnya menjadi vitrinit) dimana lipid juga mempunyai kandungan
Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

-9

aromatik rendah dan aliphatik yang tinggi. Pada proses biokimia dan
selanjutnya diikuti oleh proses bituminisasi lipid menjadi bersatu dengan
kerogen pada batuan induk. (Menurut Welte, 1972 : Kerogen adalah
padatan organik yang kaya H dan tak larut pada pelarut organik).
Dengan naiknya temperatur kerak bumi (subsidence) minyak bumi dan gas
alam yang terlepaskan dari kerogen mulai bermigrasi untuk selanjutnya
berkumpul pada suatu tempat (endapan minyak pada batuan). Pembentukan
minyak dan gas dari kerogen mulai pada temperatur, tekanan dan waktu
yang sama untuk batubara tahap sub bituminous A dan berakhir kalau sudah
mencapai rang medium volatile bituminous coal (26% VM).
Dari Gambar 5 terlihat bahwa kandungan ekstrak mencapai maksimum pada
rang 0,9% yang dibarengi oleh kandungan aromatiknya.
Pengamatan petografi batubara mendukung bahwa bituminous (petroleum
like substance/material seperti minyak bumi) terbentuk dari maseral liptinit
(dan vitrinit ?). Bituminisasi pada batubara mulai pada rang sub bituminous
(high volatile bituminous C-B). Disini terjadi loncatan proses pembatubaraan
yang pertama (coalification jump) untuk maseral grup liptinit dan grup vitrinit
(hal ini dihubungkan dengan pembentukan minyak bumi pada batuan induk).
Bersamaan dengan itu maka terbentuk maseral mikrinit yang mempunyai R
yang tinggi sebagai produk padatan.

Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

- 10

Tabel 4.

Hubungan antara sifat batubara dan pembentukan minyak bumi

Diagenesa Gambut dan Proses Pembatubaraan

- 11

Gambar 5. Hubungan antara reflektan vitrinit perolehan ekstrak dan aromatik dari
batubara
Pada minyak bumi maka bitumen yang terbentuk akan bermigrasi ke batuan sumber
tetapi pada umumnya pada bitumen pada batubara tidak bermigrasi karena sistem
pori yang sangat kecil dari vitrinit sebagai penyaring (diadsorpsi atau berasosiasi
secara kimia).
Proses bituminisasi terjadi pada rang antara vitrinit reflektan / Rr (random reflektan)
= 0,5% (sub bituminous coal) sampai Rr vitrinit = 1,3% (medium volatile bituminous
coal). Daerah ini dikenal dengan istilah oil window / oilfenster (Tabel 3). Selanjutnya
bitumen yang baru terbentuk akan pecah / retak untuk membentuk molekul
hidrokarbon dengan ukuran kecil dan produk sisa yang mempunyai R yang tinggi
(polykondensat).
Dekomposisi ini mulai pada rang medium volatile bituminous coal (29 - 28% VM).
Daerah ini merupakan loncatan proses pembatubaraan yang kedua. Sementara
dekomposisi berjalan makan dibarengi dengan naiknya R liptinit dan vitrinit dengan
sangat cepat dan fluorisensinya hilang.
Jumlah bitumen yang terbentuk tergantung dari material induk pembentuk batubara
dan lingkungan pengendapannya. Bitumen rich coal sering diasosiasikan dengan
lingkungan pengendapan yang marin atau dengan batuan gamping yang mana
batubaranya kaya akan mineral pyrit dan organik sulfur (mikrolitotyp bawah air yang
kaya akan liptinit dan desmocollinit). Vitrit dengan kandungan H relatif tinggi dan tar,
H2O dan R rendah tetapi fluoresen kuat.

SOAL-SOAL

12

2. Faktor apa saja yang berperan dalam diagenesa dan proses pembatubaraan ?

2. Dari mana munculnya faktor-faktor tersebut di atas ?

3. Apa yang terjadi selama proses diagenesa ?

4. Apa yang terjadi selama proses pembatubaraan ?

DAFTAR PUSTAKA

13

12. Diessel C. F. K. (1984) : Coal Geology, Australian Mineral Foundation, Workshop


Course 274/84, Indonesia : 208 S.
13. Hollerbach A. (1985) : Grundlagen der organischen Geochemie, Springer Verlag,
Berlin-Heidelberg : 190 S.
14. Stach E., Mackowsky M. TH., Teichmller M., Taylor G. H., Chandra D.,
Teichmller R. (1982) : Stachs Textbooks of Coal Petrology, Gebrder
Borntraeger, Berlin-Stuttgart : 535 S.
15. Taylor G. H., Teichmueller M., Davis A., Diessel C. F. K., Littke R., Robert P.
(1998), Organic Petrologi, Gebrueder Borntraeger, Berlin, Stuttgart.
16. Tissot B. P., Welte D. H. (1984) : Petroleum Formation and Occurrence, 2 nd
Edition, Springer Verlag, Berlin : 538 S.
17. Van Krevelen D. W. (1993) : Coal, Typology-Chemistry-Physics-Constitution, 3 rd
Comp. Rev. ed., Elsevier, Amsterdam, London, New York, Tokyo : 979 S.

MASERAL PADA BATUBARA


Maseral pada batubara analog dengan mineral pada batuan atau bagian terkecil
dari batubara yang bisa teramati dengan mikroskop. Dengan mikroskop (sinar

14

pantul)

maseral

dapat

dibedakan

berdasarkan

pada

reflektifitasnya

dan

morfologinya. Maseral dengan sifat optis dan susunan kimia yang sama dimasukkan
dalam satu grup maseral (Stach, 1982). Menurut ICCP (International Committee for
Coal Petrology, 1963, 1971 dan 1975), klasifikasi maseral dapat terlihat seperti
Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Klasifikasi maseral pada browncoal (ICCP, 1975)
GRUPMASERA SUBGRUPMASE
L
RAL

MASERAL

TIPE MASERAL

Textinit
Humotelinit

Ulminit

Texto-Ulminit
Eu-Ulminit

Humodetrinit
Huminit

Attrinit
Densinit
Gelinit

Humocollinit

Porigelinit
Levigelinit

Corpohuminit

Phlobaphinit
Pseudophlobaph
init

Sporinit
Cutinit
Resinit
Liptinit

Suberinit
Alginit
Liptodetrinit
Chloriphyllinit
Fusinit
Semifusinit

Inertinit

Macrinit
Sclerotinit
Inertodetrinit

15

Tabel 2. Klasifikasi maseral pada hardcoal (ICCP, 1975)


GRUPMASERAL

MASERAL

MASERALTYP

Telinit
Vitrinit

Liptinit

Inertinit

Collinit

Telicollinit
Gelocollinit
Desmocollinit
Corpocollinit

Vitrodetrinit
Sporinit
Cutinit
Resinit
Alginit
Suberinit
Bituminit
Fluorinit
Exsudatinit
Chlorophyllinit
Liptodetrinit
Fusinit
Semifusinit
Sclerotinit
Macrinit
Inertodetrinit
Micrinit

Maseral grup Liptinit (Exinit) dan maseral grup Inertinit pada Browncoal dan
Hardcoal mempunyai nama yang sama. Korelasi grup maseral Huminit pada
Browncoal dan Vitrinit pada Hardcoal dapat terlihat pada Tabel 3.
Pada batubara dengan rank rendah (browncoal), maka Liptinit yang relatif kaya akan
Hidrogen, mempunyai reflektifitas yang paling rendah. Sementara Inertinit, yang
relatif kaya akan unsur karbon , mempunyai reflektifitas yang paling tinggi (Gambar
1).

16

Menurut Teichmueller (1987) dan Alpern & Lemos de Sousa (1970) Liptinit pada
batubara mempunyai kandungan zat terbang paling rendah dan bisa mencapai
harga reflektifitas yang sama dengan Vitrinit pada rank batubara dengan R-Vitrinit
kira-kira 1,5% (Gambar 2).
Tabel 3. Korelasi maseral huminit dan maseral vitrinit (ICCP, 1975)
BROWNCOAL
Grup
Maseral

Subgrup
Maseral

Maseral

HARDCOAL

Maseraltyp

Maseraltyp

Maseral

Texto-Ulminit

Telinit 1

Telinit

Eu-Ulminit

Telinit 2

Grup
Maseral

Textinit
Humotelinit

Humodetrinit

Ulminit

Atrinit

Vitrodetrinit

Densinit

Desmocollinit

Huminit

Detrogelinit
Gelinit

Levigelinit

Humocollinit

Vitrinit

Telogelonit

Telocollinit

Eugelinit

Gelocollinit

Collinit

Porigelinit
Corpohuminit

Phlobaphinit

Corpocollinit

Pesudophlobaphinit

Left : vitrinite showing structure; middle: part of a


megaspore; right : fusinite. Polished surfaces; oil imm. ca.
300 x.

Gambar 1. Perbandingan tiga grup maseral

Gambar 2. Perkembangan reflektifitas tiap maseral (Alpern & Llemos de Sousa,


1970)

17

Vitrinit pada dasarnya berasal dari selulosa (C 6 H10 O5) dan lignin dinding sel pada
tumbuhan. Beberapa maseral pada grup Vitrinit berasal dari Tanin yang
terimpregnasi pada dinding sel atau sebagai pengisi rongga sel. Protein dan Lipide
juga merupakan material pembentuk dari Vitrinit (seperti Huminit). Maseral ini dapat
dikenal dari fraksi aromatik yang tinggi dan kaya akan Oksigen.
Vitrinit dan Liptinit dibedakan dari material pembentuknya. Liptinit berasal dari sisa
tumbuhan berupa : spora, resin/getah, lilin dan lemak. Maseral ini dicirikan oleh
kandungan fraksi alifatik (parafin) yang tinggi. Inertinit berasal dari material yang
sama dengan material vitrinit dan Liptinit.

1. GRUP VITRINIT
Teichmueller (1989) membagi bagian awal pembentukan maseral ini dalam dua
proses, yaitu Humifikasi dan Gelifikasi Biokimia.
Humifikasi adalah proses utama dalam stadium gambut. Proses ini terjadi paling
kuat pada bagian permukaan gambut akibat oksidasi lemah dan aktifitas
mikrobiologi.
Gelifikasi

biokimia

merupakan

proses

lanjutan

dari

material

yang

sudah

terhumifukasi. Material ini total atau sebagian struktur selnya hilang (peptidisation,
softening, plasticity, compaction dan homogenisation). Proses ini sebagian
berlangsung pada stadium gambut dan total pada stadium Weichbraunkohle.
Proses gelifikasi biokimia berlangsung pada fase gambut dan braunkohle dibawah
air atau subaquatik (Teichmueller, 1950, 1898 ; Chaffe et.al., 1984; Cohen et. al.,
1987; Lamberson et. al., 1991; Calder et. al. 1991).
Keberadaan selulosa akan berkurang dengan bertambahnya kedalaman karena
dengan bertambahnya kedalaman maka aktifitas algae dan bakteri aerobik
berkurang dan diganti dengan bakteri anaerobik (Cassagrande et. al. ; 1985).
Penurunan selulosa akan teramati dibawah mikroskop berupa penurunan sifat

18

anisotropinya dan hilangnya autofluoresen pada dinding sel. Kejadian ini khas untuk
Humifikasi (Teichmueller, 1987).
Pembatubaraan Pada Grup Huminit
Proses gelifikasi geokimia adalah proses pembatubaraan dimana Huminit berubah
menjadi Vitrinit (Vitrinittization). Proses ini berbeda dengan gelifikasi biokimia yang
tergantung pada fasies. Vitrinitisasi berlangsung di antara studium browncoal dan
Hard coal. Proses ini memberikan banyak perubahan pada kenampakan petrografi
dimana warna berubah dari coklat ke hitam dari kusam ke mengkilap dan dari lunak
ke keras (Teichmueller, 1987).
Gambaran di bawah mikroskop menunjukkan perubahan dari material yang berasal
selulosa dan lignin (lepas-lepas dan terdiri dari macam-macam maseral huminit) ke
material Vitrinit yang homogen dan kompak. Penyebab proses ini adalah kenaikan
temperatur dan tekanan.
Cook dan Struckmeyer (1986) mengatakan bahwa tekanan merupakan penyebab
utama dari Vitrinitisasi karena proses fisika utama yang terjadi adalah mengurangan
air. Pengurangan air terjadi karena porositas berkurang. Namun tekanan tidak
menyebabkan gelifikasi selama pembatubaraan pada studium browncoal (kira-kira
sampai

lignit)

karena

gelifikasi

geokimia

(vitrinitisasi)

akan

disertai

oleh

pembentukan Bitumen cair (oil window).


Bitumenisasi adalah bagian dari proses pembatubaraan (antara sub bituminous coal
dan high volatile bituminous coal). Dibawah mikroskop proses ini menghasilkan
pembentukan Exsudatinit (maseral pada Liptinit grup). Penelitian kombinasi antara
mikroskopi dan geokimia organik memberikan gambaran bahwa selama proses
bitumenisasi maka jumlah ektrak dari Humiccoal meningkat (Radke et. al, 1980).
Bitumenisasi mengakibatkan pelunakan dan aglomerasi dari vitrinit dan ini
merupakan alasan sifat pengkokasan dari Bituminous Coal.
Reflektifitas maseral Huminit dan Vitrinit naik secara teratur selama proses

19

pembatubaraan (Teichmueller, 1987, 1989; Stach, 1982; Alpern & Lemos de Sousa,
1970).
Berdasarkan morfologinya maka maseral pada grup Huminit dibagi menjadi :
- Subgrup maseral Humotelinit : berasal dari dinding sel dan terdiri dari Textinit dan
Ulminit.
- Subgrup maseral Humodetrinit : berasal dari detritus dan terdiri dari Attrinit dan
Densinit.
- Subgrup maseral Humocollinit : berasal dari gel dan terdiri dari Gelinit dan
Corpohuminit.
Pembagian Humotelinit (begitu juga Humodetrinit dan Humogelinit) menjadi dua
maseral adalah berdasarkan tingkat gelifikasinya. Seperti contohnya :
Textinit = belum tergelifikasi
Ulminit = tergelifikasi lemah
Textinit A dikenal dari reflektifitasnya yang rendah akibat dari sisa selulosa atau
resin yang terimpregnasi pada dinding sel, walaupun impregnasi resin pada dinding
sel ini terjadi hanya pada tumbuhan Konifera (Jurasky, 1940 ; dikutip dari
Teichmueller, 1989). Russel & Barron (1984) menulis bahwa maseral textinit masih
mengandung selulosa. Kebanyakan textinit dan Ulminit pada Browncoal berasal dari
tumbuhan Konifern karena Angiosperm dan serat kulit kayu tumbuhan perdu yang
tidak

sempat

tergelifikasi

akibat

strukturnya

yang

mudah

termusnahkan

(Teichmueller, 1989). Schneider (1984) dengan penelitiannya yang sempurna


terhadap bermacam-macam Humotelinit pada browncoal mengklasifikasikan :
- Xylo-textinit berasal dari kayu
- Peridermo-textinit berasal dari kulit kayu
- Phyllo-textinit berasal dari daun
- Rhizo-textinit berasal dari akar.
Pengawetan akar jauh lebih baik karena akar terlindung dari proses oksidasi
dipermukaan gambut (peatigenic layer).

20

Sesudah gelifikasi geokimia maka Humotelinit pada browncoal akan berubah


menjadi Telinit dan Telocollinit pada hardcoal. Telinit dan Telocollinit dibedakan dari
sel struktur yang tersisa, dimana Telocollinit tidak lagi menunjukkan adanya sisa sel
struktur. Struktur bisa diamati kalau di etching (etsa).
Ruang sel pada telinit sering terisi oleh Collinit, terkadang juga oleh Resinit, Mikrinit
dan mineral. Telocollinit tumbuh dari selserat terhumifikasi dan terawetkan baik.
Material asalnya adalah sisa tumbuhan yang kaya Lignin yang berubah secara
pelan dalam humus. Oleh karena itu maka telocollinit merupakan indikator untuk
kumpulan tumbuhan kayu (tumbuhan besar).
Humodetrinit berasal dari campuran pragmen sel, amorf dan partikel humickoloid,
jumlahnya naik dengan naiknya tingkat gelifikasi. Gelifikasi mulai dari maseral
Attrinit melalui Densinit dan kemudian berakhir pada Detrogelinit yang merupakan
maseraltyp pada grup Humocollinit (Teichmueller, 1989). Biasanya Humodetrinit
berasal dari tumbuhan perdu dan Angiosperm karena mudah terhancurkan. Von der
Brelie dan Wolf (1981a) mengatakan bahwa Humodetrinit bisa dihasilkan dari hutan
gambut yang teroksidasi.
Sesudah gelifikasi geokimia maka Humodetrinit berubah menjadi Desmocollinit pada
hardcoal.

Kandungan

abu

Desmocollinit

(inherent

ash)

relatif

tinggi

dan

komposisinya heterogen (Alpern & Quesson, 1956; dikutip dari Teichmueller, 1989).
Desmocollinit menggambarkan kumpulan detritus tumbuhan dan humusgel. Ini
terbentuk melalui sisa tumbuhan yang kaya selulosa dan terhumifikasi kuat dan
akhirnya bergelifikasi geokimia, yang mana akhirnya partikel detritus dan humus gel
ini menjadi satu kesatuan massa. (Teichmueller, 1982a). Diessel (1982) mengatakan
bahwa bahan dasar dari Humodetrinit adalah kemungkinan didominasi oleh serat
tumbuhan yang kaya selulosa dan mudah rusak seperti : daun-daunan, rumput dan
tumbuhan perdu.
Alpern (1966) membagi Collinit menjadi dua sub maseral, yakni Humocollinit
(Telocollinit menurut ICCP) dan Heterocollinit (Desmocollinit menurut ICCP) dan

21

untuk kedua Collinit ini Brown et. al. (1964) menyebut masing-masing dengan Vitrinit
A dan Vitrinit B.
Berlawanan dengan Desmocollinit maka ada Pseudovitrinit (Benedict et. al., 1968).
Desmocollinit kaya akan hidrogen (perhidrous) dan Pseudovitrinit adalah subhidrous
dan dapat dikenali dari reflektifitasnya yang tinggi dan potensial untuk kokas yang
rendah. Material asal dari pseudovitrinit

ini sampai sekarang masih belum

jelas. Pseudovitrinit sering masih menunjukkan sel strukturnya tetapi sering juga
teramati sebagai Vitrinit yang homogen dengan struktur khasnya yaitu : Struktur
koma dan pinggiran butir yang berbentuk tangga (Benedict et. al., 1968; Kaegi,
1985). Reflektifitas pseudovitrinit berada sedikit lebih tinggi dari Telocollinit. Banyak
penulis mengatakan bahwa Pseudovitrinit merupakan produk awal dari oksidasi,
tetapi Kaegi (1985) dengan percobaan oksidasi temperatur rendah terhadap
batubara Medium Volatile Bituminous Coal tidak bisa sepaham. Teichmueller (1989)
mengatakan bahwa Pseudovitrinit mewakili vitrinit yang kaya akan Asphalten.
Maseral ini mencapai tingkat kematangan yang lebih sehingga sering muncul pada
Low Volatile Bituminous Coal (Fett & Esskohle). Pemunculan Pseudovitrinit
merupakan indikator lingkungan pengendapan terestrial, sewaktu waktu mencapai
kondisi eorobik.
Gelinit pada browncoal adalah serat tumbuhan yang secara total tergelifikasi
geokimia (Telogelinit) atau humic detritus yang tergelifikasi (Detrogelinit) atau gel
murni yang berasal dari larutan koloid pengisi ruang sel (Eugelinit).
Gelifikasi Geokimia meningkat dibawah air. Kondisi ini khas untuk type fasies
anaerobik di bawah permukaan air, seperti Humic Gyttjae (Teichmueller, 1950;
Diessel, 1986; Lamberson et.al., 1991). Bagaimanapun juga oksidasi karena air
dalam gambut dan browncoal mengakibatkan oksidasi dini.
Batubara yang kaya akan Kalsium kaya akan Gelinit. Sering terpresipitasi sebagai
Ca-Humat (Dopplerit). Gelinit pada stadium browncoal terkorelasi dengan Collinit
pada Hardcoal.

22

Corpohuminit adalah pengisi ruang sel dan merupakan produk primer (diperkirakan)
dari tumbuhan hidup atau produk langsung setelah sel tertentu mati (khususnya kulit
kayu). Secara kimia Corpohuminit adalah produk oksidasi atau produk kondensasi
dari Tanin. SOOS (1963, 1966 ; dikutip dari Teichmueller, 1989) meneliti tentang
Corpohuminit pada browncoal

dan menamakannya

dengan Phlobaphenites

(Phlobaphinit menurut ICCP). Juga mungkin Corpohuminit merupakan hasil proses


biokimia yang telah mengisi ruang sel yang kosong.
Walaupun Corpohuminit tidak mempunyai hubungan dengan gelifikasi geokimia
namun pada stadium hardcoal dinamakan Corpocollinit.

Corpocollinit teramati

sebagai suatu yang homogen, butir Vitrinit bulat sampai oval, sering terisolasi pada
Desmocollinit

dan juga sebagai pengisi sel pada Telinit (insitu). Ini bisa

mencerminkan ketahanan terhadap penghancuran dari produk primer sel hidup atau
terbentuk sekunder akibat pengisian ruang sel oleh humus gel (Teichmueller,
1982a). Corpohuminit atau Corpocollinit sangat resistan sehingga sering pada Coal
Ball sebagai material batubara yang tidak terbatukan tetapi dinding selnya yang dari
karbonat/silika terbatukan.
Sementara Vitrodetrinit adalah Vitrinit dengan ukuran < 20 mikrometer, bersudut dan
sering terendapkan pada daerah yang kaya mineral lempung. Reflektifitasnya bisa
berada antara Desmocollinit dan Telocollinit.

2. GRUP LIPTINIT
Liptinit berasal dari organ tumbuhan (ganggang, spora, kotak spora, kutikula dan
getah), yang relatif kaya dengan ikatan alifatik sehingga kaya akan hidrogen
(Techmueller, 1982; Wolf, 1988) atau bisa juga sekunder, terjadi selama proses
pembatubaraan dari bitumen.
Sifat optis (Refektivitas rendah dan fluoresense tinggi) dari Liptinit mulai gambut dan

23

batubara pada rank rendah sampai pada batubara sub-bituminus relatif stabil
(Techmueller, 1989).
Pembatubaraan Pada Grup Liptinit
Naiknya reflektivitas dibarengi sifat fluoresense menurun (Gambar 3). Warna
fluoresense berubah dari panjang gelombang yang pendek (hijau dan kuning) ke
panjang gelombang yang lebih tinggi (merah). Liptinit-liptinit tertentu mempunyai
loncatan proses pembatubaraan masing-masing, seperti: Sporinit mempunyai
loncatan pertama (R vitrinit = 0.5%) dimana substansi seperti minyak terbentuk.
Loncatan kedua (R vitrinit = 0.8-1.0%) adalah pada oilgeneration yang maksimum.
Loncatan ketiga (R vitrinit =
Sporinit mencapai

1.3%) adalah pada batas akhir oilgeneration dimana

R vitrinit dan fluoresensenya menghilang.

Perubahan mikroskopis disertai dengan perubahan komposisi dan jumlah ekstrak


dari batubara yang kaya akan Liptinit (Radke et. al. 1980).
Sesudah oilgeneration (bituminisasi)

beberapa Liptinit menghilang dan akan

membentuk mikrinit yang berupa sisa padatan (dari Resinit dan Bituminit). Liptinitliptinit yang lain (Sporinit dan Kutinit) berkurang kemudian mencapai reflektivitas
yang lebih tinggi dari reflektivitas vitrinit.
Eksudatinit adalah maseral sekunder pada grup Liptinit dan terbentuk selama
proses pembatubaraan (awal bituminisasi). Eksudatinit mencapai reflektivitas yang
lebih tinggi dari reflektivitas vitrinit pada awal stadium coking coal. Banyak metaeksudatinit dikenal dari anisotropinya yang tinggi. Secara umum R Liptinit dan
fluoresensenya berubah pada stadium oilwindow.
Sporinit terbentuk dari bagian luar dinding sel spora dan kotak spora. Secara kimia
substansi ini mengandung sporopollenin. Pada lingkungan yang kaya akan kalsium
dan relatif kering, spora dan kotak spora akan terhancur dengan kuat oleh bakteri.
Tetapi dalam lingkungan yang basah (di bawah air) spora dan kotak spora
terawetkan dengan baik (Teichmueller, 1989).

24

Coalification of exinite : a) Sporinite in a high-volatile Ruhr coal (approx. 40% V. M.),


polished surface, oil imm., 375 x; b) Sporinite in a high-volatile Ruhr coal (approx.
32% V. M.), polished surface, oil imm., 375 x; c) Sporinite in a medium bituminous
Ruhr coal (approx. 25% V. M.); d) Traces of sporinite in a low-volatile coal (approx.
18% V. M.), polished surface, oil imm., 375 x; e) Probably former sporinite (no
longer recognizable) in durite from a semi-anthracite (approx. 10% V. M.), polished
surface, oil imm., 375 x;
f) Anthracite (approx. 8% V. M.) from the Ruhr
coalfield, polished surface, oil imm., 375 x;
Gambar 3. Perubahan refleksifitas liptinit dengan naiknya rank

Kulit spora sering sama-sama tertindih sehingga ruang dalam spora hanya bisa
dikenali sebagai satu garis hitam di bagian tengah (Gambar 4 dan 5). Bagian luar
spora terpisahkan secara simetris. Berdasarkan besarnya sporinit dibagi menjadi
megasporinit dan mikrosporinit. Mikrosporinit lebih kecil dari 100 mikrometer.
Berdasarkan pada ketebalan dindingnya maka mikrosporinit dibagi menjadi dua,
yaitu Tenuisporinit yang mempunyai dinding yang tipis dan Crassisporinit yang
mempunyai dinding yang tebal (Stach, 1982).

Schematic drawing of a collapsed megaspore with transected


star ledges (in German : Sternleisten). (After E. Stach, 1935)
Gambar 4. Megaspora dan penampang melintangnya

Cutinit berasal dari kutikula dan lapisan kutikula yang biasanya berada pada
permukaan daun, cabang dan bagian lain dari tumbuhan sebagai pelindung dari
kekeringan. Substansi kimianya disebut cutin dan komposisinya adalah asam lemak
dan lilin. Dalam sayatan yang tegak lurus dengan perlapisan, cutinit mempunyai
lapisan berbentuk gigi yang unik dengan berbagai ketebalan. Dalam sayatan yang
lain sering terlihat sebagai struktur jaring (Gambar 6 dan 7).

25

Suberinit, resinit dan fluorinit berbeda dengan sporinit, alginit dan cutinit. Material
asalnya hanya diketahui secara umum. Suberinit berasal dari lapisan suberin dari
dinding sel yang tergabuskan khususnya kulit kayu.

Tenuisporinite, crassisprorinite : a) Fusinitized microspore from a high-volatile Ruhr


coal, polished surface, oil imm., 2000 x; b) Microspores (tenuispores) from a highvolatile Ruhr coal, polished surfaces, oil imm., 1000 x;
c) Microspores
(crassispores) from a high-volatile Ruhr coal, polished surfaces, oil imm., 1000 x; d)
The Sporangium Bicoloria U. Horst (the outer wall is formed by Torispora forms) from
theOlsnitz coalfield in Saxony (Germany); polished surface, oil imm., 350 x.
Gambar 5. Kenampakan sporinit

Schematic cross section through a leaf. (After Jurasky, 1936)


p = palisade parenchyma; s = sponge parenchyma;
e = epidermis; k = cuticle; sp = opening os fissure

Three dimensional schematic picture of a cuticle with broad cuticular ledges forming
a kind of framework. (After E. Stach, 1935)

26

Cross sections through various cuticles from Palaeozoic bituminous coals.


(After E. Stach, 1935)

a) Cross section through a cuticle (black) and epidermis (white); b) Cuticle without
epidermis; c) , d) Cuticle strongly folded. (After E. Stach, 1935)

Gambar 6. Skema asal kutinit


(A)

Cutinite : a) Thick-toothedcuticle (crassicutinite) from a Turkish high-volatile coal,


polished surface, oil imm., 500 x; b) Cuticle with cuticular ledges from a high volatile
Polished surface, dry fluorescent light, 500 x; c) Cuticle with cuticular ledges,
polished surfaces, oil imm., 1050 x; d) Thin-walled untooth cuticles (tenuicutinite)
from a high-volatile Ruhr coal, polished surface, oil imm., 150 x.

(B)

Cutinite : a) Top : thin-walled cutinite (tenuicutinite), bottom : thick-walled cutinite


(crasscutinite) from a high-volatile Ruhr coal, polished surface, oil imm., 135 x; b)
Oblique section through crassicutinite from a high-volatile Ruhr coal, polished
surface, oil imm., 135 x; c) Crassicutinite, horizontally cut from a high-volatile Ruhr
coal, polished surface, oil imm., 135 x.
Gambar 7. Kenampakan kutinit di bawah mikroskop
Suberin adalah polimer yang mengandung asam lemak dan ester gliserin (Treiber,
1957). Suberin tidak hanya terdapat pada kulit kayu tetapi juga pada permukaan
akar, buah dan berfungsi sebagai pelindung dari kekeringan. Pemunculan suberinit
sering pada brown coal tersier dimana dinding sel yang tipis, reflektivitas rendah

27

dan berfluoresense dari suberinit mengelilingi suatu material dengan reflektivitas


tinggi, biasanya berbentuk tabular, sebagai pengisi ruang sel dan disebut
phlobaphinit. Pada batubara mezosoikum, suberinit sangat jarang dan pada
batubara karbon tidak terdapat suberinit (Teichmueller, 1989).
Resinit berasal dari resin, balsem, lateks, lemak dan lilin. Secara kimia resinit
dibedakan menjadi terpen resin (yang berasal dari resin, balsam, copals, lateks dan
minyak essensial) dan lipid resin (berasal dari lemak dan lilin). Terpin adalah produk
hasil kondensasi yang relatif stabil dari molekul isoprene (C 6H8). Lipid dari lemak
dan lilin merupakan campuran yang dapat diekstak dari asam lemak (dari ester
gliserin atau lemak atau asam lemak dengan alkohol yang tinggi atau lilin). Secara
botani resin merupakan sekresi dari dinding sel pada ruang sel dan kanal. Beberapa
konifern menghasilkan resin (kalau terluka), dan resin ini menghasilkan resinit pada
batubara. Karena perbedaan material asal, maka resinit akan muncul dengan
berbagai sifat mikrokopis, seperti bentuk, warna, reflektan dan fluoresense (Zhao et.
al., 1990).
Resin muncul sebagai pengisi sel pada telocollinit atau terisolasi pada massa dasar
vitrinit. Bentuk resinit yang bundar, opal atau juga tidak beraturan menunjukkan
variasi yang besar pada reflektivitas dan fluoresensenya (Gambar 8).
Batubara tersier mengandung banyak resinit karena tumbuh banyak kornifern pada
jaman tersier. Di daerah tropis ada banyak angiosperm yang kaya akan resin, lateks,
minyak dan lemak sebagi sumber dari resinit (Teichmueller, 1989). Resinit
mempunyai kecenderungan untuk membentuk eksudatinit pada awal proses
pembatubaraan (Teichmueller, 1989 ; Zhao et. al., 1990).

Resinite : a) Very dark resinite, well preserved resin in Eocene hard lignite from
Borneo, polished surface, oil imm., 375 x; b) Isolated elliptical resin bodies (resinite
cell fillings) from a high-volatile Ruhr coal, polished surface, oil imm., 135 x; c)
Elongated resin body, showing zonal structure, from a high-volatile Ruhr coal,
polished surface, oil imm., 450 x; d) Resinite layers on the left side with formerly
spherical droplets from a high-volatile Ruhr coal, polished surface, oil imm., 300 x;
e) Spherical dark grey resinite bodies, gradually transformed into fusinite, from a
high-volatile Ruhr coal, polished surface, oil imm., 350 x;

28

Gambar 8. Kenampakan resinit di bawah mikroskop


Walaupun material asal dari fluorinit adalah minyak essensial tetapi karena sifat
optisnya yang khusus maka fluorinit dipisahkan dari resinit. Fluorinit adalah relatif
baru dan dapat diamati dengan mikroskop fluoresense (Teichmueller, 1974 a, c).
Dengan panjang gelombang yang pendek fluorinit menunjukkan warna fluoresense
yang berwarna kuning terang yang kuat. Sementara dengan sinar putih fluorinit tidak
dapat dibedakan dengan mineral lempung pada batubara. Pemunculan fluorinit
adalah khas pada sel yang kecil dari phyllovitrinit dan dikelilingi oleh cutinit.
Beberapa fluorinit berasal dari sel lipoida pada daun-daun tertentu.
Liptodetrinit adalah campuran fragmen dan sisa-sisa kecil dari produk degradasi
atau dari maseral Liptinit yang lain. Liptodetrinit banyak pada batubara sub-aquatis
(batubara sapropel atau clarit, durit dan trimaserit tertentu), karena Liptinit terbentuk
dari penghancuran mekanis dari Liptinit selama proses transport.
Eksudatinit (seperti bituminit dan fluorinit) dapat diamati dengan sinar fluoresense.
Eksudatinit adalah maseral sekunder dan pembentukannya adalah selama proses
pembatubaraan (awal bituminisasi atau antara sub-bituminous coal sampai high
volatile bitumious coal) dari Liptinit dan perhydrous vitrinit (migrabitumen menurut
Jakob, 1985). Eksudatinit mengisi rekahan, bidang perlapisan, kekar, sel yang
kosong dari fusinit dan sclerotinit (Zhao et. al, 1990). Komposisi kimia dari
eksudatinit diperkirakan asphaltene (Teichmueller, 1989).

3. GRUP INERTINIT
Sifat khas untuk Inertinit adalah reflektivitas tinggi, sedikit atau tanpa fluoresense,
kandungan karbon yang tinggi dan sedikit kandungan hidrogen, aromatis kuat
karena beberapa penyebab, seperti pembakaran (charring), mouldering dan
penghancuran oleh jamur, gelifikasi biokimia dan oksidasi serat tumbuhan. Menurut
Teichmueller (1982 a) inertinit berasal dari melanin (inertinit primer).

29

Sebagian besar inertinit sudah terbentuk pada bagian awal proses pembatubaraan.
Inertinit tidak menunjukkan perubahan selama proses pembatubaraan. Hanya semiinertinit berubah menjadi inertinit.
Smith dan Cook (1980) mengatakan sebagian besar inertinitisasi (penaikan
reflektivitas) terjadinya tidak lebih awal dari stadium brown coal dan sub-bitumious.
Penyebab proses ini adalah reaksi yang tidak seimbang. Aromatisasi (inertinisasi)
berada disatu pihak dan pembentukan hidrokarbon disisi yang lain (Teichmueller,
1987a). Reaksi ini sama dengan pembentukan mikrinit pada rank bitumious.
Pada meta-antrasit, reflektan vitrinit menjadi lebih tinggi dari reflektan inertinit (Alper
& Lemos de Sousa, 1971). kandungan hidrogen yang tinggi dari vitrinit dan
kecenderungan pembentukan grafit yang lebih awal merupakan penyebab kondisi
ini (Teichmueller, 1987b).
Fusinit dan semi-fusinit terbentuk akibat proses pembatubaraan dari material
tumbuhan atau pembakaran pada gambut. Fusinit dan semi-fusinit akibat
pembakaran disebut pyrofusinit atau pyrosemifusinit dan mewakili tipe utama dari
inertinit pada gambut dan stadium brown coal. Batubara jaman Perm atau Karbon
kaya akan degradofusinit (khususnya degradosemifusinit), dimana pengawetan
struktur selnya dapat dibedakan dari pyrofusinit. Pyro- dan degradofusinit
(semifusinit) merupakan indikasi dari lingkungan pengendapan yang diperkirakan
relatif kering.
Ruang sel yang bulat, oval atau memanjang pada semi fusinit dapat diisi oleh
mineral lempung, karbonat, pyrit atau kadang juga oleh eksudatinit dan resinit.
Akibat penghancuran dinding sel muncul potongan-potongan fusinit yang khas yang
disebut Bogenstruktur.
Karena gambut dan brown coal resen mengandung lebih sedikit fusinit dan
semifusinit dibanding pada hard coal maka Teichmeuller (1982 a) mengambil

30

kesimpulan bahwa fusinit dan begitu juga inertinit yang lain terutama terbentuk pada
proses pembatubaraan (rank fusinit). Dapat dikatakan serat kayu berubah menjadi
fusinit pada proses pembatubaraan. Konsep ini didukung pula oleh penelitian Smith
dan Cook (1980) terhadap batubara dari Australia. Diungkapkan bahwa banyak
inertinit antara gambut dan high volatile bitumious coal (R max = 0,2 - 0,9 %)
reflektivitasnya berubah secara drastis. Fusinit seperti ini dapat juga terjadi dari sifat
material tumbuhan awal.
Semifusinit merupakan maceral antara vitrinit dan fusinit (Stach, 1982). Reflektivitas
semifusinit sangat bervariasi. Namun demikian selalu lebih kecil dari fusinit dan
lebih besar dari vitrinit pada batubara yang sama. Dibandingkan dengan fusinit,
semifusinit pada mikroskop (sinar pantul putih) berwarna abu-abu terang, dinding
sel lebih tebal, tidak teratur, sel struktur lebih tidak jelas, begitu juga reliefnya lebih
rendah. Seperti pada fusinit maka ruang selnya diisi oleh mineral.
Makrinit mempunyai reflektivitas tinggi, amorf dan mengandung gel. Material asalnya
sampai sekarang masih belum jelas. Diperkirakan makrinit terbentuk akibat oksidasi
yang intensif, pengeringan tumbuhan dan gambut, produk metabolisma oleh jamur
dan bakteri. Karena itu makrinit jarang muncul pada gambut dan brown coal
(Teichmueller, 1989). Hipotesa Cohen et. al. (1987) yang benar-benar berlawanan
tentang pembentukan makrinit adalah material yang tergelifikasi pada saat awal
dimana dibedakan dari reflektivitasnya yang tinggi dan masih bersifat huminit pada
stadium gambut (terbentuk pada lingkungan pengendapan bawah air). Makrinit
mencapai reflektivitas inertinit pada proses pembatubaraan dalam stadium hard coal
(seperti fusinit sekunder). Beberapa makrinit berasal dari charred peat.
Sclerotinit mewakili jamur mycelia yang mengandung melanin hitam sejak saat
hidupnya. Spora dari jamur hitam ini diserang oleh jamur karat, jamur hangus, dan
rumput-rumputan. Jamur hitam bisa hidup pada kondisi yang kurang baik tetapi
jamur yang kaya akan melanin tertentu saja yang membentuk sclerotinit. Pendapat
lama yang menyatakan bahwa chitin sebagai pembentuk utama dari jamur
menyebabkan tingginya reflektivitas sclerotinit tidak dapat diterima lagi.

31

Bartram et. al. (1987, dikutip dari Teichmueller 1989) dengan penelitian terhadap
batubara dari Yorkshire, England dan Goodarzi (1984, dikutip juga dari Teichmueller,
1989) dengan penelitian batubara dari Kanada mengatakan bahwa sclerotinit adalah
transculent (transparan) dan mempunyai fluoresense (berlawanan dengan pendapat
yang lain).
Frey-Wisslyng (1959) mengatakan bahwa chitin sama seperti selulosa dalam sifat
optisnya sehingga jamur yang terendapkan pada gambut tidak akan membentuk
sclerotinit. Sekarang secara umum diperkirakan bahwa sebagian besar dari
sclerotinit dalam batubara karbon dan batubara Perm berasal dari sekresi sel (tanin
dan atau resin). Material ini terkarbonisasi sebelum atau sesaat setelah
pengendapannya pada permukaan gambut (Taylor & Cook, 1962 ; Koch, 1970).
Inertodetrinit dipakai untuk partikel inertinit yang kecil karena besar butirnya yang
lebih kecil dari 30 mikro meter sulit untuk dimasukkan ke dalam maceral lain dalam
grup inertinit. Sebagai contoh adalah pecahan dari pyrofusinit atau sisa dari
degradofusinit yang tertransport oleh udara atau air. Inertodetrinit adalah maceral
khas untuk facies bawah air atau batuan klastik (Teicmueller, 1989).
Sebagai detritus partikel inertinit dapat ditransport oleh air dan angin untuk jarak
yang jauh karena tahan terhadap pelapukan kimia. Sering pengendapan
inertodetrinit bersama sporinit dan alginit sehingga dapat menunjukkan bahwa
kondisi asalnya adalah kering, terbentuk dalam kondisi oksidasi, tertransport dan
terendapkan pada lingkungan di bawah air (sekunder).
Mikrinit memegang peran yang besar. Walaupun memiliki reflektivitas tinggi namun
sangat sensitif terhadap oksidasi dan pemanasan (Stach, 1936 ; Nandi &
Montogmery, 1967). Teichmueller (1944) mengamati transisi resinit pengisi ruang sel
ke mikrinit pada batubara Bitumious rank rendah dari jaman Upper-Silesian dan
Teichmueller (1955) menyatakan bahwa banyak mikrinit (pada batubara Ruhr yang
terendapkan pada lingkungan marine diketahui dari sifat petrografi dan sifat

32

teknologinya), terendapkan pada lingkungan yang relatif basa. Mikrinit adalah


maceral khas untuk batubara sapropel. Diperkirakan kebanyakan mikrinit berasal
dari lipida selama proses pembatubaraan.
Pembentukan mikrinit adalah reaksi yang tidak seimbang, dimana pembentukan
minyak disatu sisi dan pembentukan material padat dengan reflektivitas yang tinggi
dari mikrinit disisi yang lain (Teichmueller, 1974 a,c).
Pemikiran selanjutnya mengatakan bahwa mikrinit merupakan maceral sekunder,
terbentuk dari oil-prone maceral (bituminit dan perhidrous vitrinit), juga resinit dan
sporinit pada batubara rank bitumious bagian bawah. Pembentukan ini dihubungkan
dengan Oil-window pada minerogenic Oil Source Rock. Cohen & Spackman (1980)
dengan penelitiannya terhadap gambut dari Florida mengatakan bahwa mikrinit
berasal dari dinding sel tertentu dari beberapa tumbuhan.

33

SOAL-SOAL

3. Apa dasar klasifikasi masival ?

2. Sebutkan masival sekunder !

3.

Maseral apa yang paling dominan pada batubara ?

4.
Maseral apa yang berubah selama proses pembatubaraan dan apanya yang
berubah ?

34

DAFTAR PUSTAKA

18. Diessel C. F. K. (1984) : Coal Geology, Australian Mineral Foundation, Workshop


Course 274/84, Indonesia : 208 S.
19. Stach E., Mackowsky M. TH., Teichmller M., Taylor G. H., Chandra D.,
Teichmller R. (1982) : Stachs Textbooks of Coal Petrology, Gebrder
Borntraeger, Berlin-Stuttgart : 535 S.
20. Taylor G. H., Teichmueller M., Davis A., Diessel C. F. K., Littke R., Robert P.
(1998), Organic Petrologi, Gebrueder Borntraeger, Berlin, Stuttgart.
21. Teichmller M. (1989) : The Genesis of Coal from the Viewpoint of Coal
Petrology, Itn. J. Coal Geol., 12 : 1-87.
22. William Spackman, Arthur D. Gohen, Peter H. Given, Daniel J. Casagranole :
Okefenokee and The Everglades.

35

PENERAPAN PENGETAHUAN GENESA BATUBARA

Penerapan atau manfaat genesa batubara cukup banyak, tidak hanya untuk
eksplorasi batubara sendiri tetapi juga untuk keperluan yang lain. Genesa batubara
sampai saat ini sangat mendukung beberapa keperluan yang masih ada hubungan
dengan geologi, eksplorasi maupun pengolahan, pencucian ataupun pemanfaatan
batubara. Belakangan ini ilmu genesa batubara sangat banyak dipakai dalam
eksplorasi minyak bumi. Secara garis besar untuk contoh, diberikan uraian dari
masing-masing manfaat di bawah ini :

Eksplorasi batubara

Eksplorasi minyak dan gas bumi

Mempelajari proses sedimentasi dan diagenesa batuan sedimen

Mempelajari tektonik

1. UNTUK EKSPLORASI BATUBARA


Dengan mengetahui genesa batubara suatu daerah maka akan sangat berguna
untuk keperluan eksplorasinya. Dari model genesa akan bisa ditentukan atau dipilih
metoda dan eksplorasi yang tepat.
Penafsiran luas penyebaran karena dengan tahu lokasi terjadinya (type cekungan,
dimensi cekungan) maka kita akan lebih baik dalam membatasi daerah eksplorasi,
batas penyebaran bisa diketahui dari kenampakan atau keberadaan (pemunculan)
sisipan atau kita bisa menduga dari hasil pengamatan mikroskopi (maseral).
Kemungkinan

struktur

bisa

dikaitkan

dengan

cekungan

tempat

batubara

terendapkan. Stabilitas tektonik dan akibatnya terhadap endapan batubara baik dari

36

segi geometri lapisan maupun kalitas dan rank batubara.


Tipe batubara (berlapis dan tidak berlapis) tergantung pada fasies pengendapan
dan ini juga akan berkaitan dengan kualitas batubaranya.
Metoda eksplorasi yang dipakai juga dipengaruhi oleh genesa. Apakah berasosiasi
dengan batuan samping tertentu yang mudah dikenal, struktur geologi yang
menyertai sehingga keberadaanya bisa dekat permukaan atau jauh di bawah,
menerus atau setempat, horisontal atau miring dan sebagainya.
Cara pengambilan contoh apakah dengan bor, test pit, atau paritan. Hal ini sangat
tergantung pada genesa, begitu juga lokasi pengambilan contoh apakah channel
sampling dari bagian atas sampai bagian bawah lapisan, persatuan tebal, di bagian
tengah, di bagian pinggir dan sebagainya.
Kualitas dan rank batubara diketahui dengan analisa tetapi penyebaran rank dan
kualitas bisa dikejar dengan penerapan ilmu genesanya. Apakah rank yang ada
akibat suatu proses geologi yang berpengaruh luas atau lokal, dalam waktu yang
panjang atau relatif singkat. Kualitas yang terjadi apakah akibat suatu proses
sesudah pengendapan atau terjadi saat proses pembatubaraan berlangsung atau
memang merupakan hasil proses pengendapan.

2. UNTUK EKSPLORASI MINYAK DAN GAS BUMI


Genesa batubara sangat erat kaitannya dengan genesa minyak bumi sehingga
pengetahuan genesa batubara sangat dihandalkan untuk eksplorasi minyak dan gas
bumi (Gambar 5.1). Keberadaan komponen organik pada setiap batuan sedimen
termasuk batuan induk yang mengandung minyak dan tempat terbentuknya minyak
bumi. Minyak bumi terbentuk dari komponen organik (umumnya binatang) pada
tingkat kematangan (maturity) batuan sedimen tertentu. Tingkat kematangan organik
yang ada pada sedimen dengan mudah ditentukan dari pengukuran reflektan ( rank
batubara) komponen organik sisa tumbuhan yang ada pada sedimen.

37

Gambar 5.1. Pengurangan porositas pada batuan reservoir dikaitkan dengan rank
batubara (reflektan vitrinit) dan kematangan hidrokarbon (diambil dari
Taylor, 1998)
Genesa batubara memberikan gambaran yang jelas untuk rank dalam kaitan dengan
terbentuknya minyak bumi. Terbentuknya maseral sekunder seperti Exsudatinit dan
mikrinit pada batubara) sebagai indikator oil window (daerah rank terbentuknya
minyak bumi pada sedimen), sehingga dengan mengetahui indikator ini maka
eksplorasi minyak dan gas bumi bisa diarahkan sesuai dengan kemungkinan arah
migrasinya.
Bahkan beberapa ahli pernah memikirkan tentang terbentuknya minyak bumi yang
bersumber dari batubara (batubara sebagai batuan induk minyak bumi). Hal ini
secara teori mungkin terbentuk tetapi migrasi untuk akumulasi dalam jumlah yang
banyak masih tidak mungkin karena pori-pori pada batubara sangat kecil.

3. UNTUK MEMPELAJARI PROSES DIAGENESA PADA BATUAN SEDIMEN


SELAIN BATUBARA

Rank pada batubara merupakan akibat dari temperatur, tekanan dalam waktu yang
relatif panjang. Sehingga hal ini analog dengan proses yang terjadi pada batuan
sedimen yang lain yang mengalami proses diagenesa. Pada batubara dengan
mudah dapat diketahui rank-nya sedangkan pada batuan sedimen yang lain agak
sulit. Rank pada batubara merupakan posisi meterial organik akibat proses
pembatubaraan dan ini merupakan proses irreversible sehingga kalau suatu rank
sudah dicapai maka tidak akan bisa kembali ke kondisi aslinya. Dengan anggapan
bahwa setiap batuan sedimen mengandung unsur organik yang bisa diukur
reflektifitasnya sebagai indikator rank maka dengan cepat dapat diketahui proses
atau akibat proses diagenesa yang dialami oleh batuan sedimen itu. Artinya
walaupun keberadaannya saat ini di permukaan (tersingkap) bukan berarti dari sejak
terbetuknya tidak pernah berada pada kedalaman yang tinggi dimana temperatur

38

tinggi (akibat gradien geothermal) dan tebal batuan penutup yang mengakibatkan
tekanan yang tinggi juga. Dengan demikian komponen organik yang berasal dari
tumbuhan akan mempunyai rank yang tinggi sesuai dengan temperatur dan tekanan
yang pernah dialaminya (Gambar 5.2).

Gambar 5.2. Hubungan antara beban yang dialami, temperatur dan reflektan vitrinit
(diambil dari Taylor, 1998)

4. MEMPELAJARI TEKTONIK
Dari rank batubara yang terdapat pada suatu cekungan bisa dipelajari sejarah
cekungan tempat terdapatnya endapan batubara tersebut. Rank batubara yang
tinggi bisa dikaitkan dengan masa lalu cekungan itu yang pernah berada turun
sampai kedalaman tertentu (tinggi). Proses naik turunnya cekungan sulit diketahui
dari sedimen yang lain, sedangkan dari komponen organik (batubara pada sedimen)
itu dapat diketahui bahwa komponen organik yang ada pada sedimen itu sudah
pada rank tertentu dengan korelasi temperatur dan beban yang pernah dialami
(Gambar 5.2). Distribusi rank yang tidak merata mencerminkan keberadaan
penyebab lokal. Hal ini bisa akibat struktur sesar, pelipatan ataupun akibat intrusi.
Yang penting adalah keberadaan suatu proses yang mengakibatkan adanya
temperatur atau tekanan yang tinggi atau bahkan keduanya sekaligus.
Tidak homogennya lapisan, adanya banyak sisipan atau lapisan bercabang
mecerminkan kondisi cekungan tempat pengendapan batubara yang tidak stabil,
dalam artian penurunan cekungan yang tidak homogen.

5. UNTUK PEMANFAATAN, PENGOLAHAN DAN PENCUCIAN BATUBARA


Batubara merupakan hasil proses yang terjadi terhadap tumpukan tumbuhan
(gambut), sehingga dalam hal ini variasi batubara yang dihasilkan akan sangat
beragam. Dari genesanya bisa diketahui beberapa faktor penentu kualitas, rank dan
tipenya sehingga akan sangat membantu dalam perencanaan pemanfaatan maupun
pengolahan dan pencucian.

39

Disamping itu faktor penentu kualitas batubara bisa terjadi bersamaan dengan
proses pembatubaraan (tidak mencerminkan lingkungan pengendapannya).
Dari genesa bisa diinterpretasikan jenis tumbuhan pembentuknya, tempat terjadinya,
cara terjadinya dan seberapa jauh proses pembatubaraan berlangsung. Batubara
terbentuk dari berbagai jenis tumbuhan. Jenis tumbuhan pembentuk akan
bertanggung jawab terhadap komposisi maseral yang sangat menentukan
karakteristik batubara yang berkaitan dengan peruntukannya. Dalam hal ini bukan
hanya jenis tumbuhan saja yang penting tetapi juga dari bagian apanya dari
tumbuhan batubara terbentuk.
Tempat terjadinya apakah di cekungan di lingkungan darat/air tawar, payau atau
bahkan laut, akan membawa konsekuensi terhadap tipe dan kualitas batubara.
Apakah dia berlapis ataupun tidak berlapis tentu akan sangat mempengaruhi dalam
proses pemanfaatan/pengolahan.
Batubara yang terbentuk dari tipe atau fasies bawah air akan mempunyai
kandungan abu dan sulfur yang lebih tinggi dibanding yang terjadi dari gambut tipe
highmoor.
Keterdapatan mineral (baik jenis maupun bentuknya) akan sangat mempengaruhi
cara pengolahan atau pencuciannya. Keterdapatan mineral ini bisa banyak
ragamnya dengan genesa yang beragam pula. Oleh karena itu keberadaan mineral
dalam bentuk yang

beragam dan terjadinya

juga beragam akan sangat

mempengaruhi cara pencucian, pengolahan bahkan peruntukan batubaranya.


Belum lagi kondisi batuan samping dengan lingkungan pengendapan yang beragam,
komposisi juga beragam, dapat juga mempengaruhi kualitas batubaranya. Hal ini
umumnya mempengaruhi batubara pada saat pembatubaraan berlangsung.
Komposisi meseral batubara yang merupakan produk dari ragam tumbuhan
pembentuk sangat menentukan peruntukannya. Batubara dengan komposisi
dominan atrinit yang merupakan cerminan pembentuk yang kebanyakan dari
tumbuhan perdu yang banyak tumbuh pada lingkungan yang kurang subur atau
kondisi PH yang kecil (asam) dimana hanya mengandalkan air hujan (highmoor)

40

akan baik untuk briket.

Batubara yang banyak unsur gelinit yang diyakini merupakan produk gelifikasi
(bagian awal proses pembatubaraan yang berlangsung tergantung air) akan kurang
baik untuk briket.
Sebenarnya masih sangat banyak aplikasi ilmu genesa batubara untuk keperluan
baik ilmu perbatubaraan maupun industri perbatubaraan.

41

SOAL-SOAL

Berikan contoh aplikasi ilmu genesa batubara dalam bidang :


1. Eksplorasi
2. Penambangan
3. Pencucian
4. Pemanfaatan batubara

42

DAFTAR PUSTAKA

23. Diessel C. F. K. (1984) : Coal Geology, Australian Mineral Foundation,


Workshop Course 274/84, Indonesia : 208 S.
24. Diessel C. F. K. (1993) : Coal Bearing Depositional Systems
25. Gttlich K., Editor (1980) : Moor und Torfkunde, 2. Auflage, E.
Schweizerbartsche Verlagsbuchhandlung (Ngele u. Obermiller),
Stuttgart : 338 S.
26. Hollerbach A. (1985) : Grundlagen der organischen Geochemie, Springer
Verlag, Berlin-Heidelberg : 190 S.
27. Stach E., Mackowsky M. TH., Teichmller M., Taylor G. H., Chandra D.,
Teichmller R. (1982) : Stachs Textbooks of Coal Petrology,
Gebrder Borntraeger, Berlin-Stuttgart : 535 S.
28. Taylor G. H., Teichmueller M., Davis A., Diessel C. F. K., Littke R., Robert P.
(1998), Organic Petrologi, Gebrueder Borntraeger, Berlin, Stuttgart.
29. Tissot B. P., Welte D. H. (1984) : Petroleum Formation and Occurrence, 2 nd
Edition, Springer Verlag, Berlin : 538 S.
30. Van Krevelen D. W. (1993) : Coal, Typology-Chemistry-Physics-Constitution,
3rd Comp. Rev. ed., Elsevier, Amsterdam, London, New York, Tokyo :
979 S.

MODUL KURSUS

43

GENESA BATUBARA

1. LATAR BELAKANG
Industri batubara saat ini sedang mengarah kepada puncak aktivitasnya, karena
batubara dianggap sebagai komoditi unggulan dan sumber energi alternatif untuk
Indonesia. Aktivitas dalam bidang batubara dimulai dari eksplorasi, penambangan,
pengolahan, pemasaran, pemanfaatan dan sebagainya.
Genesa batubara yang merupakan ilmu untuk mengetahui bagaimana cara terjadinya
serta bahan dasar pembentuk endapan batubara menjadi sangat penting untuk
diketahui, terutama untuk kegiatan eksplorasi, pengolahan dan pemanfaatan.
Sehingga pelaku industri batubara terutama yang menekuni bidang eksplorasi dan
pemanfaatan menjadi mutlak untuk mengetahui genesa batubara.

2. TUJUAN KURSUS
2.1. Tujuan Instruksional Umum
Memberikan pengetahuan bagi para peserta tentang terjadinya endapan batubara,
distribusinya di muka bumi dan Indonesia sehingga menjadikan modal untuk
eksplorasi, pengolahan dan pemanfaatannya.

2.2. Tujuan Instruksional Khusus


Mempersiapkan peserta untuk bisa memanfaatkan ilmu genesa batubara ini untuk
tujuan eksplorasi, pengolahan dan pemanfaatannya secara teoritis.

3. MATERI KURSUS

44

Sesuai dengan judul modul yang diusulkan maka materi yang akan dibahas
dalam modul ini adalah sbb:
Cerita singkat tentang endapan batubara di dunia mengenai distribusinya,
pemakaiannya dikaitkan dengan sejarah perkembangan bumi serta distribusi
endapan batubara di Indonesia.
Faktor-faktor fasies pembentukan gambut (Type-type gambut serta proses - proses
yang terjadi).
Bahan dasar pembentuk batubara (Jenis tumbuhan pembentuk serta bagian dari
tumbuhan yang berperan dalam pembentukan batubara).
Proses pembatubaraan (Faktor penting yang mempengaruhi proses, jenis proses
yang terjadi, saat proses itu terjadi serta produk proses masing-masing).
Beberapa

manfaat

genesa

batubara

untuk

eksplorasi,

pengolahan

dan

pemanfaatannya.

Daftar isi secara lebih rinci disertakan sebagai lampiran.

4. LAMPIRAN
Perincian dari masing-masing modul :

45

Sub Modul 1 : SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BATUBARA


I.

Pendahuluan

II.

Sejarah Batubara

III. Distribudi Endapan batubara di Dunia


IV. Perkembangan Bumi dan Terjadinya Endapan Batubara

Sub Modul 2 : FAKTOR-FAKTOR PENTING DALAM PEMBENTUKAN GAMBUT


I.

Tumbuhnya Rawa Gambut


I.1. Evolusi Tumbuhan
I.2. Iklim
I.3. Paleongeografi dan Tektonik
I.3.1. Paleongeografi
I.3.2. Struktur / Tektonik

II.

Moor
II.1. Niedermoor
II.2. Hochmoor / Highmoor

Sub Modul 3 : FAKTOR-FAKTOR FASIES PADA PEMBENTUKAN GAMBUT


I.

Tipe Pengendapan

II. Rumpun Tumbuhan Pembentuk


III. Lingkungan Pengendapan
IV. Persediaan Bahan Makanan
V. PH, Aktifitas Bakteri dan Sulfur
VI. Temperatur
VII. Potensial Redox

Sub Modul 4 : DIAGENESA GAMBUT DAN PROSES PEMBATUBARAAN

46

I.

Diagenesa Gambut (Peatification / Penggambutan)

II. Coalification (Pembatubaraan)


III. Penyebab Proses Pembatubaraan
IV. Bituminisasi
Sub Modul 5 : APLIKASI GENESA
I.

Untuk Eksplorasi

II. Untuk Pengolahan


III. Untuk Pemanfaatan

47

5. DAFTAR BACAAN

DIESSEL C. P. K. (1984) : Coal Geology, Australian Mineral Foundation,


Workshop Course 274/84, Indonesia : 280 S.
GOTTLICH K., Editor (1980) : Moor und Torfkunde, 2. Auflage, E.
Schweizerbartsche Verlagsbuchhandlung (Nagele u. Obermiller),
Stuttgart : 338 S.
HOLLERBACH A. (1985) : Grundlagen der organischen Geochemie, Springer
Verlag, Berlin Heidelberg : 190 S.
McCABE P. J. (1984) : Depositional Environments of Coal Bearing Strata, in
Rahmani R.A., Flores R. M. (editor), Sedimentology of Coal and Coal
Bearing Sequences, Spec. Publs. Int. Ass. Sedimen., 7 : 13 42.
MOORE P.D. (1987) : Ecological and Hydrological Aspects of Peat Formation,
SCOTT A.C. (Editor), Coal and Coal Bearing Strata, Recent Advances :
7 15.
MOORE P.D. (1989) : The Ecology of Peat-Forming Processes : a review, Int. J.
Coal Geol., 12 : 89 103.
STACH E., MACKOWSKY M. TH., TEICHMULLER M., TAYLOR G.H.,
CHANDRA D., TEICHMULLER R. (1982) : Stachs Textbooks of Coal
Petrology, Gebruder Borntraeger, Berlin Stuttgart : 535 S.
TEICHMULLER M. (1989) : The Genesis of Coal from The Viewpoint of Coal

48

Petrology, Int. J. Coal Geol., 12 : 1 87.


VAN KREVELEN D.W. (1993) : Coal, Typology-Chemistry-Physics-Constitution,
3 rd Comp. Rev. ed., Elsevier, Amsterdam, London, New York, Tokyo :
979 S.
WOLF M., (1992) : Grundlagen der Kohlenpetrographie und Genesa der Kohle,
Scriptum

zur

Vorlesung,

Lehrstuch

fur

Geologie,

Geochemie

und

Lagerstatten des Erdol und der Kohle, RWTH Aachen, Sommersemester, 64


S.

49

Anda mungkin juga menyukai