Anda di halaman 1dari 9

CASE REPORT

MIOPIA DEGENERATIF

Disusun Oleh :

Yohanna Tania 42150020

Edwina Naomi O.S. 42150023

Rotasi Internal Stase Mata RS Bethesda Yogyakarta

Universitas Kristen Duta Wacana

Yogyakarta

2016
PENDAHULUAN

Salah satu kelainan refraksi yang sudah dikenal saat ini adalah miopia, di mana pada
waktu otot siliaris relaksasi (tidak berakomodasi), cahaya dari obyek jauh difokuskan di
depan retina. Secara harfiah miopia berarti menutup mata. Istilah ini mungkin berawal dari
perlunya penderita miopia menyipitkan atau menutup matanya sebagian untuk memperjelas
obyek yang dilihat pada jarak jauh. Hal ini terlihat pada penderita miopia yang koreksinya
tidak sempurna atau tidak dikoreksi sama sekali. David A. Goss mengklasifikasikan miopia
menjadi: miopia simpel, pseudomiopia, miopia nocturnal, miopia didapat atau sekunder,
miopia patologi atau degeneratif.

Miopia adalah penyebab umum gangguan penglihatan. Tidak semua mata yang
memiliki myopia >-6D , juga tidak setiap mata memiliki miopia progresif yang dapat
mengalami komplikasi degeneratif. Distribusi di seluruh dunia , orang-orang yang telah
benar-benar menderita miopia degeneratif belum diketahui, tetapi prevalensi dari miopia
patological yang progresif telah dibuktikan oleh Puchs yaitu > 50 tahun yang lalu. Pada
penelitian didapatkan sejumlah 15 negara yang penduduknya menderita myopia progresif,
telah ditemukan kurang lebih 0,3% (Egypt) - 9,6% (Spanyol) dari jumlah populasi. Pada
penelitian tersebut juga disimpulkan bahwa faktor genetik mempengaruhi kejadian myopia
degeneratif. Pada penelitian kesehatan masyarakat di US, prevalensinya diperkirakan 2,1% .
Wanita memiliki rentan kejadian miopia degeneratif 2 kali lebih besar dibandingkan pria.
Hal ini diperkirkan sebagai penyebab utama kebutaan di US.
CASE REPORT

Seorang pasien wanita berusia 26 tahun datang ke poli mata RSB dengan keluhan
memiliki minus mata kanan dan kiri yang sangat tinggi, yaitu OD -30 dan OS -30. Menurut
pengakuan pasien minus mata yang ia alami sudah sejak pasien duduk di bangku TK, dimulai
dengan minus OD -2 dan OS -3. Semenjak TK hingga sekarang, kenaikan mata minus pasien
sangatlah drastis, yaitu kenaikan sekitar >2 poin dari minus sebelumnya. Pasien juga
mengatakan sudah sekitar 10 kali mengganti kaca mata minusnya akibat kenaikan minus
mata. Pasien juga mengeluhkan kadang dalam setahun bisa terjadi peningkatan minus
sebanyak 2 kali, sebagai contoh pada Januari 2016, minus mata pasien OD -27 dan OS -27,
sedangkan pada Oktober 2016 minus pasien bertambah menjadi OD -30 dan OS -30. Selain
itu, pasien juga mengeluhkan melihat adanya bayangan berupa bulatan hitam pada mata
kanan dan kiri. Keluhan ini sudah terjadi sejak duduk di bangku SLTP dan menetap walaupun
sudah sering ganti kaca mata.

Setiap pagi pasien juga mengeluhkan sering mengeluarkan air mata, mata terasa berat,
pusing. Untuk keluhan pandangan dobel disangkal oleh pasien. Sebelumnya pasien sudah
pernah periksa ke RSY dan direkomendasikan untuk dilakukan tanam lensa dengan alasan
lensa mata sudah berkerut. Riwayat keluarga menurut keterangan pasien ada yang mengalami
mata minus, yaitu ibu dengan minus OS -4 dan OD -8. Sebelum periksa ke RSB, pasien
sudah menggunakan tetes mata dari RSY, namun pasien lupa nama obat tetes matanya. Saat
ini pasien menggunakan kacamata minus 24. Pasien juga merasakan keluhan lain, seperti
susah tidur, adanya penurunan napsu makan dan berat badan (dari 50 kg menjadi 42 kg),
telapak tangan sering basah, sering merasa lelah ketika jalan/aktivitas sebentar, dada berdebar
(-), sesak napas (-).

Pasien juga mengatakan belum pernah melakukan pemeriksaan seperti CT scan,


pemeriksaan darah, dan pemerikaan penunjang lainnya. Pasien juga memiliki kebiasaan
membaca sambil tiduran dan menonton televisi dengan jarak yang dekat. Pada waktu kecil,
pasien memiliki riwayat pernah jatuh dari ayunan dan sepeda saat usia 3 bulan. Kemudian
sejak pasien duduk di kelas 1 SD hingga SMA, pasien sering mengeluhkan nyeri kepala yang
hilang timbul dan kambuh setiap hari. Pasien mengeluhkan sering mengonsumsi obat sakit
kepala dan jamu (kunir asam dan beras kencur) keliling.
Pada pasien ini ditemukan tanda-tanda :

Eksophtalmos (+)
TIO meningkat (palpable)
Refleks pupil (+/+)
Pergerakan bola mata baik
Visus 1/300

Hasil pemeriksaan CT Scan :

Kesan :

MSCT Orbita : Prominensi bulbus occuli bilateral , dengan tidak tampak adanya kelainanan
atomis yang khas intra bulber maupun retro bulber.

Tidak tampak adanya kelainan yang khas pada brain parenkimal


PEMBAHASAN

Secara harfiah, miopia berarti menutup mata. Istilah ini berawal dari perlunya
penderita miopia menyipitkan mata untuk memperjelas objek yang dilihat pada jarak jauh
(Widodo, 2007). Miopia merupakan kelainan refraksi dengan bayangan sinar dari suatu objek
yang jauh difokuskan di depan retina pada mata yang tidak berakomodasi, yang terjadi akibat
ketidaksesuaian antara kekuatan optik (optical power) dengan panjang sumbu bola mata
(axial length). Miopia menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup menonjol dan
penyebab utama kelainan penglihatan di dunia (Saxena, 2015).

Miopia dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu menurut gejalanya (simple myopia,


nocturnal myopia, pseudomyopia, degenerative myopia, dan induced myopia), derajad (low
myopia, medium myopia, dan high myopia), serta usia (congenital myopia, youth-onset
myopia, early adult-onset myopia, dan late adult-onset myopia). Simple myopia merupakan
miopia kategori ringan (<4.00-5.00 D). Nocturnal myopia biasanya terjadi pada malam hari
karena kurangnya kontras cahaya untuk stimulus akomodasi mata yang cukup, sehingga mata
kurang dapat meneruskan berkas cahaya yang masuk. Pseudomyopia terjadi akibat adanya
peningkatan daya bias mata karena adanya stimuli yang berlebihan dari mekanisme
akomodatif mata. Degenerative myopia merupakan adanya perubahan degeneratif mata di
segmen posterior mata yang dapat mengakibatkan penurunan ketajaman visual, perubahan
lapang pandang, ablasi retina, dan glaukoma. Induced / acquaired myopia merupakan myopia
yang didapat dari hasil paparan agen farmasi, kadar gula darah tubuh, dan kondisi anomali
lainnya. Miopia ini bersifat sementara dan reversibel. Sedangkan klasifikasi menurut derajad,
low myopia merupakan mata yang memiliki kelainan refraksi < 3.00 D. Medium miopia
memiliki kelainan refraksi 3.00-6.00 D. High myopia memiliki kelainan refraksi > 6.00 D.
Kategori berdasarkan usia yaitu congenital myopia yang merupakan myopia yang muncul
sejak lahir dan menetap semasa bayi. Youth-onset myopia merupakan miopia yang terjadi
sebelum usia 20 tahun. Early adult-onset myopia merupakan miopia yang terjadi pada
rentang usia 2-40 tahun. Late adult-onset myopia merupakan miopia yang terjadi setelah usia
40 tahun (Goss, 2006).

Pada kasus tersebut di atas, merupakan kasus pasien dengan miopia degeneratif, di
mana pasien mengalami kenaikan miopia secara progresif. Berdasarkan teori, pada miopia
degeneratif dapat terjadi kenaikan miopia hingga 4.00 D tiap tahunnya (Widodo, 2007). Pada
miopia degeneratif terjadi peningkatan panjang aksial bola mata yang dapat mengarah pada
pembentukan stafiloma posterior, diskus miring, diskus optik membentuk bulan sabit,
perdarahan subretinal, keretakan makula (tahap awal neovaskularisasi koroid), penipisan
pigmen epitelial, dan Fuchs spot (tahap terakhir dari neovaskularisasi koroid). Adanya
perubahan tersebut mengakibatkan gangguan penglihatan, perubahan sensibilitas cahaya,
adaptasi gelap yang menurun, dan perubahan lapan pandang. Dampak terburuk dari miopia
degeneratif adalah kehilangan penglihatan pada kedua mata (Souza et al, 2015).

Miopia degeneratif sendiri baisanya muncul akibat adanya faktor genetik ataupun
akibat dari faktor lingkungan / kebiasaan. Pada teori genetik, orang tua yang menderita
miopia cenderung memiliki anak yang juga miopia. Suatu varitas pola genetik untuak miopia
telah digambarkan termasuk X-Linked myopia (myp1 pada kromosom X q28), autosomal
dominan myp2 pada kromosom 18p, autosomal dominan myp3 pada kromosom 12q,
autosomal dominan myp4 pada kromosom 7q dan autosomal dominan myp5 pada kromosom
17q. Pada penelitian yang dilakukan baru-baru ini dianggap bahwa heterogenitas genetik dari
miopia ditentukan oleh X-Linked pada lokus sekunder di daerah q12q2123.

Prevalensi anak menderita miopia dari kedua orang tua yang juga miopia adalah 30-
40%. Bila hanya salah satu orang tua menderita miopia maka prevalensinya turun menjadi
20-25% . apabila tidak ada orangtua yang menderita miopia , maka prevalensi anak tersebut
untuk menderita miopia hanya 10% (Saxena ,2015).

Dari gambar diatas dapat memperlihatkan bahwa faktor hambatan penglihatan seperti
katarak kongenital, ptosis , hemangioma periokular dapat mempengaruhi pertumbuhan aksial
bola mata yang dapat mengarah pada miopia. Selain faktor genetik , faktor kebiasaan seperti
membaca dan menonton tv dengan jarak yang dekat dan dalam waktu yang lama (>5 jam /hr)
meningkatkan risiko miopia . suatu penelitian juga mengatakan penggunaan tetes mata
atropine (anti muskarinik) dalam waktu yang lama menjadi salah satu faktor penyebab
munculnya miopia. Selain itu , nutrisi juga berperan dalam perkembangan miopia.
(Saxena,2015).

Pasien dengan miopia degeneratif biasanya memiliki gejala penurunan penglihatan


jauh, ketidaknyamanan pasien akibat menggunakan lensa koreksi untuk miopia tinggi
(kacamata untuk miopia tinggi biasanya berat dengan distorsi bermakna di tepi lensa) , lapang
pandang menyempit , kilatan cahaya (vitreous liquefaction) atau tarikan vitreus pada retina ,
dan adanya degenerasi vitreous (viterous lebih cair dan berprevalensi tinggi untuk terjadi
PVD) sehingga tampak adanya floaters. Kadang-kadang didapat proliferasi dari epitel pigmen
di daerah makula, yang disebut Forster-Fuchs black spot. Akibat regangan mungkin
menyebabkan ruptur dari pembuluh darah retina dan mengakibatkan perdarahan yang
mungkin dapat juga masuk ke dalam badan kaca. Mungkin juga terjadi ablasio retina akibat
timbulnya robekan karena tarikan.

Sehingga pada miopia tinggi didapatkan : Bola mata yang mungkin lebih menonjol,
Bilik mata depan yang dalam, Pupil yang relatif lebih lebar, Iris premulans yang menyertai
badan kaca, Kekeruhan badan kaca, Kekeruhan dipolus lensa posterior, Staphyloma posterior,
fundus tigroid di retina, Atropi koroid berupa crescent miopi atau anular patch, disekitar
papil, berwarna puih dengan pigmentasi dipinggirnya. Pendarahan didaerah makula dengan
inti masuk kedalam kaca, Proliferasi sel epitel pigment didaerah makula ( Forster-Fuchs
black spot ).

Penanganan miopia degeneratif dapat dilakukan dengan cara koreksi refraksi (baik
dengan lensa oftalmik/lensa kontak) , modifikasi lingkungan , tindakan operatif (implantasi
IOL), fotokoagulasi laser (khususnya bila terdapat neovaskularisasi koroid) , dan pengawasan
TIO (<20mmHg), serta edukasi pasien untuk memeriksakan mata apabila menjumpai kilatan
cahaya dan floater (Widodo,2007). Penanganan miopia degeneratif dilakukan sedini mungkin
untuk memperkecil adanya komplikasi seperti ablasio retina, glaukoma , katarak dan
kebutaan (Saxena,2015).
Daftar Pustaka

Saxena R, Vashist P, Tandon R, Pandey RM. Prevalence of Myopia and Its Risk Factors in
Urban School Children in Delhi : The North India Myopia Study (NIM Study). Plos One
Journals. 2015; 10(2).

Robichaud JL, Besada E, Basler L, Frauens BJ. 2011. Spectral domain optical coherence
tomography of myopic traction maculopathy. Journal of the American Optometric
Association 82: 607-613.

Fricke T, Holden B, Wilson D, et al. Global cost of correcting vision impairment from
uncorrected refractive error. Bull World Health Org 2012;90:72838.

Wong TY, Ferreira A, Hughes R, et al. Epidemiology and disease burden of pathologic
myopia and myopic choroidal neovascularization: an evidence-based systematic review. AmJ
Ophthalmol 2014;157:925.e12.
Pan C-W, Dirani M, Cheng C-Y, et al. The age-specific prevalence of myopia in Asia: a meta-
analysis. Optom Vis Sci 2015;92:25866.

Morgan IG, Matsui KO, Saw SM. 2013. Myopia, Lancet 379: 173 Lim LT, Gong Y, Ah Kee
EY et al. Impact of Parenteral History of Myopia on The Development of Myopia in
Mainland China School-Aged Children. Ophthalmol Eye Dis 2014; 6; 31-5

Read SA, Collins MJ, Vincent SJ. Light Exposure and Physical Activity in Myopic and
Emmetrop Children. Optom Vis Sci 2014; 91: 330-41

Spaide RF, Ohno-Matsui K, Yannuzzi LA. Pathologic Myopia, New York : Springer : 2014.

Goss, David. 2010. Optometric Clinical Practice Guideline : Care of The Patient With
Myopia. American Optometric Association.

Anda mungkin juga menyukai