Anda di halaman 1dari 5

Motivator Indonesia Terbaik , Motivator Indonesia , Motivator Indonesia Terkenal

Di seminar motivasi, sudah menjadi tugas saya sebagai motivator Indonesia untuk
mengingatkan peserta.

Pesan saya, "Miliki mental pemenang. Berusaha berpikir positif. Niscaya akan
beruntung."

Alhamdulillah sejak 2010 sampai 2016, di berbagai kesempatan saya membawakan


seminar motivasi 7 Keajaiban Rezeki bareng Ary Ginanjar, Syafii Antonio, Aa Gym,
Sandiaga Uno, Tung Desem Waringin, Merry Riana, Nurhayati Subakat (pemilik
Wardah), Heppy Trenggono, Habiburrahman El-Shirazy, Jamil Azzaini, dan lain-lain.
Ya, orang-orang pilihan.

Sebagai pembicara seminar, kesempatan ini merupakan nikmat tersendiri bagi


saya. Satu hal yang sering saya bahas di seminar motivasi adalah soal mental
pemenang. Dalam keseharian, mereka yang bermental pemenang kadang bersikap
terbalik. Dan rupa-rupanya ini malah menjadi motivasi sukses bagi mereka. Positif.

Misalnya saja:

- Sakit, tapi masih bisa tersenyum.

- Gagal, tapi masih bisa bahagia.

- Bangkrut, tapi masih bisa bersyukur.

- Miskin, tapi masih mau sedekah.

Orang rata-rata, sukses dulu, baru bisa bersyukur. Mapan dulu, baru mau sedekah.
Ini kan parah. Sekiranya kita mau bersikap positif, niscaya kita akan lebih lucky alias
beruntung.

Dalam karya fenomenalnya, The Luck Factor, Profesor Richard Wiseman seorang
psikolog dari Universitas Hertfordshire telah meneliti 400 orang yang memiliki
karakter yang beruntung dan tidak beruntung, dengan berbagai jenis latar
belakang.
Dalam penelitiannya bertahun-tahun ia mengungkap bahwa keberuntungan
bukanlah kemampuan magis atau hasil dari pengambilan acak. Ternyata ada
polanya. Apa saja polanya? Macam-macam. Salah satunya adalah berpikir dan
bersikap positif.

Anda termasuk yang mana? Jadikan saja tulisan ini sebagai bahan renungan.
Semoga hidup kita selalu berkah dan berlimpah. Sekian dari saya, Ippho Santosa.

Di seminar motivasi, saya sebagai motivator Indonesia kadang bertanya, "Apakah


harta yang menentukan kebahagiaan?" Nggak juga.

Saya dan istri menikah secara sederhana. Cuma syukuran di rumah. Pakai 2 tenda
(awalnya cuma 1 tenda). Sebelum menikah, dia juga nggak minta macam-macam.
Menurut saya, wanita yang nggak minta macam-macam, justru layak diperjuangkan
dan diberikan macam-macam. Yang setuju, boleh share.

Kami bertemu cuma sekali, lalu kami memutuskan untuk menikah. Nggak pake
pacaran. Menurut kami, saling kenal nggak harus pake pacaran. Resepsi kami
sederhana, hidup kami awal-awal juga sederhana. Ya, serba sederhana. Walaupun
restoran Sederhana tidak jadi sponsor dalam tulisan ini, hehehe.

Setelah menikah, rezeki kami membaik. Alhamdulillah, setahun setelah menikah,


saya mengajaknya berumrah. Tak lama, tiga tahun berselang, kami pun berhaji.
Setelah ke Tanah Suci, kami ke Amerika dan Jepang. Alhamdulillah, Dia Maha
Pemurah.

Saran saya bagi teman-teman yang belum menikah, carilah pasangan yang siap
berjuang namun juga siap hidup sederhana. Boleh-boleh saja berniat untuk kaya,
namun kesiapan untuk hidup sederhana adalah keniscayaan. Sekali lagi, nis-ca-ya.
Kenapa? Namanya hidup, percayalah, kadang tak seindah drama Korea atau film
India. Ada fase-fase susah.

Perlu ditegaskan di sini, tak perlu terpana dan terpesona dengan resepsi ala artis
atau pejabat di infotainment. Wong, sebagian reporter di infotainment itu sering
enek ketika meliput mereka, hehehe. Jangan pula baper apalagi iri saat melihat foto
honeymoon teman yang terpapar di Facebook dan Instagram. Tetaplah bertekad
untuk resepsi secara sederhana.

Kalaupun ada rezeki lebih, besarkan saja di mahar, bukan di resepsi. Inilah yang
sebenarnya dianjurkan oleh agama. Dengan dimaharkan begitu, uangnya nggak
'hilang' kan? Cuma berpindah ke tangan istri (pas BU, bisa dipinjam lagi, hehehe).
Sekiranya jor-joran di resepsi, yang untung cuma Wedding Organizer, hehehe.
Serba-serbi pernikahan, saya bahas di buku #EntengJodoh #EntengRezeki, yang
sudah tersedia di Gramedia dan royaltinya semua untuk charity.

"Wah, susah nyari pasangan yang mau diajak hidup sederhana!" Nggak juga. Itu
tergantung kita. Karena nilai-nilai yang kita anut akan memancar dan menarik tipe
orang yang sejenis. Maka dari itulah saya selaluuuuu berseru, "Pantaskan diri,
perbaiki diri." Soalnya, kita hanya dipertemukan dengan orang-orang yang pantas
untuk kita. Ini berlaku dalam jodoh dan pergaulan.

Siap? #NikahSana

Ada baiknya, sekarang Anda share tulisan ini kepada teman-teman Anda. Saling
mengingatkan. Terutama mereka yang belum menikah atau baru menikah. Ya,
pasangan Anda ialah motivator terbaik bagi diri Anda.

Dalam seminar motivasi, saya sebagai motivator Indonesia berusaha


mempersembahkan yang terbaik.

Di berbagai in-house seminar, banyak yang meminta saya sharing soal kegagalan.
Lantas, apa respons saya?

Gagal itu wajar.

Sukses juga wajar.

Tak perlu disikapi berlebihan.


Lalu, ada yang bertanya, Sudah antusias, sudah optimis, kok masih gagal? Yah,
apalagi kalau tidak antusias dan tidak optimis! Pasti lebih gagal!

- Karier merosot! Bisnis turun! Produk ditolak! Harus bagaimana nih? Tetap
tenang. Jangan panik. Tarikan nafas saja turun-naik. Gerakan sholat juga turun-naik.
Mestinya ini melatih kita dan menguatkan kita.

- "Barusan jatuh Mas, habis semua. Gimana ya?" Anak SD yang lagi demam juga
tahu, kalau jatuh, yah segera bangkit! Gagal itu wajar. Berlarut-larut dalam
kegagalan, nah itu yang tidak wajar. Emang garam, pakai larut segala, hehehe. Yang
sebenarnya tidak ada yang abadi di muka bumi ini, termasuk kegagalan. Yah, coba
saja lagi. Lama-lama, si gagal itu akan bosan pada Anda, hehehe.

- Tapi, saya gagalnya sudah lima kali nih! Regina saja, ikut Indonesia Idol
sampai tujuh kali, barulah terpilih sebagai pemenang. Bahkan istrinya Nabi Ibrahim
(Abraham), bolak-balik tujuh kali, barulah dipertemukan dengan air. Anda?

Begitulah, kegagalan dan penolakan itu biasa. Malah ada baiknya juga. Bagaimana
mungkin? Yah, mungkin saja. Menurut Sharon Kim, seorang peneliti dari Sekolah
Bisnis John Hopkins Carey, Amerika, mereka yang mendapat penolakan sosial
umumnya justru memperoleh keuntungan tersendiri.

Apa untungnya? Yah, berupa pikiran yang lebih independen dan lebih intuitif.
Tampaknya, penolakan mendorong mereka untuk berpikir lebih kreatif, ujar
Sharon Kim seperti yang dimuat di Journal of Experimental Psychology. Ini juga
sering saya singgung dalam training motivasi.

Sekali lagi.

Gagal itu wajar.

Sukses juga wajar.


Tak perlu disikapi berlebihan. Sekian dari saya, Ippho Santosa.

Anda mungkin juga menyukai