Anda di halaman 1dari 22

ANEMIA DEFISIENSI BESI DALAM KEHAMILAN

I. Pendahuluan
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia adalah yang tertinggi bila
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Penyebab utama kematian
ibu langsung adalah perdarahan 28%, eklampsia 24%, dan infeksi 11%, dan
penyebab tidak langsung adalah anemia 51%.1 Anemia merupakan defisiensi
nutrisi yang paling banyak di dunia. Anemia merupakan komplikasi dalam
kehamilan yang paling sering ditemukan. Hal ini disebabkan karena dalam
kehamilan, kebutuhanakan zat-zat gizisemakin meningkat dan terjadi pula
perubahan-perubahan dalam darah dan sumsum tulang. 2 WHO memperkirakan
bahwa prevalensi anemia pada ibu hamil di negara maju sebesar 14% dan di
negara berkembang sebesar 51%. Sekitar 75% anemia dalam kehamilan
disebabkan oleh defisiensi gizi. Sering kali defisiensi tersebut bersifat multipel
dengan manifestasi yang disertai infeksi, gizi buruk atau kelainan herediter.
Namun, penyebab mendasar anemia nutrisionalmeliputi kebutuhan yang
meningkat, asupan nutrisi yang tidak cukup, absorbsi yang tidak adekuat dan
bertambahnya zat giziyang hilang.3 Faktor nutrisi utama yang mempengaruhi
terjadinya anemia adalah zat besi, asam folat dan vitamin B12.4
Anemia secara praktis didefinisikan yaitu sebagai keadaan dimana kadar
hemoglobin (Hb), kadar hematokrit (Ht) atau hitung eritrosit darah kurang dari
normal. Kadar Hb normal berbeda untuksetiap kelompok umur dan jenis kelamin:
balita 11 g %, anak usia sekolah12 g %, wanita dewasa 12 g %, laki-laki dewasa
13 g %, ibu hamil 11 g % danibu menyusui 12 g %. Umumnya konsentrasi
hemoglobin kurang dari 12 g/dL pada perempuan yang tidak hamil dan kurang
dari 10 g/dL selama kehamilan atau masa nifas.The Centers for Disease Control
mendefinisikan anemia sebagai kadar hemoglobin kurang dari 11 g/dL pada
trimester pertama dan ketiga, dan kurang dari 10,5 g/dL pada trimester kedua.
Komplikasi anemia dalam kehamilan dapat berdampak pada masa kehamilan,
persalinan, nifas, maupun pada janin.1 Anemia merupakan penyebab penting yang

1
melatarbelakangi kejadian morbiditas dan mortalitas, yaitu kematian ibu pada
waktu hamil dan pada waktu melahirkan atau nifas sebagai akibat komplikasi
kehamilan. Selain itu ibu hamil yang menderita anemia juga berisiko terjadinya
perdarahan pada saat melahirkan. Disamping pengaruhnya kepada kematian dan
perdarahan, anemia pada saat hamil akan mempengaruhi pertumbuhan janin, berat
bayi lahir rendah dan peningkatan kematian perinatal.5
Anemia yang sering ditemukan dalam kehamilan adalah anemia defisiensi
besi. Anemia defisiensi besi terjadi karena kurangnya zat besi dalam makanan
untuk memenuhi kebutuhan zat besi ibu yang hamil, kebutuhan zat besi untuk
janin dan plasenta, dan pendarahan post partum. Karena itu, cadangan zat besi
yang dibutuhkan ibu hamil minimal lebih dari 500mg. Perubahan diet dengan
konsumsi makanan yang kaya zat besi dan penambahan suplemen zat besi
dianjurkan pada ibu hamil. Anemia ini mengakibatkan berkurangya produksi
heme. Jadi, pengobatan yang diberikan bertujuan untuk meningkatkan produksi
sel darah merah.6

II. Definisi
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin kurang dari
normal, yang berbeda di tiap kelompok umur dan jenis kelamin. Secara klinis,
definisi anemia berupa hemoglobin (Hb) atau hematokrit di bawah persentil 10. 1
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat
besi dalam tubuh, sehingga kebutuhan zat besi (Fe) untuk eritropoesis tidak
cukup, yang ditandai dengan gambaran sel darah merah hipokrom-mikrositer,
kadar besi serum (Serum Iron = SI) dan jenuh transferin menurun, kapasitas ikat
besi total (Total Iron Binding Capacity/TIBC) meninggi dan cadangan besi dalam
sumsum tulang serta ditempat yang lain sangat kurang atau tidak ada sama sekali.7
Secara umum anemia dalam kehamilan berkaitan dengan anemia defisiensi
besi, berdasarkan Centers for Disease Control and Prevention, definisi anemia
dalam kehamilan adalah seperti yang berikut:
1. Hb kurang dari 11,0 gr/dL di trimester pertama dan ketiga;4
2. Hb kurang dari 10,5 gr/dL di trimester kedua.4

2
III. Epidemiologi
Di seluruh dunia, frekuensi anemia dalam kehamilan cukup tinggi yaitu
berkisar antara 10-20%. Menurut WHO, 40% kematian ibu di negara berkembang
berkaitan dengan anemia dalam kehamilan yang penyebabnya adalah defisiensi
zat besi.10 Angka anemia di Indonesia menunjukkan nilai yang cukup tinggi yaitu
63,5%. Karena defisiensi gizi memegang peranan yang sangat penting dalam
timbulnya anemia maka dapat dipahami bahwa frekuensi anemia dalam kehamilan
lebih tinggi di negara berkembang, dibandingkan dengan negara maju.2
95% dari anemia dalam kehamilan merupakan anemia defiesiensi besi.
Insidens wanita hamil yang menderita anemia defisiensi besi semakin meningkat.
Ini menunjukkan kebutuhan zat besi maternal yang meningkat pada kehamilan.
Kematian maternal meningkat karena terjadinya pendarahan post partum yang
banyak pada wanita hamil yang sebelumnya sudah menderita anemia.9

IV. Etiologi

Penyebab anemia defisiensi besi

Sistem reproduksi

Menorrhagia 3
Perdarahan

Oesophagitis4
Oesophegeal varices4
Hiatus hernia4
Ulkus peptikum4
Inflammatory bowel disease4
Hemoroid4
Carcinoma: gaster, colorectal4
Angiodisplasia4
Hereditary haemorrhagic telangiectasia (jarang)5
Aspirin5
Antikoagulan5
Von Willebrands disease5

3
Malabsorpsi

Coeliac disease4
Gastritis atrofi3
Fisiologis

Kehamilan3
Growth spurts (terutama pada bayi prematur)3
Diet

Vegetarian6
Usia tua6
Pasien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dan mendapat
eritropoietin.6
Penyebab anemia defisiensi besi yang paling sering adalah infeksi cacing tambang4

V. Metabolisme Zat Besi

Besi (Fe) memiliki peran yang sangat penting dalam banyak proses
metabolisme dan rata-rata orang dewasa memiliki 3-5 gram besi, dimana dua
pertig anya membawa molekul haemoglobin.10

Jumlah total besi dalam tubuh rata-rata 4 sampai 5 gram, lebih kurang 65
persennya dijumpai dalam bentuk hemoglobin. Sekitar 4 persennya dalam bentuk
mioglobin, 1 persen dalam bentuk macam-macam senyawa heme yang
meningkatkan oksidasi intraselular, 0,1 persen bergabung dengan protein
transferin dalam plasma darah, dan 15 sampai 30 persen terutama disimpan dalam
sistem retikuloendotelial dan sel parenkim hati, khususnya dalam bentuk feritin.12

Sebuah diet Western yang normal mengandung 15 mg besi setiap hari,


dimana 5-10% diserap terutama di duodenum dan jejunum bagian atas dimana
kondisi asam membantu penyerapan besi dalam bentuk ferrous. Penyerapannya
dibantu oleh zat-zat yang lain seperti asam hidroklorida, dan asam askorbat.
Tubuh memiliki kemampuan untuk meningkatkan penyerapan zat besi jika
kebutuhan akan besi meningkat seperti pada kehamilan, laktasi, growth spurts,
dan defisiensi besi. 4

4
Tabel 1. Kebutuhan diet besi harian, (dikutip dari kepustakaan no.4)

Besi diabsorpsi dari semua bagian usus halus, sebagian besar melalui
mekanisme berikut. Hati mensekresi apotransferin dalam jumlah sedang ke dalam
empedu yang mengalir melalui duktus empedu ke dalam duodenum. Dalam usus
halus, apotransferin berikatan dengan besi bebas dan dengan beberapa senyawa
besi seperti hemoglobin dan mioglobin dari makanan yang merupakan dua sumber
besi paling penting dalam diet. Kombinasi ini disebut transferin. Kombinasi ini
kemudian tertarik dan berikatan dengan reseptor pada membran sel epitel usus.
Kemudian, dengan cara pinositosis, molekul transferin diabsorbsi ke dalam sel
epitel dan kemudian dilepaskan pada sisi darah dari sel ini dalam bentuk
transferin plasma.12

Kecepatan absorbsi besi sangat lambat, dengan kecepatan maksimum


hanya beberapa milligram per hari. Ini berarti bahwa bila dalam makanan terdapat
banyak sekali besi maka hanya sebagian kecil saja yang dapat diabsorpsi. Bila
tubuh menjadi jenuh dengan besi sehingga seluruh apoferitin dalam tempat
cadangan besi sudah terikat dengan besi maka kecepatan absorpsi besi dari traktus
intestinal menjadi sangat menurun. Sebaliknya bila tempat penyimpanan besi itu
sampai kehabisan besi, maka kecepatan absorbsinya akan sangat dipercepat, dapat
sampai lima kali atau lebih dibandingkan bila tempat penyimpanan besi dalam
keadaan jenuh. Jadi jumlah total besi dalam tubuh sebagian besar diatur dengan
cara mengubah kecepatan absorbsinya.12

5
Setelah diserap dari usus, besi diangkut melalui mukosa sel ke dalam
darah kemudian akan dibawa oleh protein transferin untuk menyusun sel darah
merah di bone marrow. Ketika besi diabsorpsi dari usus halus, besi segera
bergabung dalam plasma darah dengan beta globulin, yakni apotransferin, untuk
membentuk transferin yang selanjutnya diangkut dalam plasma. Besi ini berkaitan
secara longgar dengan molekul globulin dan akibatnya dapat dilepaskan ke setiap
sel jaringan pada setiap tempat dalam tubuh. Kelebihan besi dalam darah
disimpan dalam seluruh sel tubuh, tempat utama di hepatosit hati dan sedikit di sel
retikuloendotelial sumsum tulang. Dalam sitoplasma sel, besi ini terutama
bergabung dengan suatu protein yakni apoferitin untuk membentuk feritin.
Apoferitin mempunyai berat molekul kira-kira 460.000 dan berbagai jumlah besi
dapat bergabung dalam bentuk kelompok radikal besi dengan molekul besar ini
oleh karena itu feritin mungkin hanya mengandung sedikit besi atau bahkan
banyak sekali. Besi yang disimpan sebagai feritin ini disebut besi cadangan.4,12

Di tempat penyimpanan ada sedikit besi yang tersimpan dalam bentuk


yang sama sekali tidak larut disebut hemosiderin. Hal ini terjadi bila jumlah total
besi dalam tubuh melebihi yang dapat ditampung oleh tempat penyimpanan
apoferitin. Bila jumlah besi dalam plasma sangat rendah maka besi dengan sangat
mudah dilepaskan dari ferritin. Namun tidak semudah seperti dari hemosiderin.
Selanjutnya besi diangkut dalam plasma dalam bentuk transferin menuju bagian
tubuh yang memerlukan.12

Gambaran unik dari molekul tranferin adalah bahwa molekul ini


berikatan secara kuat dengan reseptor pada membran sel eritroblas dalam sumsum
tulang. Selanjutnya bersama dengan besi yang terikat, transferin masuk ke dalam
eritroblas dengan cara endositosis. Di sini transferin mengirimkan besi secara
langsung ke mitokondria yaitu tempat dimana heme disintesis. Pada orang-orang
yang dalam darahnya tidak terdapat transferin dalam jumlah yang cukup maka
kegagalan pengangkutan besi menuju eritroblas dapat menyebabkan anemia
hipokrom yang berat yakni adanya penurunan jumlah sel darah merah yang
mengandung lebih sedikit hemoglobin dari normal.12

6
Bila sel darah merah telah melampaui masa hidupnya dan hancur maka
hemoglobin yang dilepaskan dari sel akan dicerna oleh sel-sel dari sistem
makrofag-monosit. Di sini terjadi pelepasan besi bebas, dan kemudian terutama
disimpan di tempat penyimpanan feritin atau digunakan lagi untuk membentuk
hemoglobin baru.12

Sekitar 1 mg besi setiap hari dilepaskan dari tubuh melalui urine, faeces,
dan keringat. Menstruasi menambahkan kehilangan besi sebesar 20 mg setiap
bulan dan kehamilan meningkatkan kebutuhan akan besi (500-1000 mg) yang
berkontribusi pada tingginya insidens defisiensi besi pada perempuan usia
reproduksi. 12

Sekitar 200 mg besi akan hilang akibat perdarahan selama dan setelah
proses melahirkan. Untungnya, sebanyak 500 mg besi dari metabolisme sel darah
merah maternal dikembalikan ke cadangan besi post partum. Oleh karena itu
seorang ibu kehilangan 500 mg besi setiap kehamilan yang viable. Dengan
demikian, cadangan besi > 500 mg dianggap minimum pada seorang perempuan
yang memulai kehamilan. Laporan terbaru menunjukkan bahwa hanya 20%
wanita usia subur yang memiliki cadangan besi; 40% akan memiliki cadangan
besi sebanyak 100-500 mg dan 40% hampir tidak memilki cadangan besi.
Walaupun penyerapan besi meningkat selama kehamilan, hal ini tidak cukup
untuk mencegah anemia defisiensi besi pada 20% perempuan yang tidak
mendapatkan tambahan zat besi. Selain itu kehamilan berulang, terutama dengan
interval yang pendek dapat menyebabkan defisiensi besi yang berat.6

Tabel. 2. Kebutuhan zat besi untuk kehamilan dan masa nifas6

Fungsi Kebutuhan

Meningkatkan jumlah sel darah merah 450 mg

Fetus dan plasenta 360 mg

7
Persalinan 190 mg

Laktasi 1 mg/ hari

V. Patofisiologi Anemia dalam Kehamilan


Kebutuhan zat besi bertambah selama kehamilan, seiring dengan
bertambahnya usia kehamilan. Peningkatan penggunaan zat besi yang diabsorpsi
di dalam tubuh meningkat dari 0.8mg/hari di awal kehamilan hingga 7.5mg/hari
pada trimester akhir. Zat besi yang rata-rata dibutuhkan untuk wanita hamil adalah
800mg, 300 mg adalah untuk janin dan plasenta, dan 500 mg ditambahkan untuk
hemoglobin ibu. Hampir 200 mg zat besi hilang saat perdarahan persalinan dan
post partum. Jadi penyimpanan zat besi yang minimal di dalam tubuh pada wanita
hamil adalah lebih dari 500mg di awal kehamilan. Apabila zat besi tidak ditambah
dalam kehamilan, maka mudah terjadi anemia defisiensi zat besi, terutama pada
kehamilan kembar, multipara, kehamilan yang sering dalam jangka waktu yang
singkat dan vegetarian. Di daerah tropis, zat besi lebih banyak keluar melalui
keringat dan kulit. Suplemen zat besi setiap hari yang dianjurkan tidak sama untuk
berbagai negara. Di Amerika Serikat, untuk wanita tidak hamil, wanita hamil dan
wanita yang menyusui dianjurkan masing-masing 12mg, 15mg, dan 15mg.
Sedangkan di Indonesia masing-masing 12 mg, 17 mg dan 17 mg.10
Prevalensi defisiensi besi bagaimanapun secara logis jauh lebih besar dari
anemia, menunjukkan bahwa sebagian besar wanita memasuki kehamilan dengan
asupan zat besi yang tidak memadai untuk memenuhi peningkatan kebutuhan zat
besi yang diperlukan untuk ekspansi massa sel darah merah pada ibu serta untuk
perkembangan janin dan plasenta. Sekitar 1000 mg zat besi yang diperlukan
selama kehamilan, 500 mg digunakan untuk mendukung perluasan massa
hemoglobin ibu dan 300 mg untuk perkembangan janin dan plasenta. 13
Hampir semua kebutuhan zat besi terjadi pada paruh kedua kehamilan,
ketika pembentukan organ janin terjadi. Rata-rata, kebutuhan besi harian adalah
antara 6 dan 7 mg dibandingkan dengan 1 mg / hari dalam kondisi fisiologis
normal. Selama 6 sampai 8 minggu terakhir kehamilan, kebutuhan meningkat
hingga 10 mg / hari. Meskipun penyerapan zat besi yang meningkat secara

8
substansial selama kehamilan dan cukup pada pemenuhan zat besi wanita yang
sehat, itu gagal untuk memenuhi kebutuhan pemakaian zat besi wanita hamil.
Pada wanita yang memasuki kehamilan dengan cadangan zat besi rendah,
suplemen zat besi sering gagal untuk mencegah kekurangan zat besi. Lebih jauh
lagi, kondisi seperti implantasi plasenta yang abnormal dapat menyebabkan
kehilangan darah kronis dan meningkatkan kebutuhan zat besi selama kehamilan.2
Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi
yang negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai
oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorpsi besi dalam usus, serta
apusan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut
terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk
eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit
tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai iron
deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah
peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit.
Saturasi transferin menurun dan kapasitas ikat besi total (total iron binding
capacity = TIBC) meningkat, serta peningkatan reseptor transferin dalam serum.
Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis semakin terganggu
sehingga kadar hemoglobin mulai menurun. Akibatnya timbul anemia mikrositik
hipokrom, disebut sebagai anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia).14
Selama periode setelah melahirkan 0,5-1 mg besi perhari dibutuhkan
untuk laktasi, dengan demikian jika cadangan pada awalnya direduksi, maka
pasien hamil dengan mudah bisa mengalami kekurangan besi, dimana janin bisa
mengakumulasi besi bahkan dari ibu yang kekurangan besi. Kebutuhan besi yang
meningkat tersebut tidak terpenuhi oleh kebiasaan diet normal, walaupun ada
penyerapan besi yang meningkat selama kehamilan yaitu 1,3-2,6 mg perhari.
Setiap wanita hamil membutuhkan sampai 2 tahun makan normal untuk mengisi
kembali cadangan besi yang telah hilang selama hamil.7
Adapun perubahan pertama yang terjadi selama perkembangan
kekurangan besi adalah deplesi cadangan zat besi pada hati, empedu dan sumsum

9
tulang, diikuti dengan menurunnya besi serum dan peningkatan TIBC, sehingga
anemia berkembang.7
Sel darah merah secara klasik digambarkan sebagai hipokromik
mikrositer, tetapi perubahan morfologi karakteristik ini tidak terjadi sampai
nitrohematokrit jatuh dibawah nilai normal. Mikrositik mendahului hipokromik
dan angkaretikulosit rendah pada anemia defisiensi besi.7
Anemia defisiensi besi merupakan manifestasi dari gangguan
keseimbangan zat besi yang negatif, Jumlah zat besi yang diabsorbsi tidak
mencukupi kebutuhan tubuh. Pertama-tama keseimbangan yang negatif ini oleh
tubuh diusahakan untuk mengatasinya dengan cara menggunakan cadangan besi
dalam jaringan depot. Pada saat cadangan besi itu habis baru anemia defisiensi
besi menjadi manifes. Perjalanan keadaan kekurangan zat besi mulai dari
terjadinya anemia sampai dengan timbulnya gejala-gejala yang klasik melalui
beberapa tahapan yaitu :7
1 Cadangan besi habis diikuti oleh serum feritin menurun tapi belum ada
anemia. Serum transferin meningkat.
2 Besi serum menurun.
3 Perkembangan normositik, diikuti oleh anemia normokromik.
4 Perkembangan mikrositik dan anemia hipokromik.

Kebutuhan zat besi


Cadangan besi dalam
bertambah selama Penurunan kadar
tubuh menurun
kehamilan ferritin serum

Terjadi fase deplesi Peningkatan absorpsi


Iron besi dalam usus

Penurunan asupan besi


Apabila keadaan ini terus berlanjut dalam sumsum tulang

Saturasi transferrin 10
Bahandan
menurun untuk
kadar
eritropoiesis
Anemia
Kadar
Terjadi
Total Hb
iron berkurang
defisiensi
berangsur-
deficient
Binding besi
Iron
angsur
erythropoiesis
Capacity menurun
meningkat
Gambar 1: Skema patofisiologi anemia defisiensi besi pada kehamilan

VI. Gejala Klinis dan Klasifikasi Anemia

11
Kekurangan Asam Kekurangan Protein Kekurangan zat besi
Folat

Berkurangnya
Pembentukan Pembentukan tissue
pembentukan dan
hemoglobin respiratory enzymes
terjadinya kelainan
berkurang berkurang
sel darah merah

Anemia Megaloblastik Anemia Defisiensi Defisiensi


Besi penggunaan oksigen

Defisiensi pengangkutan
oksigen di dalam darah
Gejala Klinis
Anemia

Anemia Ringan Anemia


Sedang Anemia Berat

Gambar 2: Grafik menunjukkan kekurangan asam folat, protein dan zat besi dapat menyebabkan
kekurangan oksigen jaringan dan mengakibatkan terjadinya anemia.

Gejala klinis dari anemia bervariasi, bergantung pada tingkat anemia yang
diderita. Tanda dan gejala klinisnya adalah :
a) Anemia ringan: adanya pucat, lelah, anoreksia, lemah, lesu dan sesak.3
b) Anemia sedang: adanya lemah dan lesu, palpitasi, sesak, edema kaki, dan tanda
malnutrisi seperti anoreksia, depresi mental, glossitis, ginggivitis, emesis atau
diare.3
c) Anemia berat: adanya gejala klinis seperti anemia sedang dan ditambah dengan
tanda seperti demam, luka memar, stomatitis, koilonikia, pika, gastritis,
thermogenesis yang terganggu, penyakit kuning, hepatomegali dan
splenomegali bisa membawa seorang dokter untuk mempertimbangkan kasus
anemia yang lebih berat. 3
Nilai ambang batas yang digunakan untuk menentukan status anemia ibu
hamil, didasarkan pada kriteria WHO tahun 1972 yang ditetapkan dalam 3
kategori, yaitu normal (11 gr/dl), anemia ringan (8-11 g/dl), dan anemia berat

12
(kurang dari 8 g/dl). Berdasarkan hasil pemeriksaan darah ternyata rata-rata kadar
hemoglobin ibu hamil adalah sebesar 11.28 mg/dl, kadar hemoglobin terendah
7.63 mg/dl dan tertinggi 14.00 mg/dl. Klasifikasi anemia yang lain adalah:
a. Hb 11 gr% : Tidak anemia10

b. Hb 9-10 gr% : Anemia ringan10

c. Hb 7 8 gr%: Anemia sedang10

d. Hb < 7 gr% : Anemia berat.10

VII. Diagnosis Anemia Defisiensi Besi dalam Kehamilan


Diagnosis anemia defisiensi dalam kehamilan ditentukan berdasarkan hasil
anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan laboratorium dasar yang dilakukan dimulai dengan


menghitung retikulosit. Jika retikulosit rendah atau normal, diasumsikan bahwa
anemia yang terjadi disebabkan oleh kurangnya produksi sel darah merah.
Terdapat tiga kategori morfologik : mikrositik (mean corpuscular volume MCV <
80), normositik (MCV 80-100), dan makrositik (MCV >100). Pemeriksaan
laboratorium tambahan dipilih berdasarkan pengelompokan tersebut. Peningkatan
retikulosit member kesan peningkatan kehilangan sel darah merah secara sekunder
oleh karena perdarahan (akut maupun kronik) atau hemolisis.1

Kriteria anemia menurut Reticulocyte count


CDC (The Centers for
Disease Control)
13
Meningkat Normal atau menurun

Pertimbangkan : Anemia Mikrositik, Anemia Makrositik,


1. Kehilangan MCV <80, MCV>100,
darah akut. Pertimbangkan : Pertimbangkan :
2. Terapi zat besi 1. Defisiensi zat besi. 1. Defisiensi As.Folat
yang baru. Cek ferritin, TIBC 2. Defisiensi vit. B12
3. Anemia dan plasma iron level. Cek serum folat dan
Hemolitik. 2. Hemoglobinopati. B12 level.
Cek hemoglobin dan Pertimbangkan
Cek apusan darah elektroforesis malabsorbsi, gangguan
tepi dan tingkat makan dan ekstrim diet
haptoglobin. sebagai kemungkinan
etiologi.

Anemia Normositik, MCV 80-100


Pertimbangkan:
1. Defisiensi zat besi ringan
2. Anemia disebabkan penyakit kronik.
Cek fungsi tes renal, hepatik dan tiroid.

Gambar 2 : Algoritma untuk diagnosis anemia berdasarkan hasil darah laboratorium. 7

Penyebab tersering dari anemia mikrositik adalah anemia defisiensi besi.


Nilai potensial besi yang diperiksa meliputi serum feritin, total iron binding

14
capacity (TIBC), dan level plasma besi. Feritin dan nilai plasma besi akan
menurun pada anemia defisiensi besi, sedangkan TIBC akan meningkat. Feritin
berhubungan erat dengan cadangan besi pada bone marrow. Level transferin
berfluktuasi setiap hari dan jarang digunakan untuk evaluasi defisiensi besi.
Dalam praktiknya, serum feritin merupakan pemeriksaan yang paling penting.
Suplementasi zat besi sebaiknya tidak diberikan selama 24-48 jam sebelum
pemeriksaan.1

VIII. Terapi
Terapi zat besi oral terbukti efektif dalam memperbaiki anemia defisiensi
besi pada banyak kasus. Kemanjurannya mungkin, namun terbatas pada banyak
pasien karena dosis bergantung pada efek samping, kurangnya kepatuhan dan
penyerapan zat besi yang tidak cukup di duodenum. Juga harus dicatat bahwa
meskipun ada bukti yang mendukung perbaikan parameter status hematologi dan
besi dengan suplementasi besi oral, data pada peningkatan berat lahir dan
berkurangnya kelahiran prematur masih kurang.5
Pemberian suplementasi besi setiap hari pada ibu hamil sampai minggu
ke-28 kehamilan pada ibu hamil yang belum mendapat besi dan nonanemik (Hb
<11g/dl dan feritin > 20 g/l) menurunkan prevalensi anemia dan bayi berat lahir
rendah.10
Menurut Depkes RI (1999), tablet zat besi diberikan pada ibu hamil sesuai
dengan dosis dan cara yang ditentukan yaitu:
Dosis pencegahan
Diberikan pada kelompok sasaran tanpa pemeriksaan Hb. Dosisnya
yaitu 1 tablet (60 mg besi elemental dan 0,25 mg asam folat) berturut-turut
selama minimal 90 hari masa kehamilan mulai pemberian pada waktu
pertama kali ibu memeriksa kehamilannya.10

Dosis Pengobatan

15
Diberikan pada sasaran (Hb < ambang batas) yaitu bila kadar Hb<11gr
% pemberian menjadi 3 tablet sehari selama 90 hari kehamilannya.10
Pada beberapa orang, pemberian tablet zat besi dapat menimbulkan gejala-
gejala seperti mual, nyeri didaerah lambung, kadang terjadi diare dan sulit buang
air besar, pusing bau logam. Selain itu setelah mengonsumsi tablet tersebut, tinja
akan berwarna hitam, namun hal ini tidak membahayakan. Frekuensi efek
samping tablet zat besi ini tergantung pada dosis zat besi dalam pil, bukan pada
bentuk campurannya. Semakin tinggi dosis yang diberikan maka kemungkinan
efek samping semakin besar. Tablet zat besi yang diminum dalam keadaan perut
terisi akan mengurangi efek samping yang ditimbulkan tetapi hal ini dapat
menurunkan tingkat penyerapannya.10
Terapi parenteral hanya diberikan apabila terdapat kontraindikasi dengan
terapi oral. Zat besi parenteral diberikan dalam bentuk ferri secara intramuskular
dapat disuntikkan dekstran besi Imferon atau sorbitol besi. Hasilnya lebih cepat
dicapai, hanya penderita merasa nyeri di tempat suntikan. Akhir-akhir ini Imferon
banyak pula diberikan dengan infus dalam dosis total antara 1000-2000 mg unsur
zat besi sekaligus, dengan hasil yang sangat memuaskan.10
Walaupun zat besi intravena dan dengan infus kadang-kadang
menimbulkan efek samping, namun apabila ada indikasi yang tepat, maka cara ini
dapat dilakukan. Efek sampingnya lebih kurang dibandingkan dengan transfusi
darah. Transfusi darah sebagai pengobatan anemia dalam kehamilan sangat jarang
diberikan walaupun hemoglobinnya kurang dari 6 gr/dl apabila tidak terjadi
perdarahan. Darah secukupnya harus tersedia selama persalinan, yang segera
harus diberikan apabila terjadi perdarahan yang lebih dari biasa, walaupun tidak
lebih dari 1000 ml. Makanan kaya zat besi yang dianjurkan untuk ibu hamil
seperti daging sapi (besi dalam hemoglobin dan mioglobin), daging ayam dan
ikan (besi dalam mioglobin), sayuran hijau dan kacang-kacangan (kaya zat besi
dan asam folat).10,13

Protokol iron dextran

Indikasi :

16
Pengobatan anemia defisiensi besi pada pasien yang tidak dapat mengabsorbsi zat
besi secara oral.

Kontraindikasi :

Hipersensitif pada iron dextran complex


Digunakan secara berhati-hati pada penderita dengan asma, gangguan
hepar dan arthritis rheumatoid.
Dosis :

Tes Dosis :

0,5 mL i.v/i.m untuk permulaan terapi


Untuk i.v dosis, dilusi 25mg/0,5 mL dalam 50 mL isotonic saline solution
dan infus sekitar 15 menit.
Sediakan epinefrine di samping penderita. Observasi penderita selama 30
menit untuk melihat ada tidaknya reaksi anafilaktik.
Dosis (mL) :

0,0476 x berat badan (kg) x (14,8 observasi Hgb) + (1mL/5kg hingga


maksimum 14mL untuk penyimpanan zat besi)
Dosis maksimum i.v = 3000mg (60 mL)
Dilusi jumlah dosis di dalam 250-1000mL isotonic saline solution. Volume
yang sering digunakan 500mL
Konsentrasi maksimum = 50 mg/mL
Infus selama 1-6 jam (kecepatan tidak lebih dari 50mg/min). Batas waktu
infus yang sering digunakan sekitar 2-3 jam. Observasi pasien untuk
25mL yang pertama untuk mengobservasi ada tidaknya reaksi alergik.
Jangan menambah iron dextran pada total nutrisi parenteral.

Efek samping:

Kardiovaskular : flushing, hipotensi, kolaps kardiovaskular (<1%)


Sistem saraf Pusat : pusing, demam, nyeri kepala (>10%), menggigil

17
(<1%)
Dermatologik : urtikaria, flebitis (<1%), kelainan pewarnaan pada kulit
(hipopigmentasi, hiperpigmentasi).
Gastrointestinal : nausea, muntah, rasa metalik, perubahan warna pada urin
(1-10%)
Respiratori : diaphoresis (>10%).
Catatan : diaphoresis, urtikaria, demam, menggigil dan pusing mungkin timbul
24-48 jam pertama setelah diberikan i.v dan 3-4 hari setelah i.m. Reaksi
anafilaktik terjadi dalam menit-menit pertama setelah disuntik.

Observasi : Tekanan darah setiap 5 menit selama tes dosis. Lihat reaksi alergik
dan efek samping 3-4 hari pertama. Cek hemoglobin dan retikulosit.
Gambar 4 : Tabel di atas menunjukkan cara pemberian preparat besi pada wanita hamil beserta
efek sampingnya 7

IX. Komplikasi
Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh yang kurang baik bagi ibu,
baik dalam kehamilan, persalinan maupun dalam nifas dan masa selanjutnya.
Berbagai penyulit dapat timbul akibat anemia seperti:
1) Pengaruh Anemia terhadap Kehamilan
a) Abortus (keguguran)
b) Persalinan prematurus
c) Gangguan pertumbuhan janin dalam rahim
d) Ancaman dekompensasi kordis (Hb < 6 gr%)
e) Mola hidatidosa
f) Mudah terjadi infeksi
g) Hiperemesis gravidarum
h) Perdarahan sebelum persalinan
2) Pengaruh Anemia terhadap Persalinan
a) Gangguan his
b) Kala II dapat berlangsung lama dan partus lama
c) Kala uri dapat diikuti retensio plasenta.

18
3) Pengaruh Anemia pada Saat Nifas
a) Terjadi sub involusi uteri menimbulkan pendarahan post partum
b) Memudahkan infeksi puerpuerium
c) Pengeluaran ASI berkurang
d) Terjadinya dekompensasi kordis.

4) Pengaruh Anemia terhadap Janin


a) Kematian janin dalam kandungan
b) Berat bayi lahir rendah
c) Kelahiran dengan anemia
d) Cacat bawaan
e) Mudah terinfeksi sampai kematian perinatal
f) Inteligensi rendah

X. Prognosis
Prognosis anemia defisiensi besi dalam kehamilan umumnya baik bagi ibu
dan anak. Persalinan dapat berlangsung seperti biasa tanpa pendarahan banyak
atau komplikasi lain. Anemia berat meningkatkan morbiditas dan mortalitas
wanita hamil. Walaupun bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita anemia
defisiensi besi tidak menunjukkan hemoglobin (Hb) yang rendah, namun
cadangan zat besinya kurang, yang baru beberapa bulan kemudian tampak sebagai
anemia infantum.9

XI. Pencegahan
Anemia dapat dicegah dengan mengonsumsi makanan bergizi seimbang
dengan asupan zat besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Zat besi
dapat diperoleh dengan cara mengonsumsi daging (terutama daging merah) seperti
sapi. Zat besi juga dapat ditemukan pada sayuran berwarna hijau gelap seperti
bayam dan kangkung, buncis, kacang hijau, serta kacang-kacangan. 6

19
Anemia juga dapat dicegah dengan mengatur jarak kehamilan atau
kelahiran bayi. Makin sering seorang wanita mengalami kehamilan dan
melahirkan, akan makin banyak kehilangan zat besi dan menjadi makin anemis.
Jika persediaan cadangan Fe minimal, maka setiap kehamilan akan menguras
persediaan Fe tubuh dan akhirnya menimbulkan anemia pada kehamilan
berikutnya. Oleh karena itu perlu diupayakan agar jarak antar kehamilan tidak
terlalu pendek, minimal lebih dari 2 tahun.10

XII. Kesimpulan
Anemia dalam kehamilan memberi resiko pada ibu dan janin sehingga
setiap wanita hamil perlu diberi sulfas ferrosus atau glukonas ferrosus, cukup 1
tablet sehari. Selain itu, wanita dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang
tinggi protein serta sayuran yang mengandung banyak mineral dan vitamin.
Walaupun bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita anemia defisiensi besi
tidak menunjukkan Hb yang rendah, namun cadangan besinya kurang, yang baru
beberapa bulan kemudian tampak sebagai anemia infantum. 9

DAFTAR PUSTAKA

20
1. Nasution R. Hubungan tingkat pendidikan dan status ekonomi dengan
kejadian anemia pada ibu hamil di wilayah kerja UPTDK Puskesmas Desa
Baru tahun 2011.
2. Hudono S.T., Penyakit darah. Dalam : Winkjosastro H, Saifuddin A.B.,
Rachimhadhi T (editor). Ilmu kebidanan, edisi 3. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Praworiharjo, 1994. Jakarta. hlm 448-51.
3. Sutkin G, Isada N.B, Stewart M, Powell S. Hematologic complications. In:
Evans A.T, Seigafuse S, Shaw R. et al, eds. Manual of obstetrics. 7th
edition. 2007. Texas: Lippincott Williams & Wilkins; 328, 330-1.
4. Hanretty K.P. Systemic diseases in pregnancy. In : Hanretty K.P, Ramsden
I, Callander R, eds. Obstetrics illustrated. 6th edition. 2009. London:
Churchill Livingstone; 137, 138, 141
5. Tristiyanti WF. Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada ibu
hamilstatus di kecamatan Ciampea, kabupaten Bogor, Jawa barat. 2012.
Bogor: Prodi Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor.
6. Pernoll M.L. Medical and surgical complications during pregnancy:
Hematologic disorders. In: Benson & Pernolls handbook of obstetrics &
gynecology. 10th edition. 2001. New York: McGraw-Hill Medical
Publishing Division; 435-8
7. Weiner C.P, Oh C. Coagulation and hematological disorders of pregnancy.
In : Reece E.A, Hobbins J.C, Gant N.F, eds. Clinical obstetrics, the fetus &
mother. 3rd edition. 2007. Massachusetts : Blackwell Publishing; 849-51
8. Cunningham F.G, Hauth J.C, Bloom S.L, Leveno K.J. Hematological
disorders. In : William obstetrics. 22 nd edition. 2005. New York: Mc-Graw
Hill Medical Publishing Division; 1143, 1145, 1148
9. Samuels P. Hematologic complications of pregnancy. In Gabbe S.G,
Niebyl J.R, Simpson J.L et al, eds. Obstetrics normal and problem
pregnancies. 5th edition. 2007. Tennessee: Mosby Elsevier; 1050, 1052

21
10. Muthalib A. Kelainan Hematologik. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin
A.B, Rachimhadhi T, eds. Ilmu kebidanan. Edisi 4. 2011. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 775-780.
11. Pitkin J, Peattie A.B, Magowan B.A. Anemia in pregnancy. In : Obstetrics
and gynaecology, an illustrated colour text. 1 st edition. 2003. London:
Churchill Livingstone; 32-3
12. Fairley D.H. Diseases in pregnancy. In : Lecture notes obstetrics and
gynaecology. 2nd edition. Oxford : Blackwell Publishing, 2004; 140-2
13. DeCherney A, Nathan L, Laufer N, Roman A. Hematologic Disorder in
Pregnancy in Current Diagnosis and Treatment Obstetrics & Gynecology,
10th edition. 2008. London: Mc Graw Hill

22

Anda mungkin juga menyukai