Anda di halaman 1dari 31

BORANG PORTOFOLIO KASUS EMERGENSI

No. ID dan Nama Peserta : dr. Elim Jusri


No. ID dan Nama Wahana: RSUD Syech Yusuf Kab. Gowa
Topik : Stroke Hemoragik
Tanggal (kasus) : 10 Februari 2017
Nama Pasien : Ny. S No. RM : 172889
Tanggal Presentasi : 14 Februari 2017 Pendamping: dr. Adhy Krisna
Obyek presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi: Seorang perempuan , usia 68 tahun, dibawa ke IGD RSUD Syech Yusuf Kab. Gowa
dengan kesadaran menurun
Tujuan: Mendiagnosa pasien dengan keluhan kesadaran menurun
Bahan Tinjauan Riset Kasus Audit
bahasan: pustaka
Cara Diskusi Presentasi dan E-mail Pos
membahas: diskusi

Data Pasien: Nama: Ny. S No.Registrasi: 172889


Nama klinik RSUD Syech Yusuf Kab. Gowa
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/gambaran klinis: Pasien tidak sadar sejak 1 jam sebelum masuk unit gawat
darurat, secara tiba-tiba setelah pasien pulang dari bekerja, sebelum tidak sadar, pasien
mengeluhkan muntah menyemprot dan sakit kepala. Tidak ada riwayat trauma sebelum
terjadinya penurunan kesadaran. Tidak ada riwayat kelemahan, kesemutan, dan kejang sebelum
trauma. Menurut keluarga pasien, pasien merupakan penederita hipertensi dan berobat tidak
teratur, riwayat penyakit diabetes disangkal. Buang air besar dan buang air kecil dalam batas
normal sebelum terjadinya penurunan kesadaran.
2. Riwayat penyakit yang sama sebelumnya: tidak ada
3. Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga: tidak ada
4. Lain-lain: tidak ada
Daftar pustaka
1. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia.Guideline Stroke 2007. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia:
Jakarta, 2007.
2. Nasissi, Denise. Hemorrhagic Stroke Emedicine. Medscape, 2010. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/793821-overview. Access on : May 26th 2016.
3. Price, Sylvia A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit ed.6.EGC, Jakarta.
2006
4. Sjahrir, Hasan. Stroke Iskemik. Yandira Agung: Medan, 2003
5. Ropper AH, Brown RH. Adams dan Victor’s Principles of Neurology. Edisi 8. BAB 4.
Major Categories of Neurological Disease: Cerebrovascular Disease. McGraw Hill: New
York.2005
6. Sotirios AT. Differential Diagnosis in Neurology and Neurosurgery.New York. Thieme
Stuttgart. 2000.
7. Silbernagl, S., Florian Lang. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. EGC: Jakarta,
2007.
8. MERCK, 2007. Hemorrhagic Stroke. Available at:
http://www.merck.com/mmhe/sec06/ch086/ch086d.html. Access On : May 26th, 2016
9. Samino. Perjalanan Penyakit Peredaran Darah Otak. FK UI/RSCM, 2006.
Diunduh dari:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/13PerjalananPenyakitPeredaranDarahOtak021.pdf/
13PerjalananPenyakitPeredaranDarahOtak021.html Access on: May 26th 2016.
10. Mesiano, Taufik. Perdarahan Subarakhnoid Traumatik. FK UI/RSCM, 2007.
Diunduh dari:
http://images.omynenny.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/R@uuzQoKCrsAAF
bxtPE1/SAH%20traumatik%20Neurona%20by%20Taufik%20M.doc?nmid=88307927
Access on: May 26th 2016.
11. Poungvarin, N. Skor Siriraj Stroke dan Studi Validasi untuk Membedakan
Perdarahan Intraserebral Supratentorial dari Infark. Diunduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1670347/. Access on: May 26th 2016.
12. Wirawan, RP. Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer.SMF
Rehabilitasi Medis RS Fatmawati. Jakarta: 2009.

Hasil pembelajaran:
1. Patogenesis dan patofisiologi terjadinya stroke hemoragik
2. Diagnosis penyakit Stroke Hemoragik
3. Penanganan pertama pasien dengan Stroke Hemoragik
4. Penanganan rehabilitasi medis pasca stroke
5. Upaya pencegahan serangan stroke berulang (kepatuhan minum obat dan pola
hidup sehat)
Rangkuman hasil pembelajaran portofolio:
1. Subyektif:
Penurunan kesadaran dialami sejak 1 jam sebelum masuk unit gawat darurat, secara tiba-
tiba setelah pasien pulang dari bekerja, sebelum tidak sadar, pasien mengeluhkan muntah
menyemprot dan sakit kepala. Tidak ada riwayat trauma sebelum terjadinya penurunan
kesadaran. Tidak ada riwayat kelemahan, kesemutan, dan kejang sebelum trauma.
Menurut keluarga pasien, pasien merupakan penederita hipertensi dan berobat tidak
teratur, riwayat penyakit diabetes disangkal. Buang air besar dan buang air kecil dalam
batas normal sebelum terjadinya penurunan kesadaran.
2. Obyektif:
Status Present
Sakit berat
GCS E1M5V1
Tanda Vital :
Tensi : 220/180 mmHg
Nadi : 88x/i
Pernapasan : 22x/i
Suhu : 36,5 C
Kepala :
Rambut hitam, tipis dan kusut, konjungtiva normal, tidak ada ikterus, bibir tidak
sianosis
Mata konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, pupil anisokor diameter
1mm/3mm, reflex cahaya +/+
Hidung :
Perdarahan (-) Sekret (-)

Mulut :
Lidah kotor (-)
Leher : Kelenjar getah bening : tidak teraba
Kelenjar gondok : tidak teraba
DVS : R -2cm H2O
Kaku kuduk : (-)
Tumor : (-)
Thorax :
 Inspeksi :
Simetris kiri=kanan, bentuk dada normochest, sela iga tidak melebar
 Palpasi :
Tidak ada massa tumor, tidak ada nyeri tekan, vocal fremitus sama di kiri
dan kanan paru
 Perkusi :
Kedua paru sonor, batas paru hepar sela iga VI anterior kanan
 Auskultasi :
Bunyi pernapasan : Vesikuler
Bunyi tambahan : (+)
Ronkhi : - - Wheezing : + +
- - + +
+ + + +
Jantung :
 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : Ictus cordis teraba
 Perkusi : Pekak, batas jantung kesan cardiomegaly
 Auskultasi : BJ I/II murni regular, bising (-)
Abdomen :
 Inspeksi : Cembung, ikut gerak napas
 Palpasi :
MT (-) NT (-)
Hati : tidak teraba
Limpa : tidak teraba
 Perkusi : Tympani
 Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Ekstremitas :
Pitting edema -/-
Clubbing finger (-)
Status Neurologis
1.      Kesan Umum
      GCS                :  E1 M5 V1
2.      Pemeriksaan Khusus
a.       Rangsangan selaput otak
-         Kaku kuduk                       :  -
-         Laseque                             :  -
-         Kerniq                               :  tidak diperiksa
-         Brudzinski tanda leher         :  tidak diperiksa
-         Brudzinski tanda kontralateral : tidak diperiksa
-         Brudzinski tanda pipi           :  tidak diperiksa
-         Brudzinski tanda symphisis pubis : tidak diperiksa
·        Pembicaraan
-         Disartri :  tidak dapat dievaluasi
-         Monoton          :  tidak dapat dievaluasi
-         Scanning           :  tidak dapat dievaluasi
-         Afasia               :  - 
- Motorik  :  -
- Sensorik  :  tidak dapat dievaluasi
- Amnestik :  tidak dapat dievaluasi
·      Kepala
-        Bentuk besar    :  -
-        Asimetri            :  -
-        Sikap paksa     :  -
-        Torticolis          :  -
·        Muka
-        Mask (topeng)  :  -
-        Myopathik        :  -
-        Fullmoon          :  -
-       Lain-lain           :  -

b.      Saraf Otak


-         N.I (olfactorius)
Anosmia                 :  tidak dapat dievaluasi
Hiposmia                :  tidak dapat dievaluasi
Parosmia                : tidak dapat dievaluasi
Halusinasi               :  tidak dapat dievaluasi
-         N.II (opticus)        
Visus                      :  tidak dapat dievaluasi
Yojaya penglihatan :  tidak dapat dievaluasi
Melihat warna         :  tidak dapat dievaluasi
Funduskopi            :  tidak dapat dievaluasi
-         N.III, IV, VI (oculomotorius, trochlearis, abducen)
-         Kedudukan bola mata : tengah-tengah
-         Pergerakan bola mata :
Ke nasal           :  tidak dapat dievaluasi
Ke temporal     :  tidak dapat dievaluasi
Ke atas            :  tidak dapat dievaluasi
Ke bawah        :  tidak dapat dievaluasi
Ptosis              :  tidak dapat dievaluasi
-         Pupil
Bentuk             :  bulat/bulat
Lebar               :  + 1 mm / + 3 mm
Reaksi cahaya langsung : +/+
-         N.V. (trigeminus)
-         Cabang Motorik
Otot masseter               :  tidak diperiksa
Otot temporal               :  tidak diperiksa
Otot pterygoideus int/ext : tidak diperiksa
-         Cabang Sensorik
I    (opticus)                  :  tidak diperiksa
II  (maxilaris)                :  tidak diperiksa
III (mandibularis)          :  tidak diperiksa
-         Reflek kornea langsung : tidak diperiksa
-         N.VII (Facialis)
Waktu Diam
Kerutan dahi                       :  tidak dapat dievaluasi
Tinggi alis                           :  tidak dapat dievaluasi
Sudut mata             :  tidak dapat dievaluasi
Lipatan Nasolabial  :  tidak dapat dievaluasi
Waktu Gerak
Mengerut dahi                    :  tidak dapat dievaluasi
Menutup mata                    :  tidak dapat dievaluasi
Bersiul                               :  tidak dapat dievaluasi
Memperlihatkan gigi           :  tidak dapat dievaluasi
Pengecapan depan lidah      :  tidak dapat dievaluasi
Hyperakusis                       :  tidak dapat dievaluasi
Sekresi air mata                  :  tidak dapat dievaluasi
-         N.VIII (Vestibulucochlearis)
Vestibular
Vertigo                               :  tidak dapat dievaluasi
Nystagmus             :  tidak dapat dievaluasi
Tinitus                                :  tidak dapat dievaluasi
Cochlearis
Weber                                :  tidak dilakukan
Rinne                                 :  tidak dilakukan
Schubach                           :  tidak dilakukan
Tuli konduktif                     :  tidak dilakukan
Tuli perseptif                       :  tidak dilakukan
-         N.IX dan X (Glosophoryngeys dan Vagus)
-         Bagian Motorik
Suara                           :  tidak dapat dievaluasi
Menelan                       :  tidak dapat dievaluasi
Kedudukan arcus pharynx : tidak dapat dievaluasi
Kedudukan uvula          :  tidak dapat dievaluasi
Detak jantung               :  tidak dapat dievaluasi
Bising usus                    :  tidak dapat dievaluasi
-         Bagian Sensorik
Reflek muntah               :  tidak dapat dievaluasi
Reflek palatum molle     :  tidak dapat dievaluasi
-         N. XI (Accesorius)
Mengangkat bahu               :  tidak dapat dievaluasi
Memalingkan kepala           :  tidak dapat dievaluasi
-         N. XII (hypoglosus)
Kedudukan lidah
Waktu istirahat ke         :  tidak dapat dievaluasi
Waktu greak ke            :  tidak dapat dievaluasi
Atrofi                                 :  -
Fasikulasi/tremor                :  -
Kekuatan lidah menekan bag. Dalam pipi :  tidak dapat dievaluasi
c.       Sistem Motorik
Kekuatan :
0/0
0/0
-         Gerakan Involunter
-         Resting tremor :  -
-         Intention tremor            :  -
-         Chorea                         :  -
-         Myokymia                    :  -
-         Fasikulasi                     :  -
-         Myokloni                      :  -
d.      Sistem sensorik :
-         Rasa eksteroceptik :  tidak dapat dievaluasi
-         Rasa proploseptik               :  tidak dapat dievaluasi
-         Rasa Enteroseptik               :  tidak dapat dievaluasi
-         Rasa kombinasi                  :  tidak dapat dievaluasi

e.       Fungsi luhur


-         Aproxia                              :  tidak dapat dievaluasi
-         Aflexia                               :  tidak dapat dievaluasi
-         Agraphia                            :  tidak dapat dievaluasi
-         Fingeragnosia                     :  tidak dapat dievaluasi
-         Membedakan kanan kiri     :  tidak dapat dievaluasi
-         Acaculia                             :  tidak dapat dievaluasi
f.        Reflek-reflek
-         Reflek Fisiologis
 APR: N/N
 KPR: N/N
-         Reflek Patologis
 Babinski                      :  +
 Chaddock                    :  -
Reflek Primitif
 Grasp reflek                 :  -
 Snout reflek                 :  -
 Sucking reflek              :  -
 Palmo mental reflek      :  -
g.       Susunan saraf otonom
Miksi                            :  N
Defekasi                       :  N
Salivasi             :  N
Sekresi keringat            :  N
h.       Columna vertebralis      :  tidak dilakukan
Pemeriksaan Laboratorium: Tidak dilakukan
Pemeriksaan Radiologi: Tidak dilakukan

3. Assesment (Penalaran klinis) :


3.1 Pengertian Stroke dan Stroke Hemoragik 
Menurut definisi WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang secara cepat
akibat gangguan otak fokal (atau global) dan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam
atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas
selain vaskular. Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum
mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke
dalam jaringan otak.3
3.2. Epidemiologi Stroke dan Stroke Hemoragik 
Stroke merupakan penyebab kematian ketiga dan penyebab utama kecacatan.
[2]
Sekitar 0,2% dari populasi barat terkena stroke setiap tahunnya yang sepertiganyaakan
meninggal pada tahun berikutnya dan sepertiganya bertahan hidup dengan
kekacauan, d a n s e p e r t i g a s i s a n y a d a p a t s e m b u h k e m b a l i s e p e r t i s e m u l a .
Dari keseluruhan data di dunia, ternyata stroke sebagai penyebab
kematian mencapai 9% (sekitar 4 juta)dari total kematian per tahunnya .4
Insidens kejadian stroke di Amerika Serikat yaitu 500.000 pertahunnya
dimana 10-15% merupakan stroke hemoragik khususnya perdarahan intraserebral. M o r t a l i t a s
d a n m o r b i d i t a s p a d a s t r o k e h e m o r a g i k l e b i h b e r a t d a r i p a d a s t r o k e iskemik.
Dilaporkan hanya sekitar 20% saja pasien yang mendapatkan kembali
kemandirian fungsionalnya. S e l a i n itu ada sekitar 40-80% akhirnya
meninggal pada 30 hari pertama setelah serangan dan sekitar 50% meninggal pada 48 jam
pertama. Penelitian menunjukkan dari 251 penderita stroke,  a d a   4 7 % wanita dan 53% kali-laki
dengan rata-rata umur 69 tahun (78%) berumur lebih dari 60 tahun. Pasien dengan umur
lebih dari 75 tahun dan berjenis kelamin laki-laki menunjukkan outcome yang lebih
buruk.2
3.3 Etiologi Stroke Hemoragik 
Penyebab stroke hemoragik sangat beragam, yaitu:5
 Perdarahan intraserebral primer (hipertensif)
 Ruptur kantung aneurisma
 Ruptur malformasi arteri dan vena
 Trauma (termasuk apopleksi tertunda pasca trauma)
 Kelainan perdarahan seperti leukemia, anemia aplastik, ITP, gangguan fungsi
hati, komlikasi obat trombolitik atau anti koagulan, hipofibrinogenemia, dan
hemofilia.
 Perdarahan primer atau sekunder dari tumor otak.
 Septik embolisme, myotik aneurisma
 Penyakit inflamasi pada arteri dan vena
3.4 Faktor Resiko Stroke Hemoragik
Faktor yang berperan dalam meningkatkan resiko terjadinya stroke hemoragik dijelaskan
dalam table berikut :6
Faktor Resiko Keterangan
Umur Umur merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk stroke.
Sekitar 30% dari stroke terjadi sebelum usia 65; 70% terjadi pada
mereka yang 65 ke atas. Risiko stroke adalah dua kali ganda untuk
setiap 10 tahun di atas 55 tahun.
Hipertensi Risiko stroke berkaitan dengan tingkat sistolik hipertensi. Hal ini
berlaku untuk kedua jenis kelamin, semua umur, dan untuk resiko
perdarahan, atherothrombotik, dan stroke lakunar, menariknya,
risiko stroke pada tingkat hipertensi sistolik kurang dengan
meningkatnya umur, sehingga ia menjadi kurang kuat, meskipun
masih penting dan bisa diobati, faktor risiko ini pada orang tua.
Seks Infark otak dan stroke terjadi sekitar 30% lebih sering pada laki-laki
berbanding perempuan, perbedaan seks bahkan lebih tinggi sebelum
usia 65.
Riwayat keluarga Terdapat lima kali lipat peningkatan prevalensi stroke antara
kembar monozigotik dibandingkan dengan pasangan kembar laki-
laki dizigotik yang menunjukkan kecenderungan genetik untuk
stroke. Pada 1913 penelitian kohort kelahiran Swedia menunjukkan
tiga kali lipat peningkatan kejadian stroke pada laki-laki yang ibu
kandungnya meninggal akibat stroke, dibandingkan dengan laki-laki
tanpa riwayat ibu yang mengalami stroke. Riwayat keluarga juga
tampaknya berperan dalam kematian stroke antara populasi
Kaukasia kelas menengah atas di California.
Diabetes mellitus Setelah faktor risiko stroke yang lain telah dikendalikan, diabetes
meningkatkan risiko stroke tromboemboli sekitar dua kali lipat
hingga tiga kali lipat berbanding orang-orang tanpa diabetes.
Diabetes dapat mempengaruhi individu untuk mendapat iskemia
serebral melalui percepatan aterosklerosis pembuluh darah yang
besar, seperti arteri koronari, arteri karotid atau dengan, efek lokal
pada mikrosirkulasi serebral.
Penyakit jantung Individu dengan penyakit jantung dari jenis apa pun memiliki lebih
dari dua kali lipat risiko stroke dibandingkan dengan mereka yang
fungsi jantungnya normal.

Penyakit Arteri koroner :


Indikator kuat kedua dari keberadaan penyakit difus vaskular
aterosklerotik dan potensi sumber emboli dari thrombi mural karena
miocard infarction.

Gagal Jantung kongestif, penyakit jantung hipertensi :


Berhubungan dengan meningkatnya kejadian stroke
Fibrilasi atrial :
Sangat terkait dengan stroke emboli dan fibrilasi atrial
karena penyakit jantung rematik; meningkatkan risiko stroke
sebesar 17 kali.

Lainnya :
Berbagai lesi jantung lainnya telah dikaitkan dengan stroke, seperti
prolaps katup mitral, patent foramen ovale, defek septum atrium,
aneurisma septum atrium, dan lesi aterosklerotik dan trombotik dari
ascending aorta.
Merokok Beberapa laporan, termasuk meta-analisis angka studi,
menunjukkan bahwa merokok jelas menyebabkan peningkatan
risiko stroke untuk segala usia dan
kedua jenis kelamin, tingkat risiko berhubungan dengan jumlah
batang rokok yang dihisap, dan penghentian merokok mengurangi
risiko, dengan resiko kembali seperti bukan perokok dalam masa
lima tahun setelah penghentian.
Peningkatan Penigkatan viskositas menyebabkan gejala stroke ketika hematokrit
hematokrit melebihi 55%. Penentu utama viskositas darah keseluruhan adalah
dari isi sel darah merah;
plasma protein, terutamanya fibrinogen, memainkan peranan
penting. Ketika meningkat viskositas hasil dari polisitemia,
hyperfibrinogenemia, atau paraproteinemia, biasanya menyebabkan
gejala umum, seperti sakit kepala, kelesuan, tinnitus, dan
penglihatan kabur. Infark otak fokal dan oklusi vena retina jauh
kurang umum, dan dapat mengikuti disfungsi trombosit akibat
trombositosis. Perdarahan Intraserebral dan subarachnoid kadang-
kadang dapat terjadi.
Peningkatan Tingkat fibrinogen tinggi merupakan faktor risiko untuk stroke
tingkat fibrinogen trombotik. Kelainan sistem pembekuan darah juga telah dicatat,
dan kelainan seperti antitrombin III dan kekurangan protein C serta protein S dan
system pembekuan berhubungan dengan vena thrombotic.
Penyalahgunaan Obat yang telah berhubungan dengan stroke termasuk
obat methamphetamines, norepinefrin, LSD, heroin, dan kokain.
Amfetamin menyebabkan sebuah vaskulitis nekrosis yang dapat
mengakibatkan pendarahan petechial menyebar, atau fokus bidang
iskemia dan infark. Heroin dapat timbulkan sebuah hipersensitivitas
vaskular menyebabkan alergi . Perdarahan subarachnoid dan
difarction otak telah dilaporkan setelah penggunaan kokain.
Hiperlipidemia  Meskipun tingkat kolesterol tinggi telah jelas berhubungan dengan
penyakit jantung koroner, mereka sehubungan dengan stroke kurang
jelas. Peningkatan kolesterol tidak muncul untuk menjadi faktor
risiko untuk aterosklerosis karotis, khususnya pada laki-laki di
bawah 55 tahun. Kejadian hiperkolesterolemia menurun dengan
bertambahnya usia. Kolesterol berkaitan dengan perdarahan
intraserebral atau perdarahan subarachnoid. Tidak ada hubungan
yang jelas antara tingkat kolesterol dan infark lakunar.
Kontrasepsi oral Pil KB, estrogen tinggi yang dilaporkan meningkatkan risiko stroke
pada wanita muda. Penurunan kandungan estrogen menurunkan
masalah ini, tetapi tidak dihilangkan sama sekali. Ini adalah faktor
risiko paling kuat pada wanita yang lebih dari 35 tahun . Mekanisme
diduga meningkat koagulasi, karena stimulasi estrogen tentang
produksi protein liver, atau jarang penyebab autoimun
Diet Konsumsi alkohol :
Ada peningkatan risiko infark otak, dan perdarahan subarakhnoid
dikaitkan dengan penyalahgunaan alkohol pada orang dewasa
muda. Mekanisme dimana etanol dapat menghasilkan stroke
termasuk efek pada darah tekanan, platelet, osmolalitas plasma,
hematokrit, dan sel-sel darah merah. Selain itu, alkohol bisa
menyebabkan miokardiopati, aritmia, dan perubahan di darah aliran
otak dan autoregulasi.

Kegemukan :
Diukur dengan berat tubuh relatif atau body mass indexs, obesitas
telah secara konsisten meramalkan berikutnya
stroke. Asosiasi dengan stroke dapat dijelaskan sebagian oleh
adanya hipertensi dan diabetes. Sebuah berat relatif lebih dari 30%
di atas rata-rata kontributor independen ke-atherosklerotik infark
otak berikutnya.
Infeksi Infeksi meningeal dapat mengakibatkan infark serebral melalui
pengembangan perubahan inflamasi dalam dinding pembuluh darah.
Sifilis meningovaskular dan mucormycosis dapat menyebabkan
arteritis otak dan infark.
Sirkadian dan Variasi sirkadian dari stroke iskemik, puncaknya antara pagi dan
faktor musim siang hari. Hal ini telah menimbulkan hipotesis bahwa perubahan
diurnal fungsi platelet dan fibrinosis mungkin relevan untuk stroke.
Hubungan antara variasi iklim musiman dan stroke iskemik telah
didalihkan. Peningkatan dalam arahan untuk infark otak diamati di
Iowa. Suhu lingkungan rata-rata menunjukkan korelasi negatif
dengan kejadian cerebral infark di Jepang. Variasi suhu musiman
telah berhubungan dengan resiko lebih tinggi cerebral infark dalam
usia 40-64 tahun pada penderita yang nonhipertensif, dan pada
orang dengan kolesterol serum bawah 160mg/dL.

3.5. Patogenesis Stroke Hemoragik


A. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral paling sering terjadi ketika tekanan darah tinggi kronis
melemahkan arteri kecil, menyebabkannya robek. Penggunakan kokain atau amfetamin dapat
menyebabkan tekanan darah dan perdarahan sementara tapi sangat tinggi. Pada beberapa orang
tua, sebuah protein abnormal yang disebut amiloid terakumulasi di arteri otak. Akumulasi ini
(disebut angiopati amiloid) melemahkan arteri dan dapat menyebabkan perdarahan.[6]
Penyebab umum yang kurang termasuk kelainan pembuluh darah saat lahir, luka, tumor,
peradangan pembuluh darah (vaskulitis), gangguan perdarahan, dan penggunaan antikoagulan
dalam dosis yang terlalu tinggi. Pendarahan gangguan dan penggunaan antikoagulan
meningkatkan resiko kematian dari perdarahan intraserebral.6
B. Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid biasanya hasil dari cedera kepala. Namun, perdarahan karena
cedera kepala menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak dianggap sebagai stroke.[6]
Perdarahan subaraknoid dianggap stroke hanya jika terjadi secara spontan yaitu, ketika
perdarahan tidak hasil dari kekuatan-kekuatan eksternal, seperti kecelakaan atau jatuh. Sebuah
perdarahan spontan biasanya hasil dari pecahnya aneurisma mendadak di sebuah arteri otak,
yaitu pada bagian aneurisma yang menonjol di daerah yang lemah dari dinding arteri itu.[6]
Aneurisma biasanya terjadi di percabangan arteri. Aneurisma dapat muncul pada saat
kelahiran (bawaan), atau dapat berkembang kemudian, yaitu setelah bertahun-tahun dimana
tekanan darah tinggi melemahkan dinding arteri. Kebanyakan perdarahan subaraknoid adalah
hasil dari aneurisma kongenital.7
Mekanisme lain yang kurang umum adalah perdarahan subaraknoid dari pecahnya
koneksi abnormal antara arteri dan vena (malformasi arteri) di dalam atau di sekitar otak.
Sebuah malformasi arteri dapat muncul pada saat kelahiran, tetapi biasanya hanya diidentifikasi
jika gejala berkembang. Jarang sekali suatu bentuk bekuan darah pada katup jantung yang
terinfeksi, perjalanan (menjadi emboli) ke arteri yang memasok otak, dan menyebabkan arteri
menjadi meradang. arteri kemudian dapat melemah dan pecah.6
3.6. Patofisiologi Stroke Hemoragik
Penghentian total aliran darah ke otak menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu
15-20 detik dan kerusakan otak yang irreversibel terjadi setelah tujuh hingga sepuluh menit.
Penyumbatan pada satu arteri menyebabkan gangguan di area otak yang terbatas (stroke).
Mekanisme dasar kerusakan ini adalah selalu defisiensi energi yang disebabkan oleh iskemia.
Perdarahan juga menyebabkan iskemia dengan menekan pembuluh darah di sekitarnya.7
Pembengkakan sel, pelepasan mediator vasokonstriktor, dan penyumbatan lumen
pembuluh darah oleh granulosit kadang-kadang mencegah reperfusi, meskipun pada
kenyataannya penyebab primernya telah dihilangkan. Kematian sel menyebabkan inflamasi,
yang juga merusak sel di tepi area iskemik (penumbra). Gejala ditentukan oleh tempat perfusi
yang terganggu, yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut.7
Penyumbatan pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan kelemahan otot
dan spastisitas kontralateral, serta defisit sensorik (hemianestesia) akibat kerusakan girus lateral
presentralis dan postsentralis. Akibat selanjutnya adalah deviasi okular, hemianopsia, gangguan
bicara motorik dan sensorik, gangguan persepsi spasial, apraksia, dan hemineglect.7
Penyumbatan arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis dan defisit sensorik
kontralateral, kesulitan berbicara serta apraksia pada lengan kiri jika korpus kalosum anterior
dan hubungan dari hemisfer dominan ke korteks motorik kanan terganggu. Penyumbatan
bilateral pada arteri serebri anterior menyebabkan apatis karena kerusakan dari sistem limbik.7
Penyumbatan arteri serebri posterior menyebabkan hemianopsia kontralateral parsial dan
kebutaan pada penyumbatan bilateral. Selain itu, akan terjadi kehilangan memori.7
Penyumbatan arteri karotis atau basilaris dapat menyebabkan defisit di daerah yang
disuplai oleh arteri serebri media dan anterior. Jika arteri koroid anterior tersumbat, ganglia
basalis (hipokinesia), kapsula interna (hemiparesis), dan traktus optikus (hemianopsia) akan
terkena. Penyumbatan pada cabang arteri komunikans posterior di talamus terutama akan
menyebabkan defisit sensorik.7
Penyumbatan total arteri basilaris menyebabkan paralisis semua eksteremitas dan otot-
otot mata serta koma. Penyumbatan pada cabang arteri basilaris dapat menyebabkan infark pada
serebelum, mesensefalon, pons, dan medula oblongata. Efek yang ditimbulkan tergantung dari
lokasi kerusakan:7
 Pusing, nistagmus, hemiataksia (serebelum dan jaras aferennya, saraf vestibular).
 Penyakit Parkinson (substansia nigra), hemiplegia kontralateral dan tetraplegia
(traktus piramidal).
 Hilangnya sensasi nyeri dan suhu (hipestesia atau anastesia) di bagian wajah
ipsilateral dan ekstremitas kontralateral (saraf trigeminus [V] dan traktus
spinotalamikus).
 Hipakusis (hipestesia auditorik; saraf koklearis), ageusis (saraf traktus salivarus),
singultus (formasio retikularis).
 Ptosis, miosis, dan anhidrosis fasial ipsilateral (sindrom Horner, pada kehilangan
persarafan simpatis).
 Paralisis palatum molle dan takikardia (saraf vagus [X]). Paralisis otot lidah (saraf
hipoglosus [XII]), mulut yang jatuh (saraf fasial [VII]), strabismus (saraf okulomotorik
[III], saraf abdusens [V]).

3.7. Gejala Klinis Stroke Hemoragik


Gejala klinis stroke ada berbagai macam, diantaranya adalah ditemukan perdarahan
intraserebral (ICH) yang dapat dibedakan secara klinis dari stroke iskemik, hipertensi biasanya
ditemukan, tingkat kesadaran yang berubah atau koma lebih umum pada stroke hemoragik
dibandingkan dengan stroke iskemik. Seringkali, hal ini disebabkan peningkatan tekanan
intrakranial. Meningismus dapat terjadi akibat adanya darah dalam ventrikel.2
Defisit neurologis fokal. Jenis defisit tergantung pada area otak yang terlibat. Jika
belahan dominan (biasanya kiri) terlibat, suatu sindrom yang terdiri dari hemiparesis kanan,
kerugian hemisensory kanan, meninggalkan tatapan preferensi, bidang visual kana terpotong,
dan aphasia mungkin terjadi. Jika belahan nondominant (biasanya kanan) terlibat, sebuah
sindrom hemiparesis kiri, kerugian hemisensory kiri, preferensi tatapan ke kanan, dan memotong
bidang visual kiri. Sindrom belahan nondominant juga dapat mengakibatkan pengabaian dan
kekurangan perhatian pada sisi kiri.2
Jika cerebellum yang terlibat, pasien beresiko tinggi untuk herniasi dan kompresi batang
otak. Herniasi bisa menyebabkan penurunan cepat dalam tingkat kesadaran, apnea, dan
kematian. Tanda-tanda lain dari keterlibatan cerebellar atau batang otak antara lain: ekstremitas
ataksia, vertigo atau tinnitus, mual dan muntah, hemiparesis atau quadriparesis, hemisensori atau
kehilangan sensori dari semua empat anggota, gerakan mata yang mengakibatkan kelainan
diplopia atau nistagmus, kelemahan orofaringeal atau disfagia, wajah ipsilateral dan kontralateral
tubuh
A. Perdarahan Intraserebral
Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba. Di sekitar setengah dari jumlah
penderita, serangan dimulai dengan sakit kepala parah, sering selama aktivitas. Namun, pada
orang tua, sakit kepala mungkin ringan atau tidak ada. Gejala disfungsi otak menggambarkan
perkembangan yang terus memburuk sebagai perdarahan. Beberapa gejala, seperti kelemahan,
kelumpuhan, hilangnya sensasi, dan mati rasa, sering hanya mempengaruhi satu sisi tubuh.
Orang mungkin tidak dapat berbicara atau menjadi bingung. Visi dapat terganggu atau hilang.
Mata dapat menunjukkan arah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Mual, muntah, kejang, dan
hilangnya kesadaran yang umum dan dapat terjadi dalam beberapa detik untuk menit.8
B. Perdarahan Subaraknoid
Sebelum robek, aneurisma yang biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali menekan
pada saraf atau kebocoran sejumlah kecil darah, biasanya sebelum pecah besar (yang
menyebabkan sakit kepala), menghasilkan tanda-tanda peringatan, seperti berikut:8
 Sakit kepala, yang mungkin luar biasa tiba-tiba dan parah (kadang-kadang disebut sakit
kepala halilintar)
 Sakit pada mata atau daerah fasial
 Penglihatan ganda
 Kehilangan penglihatan tepi
Tanda-tanda peringatan dapat terjadi menit ke minggu sebelum pecahnya aneurisma. Individu
harus melaporkan setiap sakit kepala yang tidak biasa ke dokter segera.8
Aneurisma yang pecah biasanya menyebabkan sakit kepala, tiba-tiba parah dan mencapai
puncak dalam beberapa detik. Hal ini sering diikuti dengan kehilangan kesadaran singkat.
Hampir setengah dari orang yang terkena meninggal sebelum mencapai rumah sakit. Beberapa
orang tetap berada dalam koma atau tidak sadar dan sebagian lainnya bangun, merasa bingung,
dan mengantuk. Dalam beberapa jam atau bahkan menit, penderita mungkin menjadi tidak
responsif dan sulit untuk dibangunkan.8
Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak mengiritasi lapisan
jaringan yang menutupi otak (meninges), menyebabkan leher kaku serta sakit kepala terus,
sering dengan muntah, pusing, dan nyeri pinggang.2
Sekitar 25% dari orang yang mengalami gejala-gejala yang mengindikasikan kerusakan
pada bagian tertentu dari otak, seperti berikut: 2,8
 Kelemahan atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh (paling umum)
 Kehilangan sensasi pada satu sisi tubuh
 Kesulitan memahami dan menggunakan bahasa
Gangguan berat dapat berkembang dan menjadi permanen dalam beberapa menit atau
jam. Demam adalah gejala umum selama 5 sampai 10 hari pertama. Sebuah perdarahan
subaraknoid dapat menyebabkan beberapa masalah serius lainnya, seperti: 2,8
 Hydrocephalus: Dalam waktu 24 jam, darah dari perdarahan subaraknoid dapat
membeku. Darah beku dapat mencegah cairan di sekitar otak (cairan serebrospinal) dari
pengeringan seperti biasanya tidak. Akibatnya, darah terakumulasi dalam otak,
peningkatan tekanan dalam tengkorak. Hydrocephalus mungkin akan menyebabkan gejala
seperti sakit kepala, mengantuk, kebingungan, mual, dan muntah-muntah dan dapat
meningkatkan risiko koma dan kematian.
 Vasospasme: Sekitar 3 sampai 10 hari setelah pendarahan itu, arteri di otak dapat kontrak
(kejang), membatasi aliran darah ke otak. Kemudian, jaringan otak tidak mendapatkan
oksigen yang cukup dan dapat mati, seperti pada stroke iskemik. Vasospasm dapat
menyebabkan gejala mirip dengan stroke iskemik, seperti kelemahan atau hilangnya
sensasi pada satu sisi tubuh, kesulitan menggunakan atau memahami bahasa,
vertigo, dan koordinasi terganggu.
 Pecah kedua: Kadang-kadang pecah kedua terjadi, biasanya dalam seminggu.
3.8. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Stroke Hemoragik
Diagnosis stroke dapat ditegakkan berdasarkan riwayat dan keluhan utama pasien.
Beberapa gejala/tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke antara lain: hemiparesis,
gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau buta mendadak, diplopia. Vertigo, afasia,
disfagia, disartria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran yang keseluruhannya terjadi secara
mendadak.1
Pada manifestasi perdarahan intraserebral, terdapat pembagian berdasarkan Luessenhop
et al. Pembagian ini juga berguna dalam menentukan prognosis pada pasien stroke dengan
perdarahan intraserebral.9
Khusus untuk manifestasi perdarahan subaraknoid, pada banyak studi mengenai
perdarahan subaraknoid ini dipakai sistem skoring untuk menentukan berat tidaknya keadaan
perdarahan subaraknoid ini dan dihubungkan dengan keluaran pasien.10
Sistem grading yang dipakai antara lain :
1. Hunt & Hess Grading of Sub-Arachnoid Hemorrhage
Grade Kriteria
I Asimptomatik atau minimal sakit keoala atau leher kaku
II Sakit kepala sedang hingga berat, kaku kuduk, tidak ada defisit
neurologis
III Mengantuk, kebingungan, atau gejala fokal ringan
IV Stupor, hemiparese sedang hingga berat, kadang ada gejala deselerasi
awal
V Koma

2. WFNS SAH grade


WFNS grade GCS Score Major facal deficit
0
1 15 -
2 13-14 -
3 13-14 +
4 7-12 + or -
5 3-6 + or -

Sistem skoring pada no 1 dan 2 dipakai pada kasus SAH primer akibat rupturnya
aneurisma.10
Versi orisinal:

= (0.80 x kesadaran) + (0.66 x muntah) + (0.33 x sakit kepala) + (0.33x tekanan darah
diastolik) – (0.99 x atheromal) – 3.71.

Versi Pemeriksaan
disederhanakan:penunjang dilakukan untuk mendukung diagnosis stroke dan
menyingkirkan diagnosis
= (2.5 x kesadaran) + (2bandingnya.
x muntah) + Laboratorium yang+dapat
( 2 x sakit kepala) (0.1 xdilakukan pada diastolik)
tekanan darah penderita –stroke
(3 x atheroma)
diantaranya – 12.
adalah hitung darah lengkap, profil pembekuan darah, kadar elektrolit, dan kadar
serum glukosa.2
Kesadaran:
Pemeriksaan pencitraan juga diperlukan dalam diagnosis. Pencitraan otak adalah langkah
Sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma = 2
penting dalam evaluasi pasien dan harus didapatkan dalam basis kedaruratan. Pencitraan otak
Muntah: tidak = 0 ; ya = 1
membantu dalam diagnosis adanya perdarahan, serta dapat menidentifikasi komplikasi seperti
Sakit kepala
perdarahan dalam 2 jam: tidak
intraventrikular, edem= otak,
0 ; ya dan
= 1 hidrosefalus. Baik CT non kontras ataupun MRI
2
otak merupakanateroma:
Tanda-tanda pilihan yang
tidak dapat
ada = digunakan.
0 ; 1 atau lebih tanda ateroma = 1
CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dari stroke
(anamnesis diabetes; angina; klaudikasio intermitten)
iskemik. Pencitraan ini berguna untuk membedakan stroke dari patologi intrakranial lainnya. CT
Pembacaan:
non kontras dapat mengidentifikasi secara virtual hematoma yang berdiameter lebih dari 1 cm.2
Skor MRI
> 1 telah
: Perdarahan
terbuktiotak
dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat dan lebih bisa diandalkan
daripada <CT
-1:scan,
Infarkterutama
otak stroke iskemik. MRI dapat mengidentifikasi malformasi vaskular
yang mendasari atau lesi yang menyebabkan perdarahan.2
Sensivitas : Untuk perdarahan: 89.3%.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah elektrokardiogram (EKG) untuk memulai
Untuk infark: 93.2%.
memonitor aktivitas hantung. Disritmia jantung dan iskemia miokard memiliki kejadian
Ketepatan
signifikan diagnostic
dengan : 90.3%.
stroke. 2

Oleh karena tidak seluruh Rumah Sakit memiliki alat-alat di atas, maka untuk
memudahkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan sistem lain, misalnya sistem skoring yaitu
sistem yang berdasarkan gejala klinis yang ada pada saat pasien masuk Rumah Sakit. Sistem
skoring yang sering digunakan antara lain:
Siriraj Hospital Score 11
Stroke dapat didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit lain seperti: ensefalitis,
meningitis, migrain, neoplasma otak, hipernatremia, stroke iskemik, perdarahan subaraknoid,
hematoma subdural, kedaruratan hipertensif, hipoglikemia, labirinitis, dan Transient Ischemic
Attack (TIA).2
3.9. Penatalaksanaan Stroke Hemoragik
A. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
1. Evaluasi cepat dan diagnosis
2. Terapi umum (suportif)
a. stabilisai jalan napas dan pernapasan
b. stabilisasi hemodinamik/sirkulasi
c. pemeriksaan awal fisik umum
d. pengendalian peninggian TIK
e. penanganan transformasi hemoragik
f. pengendalian kejang
g. pengendalian suhu tubuh
h. pemeriksaan penunjang
B. Penatalaksanaan Stroke Perdarahan Intra Serebral (PIS)
Terapi medik pada PIS akut:
a. Terapi hemostatik 1
1. Eptacog alfa (recombinant activated factor VII [rF VIIa]) adalah obat haemostasis
yang dianjurkan untuk pasien hemofilia yang resisten terhadap pengobatan faktor VIII
replacement dan juga bermanfaat untuk penderita dengan fungsi koagulasi yang normal.
2. Aminocaproic acid terbuktitidak mempunyai efek menguntungkan.
3. Pemberian rF VIIa pada PIS pada onset 3 jam hasilnya adalah highly-significant, tapi
tidak ada perbedaan bila pemberian dilakukan setelah lebih dari 3 jam.
b. Reversal of anticoagulation 1
1. Pasien PIS akibat dari pemakaian warfarin harus secepatnya diberikan fresh frozen
plasma atau prothrombic complex concentrate dan vitamin K.
2. Prothrombic-complex concentrates suatu konsentrat dari vitamin K dependent
coagulation factor II, VII, IX, dan X, menormalkan INR lebih cepat dibandingkan FFP dan
dengan jumlah volume lebih rendah sehingga aman untuk jantung dan ginjal.
3. Dosis tunggal intravena rFVIIa 10-90µg/kg pada pasien PIS yang memakai warfarin
dapat menormalkan INR dalam beberapa menit. Pemberian obat ini harus tetap diikuti dengan
coagulation-factor replacement dan vitamin K karena efeknya hanya beberapa jam.
4. Pasien PIS akibat penggunaan unfractionated atau low moleculer weight heparin
diberikan Protamine Sulfat, dan pasien dengan trombositopenia atau adanya gangguan fungsi
platelet dapat diberikan dosis tunggal Desmopressin, transfusi platelet, atau keduanya.
5. Pada pasien yang memang harus menggunakan antikoagulan maka pemberian obat
dapat dimulai pada hari ke-7-14 setelah erjadinya perdarahan.
c. Tindakan bedah pada PIS berdasarkan EBM
1. Keputusan mengenai apakah dioperasi dan kapan dioperasi masih tetap kontroversial.
2. Tidak dioperasi bila: 1
1. Pasien dengan perdarahan kecil (<10cm3) atau defisit neurologis minimal.
2. Pasien dengan GCS <4. Meskipun pasien GCS <4 dengan perdarahan
intraserebral disertai kompresi batang otak masih mungkin untuk life saving.
3. Dioperasi bila: 1
1. Pasien dengan perdarahan serebelar >3cm dengan perburukan klinis atau
kompresi batang otak dan hidrosefalus dari obstruksi ventrikel harus secepatnya dibedah.
2. PIS dengan lesi struktural seperti aneurisma malformasi AV atau angioma
cavernosa dibedah jika mempunyai harapan outcome yang baik dan lesi strukturnya terjangkau.
3. Pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang s/d besar yang memburuk.
4. Pembedahan untuk mengevakuasi hematoma terhadap pasien usia muda dengan
perdarahan lobar yang luas (>50cm3) masih menguntungkan.
B. Penatalaksanaan Perdarahan Sub Arakhnoid
1. Pedoman Tatalaksana 1
a. Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA):
 Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan petunjuk untuk upaya
menurunkan angka mortalitas dan morbiditas.
 Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30 dalam ruangan dengan lingkungan
yang tenang dan nyaman, bila perlu diberikan O2 2-3 L/menit.
 Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif.
 Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat kelainan-kelainan neurologi
yang timbul.
b. Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan harus lebih intensif: 1
 Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di ruang gawat darurat.
 Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalang nafas yang adekuat.
 Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.
 Hindari pemakaian sedatif yang berlebhan karena aan menyulitkan penilaian status
neurologi.
2. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA 1
a. Istirahat di tempat tidur secara teratur atau pengobatan dengan antihipertensi saja tidak
direkomendasikan untuk mencegah perdarahan ulang setelah terjadi PSA, namun kedua
hal tersebut sering dipakai dalam pengobatan pasien dengan PSA.
b. Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan pada keadaan
klinis tertentu. Contohnya pasien dengan resiko rendah untuk terjadinya vasospasme atau
memberikan efek yang bermanfaat pada operasi yang ditunda.
c. Pengikatan karotis tidak bermanfaat pada pencegahan perdarahan ulang.
d. Penggunaan koil intra luminal dan balon masih uji coba.
3. Operasi pada aneurisma yang rupture 1
a. Operasi clipping sangat direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan ulang setelah
rupture aneurisma pada PSA.
b. Walaupun operasi yang segera mengurangi resiko perdarahan ulang setelah PSA, banyak
penelitian memperlihatkan bahwa secara keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan operasi
yang ditunda. Operasi yang segera dianjurkan pada pasien dengan grade yang lebih baik serta
lokasi aneurisma yang tidak rumit. Untuk keadaan klinis lain, operasi yang segera atau ditunda
direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khusus.
c. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai resiko yang tinggi untuk perdarahan
ulang.

4. Tatalaksana pencegahan vasospasme 1


a. Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke-3 atau secara
oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Pemakaian nimodipin oral terbukti memperbaiki deficit
neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme. Calcium antagonist lainnya yang diberikan secara
oral atau intravena tidak bermakna.
b. Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan triple H yaitu
hypervolemic-hypertensive-hemodilution, dengan tujuan mempertahankan “cerebral perfusion
pressure” sehingga dapat mengurangi terjadinya iskemia serebral akibat vasospasme. Hati-hati
terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang tidak dilakukan embolisasi
atau clipping.
c. Fibrinolitik intracisternal, antioksidan, dan anti-inflamasi tidak begitu bermakna.
d. Angioplasty transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme pada pasien-pasien
yang gagal dengan terapi konvensional.
e. Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut:
 Pencegahan vasospasme:
 Nimodipine 60 mg per oral 4 kali sehari.
 3% NaCl IV 50 mL 3 kali sehari.
 Jaga keseimbangan cairan.
 Delayed vasospasm:
 Stop Nimodipine, antihipertensi, dan diuretika.
 Berikan 5% Albumin 250 mL IV.
 Pasang Swan-Ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge pressure 12-14
mmHg.
 Jaga cardiac index sekitar 4 L/menit/m2.
 Berikan Dobutamine 2-15 µg/kg/menit.
5. Antifibrinolitik
Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-obat yang sering dipakai
adalah epsilon aminocaproic acid dengan dosis 36 g/hari atau tranexamid acid dengan dosis 6-12
g/hari.1
6. Antihipertensi 1
a. Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau tekanan darah sistolik (TDS)
tidak lebih dari 160 dan tekanan darah diastolic (TDD) 90 mmHg (sebelum tindakan
operasi aneurisma clipping).
b. Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg dan TDD lebih dari 90
mmHg atau MAP diatas 130 mmHg.
c. Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2 mg/menit sampai
mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol infuse dosisnya 50-200 mcg/kg/menit.
Pemakaian nitroprussid tidak danjurkan karena menyebabkan vasodilatasi dan
memberikan efek takikardi.
d. Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg) dapat diberikan vasopressors,
dimana hal ini untuk melindungi jaringan iskemik penumbra yang mungkin terjadi akibat
vasospasme.
7. Hiponatremi
Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV 2-3 L/hari. Bila perlu diberikan NaCl
hipertonik 3% 50 mL, 3 kali sehari. Diharapkan dapat terkoreksi 0,5-1 mEq/L/jam dan tidak
melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam pertama.1
Ada yang menambahkan fludrokortison dengan dosis 0,4 mg/hari oral atau 0,4 mg dalam
200 mL glukosa 5% IV 2 kali sehari. Cairan hipotonis sebaiknya dihindari karena menyebabkan
hiponatremi. Pembatasan cairan tidak dianjurkan untuk pengobatan hiponatremi.1
8. Kejang
Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian antikonvulsan tidak
direkomendasikan secara rutin, hanya dipertimbangkan pada pasien-pasien yang mungkin timbul
kejang, umpamanya pada hematom yang luas, aneurisma arteri serebri media, kesadaran yang
tidak membaik. Akan tetapi untuk menghindari risiko perdarahan ulang yang disebabkan kejang,
diberikan anti konvulsan sebagai profilaksis.1
Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari oral atau IV. Initial dosis 100
mg oral atau IV 3 kali/hari. Dosis maintenance 300-400 mg/oral/hari dengan dosis terbagi.
Benzodiazepine dapat dipakai hanya untuk menghentikan kejang.1
Penggunaan antikonvulsan jangka lama tidak rutin dianjurkan pada penderita yang tidak
kejang dan harus dipertimbangkan hanya diberikan pada penderita yang mempunyai faktor-
faktor risiko seperti kejang sebelumnya, hematom, infark, atau aneurisma pada arteri serebri
media.1
9. Hidrosefalus 1
a. Akut (obstruksi)
Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari pertama. Kejadiannya
kira-kira 20% dari kasus, dianjurkan untuk ventrikulostomi (atau drainase eksternal
ventrikuler), walaupun kemungkinan risikonya dapat terjadi perdarahan ulang dan infeksi.
b. Kronik (komunikan)
Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan serebrospinal secara temporer atau
permanen seperti ventriculo-peritoneal shunt.
10. Terapi Tambahan 1
a. Laksansia (pencahar) iperlukan untuk melembekkan feses secara regular. Mencegah
trombosis vena dalam, dengan memakai stocking atau pneumatic compression devices.
b. Analgesik:
 Asetaminofen ½-1 g/4-6 jam dengan dosis maksimal 4 g/hari.
 Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM per 4-6 jam.
 Tylanol dengan kodein.
 Hindari asetosal.
 Pada pasien dengan sangat gelisah dapat diberikan:
 Haloperidol IM 1-10 mg tiap 6 jam.
 Petidin IM 50-100 mg atau morfin SC atau IV 5-10 mg/4-6 jam.
 Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam.
 Propofol 3-10 mg/kg/jam.
 Cegah terjadinya “stress ulcer” dengan memberikan:
 Antagonis H2
 Antasida
 Inhibitor pompa proton selama beberapa hari.
 Pepsid 20 mg IV 2 kali sehari atau zantac 50 mg IV 2 kali sehari.
 Sucralfate 1 g dalam 20 mL air 3 kali sehari.
3.10. Intervensi Rehabilitasi Medis pada Stroke
Secara umum rehabilitasi pada stroke dibedakan dalam beberapa fase. Pembagian ini
dalam rehabilitasi medis dipakai sebagai acuan untuk menentukan tujuan (goal) dan jenis
intervensi rehabilitasi yang akan diberikan, yaitu:12
1. Stroke fase akut: 2 minggu pertama pasca serangan stroke
2. Stroke fase subakut: antara 2 minggu-6 bulan pasca stroke
3. Stroke fase kronis: diatas 6 bulan pasca stroke
Rehabilitasi Stroke Fase Akut
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien belum stabil, umumnya dalam perawatan di
rumah sakit, bisa di ruang rawat biasa ataupun di unit stroke. Dibandingkan dengan perawatan di
ruang rawat biasa, pasien yang di rawat di unit stroke memberikan outcome yang lebih baik.
Pasien menjadi lebih mandiri, lebih mudah kembali dalam kehidupan sosialnya di masyarakat
dan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik. Rehabilitasi pada fase itu tidak akan di bahas
lebih lanjut dalam makalah ini, karena memerlukan penanganan spesialistik di rumah sakit.12
Rehabilitasi Stroke Fase Subakut
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien umumnya sudah stabil dan diperbolehkan
kembali ke rumah, kecuali bagi pasien yang memerlukan penanganan rehabilitasi yang intensif.
Sebagian kecil (sekitar 10%) pasien pulang dengan gejala sisa yang sangat ringan, dan sebagian
kecil lainnya (sekitar 10%) pasien pulang dengan gejala sisa yang sangat berat dan memerlukan
perawatan orang lain sepenuhnya. Namun sekitar 80% pasien pulang dengan gejala sisa yang
bervariasi beratnya dan sangat memerlukan intervensi rehabilitasi agar dapat kembali mencapai
kemandirian yang optimal. Rehabilitasi pasien stroke fase subakut dan kronis mungkin dapat
ditangani oleh pelayanan kesehatan primer. Rehabilitasi fase ini akan dibahas lebih rinci
terutama mengenai tatalaksana sederhana yang tidak memerlukan peralatan canggih.12
Pada fase subakut pasien diharapkan mulai kembali untuk belajar melakukan aktivitas
dasar merawat diri dan berjalan. Dengan atau tanpa rehabilitasi, sistim saraf otak akan
melakukan reorganisasi setelah stroke. Reorganisasi otak yang terbentuk tergantung sirkuit jaras
otak yang paling sering digunakan atau tidak digunakan. Melalui rehabilitasi, reorganisasi otak
yang terbentuk diarahkan agar mencapai kemampuan fungsional optimal yang dapat dicapai oleh
pasien, melalui sirkuit yang memungkinkan gerak yang lebih terarah dengan menggunakan
energi/tenaga se-efisien mungkin. Hal tersebut dapat tercapai melalui terapi latihan yang
terstruktur, dengan pengulangan secara kontinyu serta mempertimbangkan kinesiologi dan
biomekanik gerak. Prinsip-prinsip Rehabilitasi Stroke:12
1. Bergerak merupakan obat yang paling mujarab. Bila anggota gerak sisi yang
terkena terlalu lemah untuk mampu bergerak sendiri, anjurkan pasien untuk bergerak/
beraktivitas menggunakan sisi yang sehat, namun sedapat mungkin juga
mengikutsertakan sisi yang sakit. Pasien dan keluarga seringkali beranggapan salah,
mengharapkan sirkuit baru di otak akan terbentuk dengan sendirinya dan pasien secara
otomatis bisa bergerak kembali. Sebenarnya sirkuit hanya akan terbentuk bila ada
“kebutuhan” akan gerak tersebut. Bila ekstremitas yang sakit tidak pernah digerakkan
sama sekali, presentasinya di otak akan mengecil dan terlupakan.
2. Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya adalah gerak fungsional daripada
gerak tanpa ada tujuan tertentu. Gerak fungsional misalnya gerakan meraih, memegang
dan membawa gelas ke mulut. Gerak fungsional mengikutsertakan dan mengaktifkan
bagian– bagian dari otak, baik area lesi maupun area otak normal lainnya, menstimulasi
sirkuit baru yang dibutuhkan. Melatih gerak seperti menekuk dan meluruskan
(fleksiekstensi) siku lengan yang lemah menstimulasi area lesi saja. Apabila akhirnya
lengan tersebut bergerak, tidak begitu saja bisa digunakan untuk gerak fungsional, namun
tetap memerlukan terapi latihan agar terbentuk sirkuit yang baru.
3. Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk melakukan gerak fungsional
yang normal, jangan biarkan menggunakan gerak abnormal. Gerak normal artinya sama
dengan gerak pada sisi sehat. Bila sisi yang terkena masih terlalu lemah, berikan bantuan
“tenaga” secukupnya dimana pasien masih menggunakan ototnya secara “aktif”. Bantuan
yang berlebihan membuat pasien tidak menggunakan otot yang akan dilatih (otot
bergerak pasif). Bantuan tenaga yang kurang menyebabkan pasien mengerahkan tenaga
secara berlebihan dan mengikutsertakan otot-otot lain. Ini akan memperkuat gerakan
ikutan ataupun pola sinergis yang memang sudah ada dan seharusnya dihindari. Besarnya
bantuan “tenaga” yang diberikan harus disesuaikan dengan kemajuan pemulihan pasien.
4. Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang tubuh sudah tercapai,
yaitu dalam posisi duduk dan berdiri. Stabilitas duduk dibedakan dalam stabilitas duduk
statik dan dinamik. Stabilitas duduk statik tercapai apabila pasien telah mampu
mempertahankan duduk tegak tidak bersandar tanpa berpegangan dalam kurun waktu
tertentu tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi. Stabilitas duduk dinamik tercapai apabila
pasien dapat mempertahankan posisi duduk sementara batang tubuh dorong kea rah
depan, belakang, sisi kiri atau kanan dan atau dapat bertahan tanpa jatuh/miring ke salah
satu sisi sementara lengan meraih ke atas, bawah, atau samping untuk suatu aktivitas.
Latihan stabilitas batang tubuh selanjutnya yaitu stabilitas berdiri static dan dinamik.
Hasil latihan ini memungkinkan pasien mampu melakukan aktivitas dalam posisi berdiri.
Kemampuan fungsional optimal dicapai apabila pasien juga mampu melakukan aktivitas
sambil berjalan.
5. Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan terapi latihan. Gerak
fungsional yang dilatih akan memberikan hasil maksimal apabila pasien siap secara fisik
dan mental. Secara fisik harus diperhatikan kelenturan otot-otot, lingkup gerak semua
persendian tidak ada yang terbatas, dan tidak ada nyeri pada pergerakan. Secara mental
pasien mempunyai motivasi dan pemahaman akan tujuan dan hasil yang akan dicapai
dengan terapi latihan tersebut. Kondisi medis juga menjadi salah satu pertimbangan.
Tekanan darah dan denyut nadi sebelum dan sesudah latihan perlu dimonitor. Lama
latihan tergantung pada stamina pasien. Terapi latihan yang sebaiknya adalah latihan
yang tidak sangat melelahkan, durasi tidak terlalu lama (umumnya sekitar 45-60 menit)
namun dengan pengulangan sesering mungkin.
6. Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila ditunjang oleh kemampuan
fungsi kognitif, persepsi dan semua modalitas sensoris yang utuh. Rehabilitasi fisik dan
rehabilitasi fungsi kognitif tidak dapat dipisah pisahkan. Mengembalikan kemampuan
fisik seseorang harus melalui kemampuan kognitif, karena rehabilitasi pada prinsipnya
adalah suatu proses belajar, yaitu belajar untuk mampu kembali melakukan suatu
aktivitas fungsional dengan segala keterbatasan yang ada.
Intervensi rehabilitasi pada stroke fase subakut ditujukan untuk:12
1. Mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring
2. Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memungkinkan pemulihan
fungsional yang paling optimal
3. Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari
4. Mengembalikan kebugaran fisik dan mental
Rehabilitasi Stroke Fase Kronis
Program latihan untuk stroke fase kronis tidak banyak berbeda dengan fase sebelumnya.
Hanya dalam fase ini sirkuit-sirkuit gerak/aktivitas sudah terbentuk, membuat pembentukan
sirkuit baru menjadi lebih sulit dan lambat. Hasil latihan masih tetap dapat berkembang bila
ditujukan untuk memperlancar sirkuit yang telah terbentuk sebelumnya, membuat gerakan
semakin baik dan penggunaan tenaga semakin efisien. Latihan endurans dan penguatan otot
secara bertahap terus ditingkatkan, sampai pasien dapat mencapai aktivitas aktif yang optimal.12
Tergantung pada beratnya stroke, hasil luaran rehabilitasi dapat mencapai berbagai
tingkat seperti (a) Mandiri penuh dan kembali ke tempat kerja seperti sebelum sakit, (b) Mandiri
penuh dan bekerja namun alih pekerjaan yang lebih ringan sesuai kondisi, (c) Mandiri penuh
namun tidak bekerja, (d) Aktivitas sehari-hari perlu bantuan minimal dari orang lain atau (e)
Aktivitas sehari-hari sebagian besar atau sepenuhnya dibantu orang lain.12
3.11. Komplikasi dan Prognosis Stroke Hemoragik
Peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi adalah komplikasi yang paling ditakutkan
pada perdarahan intraserebral. Perburukan edem serebri sering mengakibatkan deteoriasi pada
24-48 jam pertama. Perdarahan awal juga berhubungan dengan deteorisasi neurologis, dan
perluasan dari hematoma tersebut adalah penyebab paling sering deteorisasi neurologis dalam 3
jam pertama. Pada pasien yang dalam keadaan waspada, 25% akan mengalami penurunan
kesadaran dalam 24 jam pertama. Kejang setelah stroke dapat muncul. Selain dari hal-hal yang
telah disebutkan diatas, stroke sendiri adalah penyebab utama dari disabilitas permanen.2
Prognosis bervariasi bergantung pada tingkap keparahan stroke dan lokasi serta ukuran
dari perdarahan. Skor dari Skala Koma Glasgow yang rendah berhubungan dengan prognosis
yang lebih buruk dan mortalitas yang lebih tinggi. Apabila terdapat volume darah yang besar dan
pertumbuhan dari volume hematoma, prognosis biasanya buruk dan outcome fungsionalnya juga
sangat buruk dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Adanya darah dalam ventrikel bisa
meningkatkan resiko kematian dua kali lipat. Pasien yang menggunakan antikoagulasi oral yang
berhubungan dengan perdarahan intraserebral juga memiliki outcome fungsional yang buruk dan
tingkat mortilitas yang tinggi.2
4. Plan :

Diagnosis Kerja
Suspek Stroke Hemoragik
Terapi
 Head up 30 derajat
 Pasang guedel
 O2 3 lpm via nasal kanul
 IVFD RL 24 tpm
 Rujuk ke RS Wahidin Soedirohoesodo

Promotif
Upaya ini bertujuan untuk menurunkan angka kejadian stroke dengan mencegah peningkatan
faktor resiko stroke di masyarakat. Termasuk upaya ini adalah kampanye atau penyuluhan
tentang gaya hidup sehat agar terhindar dari berbagai faktor resiko seperti merokok,minum
alkohol, inaktivitas dan obesitas.1

Preventif
Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya memperbaiki gaya hidup dan mengatasi berbagai
faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat maupun kelompok risiko tinggi yang berlum
pernah terserang stroke. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan adalah:1
 Mengatur pola makan yang sehat
 Melakukan olah raga yang teratur
 Menghentikan rokok
 Menhindari minum alkohol dan penyalahgunaan obat
 Memelihara berat badan yang layak
 Perhatikan pemakaian kontrasepsi oral bagi yang beresiko tinggi
 Penanganan stres dan beristirahat yang cukup
 Pemeriksaan kesehatan teratur dan taat advis dokter dalam hal diet dan obat
 Pemakaian antiplatelet
Pada pencehagan sekunder stroke, yang harus dilakukan adalah pengendalian faktor
pengendalian faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti hipertensi, diabetes mellitus, riwayat
TIA, dislipidemia, dan sebagainya.

Tujuan Penatalaksanaan
Adapun penatalaksanaan pada pasien ini bersifat terapi empiris dan simptomatis.

Edukasi pada Keluarga Pasien

- Menjelaskan kepada pasien bahwa kondisi pasien tidak baik dan membutuhkan
penanganan lanjutan di Rumah Sakit.
- Menjelaskan kepada pasien bahwa pasca serangan stroke pasien harus patuh minum obat
untuk mencegah terjadinya serangan stroke berulang
- Menjelaskan kepada pasien bahwa pasca serangan stroke pasien harus mengikuti
fisioterapi guna mengembalikan fungsi gerak pasien guna memenuhi kebutuhan hidup pasien
sehari-hari
- Menjelaskan kepada pasien untuk mengendalikan faktor-faktor resiko yang dapat
menyebabkan stroke
- Menjelaskan pasien agar menjalani pola hidup sehat untuk menghindari terjadinya
serangan stroke kembali

Gowa, 14 Februari 2017

Peserta, Pendamping,

dr. Elim Jusri dr. Adhy Krisna

Anda mungkin juga menyukai