HIPERTENSI GESTASIONAL
Disusun oleh :
Aprilia Dini Indrayana
42 15 00 66
DOSEN PEMBIMBING
dr. Theresia Avilla Ririel Kusumosih, Sp. OG
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................3
A. Latar Belakang...............................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................4
A. Definisi dan Klasifikasi..................................................................................4
B. Diagnosis........................................................................................................7
C. Penatalaksanaan...........................................................................................12
D. Pilihan obat hipertensi dalam kehamilan ....................................................18
BAB III KASUS & PEMBAHASAN ..................................................................23
BAB IV KESIMPULAN .......................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit kehamilan
dan merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan
morbiditas ibu bersalin disamping perdarahan dan infeksi. Di Indonesia
sendiri mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga masih
cukup tinggi. Beberapa hal yang melatarbelakangi hal ini adalah karena
etiologi yang masih belum jelas, perawatan yang masih belum sepenuhnya
dilakukan oleh petugas non medik serta sistem rujukan yang belum juga
sempurna. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami oleh semua lapisan
ibu hamil sehingga pengetahuan tentang pengelolaan hipertensi dalam
kehamilan harus benar-benar dipahami oleh semua tenaga medic baik di
pusat maupun di daerah (Sarwono, 2009).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 1.1 Perbedaan Klasifikasi Kriteria Hipertensi Hamil dan Tidak Hamil
4
Pressure in Pregnancy (AJOG Vol 183 : S1, July 2000), Hiertensi dalam kehamilan
meliputi :
1. Hipertensi Gestasional
2. Preeklamsi
5
konsekuensi dari berat dan cepat peningkatan tekanan darah, hal ini
adalah tujuan utama manajemen klinis yang membutuhan
kebijaksanaan penggunaan obat antihipertensi (Levine et.al, 2004)
3. Eklamsi
6
B. Diagnosis
Selain pemantauan tekanan darah, diperlukan pemeriksaan
laboratorium guna memantau perubahan dalam hematologi, ginjal,
dan hati yang dapat mempengaruhi prognosis pasien dan janinnya.
Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan untuk memantau pasien
hipertensi dalam kehamilan adalah hemoglobin dan hematorkit
untuk memantau hemokonsentrasi yang mendukung diagnosis
hipertensi gestasional. Pemeriksaan enzim AST, ALT, dan LDH
untuk mengetahui keterlibatan hati. Urinalisis untuk mengetahui
adanya proteinuria atau jumlah ekskresi protein urin 24 jam.
Kreatinin serum diperiksa untuk mengetahui fungsi ginjal, yang
umumnya pada kehamilan kreatinin serum menurun. Asam urat
perlu diperiksa karena kenaikan asam urat biasanya dipakai sebagai
tanda beratnya pre eklampsia. Pemeriksaan EKG diperlukan pada
hipertensi kronik. Seperti juga pada kehamilan tanpa hipertensi,
perlu pula dilakukan pemeriksaan gula darah dan kultur urin
(Suhardjono, 2007)
Diagnosis hipertensi dalam kehamilan berarti adalah
ditemukannya peningkatan tekanan darah pada pemeriksaan vital
sign. Standar pengukuran tekanan darah adalah sebagai berikut;
tekanan darah sebaiknya diukur pada posisi duduk dengan cuff
setinggi jantung. Adanya penekanan vena cava inferior oteh uterus
gravid pada posisi berbaring dapat menggangu pengukuran sehingga
terjadi pengukuran yang lebih rendah. Sebelum pengukuran, wanita
hamil dianjurkan untuk duduk tenang 5-10 menit (Gipson dan
Carson, 2009).
Hipertensi didiagnosi bila tekanan darah pada waktu
beristirahat 140/90 mmHg atau lebih besar, fase V Korotkoff
digunakan untuk menentukan tekanan darah diastolic. Dahulu telah
dianjurkan agar peningkatan tambaha tekanan diastolic 15 mmHg
atau sistolik 30 mmHg digunakan sebagai kriteria diagnostic, bahkan
apabila tekanan darah saat diukur dibawah 140 / 90 mmHg. Kriteria
tersebut sekarang ini tidak lagi dianjurkan karena bukti
menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak memiliki kecenderungan
untuk mengalami efek samping merugikan saat kehamilan. Sebagai
7
tambahan, tekanan darah biasanya menurun pada trimester ke-II
kehamilan dan tekanan diastolic pada primigravida dengan
kehamilan normotensi kadang-kadang naik sebesar15 mmHg.
Oedem tedianggap patologis bila menyeluruh dan meliputi tangan,
muka, dan tungkai. Sebagai catatan, oedem tidak selalu terdapat
pada pasien preeklamsi maupun eklamsi ( Brooks, 2005).
Kriteria diagnosis hipertensi dalam kehamilan rekomendasi
dari The Associety of Obstetrician and Gynecologists of Canada
(JOGC Vol 30 number 3, March 2008) adalah: 1. Pemeriksaan
tekanan darah harus dilakukan dirumah sakit atau tempat pelayanan
kesehatan primer, 2. Hipertensi dalam kehamilan didefinisikan
sebagai diastolic >90 mmHg, didapatkan pada minimal 2 kali
pemeriksaan pada lengan yang sama, 3. Wanita dengan sistolik >
140 mmHg harus dipantau untuk mengawasi adanya perkembangan
kea rah hipertensi diastolic, 4. Hipertensi berat, didefinisikan sebagai
darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolic > 110
mmHg, 5. Untuk hipertensi tidak berat, pemeriksaan tekanan darah
serial harus dicatat sebelum menegakkan diagnosis hipertensi, 6.
Pada hipertensi berat, konfirmasi pemeriksaan ulang dilakukan
setelah 15 menit.
1. Hipertensi Gestasional
Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional, yaitu :
TD >140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama
kehamilan
Tidak ada proteinuria
TD kembali normal < 12 minggu postpartum
Diagnosis akhir baru bias ditegakkan postpartum
Mungkin ada gejala preeclampsia lain yang timbul,
contohnya nyeri epigastrium atau trombositopenia
(Cunningham, 2014).
2. Pre Eklamsia dan Eklamsia
Kriteria diagnosis pada preeklamsia terdiri dari :
Kriteria minimal, yaitu :
TD >140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu
Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick
Kemungkinan terjadinya preeklamsi :
TD >160/110 mmHg
Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick
8
Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya
diketahui sudah meningkat
Trombosit < 100.000/mm3
Hemolisis mikroangiopati ( peningkatan LDH)
Peningkatan ALT atau AST
NYeri kepala persisten atau gangguan pengelihatan atau
cerebral lain
Nyeri epigastrium persisten (Cunningham, 2014)
Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas
abnormalitas yang dapat dilihat pada tablel1.1 semakin banyak
ditemukan penyimpangan tersebut, semakin besar kemungkinan
harus dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara
preeklamsi ringan dan berat sulit dibedakan karena preeklamsi
yang tampak ringan dapat berkembang dengan cepat menjadi
berat.
Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam
mendiagnosis preeklamsia, tetapi tekanan darah bukan
merupakan penentu absolut tingkat keparahan hipertensi dalam
kehamilan.
Pada prekeklamsia dapat terjadi komplikasi akibat tekanan
darah yang tinggi sehingga terjadi kejang. Kejang terjadi tanpa
adanya riwayat epilepsy dan bukan merupakan proses
intracranial. Keadaan ini dikenal sebagai keadaan eklamsia.
Tabel 1.1 Gejala berat hipertensi dalam kehamilan (Cunningham,
2014)
Abnormalitas <100 mmHg > 110 mmHg
Tekanan darah Trace 1+ Persisten > 2+
Diastolic
Proteinuria Tidak ada Ada
Sakit kepala Tidak ada Ada
Nyeri perut Tidak ada Ada
Bagian atas
Oliguria Tidak ada Ada
Kejang (eklamsi) Tidak ada Ada
Serum Kreatinin Normal Maningkat
Trombositopeni Tidak ada Ada
Peningkatan Minimal Nyata
Enzim hati
Hambatan Tidak ada Nyata
Pertumbuhan janin
Oedem Paru Tidak ada Ada
9
3. Superimposed Preeklamsia
Kriteria diagnosis Superimposed Preeklampsia adalah :
Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi
yang belum ada sebelum kehamilan 20 minggu
Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau
jumlah trombosit < 100.000/mm3 pada wanita dengan
hipertensi atau proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu
(Brooks, 2005).
4. Hipertensi Kronis
Diagnosis hipertensi kronis yang mendasari dilakukan apabila :
Hipertensi (> 140/90 mmHg) terbukti mendahului
kehamilan
Hipertensi (> 140/90 mmHg) diketahui sebelum 20
minggu, kecuali bila ada penyakit trofoblastik
Hipertensi berlangsung lama setelah kelahiran
Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis
apalagi wanita hamil tidak mengetahui tekanan darahnya
sebelum kehamilan. Pada beberapa kasus, hipertensi kronis
didiagnosis sebelum kehamilan usia 20 minggu, tetapi pada
beberapa wanita hamil, tekanan darah yang meningkat sebelum
usia kehamilan 20 minggu mungkin merupakan tanda awal
terjadinya preeklamsi.
Sebagian dari banyak penyebab hipertensi yang
mendasari dan dialami selama kehamilan dicatat pada table 1,1
Hipertensi esensial merupakan penyebab dari penyakit vascular
pada > 90% wanita hamil. Selain itu, hipertensi berkembang
sebagia konsekuensi dari penyakit parenkim ginjal yang
mendasari , seperti :
Obesitas
Hipertensi esensial
Kelainan arterial : Hipertensi renovaskular
Gangguan endokrin : Diabetes Melitus, Sindrom
cushing, Thyrotoxicosis
Glomerulonephritis (akut dan kronis)
Hipertensi renoprival : Glomerulonephritis kronis,
Diabetic neurophaty
Penyakit jaringan konektif : lupus erythematosus,
systemicsclerosis
10
Penyakit ginjal polikistik
Gagal ginjal
Pada beberapa wanita dengan hipertensi kronis,
tekanan darah dapat meningkat sampati tingkat abnormal,
khususnya setelah 24 minggu. Jika disertai oleh proteinuria, maka
preeklamsi yang mendasarinya dapat didiagnosis. Preeklamsi
yang mendasari hipertensi kronis ini sering berkembang lebih
awal pada kehamilan daripada preeklamsi murbi, dan hal ini
cenderung akan menjadi lebih berat dan sering menyebabkan
hambatan dalam pertumbuhan janin. Indikator tentang beratnya
hipertensi sudah diperlihatkan pada table 1,1 dandigunakan juga
untuk menggolongkan prekeklamsi yang mnedasari hipertensi
kronis tersebut (Cunningham, 2014)
C. Penatalaksanaan
Setiap wanita harus dievaluasi sebelum konsepsi untuk menentukan
kondisi tekanan darahnya. Jika terdapat hipertensi, dapat ditentukan
beratnya, sebab sekunder yang mungkin, kerusakan target organ, dan
rencan strategis penatalaksanaanya. Kebanyakan wanita penderita
hipertensi yang merencanakan kehamilan harus menjalani skrining
adanya faekromositoma karena angka morbiditas dan mortalitasnya
yang tinggi apabila keadaan ini tidak terdiagnosa pada ante partum.
Pada umumnya, frekuensi kunjungan antenatal menjadi sering pada
akhir trimestes untuk menemukan awal preeklamsi. Wanita hamil
dengan tekanan darah yang tinggi (140/90 mmHg) akan dievaluasi di
rumah sakit sekitar 2-3 hari untuk menentukan beratnya hipertensi.
Wanita hamil dengan hipertensi yang berat akan dievaluasi secara ketat
bahkan dapat dilakukan terminasi kehamilan. Wanita hamil dengan
penyakit yang ringan dapat menjalani rawat jalan.
Pada wanita penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan,
penting diketahui mengenai penggantian medikasi anti hipertensi yang
telah diketahui aman digunakan selam kehamilan, seperti metildopa atau
beta bloker. Penghambat ACE dan ARB jangan dilanjutkan sebelum
terjadinya konsepsi atau segera setelha kehamilan terjadi.
Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan pada wanita dengan
hipertensi berat, terutama apabila terdapat hipertensi yang persisten atau
11
bertambah berat atau munculnya proteinuria. Evaluasi secara sistematis
meliputi :
Pemeriksaan detai;l meliputi pemeriksaan harian terhadap gejala
klinis eperti sakit kepala, pandangan kabur, nyeri epigastrium,
dan penambahan berat badan secara cepat.
Penimbangan berat badan saat masuk rumah sakit dan setiap hari
setelahnya.
Analisis proteinuria saat masuk rumah sakit dan setiap 2 hari
Pengukuran tekanan darah dengan posisi duduk setiap 4 jam
kecuali saat pertengahan tengah malam dengan pagi hari
Pengukuran serum kreatinin, hematorkit , trombosit , dan serum
enzim hati, frekuensi pemeriksaan tergantung beratnya penyakit
Evaluasi berkala tentang kurang janin dan cairan amnion secara
klinis dan dengan menggunakan ultrasonografi ( Brooks, 2004).
Selain itu, pasien juga dianjurkan mengurangi aktivitas
sehari-harinya yang berlebihan. Tirah baring total tidak diperlukan,
begitu pula dengan pemberian sedative. Diet harus mengandung protein
dan kalori dalam jumlah yang cukup. Pembatasan garam tidak
diperlukan asla tidak berlebihan (Cunningham, 2014)
1. Penanganan Hipertensi Kronis
Wanita hamil dengan hipertensi kronis harus dievaluasi
sebelum kehamilan sehingga obat-obat yang memiliki efek berbahaya
terhadap janin dapat diganti dengan obat lain seperti metildopa dan
labetalol. Metildopa merupakan obat antihipertensi yang umum
digunakan dan tetap menjadi obat pilihan karena tingkat keamanan dan
efektivitasnya yang baik. Banyak wanita yang diterapi dengan diuretika,
akan tetapi apakah terapi diuretic dilanjutkan selama kehamilan masih
menjadi bahan perdebatan. Terapi diuretic berguna pada wanita dengan
hipertensi sensitive garam atau disfungsi diastolic ventrikel. Akan tetapi
diuretic harus dihentikan apabila terjadi preeklamsi atau tanda-tanda
pertumbuhan janin terhambat. Keputusan untuk memulai terapi anti
hipertensi pada hipertensi kronis tergantung dari beratnya hipertensi, ada
tidaknya penyakit kardiovaskular yang mendasari, dan potensi keruskan
target organ. Obat lini pertama yang biasanya dipergunakan adla hmetil
dopa. Bila terdapat kontra indikasi (menginduksi kerusakan hepar) maka
12
obat lain seperti nifedipin atau labetalol dapat digunakan (Cunningham,
2014)
Tabel 1.1 Pilihan obat pada hipertensi gestasional dan hipertensi kronis
dalam kehamilan
Obat (resiko FDA) Dosis Keterangan
Agen yang umum 0.5 3.0 gr/hari Pilihan obat berdasar
Diberikan :
NHBEP tercatat aman
Methyldopa
pada trimester awal
Lini kedua
Labetalol 200-1200 mg/hari Dapat dikaitkan dengan
fetal growth restriciton
Nifedipin 30-120 mg/hari dengan Dapat menghambat
preparat lepas lambat persalinan dan memiliki
efek sinergis dengan Mg
SO4 untuk menurunkan
tekanan darah
Hydralazin 20-300 mh/hari dibagi Dapat digunakan
dalam 2-4 dosis bersama agen
pemberian simpatolitik, dapat
menyebabkan
trombositopenia
neonates
B-Blocker Tergantung pada agen Menurunkan tekanan
yang dipilih darah uretroplasenta,
menyebabkan stress
hipoksia janin, resiko
frowth restriction pada
trimester I-II (atenolol),
dosisi terlalu tinggi
menyebabkan
hipoglikemi neonates
Hidrochlortiazid 12,5 25 mg/ hari Menyebabkan gangguan
elektrolit, dapat
digunakan sebagai
kombinasi dengan
metildopa dan
13
vasodilator untuk
mengurangis retensi
cairan
Kontraindikasi ACE- Menyebabkan fetal
inhibitor dan ARB tipe death, gangguan
I jantung, fetophaty,
olihidroamnion, growth
restriction, renal
agenesis dan neonatal
anuric renal failure
Tidak ada agen antihipertensi yang aman digunakan pada trimester
pertama. Terapi dengan obat diindikasikan pada hipertensi kronsi tanpa komplikasi
dan saat tekanan diastolic > 100 mmHg. Tatalakasana dengan dosis yang lebih
rendah diberikan pada pasien dengan diabetes mellitus, gagal ginjal, atau kerusakan
organ target.
2. Pilihan obat antihipertensi pada Preeklampsia dan Eklampsia
Prinsip pengobatan antihipertensi pada pasien dengan preeklamsia dan eklamsia
adalah untuk mencegah hipertensi meningkat secara progresif, mempertahankan
tekanan darah pada level yang memiliki resiko terendah terhadap gangguan
kardiovaskular dan serebrovaskular pada ibu ( Abalos et.al 2007). Pada keadaan
hipertensi yang berat dalam kehamilan, didefinisikan sebagai tekanan darah > 160/
110 mmHg, keadaan ini membutuhkan pengobatan karena pada keadaan ini terjadi
peningkatan resiko terjadinya perdarahan cerebral, terapi pada keadaan ini untuk
mncegah kematian ibu. Target pengobatan terhadap kedaruratan hipertensi berat
dalam kehamilan adalah penurunan tekanan diastolic menjadi 90-100 mmHg.
Tabel 1.1 Pilihan obat dalam control kedaruratan ada Hipertensi Berat dalam
kehamilan
Obat (resiko FDA) Dosis dan Pemberian Keterangan
Labetalol 10-20 mg IV, INsidensi hipotensi
dilanjutkan 20-80 mg maternal lebih rendah
setiap 20-30 menit. dan efek samping,
Maksimal 300 mg, penggunaan labetalol
dengan infuse kecepatan saat ini menggantikan
1-2 mg/menit hydralazine, tidak
diperboehkan pada
14
wanita dengan asma dan
CHF
Hydralazin 5mg, IV atau IM, Merupakan pilihan obat
dilanjutkan 5-10 mg tiap dari NHBEP, telah lama
20-40 menit. Evaluasi diketahui keamanan dan
tekanan darah setiap 3 efikasinya
jam. Kecepatan infuse
0.5 10 mg/jam, bila
tidak berhasil
diturunkan dengan 20
mg IV atau 30 mg IM,
diganti obat lain
NIfedipin Hanya Lebih disarankan
direkomendasikan preparat yang long
dengan tablet, diebrikan acting, akan tetapi pada
10-30 mg per oral, bidang obstetric lebih
diulang setiap 45 menit banyak disukai preparat
bila perlu short acting
Diazoxide 30-50 mg IV setiap 5-15 Jangan digunakan,
menit menyebabkan
berhentinya persalinan,
hiperglikemia
Kontraindikasi relative Drip 0,25 Dapat menyebabkan
nitroprusid ug/kgBB/menit keracunan sianida bila
digunakan >4jam
Pada keadaan hipertensi ensefalopati, perdarahan, atau eklamsia
membutuhkan terapi antihipertensi parenteral untuk menurunkan mean arterial
pressure. Wanita dengan preeklamsia, perlu pertimbangkan dalam memberikan
terapi hipertensi berat yang akut. Diberikan dosis yang lebih rendah karena pada
pasien ini terjadi deplesi volume intravascular dan meningkatnya resiko terjadi
hipotensi.
15
diastolic yang melebihi 100 mmHg. Hal ini diduga konsekuensi dari
ekspansi volume fisiologis dan pergerakan cairan pada periode post
partum. Periode pemulihan tekanan darah secara ilmiah dalam hipertensi
gestasional dan preeklamsia tidak diketahui. Tidak ada literature yang
pasti mengenai obat antihipertensi pada periode post partum. Tan dan de
Swiet (2002) menyarankan bahwa obat-obatan antihipertensi diberikan
jika tekanan darah sistolik melebihi 150 mmHg atau tekanan darah
diastolic melebihi 100 mmHg dalam 4 hari pertama periode post partum.
Pilihan agen antihipertensi pada periode post partum dipengaruhi juga
dengan keadaan menyusui, tetapi pada umumnya agen yang digunakan
dalam periode antepartum dialnjutkan hingga post partum (table. 2.3 )
Medikasi dihentikan ketika tekanan darah berangsur normal. Hal ini
dapat terjadi dalam hari bahkan hingga beberapa minggu pasca
melahirkan (Beardmore dan Morris, 2002)
4. Penggunaan antihipertensi masa menyusui
Belum ada penelitian yang dirancang dengan baik untuk menilai efek
neonatal dari obat antihipertensi yang dikonsumsi ibu dan kemudian
dikeluarkan melalui ASI. Pengaruh obat yang ditelan oleh bayi menyusu
tergantung pada volume yang ditelan, interval antara minum obat dan
menyusui, oral biovailability, dan kapasitas bayi untuk mengekskresi
obat. Neonatus yang terpapar methyldopa saat menyusu masih dalam
batas aman dan biasanya kemungkinan kecil. Atenolol dan metoprolol
yang terkonsentrasi di ASI, dapat mencapai konsentrasi yang memiliki
efek terhadap bayi. Sebaliknya, paparan diuretic dalam susu rendah dan
dianggap aman, agen ini dapat secara signifikan mengurangi produksi
susu. Terdapat laporan bahwa Calsium channel blocker dapat masuk ke
dalam air susu ibu, akan tetapi tanpa efek samping. Terdapat cukup data
yang memaparkan keamanan 2 obat dari golongan ASE inhibitor, yakni
captopril dan enalapril: konsentrasi captopril adalah 1% dari yang
ditemukan dalam darah, dengan konsentrasi yang diterima bayi 0,03%
dari dosis regular (Shannon et.al, 2000). Kadar enalapril tidak signifikan
berada di ASI, berdasarkan penelitian ini, American Academy of
Pediatrics menganggap obat ini dapat diterima pada mas menyusui. Saat
ini tidak cukup data pada penelitian terhadap angiotensin II receptor
16
blocker; variasi kadar obat dalam ASI hewan coba ssangat tinggi dan
sebagai rekomendasi keamanan, obat jenis ini tidak diberikan (Tiina dan
Phyllis, 2008).
Tabel 1.1 Pengobatan antihipertensi ibu yang apat digunakan saat mas
menyusui
Captopril Minoxidil
Diltiazem Nadolol
Enalapril Nifedipine
Hydralazine Oxprenolol
Hydrochlorothiazide Propanolol
Labetalol Spironolactone
Methyldopa Timolol
Verapamil
Diuretik ( furosemide, hidrochlortiazid dan
spironolacton) dapat menurunkan produksi
ASI. Metroprolol dapat digunakan pada masa
menyusui meskipun terkonsentrasi dalam ASI.
Acebutolol dan atenolol tidak boleh digunakan
17
a) Metildopa
Merupakan agonis a-adrenergik dan merupakan satu-satunya
obat antihipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk
janin dan ibu. Obat ini menurunkan resistensi total perifer tanpa
menyebabkan perubahan pada laju jantung dan cardiac output. Obat ini
menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi reseptor sentral a-2
lewat a-metil norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metildopa. Jika
metildopa digunakan sendiri, sering terjadi retensi cairan dan efek
antihipertensi yang berkurang. Oleh karena itu, metildopa biasanya
dikombinasikan dengan diuretic untuk terapi pada pasien yang tidak
hamil. Dosis awal 250 mg 3x sehari dan ditingkatkan 2 gr/hari. Puncak
plasma terjadi 2-3 jam setelah pemberian. Paruh waktu 2 jam. Efek
maksimal terjadi dalam 4-6 jam setelah dilaporkan adalah sedasi dan
hipotensi postural. Terapi lama 6-12 bulan dengan obat ini dapat
menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi untuk
memberhentikan obat ini (Cunningham, 2014)
b) Hidralazin
Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara langsung
yang dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan cardiac output
akibat hasil respon simpatis sekunder yang dimeiasi oleh baroreseptor.
Efek meningkatkan cardiac output penting karna dapat meningkatkan
aliran darah uterus. Hidralazin dimetabolisme oelh hepar.
Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastole
mencapai 110 mmHg atau lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih
dari 160 mmHg. Dosis hydralazine adalah 5-10 mg setiap interval 15-20
menit sampai tercapai hasil yang maksimal, yaitu tekanan darah diastole
turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak terdapat penurunan perfusi
plasenta. Efek puncak tercapai dalam 30-60 menit dan lama kerja 4-6
jam. Efek samping seperti fluching, dizziness, palpitasi, dan angina.
Hidralazine telah terbukti dapat menurunakan angka kejadian
perdarahan serebral dan efektif dalam menurunkan tekanan darah dalam
95% kasus preeklamsi (Cunningham, 2014)
c) Labetalol
Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan penghambat a-
adrenergik post sinaps yang tersedia dalam bentuk oral maupun
intravena.
18
Labetalol diberikan secara intravena, merupakan pemblok B 1 da non
selektif B dan digunakan untuk mengobati hipertensi akut pada
kehamilan. Pada sebuah penelitian yang membandingkan labetalol
dengan hydralazine menunjukkan bahwa labetalol menurunkan tekanan
darah lebih cepat dan efek takikardi minimal, tetapi hydralazine
menurunkan tekanan arteri rata-rata lebih efektif. Protokol pemberian
adalah 10 mg intravena. Jika tekanan darah belum turun dalam 10 menit,
maka diberikan 10 mg labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg,
selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan sampai dosis maksimal
kumulatif mencapai 300 mg atau tekanan darah sudah terkontrol. Onset
kerja adlah 5 menit, efek puncak 10-20 menit, dan durasi 45 menit-6 jam
. Pemberian labetalol secara intra vena tidak mempengaruhi aliran darah
uteroplasenta (Reynold et.al,2003)
d) Klonidin
Merupakan agonis a-adrenergik lainnya, terapi biasanya dimulai
dengan dosis 0,1 mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara incremental
0,1-0,2 mg/hari sampai 2,4 mg/hari. Tekanan darah menurun 30-60
mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8 jam. Aliran darah
ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga, tetapi cardiac output
menurn namun tetap berespon terhadap latihan fisik. Efek samping
adalah sedasi. Penghentian klonidin dapat menyebabkan krisis hipertensi
yang dapat diatasi dengan pemberian kembali klonidin. Sampai sekarang
belum ada penelitian besar mempelajari klonidin seperti metildopa
(Reynold, 2003)
e) Prazosin
Obat ini dapat menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan
kapasitas pembuluh darah sehingga menurunkan preload dan afterload.
Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa menurunakan laju jantung,
curah jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi glomerulus. Obat ini
dimetabolisme hamper seluruhnya di hepar. Sekitar 90% ekskresi obat
melalui kandung empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan, aborsi
menjadi lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang.Prazosin bukan
oabat yang kuat sehingga sering dikombinasikan dengan beta bloker
(Reynold, 2003).
f) Diuretik
19
Obat ini memiliki efek menurnkan plasma dan ECF sehingga curah
ajntung dan tekanan darah menurun., juga menurnkan resistensi vascular
akibat konsentrasi sodium interselular pada otot polos. Obat diuretika
dapat menyebabkan penurunan perfusi plasenta karena efek segera
meliputi pengurangan volume intravascular, dengan keadaan normal.
Oleh karena itu, diuretic tidak lagi digunakan untuk menurnkan tekanan
darah karena dapat meningkatkan hemoknsenteasi darah ibu dan
menebabkan efek samping terhadap ibu dan janin. Pemakaian furosemide
saat ante partum dibatasi pada kasus khusus dimana terdapat edema
pulmonal. Obat diuretika seperti triamterene dihindari karena merupakan
antagonis asam folat dan dapat meningkatkan resiko defek janin
(Reynold,2003)
g) ACE inhibitor
Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim yang
mengkonversi angiotensin 1 menjadi angiotensin 2 (vasokontriktor
poten), tanpa penurunakan prostaglandin vasodilaatasi dan menurnkan
inaktivasi bradikinin (vasodilator poten). Contoh obat ini seperti
captopril, enalapril, dan lisinopril (National Heart, Lung, And Blood
Institute, 2004)
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
A. KASUS
a. Identitas Pasien
Nama : Ny. JC
Tanggal lahir : 10 / 08 / 1985
Umur : 31 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Yogyakarta
St Perkawinan : Kawin
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Keluhan Utama:
Pusing bila beraktifitas
Riwayat kehamilan Sekarang:
20
Hamil cukup bulan dengan HPHT : 26 Januari 2016, HPL : 03 Oktober 2016 perut
sudah terasa kencang. 1 MSMRS, pasien mengaku memeriksakan diri ke dokter
Obsgyn dan didapati bahwa tekanan darahnya tinggi yaitu 140/90 mmHg. Pasien
merasakan adanya pusing, nyeri di ulu hati, atau pun bengkak-bengkak di kedua
kaki. Kemudian direncanakan kontrol kembali 1 minggu dan rencana SC karena
selain tekanan darah ibu yang tinggi hasil usg ditemukan adanya lilitan talipusat
pada janin, saat HMRS dilakukan pemeriksaan di poli obsgyn Bethesda dan
didapati bahwa tekanan darah semakin meningkat yaitu 130/90 mmHg. Pasien
mendapati bahwa tekanan darahnya mendadak cukup tinggi di usia kehamilannya
sekarang ini disertai pusing saat beraktifitas. Sesudah itu, pasien langsung opname
untuk SC sore harinya.
Riwayat Penyakit Dahulu:
- Riwayat serupa (-)
- Riwayat sakit berat yang lain: kejang (-) malaria (-) tetanus (-) diabetes
melitus (-) asma (-), hipertensi (-), Penyakit jantung (-), hepatitis (-)
- Alergi (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
- diabetes melitus (-) asma (-), hipertensi (-), penyakit jantung (-),
Riwayat Pemakaian Obat
-
Riwayat Kehamilan
G2P1Ab0 Ah1
No. Tahun Kehamilan Persalinan Penolong JK BB H/M
1 2010 Aterm SC Dokter L 2990 H
Riwayat menstruasi
Menarche 15 tahun
Siklus 28 hari (teratur)
Durasi menstruasi 7 hari
Kuantitas 2-6x ganti pembalut
Dismenorea Disangkal
Flour albus Disangkal
Hari pertama menstruasi terakhir 26 Januari 2016
Hari perkiraan lahir 03 Oktober 2016
Kebiasaan / Habit:
Merokok : tidak
Minum alkohol : tidak
b. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Sedang
21
Kesadaran : Compos Mentis; GCS: E4 V5 M6
Vital Sign
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nafas : 20 x/menit
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 36,5 C
Status Generalis
Kepala:
CA (-), SI (-), mata cekung (-) pupil isokhor 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
Leher:
pembengkakan tiroid grade 0a, pembengkakan limfonodi (-)
Thorak:
Simetris, retraksi dinding dada (-), perkusi sonor, vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
S1S2 jantung (dbn)
Mamae:
Simetris, tidak ada lesi, areola hiperpigmentasi ukuran 3x3 cm, putting
ukuran 1x1cm, retraksi(-), nipple discharge (-)
Abdomen:
Gravid, striae gravidarum (+), linea nigra (+), nyeri tekan (-) TFU : 37 cm
TBJ : 3185 gr, janin tunggal, L1 : bokong, L2 : punggung kanan, L3 : kepala,
L4 : kepala belum masuk PAP. DJJ : 132 x/menit
Ekstremitas:
Akral hangat, Capillary Refill < 2 detik, nadi kuat, edema (-) pada keempat
ekstremitas
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Darah
Hasil Satuan Nilai Normal
DARAH
LENGKAP
Hemoglobin 9,5 L g/dL 11.7-15.5
Hematokrit/HCT 29,2 L % 35-49
Eritrosit 3,63 L juta/mmk 4.2-5.4
22
RDW 15.1 (High) % 11.5-14.5
MCV 84.4 fL 80-94
MCH 28.3 pg 26-32
MCHC 33.6 g/dL 32-36
Leukosit 10.47 ribu/mmk 4.5-11.5
%Eosinofil 0.8 L % 2-4
%Basofil 0.4 % 0-1
% Segmen 73.5 H % 50-70
Neutrofi
% Limfosit 20.6 % 18-42
% Monosit 4.8 % 2-8
Trombosit 283 10.e3/ L 150-440
Bleeding time/ BT 3.30 1-6 Detik
Clotting time/ CT 11.00 5-12 Detik
Golongan Darah B
KARBOHIDRAT
GDS 80,9 mg/dL 70-140
HEPATITIS
HbsAg Non Reaktif Non Reaktif
d. Diagnosa Kerja
G2P1Ab0 Ah1 UK 38 minggu dengan Hipertensi Gestasional , Riwayat SC
e. Terapi
Medikamentosa
Infus RL
Terapi Obat (Pre Op):
Ceftriaxone 1x1 gr no. II
(Post op)
Ketorolac 2x1 30 mg no.IV
Terapi obat oral (Post Op):
Amoxicillin 500 mg 3x1 no. XV
As. Mefenamat 3x500 no.XV
Hemobion 2 x 1, XXX
Milmar 2x 1, XX
Operatif
Sectio cesarean pukul 15.45 tanggal 21 Oktober 2016
23
B. PEMBAHASAN KASUS
Pasien masuk ke rumah sakit Bethesda dengan keluhan pusing saat
beraktifitas ,tekanan darah tinggi, dan sudah merencanakan untuk dilakukan
tindakan operasi SC berdasarkan pemeriksaan dokter sebelumnya. Pasien
mengatakan mengalami keluhan saat kehamilan ini , pada kehamilan sebelumnya
tidak ditemukan keluhan serupa. Berdasarkan keterangan dari pasien, pasien
melakukan pemeriksaan rutin ANC di klinik sampai akhirnya dia mendapati bahwa
tekanan darah pada kehamilannya yang memasuki trimester ketiga meningkat.
Gejala yang dia rasakan hanyalah pusing saat beraktifitas.
Pasien masuk dan dirawat inap setelah pasien melakukan pemeriksaan di poli
Obsgyn Bethesda. Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah, didapatkan
tekanan darah pasien semakin meningkat mencapai 130/90 mmHg. Pada hari itu,
pasien disarankan untuk dilakukan pemeriksaan urinalisis dan didapatkan hasil
negative. Hasil negatif palsu ini harus diwaspadai jika terdapat perbedaan pada
pemeriksaan klinis. Kesalahan yang mungkin dilakukan oleh tenaga medis juga
perlu dipertimbang disamping adanya hasil negatif palsu oleh karena urin terlalu
encer, atau pH urin yang terlalu asam.
Pada pemeriksaan darah didapatkan adanya keabnormalitasan yang bermakna;
Hb rendah yaitu 9,5 g/dL , Hct rendah yaitu 29,2 % , eritrosit rendah yaitu 3,63
juta/mmk. Diwaspadai untuk persiapan operasi dengan persiapan 2 kolf darah prc.
Setelah operasi Hb turun yaitu 8,8 g/dL. Pasien mengeluhkan pusing jika
beraktifitas sebelum operasi.
Tata laksana yang dilakukan kepada pasien meliputi tindakan operatif dan
terapi medikamentosa. Terapi medikamentosa pre op adalah injeksi antibiotic
ceftriaxone. Selanjutnya adalah dilakukannya tindakan operatif berupa sectio
caesarea yang dianjurkan dalam waktu 24 jam setelah diagnose karena adanya
riwayat SC, pasien dengan tekanan darah tinggi, dan juga hasil usg menunjukan
adanya lilitan talipusat.
Berdasarkan observasi kondisi pasien setelah operasi, tekanan darah pasien
menurun menjadi 110/ 70 mmHg yang sebelumnya 130 / 90 mmHg sebelum
operasi. Kemudian pada hari kedua menjadi 120/ 80 mmHg dan hari berikutnya
tekanan darah pasien juga masih sama, maka pasien mengalami hipertensi
24
gestasional. Hal ini sesuai dengan literature yang mengatakan Diagnosis hipertensi
gestasional ditegakan jika didapatkan tekanan darah >140/90 mmHg untuk pertama
kalinya pada kehamilan , tidak disertai dengan proteinuria dan tekanan darah
kembali normal < dari 12 minggu pasca persalinan (Davis et.al, 2007).
Tatalaksana yang selanjutnya diberikan adalah antibiotic berupa amoxicillin 500
mg sebagai profilaksis infeksi pasca operasi, As. Mefenamat 500 mg untuk
mengurangi nyeri, Hemobion untuk penambah darah karena pemeriksaan lab
menunjukan Hb yang rendah. Karena tekanan darah pasien sudah stabil tidak
diberikan terapi medikamentosa.
25
BAB IV
KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham, F. Gary., Leveno, Kenneth J., Bloom, Steven L., Spong, Catherine Y.,
Dashe, Jodi S., Hoffman, Barbara L., Casey, Brian M., Shefield, Jeanne
S.2014.Williams Obstetric 24th edition. Mc Graw Hill.New York.
Davis GK, Mackenzie C, Brown MA, Homer CS, Holt J, dan Mc Hugh Mangos G.
2007. Predicting transformation from gestasional hypertension
preeclampsia in clinical practice : a possible role for 24 hour ambulat
blood pressure monitoring. Hypertens Pregnancy.
Levine RJ, Maynard SE, Qian C, Lim KH, England LJ, yu KF, Schisterman EF,
Thadhani R, Sachs BP, Epstein FH, Sibai BM, Sukhatme VP, dan
Karumanchi SA. 2004. Circulating angiogenic factors and the risk of
preeclampsia. N. Engl. J. Med.350
National Heart , Lung, and Blood Institute, Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure, 2004. The seventh Report of the Joint
National Committee. NIH publication.
27
Sarwono, P., Saifuddin, Abdul Bari.,Rachimhadhi, Trijatmo., Wiknjosastro, Gulardi
H.,2010.Ilmu kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta
Saifuddin, George, A., Gulardi, H., Djoko. 2009. Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Wolf, M., Kettyle, E. Ecker, JL., Robert, J., 2001. Obesity and Preeclampsia: the
Potential Role of Inflammation: Journal of Obstet Gynecol. 2001
Nov;98(5 Pt 1):757-62. Available at
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11704165 [accessed in 8 Oktober
2015]
28