Anda di halaman 1dari 35

1.

Otitis Media Akut


a. Definisi :
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa

telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel

mastoid.
b. Patofisiologi :

c. Gambaran Klinis Stadium OMA

Stadium Oklusi
Tanda adanya oklusi tuba eustachius ialah gambaran

retraksi membrane timpani akibatterjadinya tekanan negative


didalam telingatengah, akibat absorbsi udara. Kadang-kadang

membrane timpani tampak normal (tidak ada kelainan) atau

berwarna kerut pucat. Efusi mungkin telah terjadi, tetapi tidak

dapat dideteksi. Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis

media serosa yang disebabkan oleh virus atau alergi.

Gambar 1. Stadium Oklusi

Stadium hiperemis
Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang

melebar dimembrane timpani atauseluruh membrane timpani

tampak hiperemisserta edema. Secret yang telah terbentuk

mungkin masih bersifateksudat yang serosa sehingga sukar

terlihat

Gambar 2. Stadium Hiperemis


Stadium Supurasi
Edema yang terlihat pada mukosa telinga tengah dan

hancurnya selepitel superfisial, sehingga terbentuknya


eksudat yang purulent dikavum timpani, menyebabkan

membrane timpani menonjol (bulging)kearah liang telinga

luar.Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan

suhu meningkat,serta rasa nyeri ditelinga bertambah

hebat.Apabila tekanan nanah di cavum timpani tidak

berkurang, makaterjadi iskemia, akibat tekanan pada kapiler-

kapiler, serta timbultromboflebitis pada vena-vena kecil dan

nekrosis mukosa dansubmukosa. Nekrosis ini pada membrane

timpani terlihat sebagaidaerah yang lebih lembek dan

berwarna kekuningan. Ditempat ini akan terjadi rupture. Bila

tidak dilakukan insisi membrane timpani (miringotomi) pada

stadium ini, maka kemungkinan besar membranetimpani

akan rupture dan nanah keluar dari liang telinga luar.

Denganmelakukan miringotomi, luka insisi akan menutup

kembali, sedangkanapabila terjadi rupture, maka lubang

tempat rupture (perforasi) tidak mungkin menutup kembali.

Gambar 3. Stadium Supurasi


Stadium Perforasi
Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian

antibiotika atau virulensi kuman yang tinggi, maka akan


terjadi rupture membranetimpani dan nanah keluar mengalir

dari telinga tengah ke liang telingaluar. Anak yang tadinya

gelisah sekarang menjadi tenang, suhu badabturun dan anak

dapat tertidur nyenyak. Keadaan ini disebut denganotitis

media akut stadium perforasi.

Gambar 4. Stadium Perforasi


Stadium Resolusi
Bila membrane timpani tetap utuh, maka keadaan

membranetimpani perlahan-lahan akan normal kembali. Bila

sudah terjadi perforasi, maka secret akan berkurang dan

akhirnya kering. Bila dayatahan tubuh baik atau virulensi

kuman rendah, maka resolusi dapatterjadi walaupun tanda

pengobatan. OMA berubah menjadi OMSK bila perforasi

menetap dengan secret yang keluar terus menerus atau

hiang timbul. OMA dapat menimbulkan gejala sisa (sequele)

berupa otitis media serosa bila secret menetap di cavum

timpani tanpaterjadinya perforasi.


Gambar 5. Stadium Resolusi

d. Penatalaksanaan :
Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnyaa.

Pada stadium oklusi pengobatan terutama bertujuan untuk

membuka kembali tuba eustachius, sehingga tekanan negative

ditelinga tengah hilang. Untuk ini diberikan obat tetes hidung.

HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik (anak<12 tahun)

atau HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik untuk yang

berumur di atas 12 tahun dan pada orang dewasa. Selain itu

sumber infeki harus diobati. Antibiotika diberikan apabila

penyebab penyakit adalah kuman, bukan oleh virus atau

alergi.
Terapi pada stadium presupurasi ialah antibiotika, obat

teteshidung dan analgetika. Antibiotika yang dianjurkan ialah

darigolongan penisilin intramuscular agar didapatkan

konsentrasi yangadekuat di dalam darah, sehingga tidak

terjadi mastoiditis yangterselubung, gangguan pendengaran

sebagai gejala sisa, dankekambuhan. Pemberian antibiotika

dianjurkan minimal selama 7hari. Bila pasien alergi terhadap

penisilin, maka akan diberikaneritromisin. Pada anak, ampisilin


diberikan dengan dosis 50-100mg/kg BB per hari, dibagi dalam

4 dosis, atau amoksisilin 40mg/kg BB/hari dibagi dalam 3

dosis, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari


Pada stadium supurasi selain diberikan antibiotika , idealnya

harusdisertai dengan miringotomi, bila membrane timpani

masih utuh.Dengan miringotomi gejala-gejala klinis lebih cepat

hilang danrupture dapat dihindari.


Pada stadium perforasi sering terlihat secret banyak keluar

dankadang terlihat secret keluar secara berdenyut

(pulsasi).Pengobatan yang diberikan adalah obat cuci telinga

H2O23%selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat.

Biasanya secretakan hilang dan perforasi dapat menutup

kembali dalam waktu 7-10 hari.


Pada stadium resolusi, maka membrane timpani berangsur

normal kembali, secret tidak ada lagi dan perforasi membrane

timpani menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya akan

tampak secret nmengalir diliang telinga luar melalui perforasi

dimembran timpani.Keadaan ini dapat disebabkan karena

berlanjutnya edema mukosatelinga tengah. Pada keadaan

demikian dapat dilanjutkan sampai 3minggu. Bila 3 minggu

setelah pengobatan secret masih tetap banyak, kemungkinan

telah terjadi mastoiditis. Bila OMA berlanjut dengan keluarnya

secret dari telinga tengah lebihdari 3 minggu, maka keadaan

ini disebut otitis media supuratif sub akut.Bila perforasi


menetap dan secret tetap keluar lebih dari satu setengah

bulan atau dua bulan, maka keadaan ini disebut otitis media

supuratif kronik (OMSK). Pada pengobatan OMA terdapat

beberapa factor risikoyang dapat menyebabkan kegagalan

terapi. Risiko tersebut digolongkanmenjadi risiko tinggi

kegagalan terapi dan risiko rendah.

2. Otitis Media Supuratif kronik :


a. Definisi :

Otitis media supuratif kronik (OMSK) dahulu disebut Otitis Media

Perforata (OMP) atau dalam sebutan sehari-hari adalah congek.

Otitis Media Supuratif Kronik ialah infeksi kronis di telinga tengah

dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga

tengah terus-menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau

kental, bening atau berupa nanah.

b. Patofisiologi :
c. Klasifikasi :

Letak perforasi di membran timpani penting untuk menentukan

tipe/jenis OMSK. Perforasi membran timpani dapat ditemukan di daerah

sentral, marginal atau atik. Pada perforasi sentral, perforasi terdapat di pars

tensa, sedangkan di seluruh tepi perforasi masih ada sisa membran timpani.

Pada perforasi marginal sebagian tepi perforasi langsung berhubungan

dengan anulus atau sakulus timpanikum. Perforasi atik ialah perforasi yang

terletak di pars flaksida. Jenis-Jenis Perforasi dapat dibagi menjadi:

Gambar. Pembagian letak perforasi membran timpani

a. Perforasi Sentral kecil b. Perforasi Sentral (Sub Total)

c. Perforasi Atik d. Perforasi Postero Superior/

Marginal
Jenis OMSK terbagi atas 2 jenis:

1. OMSK tipe aman (tipe mukosa = tipe benigna)

Proses peradangannya terbatas pada mukosa saja dan biasanya tidak

mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe benigna

jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe aman tidak

terdapat kolesteatoma.

2. OMSK tipe bahaya (tipe tulang = tipe maligna)

Merupakan OMSK yang disertai dengan kolesteatoma. Kolesteatoma

adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin). OMSK

tipe maligna dikenal juga dengan OMSK tipe bahaya atau OMSK tipe tulang.

Perforasi pada OMSK tipe maligna letaknya di marginal atau di atik, kadang-

kadang terdapat juga kolesteatoma pada OMSK dengan perforasi subtotal.

Sebagian besar komplikasi yang berbahaya atau fatal timbul pada OMSK tipe

maligna.

Berdasarkan aktivitas sekret yang keluar dikenal juga OMSK aktif dan

OMSK tenang. OMSK aktif ialah OMSK dengan sekret yang keluar dari kavum

timpani secara aktif, sedangkan OMSK tenang ialah keadaan kavum

timpaninya terlihat basah atau kering.

d. Penatalaksanaan :
Terapi OMSK sering memerlukan waktu yang lama serta harus berulang-

ulang, karena sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi.

Keadaan ini antara lain disebabkan oleh satu atau beberapa keadaan, yaitu:

a. Adanya perforasi membran timpani yang permanen, sehingga telinga

tengah berhubungan dengan dunia luar.

b. Terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung, dan sinus

paranasal.

c. Sudah terbentuk jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga

mastoid.

d. Gizi dan higiene yang kurang.

Prinsip terapi OMSK tipe aman ialah konservatif atau dengan

medikamentosa. Bila sekret yang keluar terus menerus, maka diberikan obat

pencuci telinga, berupa larutan H2O2 3% selama 3-5 hari. Setelah sekret

berkurang, maka terapi dilanjutkan dengan memeberikan obat tetes telinga

yang mengandung antibiotika dan kortikosteroid. Banyak ahli berpendapat

bahwa semua obat tetes yang dijual dipasaran saat ini mengandung

antibiotika yang bersifat ototoksik. Oleh sebab itu, obat tetes telingan jangan

diberikan secara terus menerus lebih dari 1 atau 2 minggu atau pada OMSK

yang sudah tenang. Secara oral diberikan antibiotika dari golongan ampisilin,

atau eritromisin, (bila pasien alergi terhadap penisillin), sebelum hasil tes

resistensi diterima. Pada infeksi yang dicurigai karena penyebabnya telah

resisten terhadap ampisilin dapat diberikan ampisilin asam klavulanat.


Bila sekret telah kering, tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi

selama 2 bulan, maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti.

Operasi ini bertujuan untuk menghentikan infeksi secara permanen,

memperbaiki membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya

komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki

pendengaran.

Bila terdapat sumber infeksi yang menyebabkan sekret tetap ada, atau

terjadinya infeksi berulang, maka sumber infeksi itu harus diobati terlebih

dahulu, mungkin juga perlu melakukan pembedahan, misalnya

adenoidektomi dan tonsilektomi.

Prinsip terapi OMSK tipe bahaya ialah pembahan, yaitu mastoidektomi.

Jadi, bila terdapat OMSK tipe bahaya, maka terapi yang tepat ialah dengan

melakukan mastoidektomi dengan atau tanpa timpanoplasti. Tetapi

konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara

sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal

retroaurikuler, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum

mastoidektomi.

Jenis Pembedahan pada OMSK


Ada beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang dapat

dilakukan pada OMSK dengan mastoiditis kronik, baik tipe benigna atau

maligna, antara lain:

a. Mastoidektomi sederhana

Indikasi : Dilakukan pada OMSK tipe benigna yang dengan pengobatan

konservatif tidak sembuh. Dengan operasi ini dilakukan pembersihan ruang

mastoid dari jaringan patologik. Tujuan : Agar infeksi tenang dan telinga

tidak berair lagi. Pada operasi ini fungsi pendengaran tidak diperbaiki.

b. Mastoidektomi radikal

Dilakukan pada OMSK maligna dengan infeksi atau kolesteatom yang

sudah meluas. Pada operasi ini rongga mastoid dan kavum timpani

dibersihkan dari semua jaringan patologik. Dinding batas antara liang telinga

luar dan telinga tengah dengan rongga mastoid diruntuhkan, sehingga ketiga

daerah anatomi tersebut menjadi satu ruangan.

Tujuan operasi ini ialah membuang semua jaringan patologik dan

mencegah komplikasi ke intrakranial. Fungsi pendengaran tidak diperbaiki.

Kerugian operasi ini ialah pasien tidak diperbolehkan berenang seumur

hidupnya. Pasien harus datang dengan teratur untuk kontrol, supaya tidak

terjadi infeksi kembali.

Modifikasi operasi ini ialah dengan memasang tandur (graft) pada rongga

operasi serta membuat meatoplasti yang lebar, sehingga rongga operasi

kering permanen, tetapi terdapat cacat anatomi, yaitu meatus liang telinga.

c. Mastoidektomi radikal dengan modifikasi


Dilakukan pada OMSK dengan kolesteatom di daerah atik, tetapi belum

merusak kavum timpani. Seluruh rongga mastoid dibersihkan dan dinding

posterior liang telinga direndahkan. Tujuan operasi ialah membuang semua

jaringan patologik dari rongga mastoid, dan mempertahankan

pendengaranyang masih ada.

d. Miringoplasti

Merupakan jenis operasi timpanoplasti paling ringan, dikenal juga dengan

nama timpanoplasti tipe I. Rekonstruksi hanya dilakukan pada membran

timpani,

Tujuannya adalah mencegah berulangnya infeksi telinga tengah pada

OMSK tipe benigna dengan perforasi menetap. Dilakukan pada OMSK

benigna yang sudah tenang dengan ketulian ringan yang hanya disebabkan

oleh perforasi membran timpani.

e. Timpanoplasti

Indikasi : Dilakukan pada OMSK benigna dengan kerusakan lebih berat

atau OMSK benigna yang tidak bisa ditenangkan dengan pengobatan

medikamentosa. Tujuan : Untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki

pendengaran.

Pada operasi ini selain rekonstruksi membran timpani sering kali harus

dilakukan juga rekonstruksi tulang pendengaran. Berdasarkan bentuk

rekonstruksi tulang pendengaran yang dilakukan maka dikenal istilah

timpanoplasti tipe II, III, IV, V.


Sebelum rekonstruksi dikerjakan, lebih dahulu dilakukan eksplorasi

kavum timpani dengan atau tanpa mastoidektomi, untuk membersihkan

jaringan patologis. Tidak jarang pula operasi ini terpaksa dilakukan dua

tahap dengan jarak waktu 6 sampai dengan 12 bulan.

f. Timpanoplasti dengan Pendekatan ganda (Combined approach

tympanoplasty)

Merupakan teknik operasi yang dilakukan pada kasus Maligna dan

Benigna dengan jaringan granulasi yang luas. Tujuan operasi untuk

menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran tanpa melakukan

teknik mastoidektomi radikal (tanpa meruntuhkan dinding posterior liang

telinga).

Membersihkan kolesteatoma dan jaringan granulasi di kavum timpani,

dikerjakan melalui dua jalan (cobined approach), yaitu melalui liang telinga

dan rongga mastoid dengan melakukan timpanotomi posterior. Teknik

operasi ini dilakukan pada OMSK maligna belum disepakati oleh para ahli,

karena sering terjadi kekambuhan kolesteatoma.


3. Sinusitis :
a. Definisi :

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.

Umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut

rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang

merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi

bakteri. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis,

sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.

b. Patofisiologi :
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium ostium dan

lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM

(Kompleks Osteo Meatal). Mucus juga mengandung substansi

antimicrobial dan zat zat yang berfungsi sebagai mekanisme

pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara

pernafasan.

Organ organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila

terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu

sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya

terjadi tekanan negative di dalam rongga sinus yang menyebabkan

terjadinya transudasi, mula mula serous. Kondisi ini bisa dianggap

sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam

beberapa hari pengobatan.

Bila kondisi ini menetap, secret yang terkumpul dalam sinus

merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri.

Secret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut

bacterial dan memerlukan terapi antibiotic. Jika terapi tidak berhasil

(misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi

hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin

membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar

sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi,

polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin

diperlukan tindakan operasi.


c. Klasikfikasi :
Menurut konsensus tahun 2004 sinusitis secara klinis dibagi atas:
a. Sinusitis akut (4 minggu)
b. Sinusitis subakut (4 minggu- 3 bulan)
c. Sinusitis Kronis (lebih dari 3 bulan)

Berdasarkan penyebabnya sinusitis diklasifikasikan menjadi:


a. Rhinogenik, umumnya merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang

tidak terobati secara adekuat


b. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering

menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar

dan molar).

d. Kriteria diagnose (WHO,EPOS 2007)

Kriteria diagnosis menurut EPOS 2007 (european position paper on

rhinosinustis and nasal polyps)

inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya

dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/

obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):

nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah

penurunan/ hilangnya penghidu dan salah satu dari

temuan nasoendoskopi:

- polip dan/ atau - sekret mukopurulen dari meatus medius dan/ atau -

edema/ obstruksi mukosa di meatus medius dan/ atau

gambaran tomografi komputer:


- perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan/atau sinus.

e. Penatalaksanaan (Bagan EPOS)

Sinusitis Akut

Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus

pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Diberikan terapi

medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang

diberikan lini I yakni golongan penisilin (amoksiislin 3x500mg) atau

cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral

(pseudoefedrin 60 mg 3-4 x/hr, mukolitik (ambroxol 30mg,

asetilsistein) untuk memperlancar drenase dan analgetik untuk

menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin

atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian

antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada

perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni

amoksisilin klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II,

makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan antibiotik diteruskan

sampai mencukupi 10-14 hari.

Contoh antibiotik lini kedua :

Amoksisilin klavulanat : anak 25-45mg/kg/hr 2x, dewasa

2x700mg (amoxyclav, claneksi,clabat)

Kotrimoksazol : anak 6-12 mgTMP/kg/hr, dewasa 2x 1-2 tab


Ceftriaxone : anak 50 mg/kg

Cefprozit : anak 30mg/kg/hr, dewasa 2x250-500mg

Cefixime : anak 8mg/kg/hr 2x, dewasa 2x200mg

Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan

dan atau naso-endoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan

kelainan maka dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan

maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi

dan kultur dari fungsi sinus.

Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila

telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri

yang hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.

Sinusitis Subakut

Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu

dengan tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus.

Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau

yang sesuai dengan resistensi kuman selama 10 14 hari (Amoksisilin

klavulanat : anak 25-45mg/kg/hr 2x, dewasa 2x700mg ,Kotrimoksazol :

anak 6-12 mgTMP/kg/hr, dewasa 2x 1-2 tab, Ceftriaxone : anak 50

mg/kg,dewasa 50-100mg)
Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa dekongestan. Selain itu

dapat pula diberikan analgetika, anti histamin (cetirizin ,loratadine 10

mg) dan mukolitik.(ambroxol 30 mg)

Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek

(Ultra Short Wave Diathermy) sebanyak 5 6 kali pada daerah yang

sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik,

maka dilakukan pencucian sinus.

Sinusitis Kronis

Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana

yang sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka

pemberian antibiotik Ceftriaxone anak 50 mg/kg,dewasa 50-100 mg,

Cefixime : anak 8mg/kg/hr 2x, dewasa 2x200mg mencukupi 10-14 hari.

Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada

episode akut lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau

tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat

kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari,

jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-

endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi

kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau

bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.

Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.


Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini

untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah

menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena

memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan

tidak radikal. Indikasinya berupa : sinusitis kronik yang tidak membaik

setelah terapi adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang

ireversibel; polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.

Prinsipnya dengan membuka dan membersihkan daerah kompleks

ostiomeatal.

4. Rhinitis Alergi :
a. Definisi :

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi

alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan


alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika

terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.

` Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on

Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala

bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung

terpapar alergen yang diperantai oleh Ig E.1

b. Patofisiologi :
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali

dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi

alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase

Allergic Reaction atau reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang

berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya

dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat

(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase

hiper-aktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai

24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi,

makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen

Presenting Cell/APC) akan menangkap alergenn yang menempel di

permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan

membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan

molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II

(Major Histocapability Complex) yang kemudian dipresentasikan


pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin

seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk

berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan

berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13

dapat diikiat oleh reseptornya dipermukaan sel limfosit B, sehingga

sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E

(IgE). IgE disirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh

reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)

sehingga ke dua sel ini akan menjadi aktif. Proses ini disebut

sensitisasi yang mengahasilkan sel mediator yang tersensitisasi.

Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,

maka kedua rantai Ig E akan mengikat alergen spesifik dan terjadi

degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan

akibat terlepasnya mediataor kima yang sudah terbentuk

(Performed Mediator) terutama hiatamin. Selain histamin juga

dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2

(PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin,

Platelet Activating Factor (PAF), dan berbagai sitokin. (IL3, IL4,IL5,

IL6, dan GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating

Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat

(RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf

vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-

bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel


goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat

sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat

vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf

Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung

sehingga terjadi pengeluaran Intraceluller Adhesion Molecule (ICAM

1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul

kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan

netrofil di jaringan target. Respon ini tidak berhenti sampai di sini

saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam

setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan

jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosiy, neutrofil,

basofil, dan mastosit dimukosa hidung serta peningkatan sitokin

seperti IL3, IL4, IL5, dan Granulocyte Macrophag Colony

Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung.

Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah

akibat peranan eosinofil dan mediator inflamasi dan granulnya

seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived

Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic

Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),

iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti

asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan

kelembaban udara yang tinggi.


c. Klasifikasi (WHO)
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan

sifat berlangsungnya, yaitu:


1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya

ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen

penyebabnya spesifik, yaitu serbuk (pollen) dan spora jamur.

Oleh karena itu, nama yang tepat adalah polinosis.


2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial).
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus

menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan

sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen

inhalan, terutam pada orang dewasa, dan alergen ingestan.

Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor)

contoh: tungau dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen

ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan

biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti

urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada

golongan musiman tetapi karena karena lebih persisten maka

komplikasinya lebih sering ditemukan.


Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan

rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its

Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat

berlangsungnya dibagi menjadi:


1. Intermitten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4

hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.


2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan

lebih dari 4 minggu.


Sedangkan untuk derajat berat ringannya penyakit, rinitis

alergi dibagi menjadi:

1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan

kativitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja

dan hal-hal lain yang menggangu.


2.
Sedang-berat bila terdapatsatu atau lebihdari gangguan

tersebut diatas.
3. Penatalaksanaan
d. Algoritma penatalaksanaan rinitis alergi menurut WHO Initiative

ARIA 2001
5. Karsinoma nasofaring :
a. Definisi :
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah

nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap

nasofaring. Merupakan tumor daerah kepala dan leher yang

terbanyak ditemukan di Indonesia. Diagnosis dini cukup sulit karena

letaknya yang tersembunyi dan berhubungan dengan banyak

daerah vital.
b. Gejala
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu

gejala nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata, dan saraf, serta

metastasis atau gejala di leher. Gejala nasofaring dapat berupa

epstaksis ringan atau sumbatan hidung, untuk itu maka nasofaring

harus diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop,

karena sering gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau

tumor tidak tampak karena masih terdapat di bawah mukosa (creeping

tomor).

Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul

karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa

Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyamandi

telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang pasien

dengan gangguan pendengaran ini baru kemudian disadari bahwa

penyebabnya adalah karsinoma nasofaring.

Karena nasofaring berhubungan dekat dengan ronggga

tengkorak melalui beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf

otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran

melalui foramen laserum akan mengenai saraf III, IV, VI dan dapat pula

ke V, sehingga tidak jarang tidak jarang gejala diplopialah yang

membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia trigeminal

merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum

terdapat keluhan lain yang berarti. Selain itu, terdapat pula gejala
parestesia daerah pipi, paresis/paralisis arkus faring, kelumpuhan otot

bahu, dan sering tersedak.

Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X,

XI, dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat

yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut sindom

Jackson. Bila sudah menganai seluruh saraf otak disebut sindrom

unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan

bila sudah terjadi demikian, biasanya prognosisnya buruk.

Pada intinya gejala KNF dibagi menjadi 4 kelompok:

1. Gejala nasofaring sendiri, berupa epistaksis ringan, pilek, sumbatan

hidung.
2. Gejala telinga, berupa tinitus, rasa tidak nyaman samapi nyeri

telinga.
3. Gejala saraf, berupa gangguan saraf otak, seperti diplopia,

parestesia daerah pipi, neuralgia trigeminal, paresis/paralisis arkus

faring, kelumpuhan otot bahu, dan sering tersedak.


4. Gejala leher, benjolan di leher.
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang

mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak

terdapat keluhan lain.


c. Stadium :

Untuk menentukan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC (2002).

T = Tumor primer.

T0 - Tidak tampak tumor.


T1 Tumor terbatas di nasofaring.

T2 Tumor meluas ke jaringan lunak

T2a : Perluasan tumor ke orofaring dan / atau rongga hidung tanpa

perluasan ke parafaring*

T2b : Disertai perluasan ke parafaring

T3 Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal

T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan / atau terdapat

keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau

ruang mastikator.

Catatan :* Perluasan parafaring menunjukkan infiltrasi tumor ke arah

postero-lateral melebihi fasia faringo-basilar

N Pembesaran kelenjar getah bening regional.

NX Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai.

N0 Tidak ada pembesaran

N1 Metastasi kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran

terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula.

N2 Mestastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran

terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fissa supraclavikula


N3 Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih

besar dari 6 cm, atau terletak di dalam fossa supraklavikula.

N3a : Ukuran lebih dari 6 cm

N3b : di dalam fossa supraklavikula

Catatan: kelenjar yang terletak di daerah midline dianggap sebagai

kelenjar ipsilateral.

M = Metastasis jauh

MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0 Tidak ada metastasis jauh

M1 Terdapat metastasis jauh.

Stadium 0 T1s N0 M0

Stadium I T1 N0 M0

Stdium IIA T2a N0 M0

Stadium IIB T1 N1 M0

T2a N1 M0

T2b N1 M0

Stadium III T1 N2 M0
T2a, T2b N2 M0

T3 N2 M0

Stadium IV A T4 N0,N1,N2 M0

Stadium IV B Semua T N3 M0

Stadium IV C Semua T Semua N M1

d. Penatalaksanaan :

Stadium I : Radioterapi

Stadium II & III : Kemoradiasi

Stadium IV dengan N < 6 cm : Kemoradiasi

Stadium IV dengan N > 6 cm : Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan

kemoradiasi

Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan

ditekankan pada penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan

computer. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi

leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi,

seroterapi, vaksin dan anti virus.

Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan,

sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terapi adjuvant


(tambahan). Berbagai macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik

sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti.

Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-

fluorouracil sedang dikembangan di Departemen THT FKUI dengan

hasil sementara cukup memuaskan. Demikian pula telah dilakukan

penelitian pemberian kemoterapi pararadiasi dengan epirubicin dan

cis-patinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat tetapi

memberikan harapan kesembuhan yang lebih baik.

Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-

fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat

radio-sensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan

esembuhan total pasien karsinoma nasofaring.

Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap

benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau

timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor

indukmya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan

radiologic dan serologic, serta tidak ditemukannya manifestasi jauh.

Operasi tumor induk sisa (residu) atau kambuh (residif) diindikasikan,

tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi.


DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer, Arif, dkk. 1999. Karsinoma Nasofaring dalam Kapita Selekta Kedokteran Jilid
1, Ed.3. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1999
2. Roezin, Averdin dan Marlinda Adham. 2012. Karsinoma Nasofaring dalam buku Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher, Ed. 7. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai