Anda di halaman 1dari 29

Laporan Kasus

ANESTESI PADA PENDERITA HIPERTENSI

Disusun Oleh :
Dwi Wahyuni 2011730169
Dewi Imaniar 2011730021
Metta Astiana 2011730065

Pembimbing :
dr. Indra K Ibrahim Sp.An

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
RS. SYAMSUDIN SUKABUMI
2015
BAB I

KASUS

INDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. CR
Umur : 59 tahun
Jenis Kelamin : perempuan
Alamat : Kp. Palasari Rt 019/010
No Rekam medik : A 17 99 XX
Tanggal masuk : 30 November 2015
Ruangan : FB
Dokter yang merawat : dr. Nanti, Sp.B
Diagnosis Pra Bedah : Tumor Mammae dextra
Rencana Operasi : Biopsi eksisi

ANAMNESIS
Keluhan utama
Benjolan pada payudara sebelah kanan
Riwayat Penyakit Sekarang
Os mengeluhkan adanya benjolan pada payudara sebelah kanan
sejak 6 tahun smrs. Benjolan dirasakan saat os sedang menyusui
anaknya, ukurannya 0,5 cm dan sampai sekarang os mengaku
benjolannya tidak membesar. Hanya os kadang mengeluhkan terasa
pegal pada payudara sebalah kanan tetapi tidak pernah terasa sakit.
Keluhan demam, mual dan muntah disangkal. Bak dan Bab tidak ada
keluhan.
Riwayat Penyakit dahulu
Riwayat asma disangkal

Riwayat TB Paru disangkal

Riwayat tekanan darah tinggi sudah 1 tahun, terkontrol


Riwayat Alergi
Alergi obat disangkal

Alergi makanan disangkal

Riwayat Operasi
Sectio caesarea 2,5 tahun yang lalu

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : cm
GCS : E4V5M6
Berat Badan : 87 kg
Tinggi Badan : 158cm
Tanda Vital
Tekanan darah : 206/93 mmHg
Suhu : 36,8C.
Nadi : 105x/menit, regular
Pernapasan : 18x/menit
Kepala : normocephal
Mata : anemis (-/-), ikterik (-/-), pupil 2mm/2mm RC +/+
Hidung : normonasi, deviasi septum (-), sekret (-)
Mulut : mukosa bibir kering (-), sianosis (-), lidah tremor (-),
faring hiperemis (-),
Telinga : normotia, sekret (-)
Leher : tidak ada pembesaran KGB
Thorax
Jantung : BJ I-II murni reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : bentuk datar
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepatosplenomegali (-),
Auskultasi : BU (+) 9x/menit
Ekstremitas
Atas : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan
Hemoglobin 14.1 g/dL

Leukosit 9.800 /L

Hematokrit 42 %

Eritrosit 4,9 Juta/L

MCV 80 fL

MCH 29 Pg

MCHC 36 g/dL

Trombosit 324000 /L

GDS 95 mg/dL
SGOT 18 U/I
SGPT 14 U/I
Ureum 32 mg/dL
Kreatinin 0,83 mg/dL
Bawah : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis
(-/-)

Laboratorium

Rontgen Thorax

Kesan :

Tidak
tampak
kardiomegali
Tidak
tampak TB
Resume
Wanita 59 tahun datang dengan keluhan adanya benjolan pada
payudara sebelah kanan sejak 6 tahun smrs. Riwayat penyakit dahulu
tekanan darah tinggi sudah 1 tahun dan terkontrol.Pemeriksaan fisik :
Kesadaran : cm. Keadaan umum : tampak sakit sedang Tekanan
Darah : 206/93 Suhu : 36,5 C Nadi: 85 x/m regular Pernafasan :
22x/m. Status generalis : palpasi abdomen mac burney (+)

Diagnosis
Appedisitis kronis
Rencana tindakan
Apendektomi
Terapi
Pct 500 mg

Keadaan pre operatif :


Kesadaran : cm
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Tanda vital :
Tekanan Darah : 140/100
Suhu : 38 C
Nadi : 105x/m regular
Pernafasan : 22x/m
Instruksi pre operatif :
1. Puasa jam 2
2. disetujui dilakukan persiapan operasi dan anestesi
INTRAOPERATIF
Anastesi Umum
Posisi : Supine
Premedikasi : ondancentron 4 mg+ranitidin 50 mg
Teknik anastesi : general anestesi- Lma no.4
Anastesi dengan : O2, +N2O+Isoflurance

Medikasi intraoperatif
1. Recofol 30 mg + 100 mg
2. Fentanyl 25 mcq + 75 mcq
3. Atracurium 10 mg
4. Ketorolac bolus 70 mg/8 jam (12.15 wib)
Pemberian cairan / darah :
1. Ringer laktat 500ml

MONITORING

POST OPERATIF
Keadaan umum pasca operasi
Keadaan umum : cm
Tekanan darah : 156/75 mmHg
Nadi : 78 x/m
Respirasi : 18 x/m
SpO2 : 99 %
Suhu : 36.6c

Instruksi post operatif :


1. Kontrol Tekanan Darah, Nadi, Suhu, Respirasi Rate setiap 15 menit
2. O2 2-3 Lpm via nasal cannul
3. Puasa, Boleh makan minum jika sadar penuh,BU(+), mual dan muntah
(-)
4. Bed rest 10 jam, head up 30
5. Analgetik bolus ketorolac 30 mg/8 jam (12.15)
6. Analgetik drip dalam RL 500 ml (ketorolac 60mg+petidin 100 mg) 24
tpm
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi

2.1.1. Definisi

Pengukuran tekanan darah dipengaruhi oleh banyak variabel, termasuk postur, waktu

siang atau malam, kondisi emosional, kejadian terkini, pemberian obat-obatan dan peralatan serta

teknik yang digunakan. Diagnosis hipertensi tidak dapat dilakukan dengan pembacaan tunggal

tapi juga memerlukan informasi riwayat kenaikan tekanan darah sebelumnya. Walaupun

kecemasan saat preoperatif atau nyeri sering menghasilkan beberapa derajat hipertensi bahkan

pada pasien normal, pasien dengan riwayat hipertensi umumnya menunjukkan peningkatan

tekanan darah yang lebih besar saat preoperative.

Definisi hipertensi sistemik sering berubah-ubah tetapi hipertensi umumnya dianggap

sebagai tekanan darah tinggi secara konsisten yaitu tekanan sistolik lebih besar dari 140-160

mmHg dan tekanan diastol lebih besar dari 90-95 mmHg.

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah

Kategori Tekanan sistolik (mmHg) Tekanan diastolik


(mmHg)
Normal < 130 < 85
High normal 130 85 89
Hipertensi
Derajat 1 / Ringan 140 159 90 99
Derajat 2 / Sedang 160 179 100 109
Derajat 3 / Berat 180 209 110 119
Derajat 4/ Sangat >210 >120
berat

2.1.2. Epidemiologi
Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala yang

berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit jantung koroner untuk

pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Penyakit ini telah menjadi masalah utama dalam

kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia.

Semakin meningkatnya populasi usia lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan

besar juga akan bertambah.

Hipertensi umumnya dimulai pada usia muda, sekitar 5 sampai 10% pada 20 - 30 tahun.

Bagi pasien yang berusia antara 40 70 tahun, setiap peningkatan tekanan darah sistolik sebesar

20 mmHg atau tekanan darah diastolik sebesar 10 mmHg akan meningkatkan risiko penyakit

kardiovaskular. Berdasarkan kriteria baru, prevalensi hipertensi tingkat 1 dan 2 di tiga kecamatan

daerah Jakarta Selatan pada tahun 2007 mencapai angka 40,1% pada lelaki dan 44,4% pada

wanita. Di Amerika Serikat insiden hipertensi lebih tinggi di kalangan orang-orang Asia

dibandingkan dengan kelompok Eropa, penyebabnya atau dasarnya tidak diketahui.

2.1.3. Etiologi

Beberapa faktor yang pernah dikemukakan relevan terhadap mekanisme penyebab

hipertensi adalah sebagai berikut:

Genetik
Dibandingkan dengan orang kulit putih, orang kulit hitam di negara barat lebih

banyak menderita hipertensi, lebih tinggi tingkat hipertensinya dan lebih besar tingkat

morbiditas dan mortalitasnya, sehingga diperkirakan ada kaitan hipertensi dengan

perbedaan genetik.
Geografi dan lingkungan
Terdapat perbedaan tekanan darah yang nyata antara populasi kelompok daerah

kurang makmur dengan daerah maju, seperti bangsa Indian Amerika Selatan yang tekanan
darahnya rendah dan tidak banyak meningkat sesuai dengan pertambahan usia

dibandingkan masyarakat barat.


Janin
Faktor ini dapat memberikan pengaruh karena berat lahir rendah tampaknya

merupakan predisposisi hipertensi di kemudian hari, barangkali karena lebih sedikitnya

jumlah nefron dan lebih rendahnya kemampuan mengeluarkan natrium pada bayi dengan

berat lahir rendah.


Jenis kelamin
Hipertensi lebih jarang ditemukan pada wanita pra-menoupause dibanding pria

yang menunjukkan adanya pengaruh hormon.


Natrium
Banyak bukti yang mendukung peran natrium dalam terjadinya hipertensi. Hal ini

dikarenakan ketidakmampuan mengeluarkan natrium secara efisien baik diturunkan

maupun didapat. Berdasarkan studi populasi, seperti Studi INTERSALT pada tahun 1988

diperoleh korelasi antara asupan natrium rerata dengan tekanan darah dan penurunan

tekanan darah dapat diperoleh dengan mengurangi konsumsi garam.


Sistem renin-angiotensin
Renin memicu produksi angiotensin (zat penekan) dan aldosteron yaitu zat yang

memicu natrium dan mengakibatkan terjadinya retensi.


Hiperaktivitas simpatik
Hal ini dapat terlihat pada hipertensi usia muda. Katekolamin akan memacu

produksi rennin, menyebabkan kontriksi arteriol dan vena dan meningkatkan curah

jantung.
Resistensi insulin atau hiperinsulinemia
Kaitan hipertensi primer dengan resistensi insulin telah diketahui sejak beberapa

tahun silam, terutama pada pasien gemuk. Insulin merupakan zat penekan karena

meningkatkan kadar katekolamin dan reabsorpsi natrium.


Disfungsi sel endotel
Penderita hipertensi mengalami penurunan respon vasodilatasi terhadap nitrat

oksida, dan endotel mengandung vasodilator seperti endotelin-I, meskipun kaitannya

dengan hipertensi tidak jelas.

2.1.4. Diagnosis dan Klasifikasi Hipertensi

Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan adanya peningkatan

tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras.

Batas atas tekanan darah normal yang diijinkan adalah sebagai berikut :

Dewasa : 140/90 mmHg


Dewasa muda (remaja) : 100/75 mmHg
Anak usia prasekolah : 85/55 mmHg
Anak < 1 tahun (infant) : 70/45 mmHg

Menurut The Joint National Committee 7 (JNC 7) pada pertemuan mengenai Pencegahan,

Deteksi, Evaluasi dan Penatalaksanaan Hipertensi tahun 2003, klasifikasi hipertensi dibagi atas

prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan 2 (lihat Tabel 2).

Tabel 2. Klasifikasi Hipertensi menurut JNC 7

Kategori Sistole (mmHg) Diastole (mmHg)

Normal 120 < 80


120-139
Pre hipertensi 80-90
140-159
Hipertensi tahap 1 90-99
Hipertensi tahap 2 160
100

Klasifikasi di atas untuk dewasa usia 18 tahun ke atas. Hasil pengukuran tekanan darah

(TD) dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk posisi dan waktu pengukuran, emosi, aktivitas,
obat yang sedang dikonsumsi dan teknik pengukuran TD. Kriteria ditetapkan setelah

dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari setiap kunjungan dan adanya riwayat peningkatan TD

darah sebelumnya. Penderita dengan klasifikasi prehipertensi mempunyai progresivitas yang

meningkat untuk menjadi hipertensi. Nilai rentang TD antara 130-139/80-89 mmHg mempunyai

risiko 2 kali berkembang menjadi hipertensi dibandingkan dengan nilai TD yang lebih rendah

dari nilai itu. Disamping itu klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya, dapat dibagi dalam

2 penyebab dasar, yaitu sebagai berikut:

1. Hipertensi primer

Hipertensi primer disebut juga hipertensi esensial atau idiopatik dan merupakan 95% dari

kasus-kasus hipertensi. Tekanan darah merupakan hasil curah jantung dan resistensi vaskular,

sehingga tekanan darah meningkat jika curah jantung meningkat, resistensi vaskular perifer

bertambah atau keduanya. Meskipun mekanisme yang berhubungan dengan penyebab hipertensi

melibatkan perubahan-perubahan tersebut, hipertensi sebagai kondisi klinis biasanya diketahui

beberapa tahun setelah kecenderungan ke arah sana dimulai. Pada saat tersebut, beberapa

mekanisme fisiologis kompensasi sekunder telah dimulai sehingga kelainan dasar curah jantung

atau resistensi perifer tidak diketahui dengan jelas.

Pada hipertensi yang baru dimulai, curah jantung biasanya normal atau sedikit meningkat

dan resistensi perifer normal. Pada tahap hipertensi lanjut, curah jantung cenderung menurun dan

resistensi perifer meningkat. Adanya hipertensi juga menyebabkan penebalan dinding arteri dan

arteriol, mungkin sebagian diperantarai oleh faktor yang dikenal sebagai pemicu hipertrofi

vaskular dan vasokonstriksi, sehingga menjadi alasan sekunder mengapa terjadinya kenaikan

darah.

2. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder terjadi akibat masalah primer lain. Penyebab hipertensi sekunder

dapat digolongkan menjadi empat kategori, yaitu:

a Hipertensi kardiovaskular, biasanya berkaitan dengan peningkatan kronik resistensi

perifer total yang disebabkan oleh aterosklerosis.


b Hipertensi renal dapat terjadi akibat dua defek ginjal, yaitu oklusi parsial arteri renalis

atau penyakit jaringan ginjal itu sendiri.


c Hipertensi endokrin terjadi akibat gangguan endokrin seperti feokromositoma dan

Sindrom Conn.
d Hipertensi neurogenik yang terjadi akibat lesi saraf.

2.1.5. Patofisiologi

Hipertensi dapat bersifat idiopatik (esensial) atau yang jarang terjadi dapat bersifat

sekunder yang diakibatkan oleh kondisi medis lain seperti penyakit ginjal, hiperaldosteronisme

primer, sindrom Cushing, akromegali, kehamilan, atau terapi estrogen. Hipertensi primer terjadi

pada 80-95% kasus dan mungkin disebabkan oleh hasil kerja jantung yang abnormal, resistensi

vaskuler sistemik (SVR), atau keduanya. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan

resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri sehingga beban kerja jantung bertambah.

Sebagai akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi. Akan

tetapi kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan hipertrofi kompensasi

akhirnya terlampaui dan terjadi dilatasi dan payah jantung. Jantung menjadi semakin terancam

oleh semakin parahnya aterosklerosis koroner. Bila proses aterosklerosis berlanjut, penyediaan

oksigen miokardium berkurang. Peningkatan kebutuhan oksigen pada miokardium terjadi akibat

hipertrofi ventrikel dan peningkatan beban kerja jantung sehingga akhirnya menyebabkan angina

atau infark miokardium.


2.1.6. Terapi Jangka Panjang

Terapi obat telah terbukti mengurangi penyakit hipertensi, mencegah terjadinya stroke,

gagal jantung kongestif, penyakit arteri koroner, dan kerusakan ginjal.

Kebanyakan pasien dengan hipertensi ringan hanya membutuhkan terapi obat tunggal,

yang dapat terdiri dari beta-bloker, angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor, calcium

channel blockers, atau diuretik. Penyakit yang muncul bersamaan yang mempengaruhi pemilihan

obat termasuk penyakit paru-paru bronchospastik, penyakit arteri koroner, gagal jantung

kongestif, diabetes, dan hiperlipidemia, ACE inhibitor dan beta blocker adrenergik umumnya

kurang efektif pada pasien kulit hitam. Selain itu, pengobatan dengan beta bloker adrenergik saja

mungkin juga kurang efektif pada pasien usia lanjut.

Pasien dengan hipertensi sedang sampai berat sering membutuhkan obat kedua atau

ketiga. Diuretik kurang sering digunakan sebagai pilihan pertama karena alasan efek samping

elektrolit dan metabolik serta meningkatkan kejadian aritmia. Agen ini sering digunakan untuk

melengkapi beta bloker adrenergik dan ACE inhibitor hanya jika terapi obat tidak efektif. ACE

inhibitor telah terbukti dapat memperpanjang usia hidup pada pasien dengan gagal jantung atau

disfungsi ventrikel kiri. Selain itu, ACE inhibitor dapat mempertahankan fungsi ginjal pada

pasien dengan diabetes dan pasien dengan insufisiensi ginjal. Keakraban dengan nama dan

mekanisme kerja agen antihipertensi yang umum digunakan adalah wajib untuk anestesi.

Tabel 3. Agen antihipertensi oral

Kategori Golongan Obat


Diuretik Thiazide-type Chlorothiazide
Chlorthalidone
Hydrochlorothiazide
Indapamide
Metolazone
Potassium-sparing Spironolactone
Triamterene
Amiloride
Loop Bumetanide
Asam ethacrynic
Furosemide
Torasemide
Symphatolytics Beta blockers Acebutolol
Atenolol
Betaxolol
Bisoprolol
Carteolol
Metoprolol
Nadolol
Penbutolol
Timolol
Alpha blockers 1
Doxazosin
Terazosin
1+2
Phenoxybenzamine
Alpha dan beta blockers Labetalol
Carvedilol
Central 2-agonists Clonidine
Guanabenz
Guanfacine
Methyldopa
Postganglionic blocker Guanethidine
Reserpine
Vasodilators Calcium channel blockers Diltiazem
Benzothiazepine
Phenylalkylamines Verapamil
Dihydropyridines Amlodipine
Felodipine
Isradipine
Nicardipine
Nifedipine
Nisoldipine
ACE inhibitors Benazepril
Captopril
Enalapril
Fosinopril
Lisinopril
Moexipril
Perindropil
Quinapril
Ramipril
Trandropil
Angiotensin-reseptor antagonists Candesartan
Eprosartan
Irbesartan
Losartan
Telmisartan
Valsartan
Direct vasodilators Hydralazine
Minoxidil
.

2.2. Anestesi pada Pasien Hipertensi

2.2.1. Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Pasien Hipertensi

Sebuah pertanyaan yang sering muncul dalam praktek anestesi adalah derajat hipertensi

preoperasi yang dapat diterima pada pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif. Kecuali

untuk pasien yang dikontrol secara optimal, kebanyakan pasien hipertensi masuk ke ruang

operasi dengan beberapa derajat hipertensi. Meskipun pada saat preoperatif pasien memiliki

hipertensi sedang (tekanan < diastolik 90-110 mm Hg) namun hal ini tidak menutup

kemungkinan terjadinya komplikasi pasca operasi. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa

pasien hipertensi yang tidak diobati atau tidak terkontrol lebih cenderung untuk mengalami

episode iskemia intraoperatif infark, aritmia, atau hipertensi, dan hipotensi. Penyesuaian

intrabedah selama anestesi serta penggunaan obat vasoaktif diharapkan dapat mengurangi
insiden komplikasi postoperasi yang disebabkan preoperatif tidak memadai untuk mengontrol

hipertensi.

Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan menjalani

prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu:

Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensi

Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi

Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita

Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk

prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.

Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat perjalanan

penyakit, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur diagnostik lainnya. Penilaian

status volume cairan tubuh adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan

yang sebenarnya ataukah suatu hipovolemia relatif (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan

vasodilator). Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia

dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya aritmia. Untuk

evaluasi jantung, EKG dan rontgen toraks akan sangat membantu. Adanya LVH dapat

menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat ketidakseimbangan antara suplai

dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya

diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan

ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu

diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya

retinopati hipertensi perlu dicatat. Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi
kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme

arteri dan penyakit ginjal.

Sementara itu pasien yang harus menjalani operasi elektif idealnya hanya bisa dilakukan

ketika tekanan darah dalam batas normal, pendekatan ini tidak selalu layak atau selalu diinginkan

karena gangguan autoregulasi serebral. Penurunan tekanan darah yang berlebihan dapat

mengganggu perfusi serebral. Selain itu, keputusan apakah akan menunda atau melanjutkan

dengan intervensi bedah harus bersifat individual, tergantung pada beratnya elevasi tekanan

darah sebelum operasi, kemungkinan iskemi miokard, disfungsi ventrikel atau komplikasi

vaskularisasi serebral atau ginjal, dan pembedahan (jika perubahan besar yang disebabkan

operasi di awal jantung atau afterload yang diperbolehkan). Dalam banyak kasus, hipertensi saat

preoperative terjadi karena ketidakpatuhan pasien dengan pola obat yang diberikan. Dengan

sedikit pengecualian, antihipertensi harus dilanjutkan sampai operasi. Beberapa dokter

mempertahankan pemberian ACE inhibitor di pagi hari sebelum operasi karena hubungannya

dengan peningkatan insiden hipotensi intraoperatif. ACE inhibitor diketahui dapat mencegah

terjadinya risiko hipertensi perioperatif dan mampu mencukupi kebutuhan antihipertensi

parenteral. Operasi pada pasien dengan tekanan diastolik preoperatif lebih besar dari 110 mmHg,

terutama pada pasien yang telah diketahui pasti mengalami kerusakan organ akhir maka operasi

harus ditunda sampai tekanan darah lebih terkontrol selama beberapa hari.

2.2.2. Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan

untuk:

Meredakan kecemasan dan ketakutan


Memperlancar induksi anesthesia

Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

Meminimalkan jumlah obat anestesi

Mengurangi mual-muntah pasca bedah

Menciptakan amnesia

Mengurangi isi cairan lambung

Mengurangi reflek yang membahayakan

Premedikasi bertujuan mengurangi kecemasan pra operasi dan sangat dibutuhkan pada

pasien hipertensi. Preoperatif hipertensi ringan hingga menengah sering sembuh setelah

pemberian agen anxiolytic, seperti midazolam. pemberian antihipertensi preoperatif harus

dilanjutkan sesuai jadwal dan dapat diberikan dengan sedikit tegukan air. Seperti disebutkan

sebelumnya, beberapa dokter melanjutkan pemberian ACE inhibitor karena diketahui dapat

mencegah menurunkan tekanan darah intraoperatif. Pemberian 2 adrenergik agonis sentral

dapat dijadikan sebagai tambahan yang berguna untuk premedikasi penderita hipertensi,

pemberian sedasi tambahan klonidine dosis 0,2 mg dapat mengurangi penggunaan obat anestesi

intraoperatif dan mengurangi terjadinya hipertensi perioperative. Sayangnya, pemerian klonidine

selama selain dapat menimbulkan hipotensi tapi juga menyebabkan terjadinya bradikardi selama

operatisi.

2.3. Manajemen Intraoperatif

2.3.1. Objektif

Secara keseluruhan tujuan anestesi untuk pasien dengan hipertensi adalah menjaga

kestabilan tekanan darah pasien. Pasien batas akhir hipertensi dapat diobati seperti pasien dengan
tekanan darah normal. Pada pasien usia lanjut atau pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol

telah terjadi perubahan autoregulasi aliran darah serebral dimana tekanan darah yang tinggi

mempertahankankan aliran darah otak yang memadai. Pada sebagian besar pasien dengan

hipertensi yang lama harus dipikirkan kemungkinan terjadinya penyakit arteri koroner dan

hipertrofi jantung,sehingga peningkatan tekanan darah yang berlebihan dapat dihindari.

Hipertensi, terutama dalam kaitannya dengan takikardia, dapat memicu terjadinya iskemia

miokard, disfungsi ventrikel bahkan keduanya. Tekanan darah arteri umumnya harus dijaga

dalam 10-20% dari tingkat pra operasi. Jika hipertensi terjadi sebelum operasi dimana tekanan

darah lebih dari 180/120 mmHg, maka tekanan darah arteri harus dipertahankan dalam batas

normal, yaitu 150-140/90-80 mm Hg.

2.3.2. Pemantauan

Sebagian besar pasien hipertensi tidak memerlukan pemantauan intraoperatif khusus.

Pemantauan tekanan darah harus terus menerus dilakukan pada pasien dengan tekanan darah

yang tidak stabil dan pasien dengan prosedur pembedahan utama yang terkait dengan perubahan

yang cepat atau ditandai dengan preload jantung atau afterload. Pemantauan elektrokardiografi

bertujuan untuk mengetahui dengan cepat tanda-tanda iskemia. Produksi urin harus dipantau

melalui kateter urin terutama pada pasien gangguan ginjal yang sedang menjalani tindakan dan

diharapkan dapat bertahan lebih dari 2 jam. Selama pemantauan hemodinamik invasive

dilakukan, pemenuhan kebutuhan ventrikel sering berkurang terutama pada pasien dengan

hipertrofi ventrikel.

Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan anestesia adalah

meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu tinggi. Mempertahankan


kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan

pengontrolan hipertensi pada periode preoperative. Pada hipertensi kronis akan menyebabkan

pergeseran tekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini

akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika tekanan darah

diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan mengubah

kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal. Dalam mengukur autoregulasi serebral

dapat digunakan beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:

Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang

dianjurkan untuk penderita hipertensi.

Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi otak.

Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian stroke.

Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal kurang lebih sama dengan yang

terjadi pada serebral.

Anestesia akan aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan

memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan volatile (tunggal

atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance anesthesia) dengan opioid + N2O

+ pelumpuh otot, atau anestesia total intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia.

Anestesia regional dapat dipilih sebagai teknik anestesia, namun perlu diingat bahwa anestesia

regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien

dengan keadaan hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan yang

diberikan, maka penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti phaeochromacytoma,

carcinoid syndrome dan tyroid storm.


2.3.3. Induksi Anestesi

Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menyebabkan gangguan hemodinamik

pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering

menimbulkan hipertensi. Hipotensi terjadi akibat vasodilatasi perifer terutama pada keadaan

kekurangan volume intravaskuler sehingga pemberian cairan sebelumnya penting dilakukan

untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi

akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang

sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.

Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi

endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi

akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Durasi laringoskopi

dibawah 15 detik dapat membantu meminimalisir terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa

teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari

terjadinya hipertensi.

Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-10 menit.

Pemberian opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb,

sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1 mikrogram/ kgbb).

Pemberian lidokain 1,5 mg/kgbb secara intravena atau intratrakea.

Penggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb, propanolol 1-3

mg, atau labetatol 5-20 mg).

Penggunakan anestesia topikal pada jalan napas.

2.3.4. Pemilihan obat anestesi


A. Obat induksi

Keunggulan dari setiap obat induksi dan teknik yang dilakukan belum jelas bagi agen

hipertensi. Meskipun dengan anestesi regional, penurunan tekanan darah yang tajam justru

lebih sering terjadi pada pasien hipertensi dibandingkan dengan pasien normotensi.

Barbiturat, benzodiazepin, propofol, dan etomidare adalah induksi anestesi yang paling aman

diberikan pada pasien hipertensi. Pemberian ketamin merupakan kontraindikasi untuk

tindakan operasi karena dapat memicu terjadinya hipertensi namun hal ini dapat dihilangkan

dengan pemberian dosis kecil bersama dengan agen lainnya, terutama benzodiazepin atau

propofol.

B. Rumatan

Anestesi bisa aman dilanjutkan dengan agen volatile (tunggal atau dengan oksida

nitrous), suatu teknik seimbang (oksida opioid + nitrous + relaksan otot), atau sama sekali

teknik intravena. Terlepas dari teknik pengobatan primer, penambahan agen volatile atau

vasodilator intravena umumnya memungkinkan kontrol lebih memuaskan tekanan darah

intraoperatif.vasodilatasi Depresi dan miokard yang relatif cepat dan reversibel yang

diberikan oleh agen volatile dapat berpengaruh terhadap tekanan darah arteri. Oleh sebab itu,

beberapa dokter percaya bahwa pemberian opioid dan sufentanil dapat menekan saraf

otonom serta mengontrol tekanan darah.

C. Pelumpuh otot

Dengan beberapa pengecualian seperti pankuronium, setiap pelumpuh otot dapat

digunakan secara rutin. Pankuronium memiliki efek memblokade syaraf vagal dan

melepaskan katekolamin sehingga dapat memperburuk keadaan pasien hipertensi yang tidak

terkontrol. Ketika pankuronium diberikan perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit akan
terjadi peningkatan detak jantung serta naiknya tekanan darah. Tetapi pankuronium berguna

utnuk mengimbangi kekuatan vagal berlebihan yang disebabkan oleh manipulasi opioid atau

bedah. Pemberian obat hipotensi seperti tubocurarine, merocurine, acracurium, atau mungkin

mivacurium dapat dijadikan pilihan untuk pasien hipertensi.

D. Vasopressors

Penderita hipertensi dapat menampilkan respon berlebihan untuk kedua ranjau-

catechola endogen (dari inkubasi atau stimulasi bedah) dan agonis simpatik eksogen

diberikan.Jika seorang vasopresor diperlukan untuk mengobati hipotensi berlebihan, dosis

kecil agen langsung penuaan seperti fenilefrin (25-50 g) mungkin lebih baik untuk agen

langsung.Namun demikian, dosis kecil efedrin (5-10 mg) lebih tepat bila tinggi nada vagal.

Kesabaran sympatholytics diambil sebelum operasi mungkin menunjukkan respon jatuh ke

vasopressors, terutama efedrin.

2.4. Hipertensi Intraoperatif

Hipertensi intraoperatif yang tidak menanggapi peningkatan kedalaman anestesi

(terutama dengan agen volatile) dapat diobati dengan berbagai agen parenteral menyebabkan

reversible siap seperti kedalaman anestesi yang tidak memadai, hipoksemia, atau hypercapnia

harus selalu dikecualikan sebelum memulai terapi antihipertensi. Pemilihan agen hipotensi

tergantung pada ketajaman, keparahan, dan menyebabkan hipertensi, fungsi dasar ventrikel,

tingkat hem, dan adanya penyakit paru-paru bronchospastic -adrenergik blokade sendiri atau

sebagai dukungan-plement merupakan pilihan yang baik untuk pasien dengan fungsi ventrikel
yang baik dan detak jantung tinggi tetapi kontraindikasi pada pasien dengan penyakit

bronchospastic. Nicardipine mungkin lebih baik untuk pasien dengan penyakit bronchospastic.

Reflex tachycardia berikut nifedipin sublingual telah associted dengan infark ischernia.

Nitroprusside tetap menjadi agen yang paling cepat dan efektif untuk pengobatan intraoperarive

hipertensi sedang sampai parah. Nitrogliserin mungkin kurang efektif tetapi juga berguna dalam

mengobati atau mencegah iskemia miokard. Fenoldopam juga merupakan agen yang berguna

dan dapat meningkatkan atau mempertahankan fungsi ginjal. Hydralazine berkelanjutan

menyediakan kontrol tekanan darah namun memiliki onset tertunda dan sering dikaitkan dengan

takikardi refleks. Yang terakhir ini tidak terlihat dengan labetalol karena kombinasi blockade

dan adrenergik.

2.5. Manajemen Postoperatif

Hipertensi pascaoperasi harus diantisipasi terutama pada pasien dengan hipertensi kurang

terkontrol. Pemantauan tekanan darah harus terus dilanjutkan baik di ruang pemulihan dan

periode pasca operasi dini. Iskemia miokard dan gagal jantung kongestif dapat menyebabkan

terjadinya peningkatan tekanan darah sehingga terjadi hematoma dan luka pada garis jahitan

gangguan pembuluh darah.

Hipertensi pada periode pemulihan sering multi-faktorial dan ditingkatkan dengan

gangguan pernapasan, rasa sakit, volume overload, atau distensi kandung kemih. Masalah

tambahan harus diatasi dan pemberian obat antihipertensi parenteral dapat dilakukan jika perlu.

Pemberian nicardipine melalui intravena berguna dalam mengontrol tekanan darah terutama jika

dicurigai iskemia miokard dan bronkospasme. Ketika pasien kembali mendapatkan asupan oral,

maka pengobatan preoperatif harus ulang diulang kembali.


BAB III

SIMPULAN

1. Hipertensi adalah penyebab utama kematian dan cacat dalam sebagian besar masyarakat

barat dan kelainan yang paling umum terjadi pada pasien sebelum operasi pembedahan

dengan prevalensi keseluruhan 20-25%. Hipertensi tidak terkontrol yang dibiarkan lama

akan mempercepat terjadinya aterosklerosis dan kerusakan organ. Hipertensi merupakan

faktor resiko utama untuk penyakit jantung, otak, ginjal dan pembuluh darah. Semakin

meningkatnya populasi usia lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan

besar juga akan bertambah. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan hipertensi antara

lain adalah genetik, geografi dan lingkungan, janin, natrium, sistem renin-angiotensin,

hiperaktivitas simpatik, resistensi insulin atau hiperinsulinemia, dan disfungsi sel endotel.
2. Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan adanya peningkatan

tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan berdasarkan umur, jenis kelamin

dan ras. Menurut The Joint National Committee 7 (JNC 7) pada pertemuan

mengenai Pencegahan, Deteksi, Evaluasi dan Penatalaksanaan Hipertensi tahun 2003,

klasifikasi hipertensi dibagi atas prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan 2.


3. Anestesi pada pasien hipertensi dilakukan dengan penilaian preoperatif terlebih dahulu

yaitu mengenai jenis pendekatan medikal yang diterapkan, ada tidaknya kerusakan target

organ, status volume cairan tubuh, dan kelayakan penderita untuk dilakukan teknik

hipotensi. Pada intraoperatif yang terpenting adalah mempertahankan kestabilan

hemodinamik. Pemantauan tekanan darah harus terus dilanjutkan baik di ruang

pemulihan dan periode pasca operasi dini. Secara keseluruhan tujuan anestesi untuk

pasien dengan hipertensi adalah menjaga kestabilan tekanan darah pasien.


4. Dalam pemilihan obat anestesi bagi pasien hipertensi, barbiturat, benzodiazepin,

propofol, dan etomidare adalah induksi anestesi yang paling aman. Anestesi rumatannya
adalah pemberian opiopd dan sufentanil yang dapat menekan saraf otonom serta

mengontrol tekanan darah. Sebagai pelumpuh otot, pemberian obat hipotensi seperti

tubocurarine, merocurine, acracurium, atau mungkin mivacurium dapat dijadikan pilihan

untuk pasien hipertensi.


DAFTAR PUSTAKA

John, F Butterworth , etc . 2013. Morgan & Mikhails : Clinical Anesthesiology Fifth edition. A

LANGE medical book


Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL, et al. The seventh

report of the Joint National Committee on prevention, detection, evaluation, and

treatment of high blood pressure: The JNC 7 report. JAMA. 2003;289(19):2560-72.


Sherwood , Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia . EGC : Jakarta
Price, Sylvia. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses- proses Penyakit, edisi 6, Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai