Kelainan Afektif
Istilah kelainan afektif mencakup penyakit-penyakit dengan gangguan afek
(mood) sebagai gejala primer, sedangkan semua gejala lain bersifat sekunder. Afek
bisa terus menerus depresi atau gembira (dalam mania) dan kedua episode ini bisa
timbul pada orang yang sama, karena itu dinamai psikosis manik-depresif. Penyakit
dengan hanya satu jenis serangan disebut unipolar, dan jika episode manik dan
depresif keduanya ada disebut bipolar.
Mood merupakan subjetivitas peresapan emosi yang dialami dan dapat dutarakan
oleh pasien dan terpantau oleh orang lain; termasuk sebagai contoh adalah depresi,
elasi dan marah. Kepustakaan lain, mengemukakan mood, merupakan perasaan, atau
nada perasaan hati seseorang, khususnya yang dihayati secara batiniah.
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan
minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati
atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas,
kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetative (termasuk tidur, aktivitas seksual
dan ritme biologik yang lain). Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya
(handicap) interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan.
Klasifikasi gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menurut PPDGJ-III
(Depkes RI,1993):
F30
Episode Manik
F30.0 Hipomania
F30.1 Mania tanpa gejala psikotik
F30.2 Mania dengan gejala psikotik
F30.8 episode Manik lainnya
F30.9 Episode Manik YTT
F31
F31.5 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat dengan gejala
psikotik
F31.6 Gangguan afektif bipolar, episode kini campuran
F31.7 Gangguan afektif bipolar, episode kini dalam remisi
F31.8 Gangguan afektif bipolar lainnya
F31.9 Gangguan afektif bipolar YTT
F32
Episode Depresif
F32.0 Episode depresif ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F32.1 Episode depresif sedang
.10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik
F32.8 Episode depresif lainnya
F32.9 Episode depresif YTT
F33
F34
F38
F39
B. Definisi
Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai masalahnya,
dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif, gangguan
distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta bipolar.
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada
pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus
asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.
Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka orang
tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena
ia kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya.
C. Angka Kejadian
Gangguan depresi berat, paling sering terjadi, dengan prevalensi seumur hidup
sekitar 15 persen. Perempuan dapat mencapai 25%. Sekitar 10% perawatan primer
dan 15% dirawat di rumah sakit. Pada anak sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2%.
Pada usia remaja didapatkan prevalensi 5% dari komunitas memiliki gangguan
depresif berat.
1. Jenis Kelamin
Perempuan 2x lipat lebih besar disbanding laki-laki. Diduga adanya perbedaan
hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan stresor psikososial antara laki-laki dan
perempuan, dan model perilaku yang dipelajari tentang ketidakberdayaan.
bahwa prevalensi yang tinggi pada wanita dibandingkan pria kemungkinan
dikarenakan adanya ketidakseimbangan regulasi hormon yang langsung
mempengaruhi substansi otak yang mengatur emosi dan mood contohnya dapat
dilihat pada situasi PMS (Pre Menstrual Syndrome). Untuk wanita yang telah
menikah, depresi dapat diperparah dengan masalah keluarga dan pekerjaan,
merawat anak dan orangtua lanjut usia, kekerasan dalam rumah tangga dan
kemiskinan.
2. Usia
Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% onset diantara usia 20-50
tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut usia. Data
terkini menunjukkan gangguan depresi berat diusia kurang dari 20 tahun.
Mungkin
berhubungan
dengan
meningkatnya
pengguna
alkohol
dan
pendapatan rendah ditemukan tingkat depresi yang cukup tinggi yaitu sebesar
51%. Pada penelitian Akhtar (2007) ditemukan tingkat depresi terendah pada
kelompok pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar (9,1%) dan
sebaliknya tingkat depresi yang tertinggi ditemukan pada responden dengan
kelompok pendidikan yang lebih tinggi sebesar (13,4%). Walaupun hasil ini dapat
menjadi indikasi adanya perbedaan tingkat depresi pada tingkat pendidikan,
namun hal tersebut tidak memiliki korelasi positif dengan terjadinya gangguan
depresif (Kaplan, 2010).
D. Etiologi
Etiologi depresi terdiri dari:
1. Faktor genetik
Dari penelitian keluarga didapatkan gangguan depresi mayor dan gangguan
bipolar terkait erat dengan hubungan saudara; juga pada anak kembar, suatu bukti
adanya kerentanan biologik, pada genetik keluarga tersebut.
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di dalam
perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola penurunan genetika
adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks. Bukan saja tidak mungkin untuk
menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor non genetik kemungkinan
memainkan peranan kausatif dalam perkembangan gangguan mood pada
sekurangnya beberapa orang. Penelitian keluarga menemukan bahwa sanak
saudara derajat pertama dari penderita gangguan depresif berat berkemungkinan 2
sampai 3 kali lebih besar daripada sanak saudara derajat pertama (Kaplan, 2010;
Tomb, 2004).
2. Faktor Biokimia
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di dalam
metabolit amin biogenik yang mencakup neurotransmitter norepinefrin, serotonin
dan dopamine (Gambar .1). Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa selain
faktor neurotransmitter yang telah disebutkan di atas, ada beberapa penyebab lain
yang dapat mencetuskan timbulnya depresi yaitu neurotransmitter asam amino
khususnya GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan peptida neuroaktif, regulasi
neurendokrin dan neuroanatomis.
Pada regulasi neuroendokrin, gangguan mood dapat disebabkan terutama oleh
adanya kelainan pada sumbu adrenal, tiroid dan hormon pertumbuhan. Selain itu
kelainan lain yang telah digambarkan pada pasien dengan gangguan mood adalah
penurunan sekresi nocturnal melantonin, penurunan pelepasan prolaktin terhadap
5
E. Klasifikasi
1. Episode Depresif
Pada semua tiga variasi dari episode depresif khas yang tercantum di bawah
ini: ringan, sedang dan berat, individu biasanya menderita suasana perasaan
(mood) yang depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya
energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya
aktivitas. Biasanya ada rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja. Gejala
lazim lainnya adalah (Depkes RI, 1993):
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada episode
d.
e.
f.
g.
dan sering kali tak terpengaruh oleh keadaan sekitarnya, namun dapat
memperlihatkan variasi diurnal yang khas seiring berlalunya waktu. Sebagaimana
pada episode manik, gambaran klinisnya juga menunjukkan variasi individual
yang mencolok, dan gambaran tak khas adalah lumrah, terutama di masa remaja.
Pada beberapa kasus, anxietas, kegelisahan dan agitasi motorik mungkin pada
waktu-waktu tertentu lebih menonjol daripada depresinya, dan perubahan suasana
perasaan (mood) mungkin juga terselubung oleh cirri tambahan seperti iritabilitas,
minum alkohol berlebih, perilaku histrionik, dan eksaserbasi gejala fobik atau
obsesif yang sudah ada sebelumnya, atau oleh preokupasi hipokondrik. Untuk
episode depresif dari ketiga-tiganya tingkat keparahan, biasanya diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode
lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung
cepat (Depkes RI, 1993).
Beberapa di antara gejala tersebut di atas mungkin mencolok dan
memperkembangkan cirri khas yang dipandang secara luas mempunyai makna
klinis khusus. Contoh paling khas dari gejala somatik ialah kehilangan minat atau
kesenangan pada kegiatan yang biasanya dapat dinikmati, tiadanya reaksi
emosional terhadap lingkungan atau peristiwa yang biasanya menyenangkan,
bangun pagi lebih awal 2 jam atau lebih daripada biasanya, depresi yang lebih
parah pada pagi hari, bukti objektif dari retardasi atau agitasi psikomotor yang
8
nyata (disebutkan atau dilaporkan oleh orang lain), kehilangan nafsu makan secara
mencolok, penurunan berat badan (sering ditentukan sebagai 5% atau lebih dari
berat badan bulan terakhir), kehilangan libido secara mencolok. Biasanya,
sindrom somatik ini hanya dianggapp ada apabila sekitar empat dari gejala itu
pasti dijumpai (Depkes RI, 1993).
F32.0
Episode depresif ringan
Suasana perasaan mood yang depresif, kehilangan minat dan kesenangan, dan
mudah menjadi lelah biasanya dipandang sebagai gejala depresi yang paling khas;
sekurang-kurangnya dua dari ini, ditambah sekurang-kurangnya dua gejala lazim
di atas harus ada untuk menegakkan diagnosis pasti. Tidak boleh ada gejala yang
berat di antaranya. Lamanya seluruh episode berlansung ialah sekurangkurangnya sekitar 2 minggu (Depkes RI, 1993).
Individu yang mengalami episode depresif ringan biasanya resah tentang
gejalanya dan agak sukar baginya untuk meneruskan pekerjaan biasa dan kegiatan
social, namun mungkin ia tidak akan berhenti berfungsi sama sekali (Depkes RI,
1993).
F32.1
Episode depresif sedang
Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala yang paling khas yang
ditentukan untuk episode depresif ringan, ditambah sekurang-kurangnya tiga (dan
sebaiknya empat) gejala lainnya. Beberapa gejala mungkin tampil amat menyolok,
namun ini tidak esensial apabila secara keseluruhan ada cukup banyak variasi
gejalanya. Lamanya seluruh episode berlangsung minimal sekitar 2 minggu
(Depkes RI, 1993).
Individu dengan episode depresif taraf; sedang biasanya menghadapi kesulitan
nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah tangga
(Depkes RI, 1993).
F32.2
Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
Pada episode depresif berat, penderita biasanya menunjukkan ketegangan atau
kegelisahan yang amat nyata, kecuali apabila retardasi merupakan ciri terkemuka.
Kehilangan harga diri dan perasaan dirinya tak berguna mungkin mencolok, dan
bunuh diri merupakan bahaya nyata terutama pada beberapa kasus berat.
Anggapan di sini ialah bahwa sindrom somatik hampir selalu ada pada episode
dpresif berat.
Semua tiga gejala khas yang ditentukan untuk episode depresif ringan dan
sedang harus ada, ditambah sekurang-kurangnya empat gejala lainnya, dan
9
10
dan ritme biologik yang lain). Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya
interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan.
Adapun gambaran klinik dari pasien depresi ini antara lain (Ingram dkk, 1993):
1. Adanya gejala psikologis berupa penurunan vitalitas umum, yang mungkin
dinyatakan pasien sebagai suatu kehilangan dan sedih. Biasanya dia menarik diri
dari kehidupan sosialnya. Segala sesuatu kelihatannya tanpa harapan, selalu
murung, ansietas mungkin ada atau pasien mungkin mencoba untuk
menyembunyikan keluhannya (depresi senyum).
2. Variasi diurnal, dimana semua gejala cenderung memburuk pada dini hari dan
membaik di siang hari.
3. Bunuh diri, dapat menjadi tanda awal penyakit. Kemungkinan bunuh diri sulit
diduga sebelumnya, tetapi selalu harus diperhitungkan. Pikiran bunuh diri
seharusnya selalu ditanyakan dan jika ada harus dianggap serius. Penderita depresi
jarang membunuh keluarganya, tetapi kalau terjadi biasanya karena dia merasa
harus menyelamatkan keluarganya dari kehidupan yang sengsara.
4. Retardasi atau perlambatan berpikir biasa ditemukan dan dicerminkan dalam
pembicaraan serta pergerakannya. Ada kemiskinan pikiran dan kesulitan
berkonsentrasi. Pada kasus lain agitasi mungkin menjadi gejala dominan, disertai
dengan adanya kegelisahan motorik yang nyata.
5. Perasaan bersalah sering ditemukan disertai mengomeli diri sendiri dan turunnya
penilaian diri. Dalam kasus berat, bisa timbul waham dimana penyakit yang
dideritanya merupakan suatu hukuman untuk dosanya di masa lampau, baik itu
dosa yang dikhayalkannya maupun kesalahan yang memang benar-benar pernah ia
lakukan. Pasien juga bisa merasa bahwa dia dipandang rendah dan dituduh bejad
oleh orang lain. Kemungkinan ada keasyikan sendiri, hipokondriasis dan waham
hipokondria. Mungkin juga ada waham kemiskinan atau waham nihilistik.
6. Halusinasi jarang ditemukan, tetapi dapat timbul pada kasus berat.
7. Depersonalisasi dan derealisasi tidak jarang terjadi. Pasien menyatakan bahwa dia
kehilangan perasaan dan mempunyai sensasi asing. Dia merasa tidak nyata dan
baginya benda-benda terlihat tidak nyata.
8. Pikiran dan tindakan berisi perasaan bersalah atau menyalahkan diri sendiri
mungkin ditemukan.
9. Insomnia sering ditemukan. Gejala khasnya pasien mula-mula bangun dini hari,
kemudian semakin lama semakin pagi dan bahkan akhirnya dapat menjadi
insomnia total.
12
10. Anoreksia, konstipasi, gangguan pencernaan, penurunan berat badan, amenore dan
kehilangan libido biasa ditemukan. Mungkin terjadi kelelahan dan letargi, atau
tanda autonom ansietas.
Pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua pertiga pasien
depresi, dan 10-15% melakukan bunuh diri. Mereka yang dirawat dirumah sakit
dengan percobaan bunuh diri dan ide bunuh diri mempunyai umur hidup lebih
panjang disbanding yang tidak dirawat. Beberapa pasien depresi terkadang tidak
menyadari ia mengalami depresi dan tidak mengeluh tentang gangguan mood
meskipun mereka menarik diri dari keluarga, teman dan aktifitas yang sebelumnya
menarik bagi dirinya. Hampir semua pasien depresi (97%) mengeluh tentang
penurunan energi dimana mereka mengalami kesulitan menyelesikan tugas,
mengalami kendala disekolah dan pekerjaan, dan menurunnya motivasi untuk terlibat
dalam kegiatan baru. Sekitar 80% pasien mengeluh masalah tidur, khusunya terjaga
dini hari (terminal insomnia) dan sering terbangun dimalam hari karena memikirkan
masalh yang dihadapi. Kebanyakan pasien menunjukkan peningkatan atau penurunan
nafsu makan, demikian pula dengan bertambah dan menurunnya berat badan serta
mengalami tidur lebih lama dari yang biasa (Depkes RI, 1993).
G. Diagnosis
Konsep gangguan jiwa yang terdapat dalam PPDGJ III ini merujuk kepada DSMIV dan konsep disability berasal dari The ICD-10 Classification of Mental and
Behavioral Disorders. Menurut PPDGJ (2003), gangguan afektif berupa depresi dapat
terbagi menjadi episode depresif dan episode depresif berulang, dimana episode
depresif sendiri terbagi menjadi episode depresif ringan, sedang, dan berat.
Sedangkan untuk episode berulang terbagi menjadi episode berulang episode kini
ringan, episode kini sedang, episode kini berat tanpa gejala psikotik, episode kini
berat dengan gejala psikotik dan episode kini dalam remisi.
DSM-IV mendefinisikan sejumlah gangguan psikiatrik yang dapat diidentifikasi
(meskipun ada kemungkinan tumpang tindih) dan berisi kriteria diagnostik yang
spesifik untuk setiap diagnosis. Diagnosis dibuat berdasarkan kenyataan dari riwayat
pasien yang khas dan tampilan klinis yang cocok dan memenuhi sejumlah kriteria
diagnostik yang ditentukan (suatu diagnostik politetik, tidak perlu seluruh kriteria
dipenuhi untuk membuat diagnosa).
13
H. Pemeriksaan
Selain dari klasifikasi yang telah dipaparkan di atas, ada beberapa instrumeninstrumen pengukur tingkat depresi dapat digunakan untuk membantu memberikan
penilaian yang objektif terhadap kondisi depresi yang dialami oleh pasien. Berikut ini
adalah beberapa instrumen yang sering digunakan, yaitu:
a. Becks Depression Inventory
b. Hamilton Depression Scale
c. The Zung Self-Rating Depression Scale
I. Diferensial Diagnosis
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang tidak cermat dan teliti pada penderita
depresi, dapat menyebabkan kesalahan diagnostik sehingga menyebabkan terapi yang
inadekuat untuk pasien. Berdasarkan kepustakaan, ada beberapa kondisi yang harus
benar-benar diperhatikan sebagai diagnosa banding dari depresi (Kaplan, 2010),
diantaranya adalah:
1. Remaja yang terdepresi harus diuji untuk mononucleosis,
2. Pasien yang terdapat kelebihan berat badan atau kekurangan berat badan harus
diuji untuk disfungsi adrenal dan tiroid,
3. Homoseksual, biseksual dan pengguna zat aditif harus diuji untuk sindrom
imunodefisiensi sindrom (AIDS),
4. Pasien lanjut usia harus diuji untuk pneumonia virus dan kondisi medis lainnya,
5. Penyakit Parkinson adalah masalah neurologis yang paling umum bermanifestasi
sebagai gejala depresif,
J. Terapi
Pengobatan pasien dengan gangguan mood harus diamanahkan pada sejumlah
tujuan. Pertama, keamanan pasien harus terjamin. Kedua, pemeriksaan diagnostik
yang lengkap pada pasien harus dilakukan. Ketiga, suatu rencana pengobatan harus
15
dimulai yang menjawab bukan hanya gejala sementara tetapi juga kesehatan pasien
selanjutnya (Kaplan, 2010).
1. Terapi Farmakologis
Antidepresan yang tersedia sekarang cukup bervariasi di dalam efek
farmakologisnya. Variasi tersebut merupakan dasar untuk pengamatan bahwa
pasien individual mungkin berespons terhadap antidepresan lainnya. Variasi
tersebut juga merupakan dasar untuk membedakan efek samping yang terlihat
pada antidepresan (Kaplan, 2010).
Pembedaan yang paling dasar diantara antidepresan adalah pada proses
farmakologis yang terjadi, dimana ada antidepresan yang memiliki efek
farmakodinamika jangka pendek utamanya pada tempat ambilan kembali
(reuptake sites) atau pada tingkat inhibisi enzim monoamine oksidasi. bekerja
untuk menormalkan neurotransmitter yang abnormal di otak khususnya epinefrin
dan norepinefrin. Antidepresan lain bekerja pada dopamin. Hal ini sesuai dengan
etiologi dari depresi yang kemungkinan diakibatkan dari abnormalitas dari sistem
neurotransmitter di otak (NIMH, 2002). Obat antidepresan yang akan dibahas
adalah antidepresi generasi pertama (Trisiklik dan MAOIs), antidepresi golongan
kedua (SSRIs) dan antidepresi golongan ketiga (SRNIs).
a. Trisiklik
Trisiklik merupakan antidepresan yang paling umum digunakan sebagai
pengobatan lini pertama untuk gangguan depresif berat (Kaplan, 2010).
Golongan trisiklik ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu trisiklik
primer, tetrasiklik amin sekunder (nortriptyline, desipramine) dan tetrasiklik
tersier (imipramine, amitriptlyne). Dari ketiga golongan obat tersebut, yang
paling sering digunakan adalah tetrasiklik amin sekunder karena mempunyai
efek samping yang lebih minimal. Obat golongan tetrasiklik sering dipilih
karena tingkat kepuasan klinisi dikarenakan harganya yang murah karena
sebagian besar golongan dari obat ini tersedia dalam formulasi generik
(Kaplan, 2010).
Golongan obat
trisiklik
bekerja
dengan
menghambat
reuptake
penghambat
reuptake
norepinefrin,
sedangkan
amin
tersier
dua
anggapan:
pertama,
masalah
interpersonal
sekarang
DAFTAR PUSTAKA
1.
Kaplan, Saddock. Sinopsis Psikiatri, Jilid II, Edisi Ketujuh, Binarupa Aksara,
Jakarta, 2010 ; 685 817
2.
Davison GC, terapi gangguan mood, in Davison GC, Neale JM, Kring AM, et al
eds, Psikologi Abnormal, edisi ke 9, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
18
3.
Nevid JS, Penanganan Gangguan Mood, in Nevid JS, Rathus SA, Greene B, et al
eds, Psikologi Abnormal, Erlangga
4.
5.
Maslim. R : Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ
III, Jakarta, 2001
19