Anda di halaman 1dari 20

Sifat khusus

- Asianosis
- Aliran darah ke A.pulmonalis ;lebih banyak
- Shunt terletak anatara 2 arteri besar (A. Pulmonalis dan aorta)
- Shunt darah dari aorta ke A.pulmonalis melalui ductus arteriosus yang persisten, jadi
tingkat keparahan berkaitan dengan besarnya ductus dan rasio resistensi vaskuler
pulmo dan sistemik.

Patofisisologi
Pada saat lahir ductus botalli tetap terbuka sehingga darah dari ventrikel kiri ke aorta,
kemudian melalui ductus menuju arteri pulmonalis. Aliran darah dalam ductuss terjadi saat
sistole maupun distole sehingga terdengar bising kontinyu. Karena darah aorta ada yang
mengalir melalui ductus, ventrikel kiri harus bekerja lebih berat dan tekanan diastole lebih
rendah. Sehingga akan terjadi nadi dengan amplitudo besar, pada kapiler akan tampak
denyutan, yang disebut water hammer pulse.
Aliran darah ke pulmo lebih banyak yang lambat laun akan menyebabkan
arteriosklerosis pada a. Pulmonalis, yang berakibat berbaliknya shunt darah dari A.
Pulmonalis melalui ductus ke aorta. Pada keadaan tersebut, anggota tubuh bagian bawah
ductus menjadi sianosis sedsangkan bagian kepala dan tangan tetap normal.

Anamnesis
- Ductus sempit : tidak bergejala
- Ductus sedang dan lebar, tahanan paru masih tinggi : keadaan umum dapat bisa baik
dan bisa takipnea.
- Ductus sedang dan lebar usia 6 8 minggu: mudah lelah, sukar makan, banyak
berkeringat, takipnea, sering menderita radang paru yang sukar diobati.
- Pertumbuhan terhambat
- Bila tahanan paru lebih tinggi dari tahanan sistemik, akan terjadi sindroma eisen
menger, dimana shunt berbalik dari kanan ke kiri: takipnea, dispnea de effort, sianosis
tubuh bagian bawah ( karena mendapat darah dari aorta sebelah distal ductus ).

Klinis laboratoris
- PDA kecil: asimptomatik, PDA besar : bisa CHF
- Pemeriksaan fisik: takikardi, sesak napas, denyut nadi kuat lalu tiba tiba
menghilang(water hammer pulse)
- Bising sistolik/diastolik (bising kontinyu) infra claviculer kiri
- Rontgen thorax PDA kecil : normal, PDA besar: kardomegali tipe kiri, corakan
vaskuler meningkat, aortic knob menonjol, arteri pulmonalis membesar.
- EKG, PDA kecil: normal, PDA besar: LVH tipe volume, atau BVH.
- Ekokardiografi: pembesaran atrium kiri karena venous return pulmoner meningkat

Pemeriksaan fisik
- Ductus sempit:
Teraba nadi dengan amplitudo besar, ictus cordis normal, S1 dan S2 normal,
bsisng kontinyu terkeras pada ICS II linea para sternalis kiri dan dibawah clavicula.
- Ductus sedang dan lebar, tahanan paru masih tinggi:
Anak tampak kecil dengan gejala gejala gagal jantung.
- Amplitudo nadi lebar.
- Dada kiri mencembung sesuai dengan pembesaran jantung
- Ictus cordis tampak kuat angkat
- Pada palpasi tampak ventrikel kiri membesar
- S1 mengeras, S2 tertutup bising kontinyu
- Bising terdengar keras pada ICS II linea para sternalis kiri dan dibawah clavicula
menjalar ke punggung.
- Pada apex terdengar bisisng mid diastolik nada rendah (rumble)
- Dapat terjadi jari tabuh, tergantung derajat hipoksisa.
- Bila tahanan pulmonal sama dengan tahanan sistemik, maka tidak ada shunt sehingga
tidak ada bisisng atau terdengar bisisng pendek tipe ejeksi pada ICS I sampai II linea
para sternalis kiri.

Pemeriksaan tambahan
- EKG:
o Ductus kecil dalam batas normal
o Pada bayi : hipertrofi biventrikuler
o Pada anak yang lebih besar : 60% EKG normal, 25% gambaran hipertrofi
ventrikel kiri
o Jika tahanan paru telah naik: deviasi sumbu ke kanan, hipertrofi ventrikel
kanan dan kadang ada hipertrofy atrium kanan.

- Radiologi
o Ductus kecil: dalam batas normal.
o Ductus sedang dan lebar dengan tahanan paru normal: kardiomegali, batang
arteri pulmonalis menonjol, aorta asenden membesar, corakan paru bertambah.
o Ductus lebar dengan tahanan paru mulai naik: besar jantung normal atau
sedikit membesar, ventrikel kanan membesar, pembuluh darah paru sentral
melebar, pembuluh darah perifer normal atau berkurang.
Ekokardiografi
Mengukur besarnya ductus, dimensi atrium kiri dan ventrikel kiri.

Prognosis
- Prognosis baik pada penderita asimptomatis, resiko endokarditis infektif (jarang
sebelum 5 tahun)
- Dapat terjadi gagal jantung (13% setelah usia 20 tahun).
- PDA pada bayi sering kali menutup sendiri
- Bayi prematur dengan gagal jantung : terapi digitalis diuretik diharapkan dapat
menutup.
- Bayi aterm jarang terjadi penutupan spontan, terutama jika menyebabkan gagal
jantung pada tahun pertama.
- Defek kecil dapat menutup sendiri. Defek besar dapat menyebabkan decomp,
pneumonia, hipertensi pulmonalis, sampai endokarditis.

Penatalaksanaan
- Indometasin pada bayi prematur supaya PDA menutup
- Oklusi kateter
- Ligasi pada anak usia 6 bulan 2 tahun tapi jika ada decomp segera lakukan ligasi
- Profilaksis endokarditis.

Terapi
1. Pembedahan
Pada bayi premature tanpa distress respirasi : perbaiki gagal jantung dengan digitalis.
Bila berhasil dapat ditunda 3 bulan lagi. Tetapi bila gagal jantung tidak dapat diatasi
dilakukan penutupan.
2. Bayi dengan distress respirasi dilakukan operasi.

B. Penyakit Jantung Bawaan Non Sianosis


Pada neonatus neonatus normal, saat lahir masih disertai tahanan arteri pulmonalis yang
tinggi. Setelah 4-12 minggu terjadi penurunan tahanan arteri pulmonalis sampai menuju nilai
normal. Pada neonatus dengan PJB non sianotik, selama tahanan arteri pulmonalis masih
tinggi, defek jantung yang ada belum menimbulkan perubahan aliran darah dari sistemik ke
paru. Setelah 4-12 minggu postnatal, pada saat terjadi penurunan tahanan arteri pulmonalis
sampai menuju nilai normal, defek jantun yang dan akan menimbulkan perubahan aliran
darah yaitu yang seharusnya ke sistemik berubah menuju ke paru. Pada saat inilah baru
terjadi pirau kiri ke kanan disertai gejala klinis berupa mulai terdengarnya bising sampai
gagal jantung dengan gejala utama takipnea. 2

C. Penyakit Jantung Bawaan Yang Disertai Penurunan Aliran Darah Ke Sistemik


Penurunan aliran darah ke sistemik akibat PJB pada neonatus berupa:
hambatan aliran darah dari paru atau atrium kiri ke ventrikel kiri
ventrikel kiri tidak adekuat memompa darah ke aorta. Kedua kondisi ini mengakibatkan
peningkatan tekanan vena paru dan edema paru serta penurunan perfusi organ-organ vital. 2

Gejala klinis tampak segera setelah lahir dan berat, berupa penurunan suhu kulit dan
perubahan warna kulit yang pucat, penurunan tekanan darah sampai tidak terukur, sulit atau
tidak terabanya denyut nadi perifer, hiperaktif RV, dan penurunan capillary refile, metabolik
asidosis berat serta distres nafas sedang sampai berat.2
Denyut nadi dan tekanan darah harus diukur pada ektremitas atas dan bawah, normal tekanan
darah ekstremitas bawa lebih tinggi. Bila ada perbedaan denyut nadi tanpa disertai perbedaan
tekanan darah, harus diraba pulsasi arteri karotis. Perbedaan pulsasi arteri karotis dengan
pulsasi ekstremitas bawah dan ekstremitas bawah menunjukkan kemungkinan koartasio aorta,
interrupted aorta atau arteri subklavia berasal dari aorta d Ada keadaan pada neonatus yang
baru lahir dengan penrunan perfusi perifer disertai gejala distres nafas derajat sedang sampai
berat yang disertai retraksi ruang iga, subkosta, nafas cuping hidung dan grunting, yaitu
persistent pulmonary hypertension dan total anomalous pulmonary venous return. Kedua
kondisi ini sulit dibedakan, pada persistent pulmonary hypertension sering disertai riwayat
prenatal berupa ketuban pecah dini, sindroma aspirasi mekonium atau asfiksia berat. 2

Diagnosa
A. Riwayat.
Famili dengan penyakit herediter, saudaranya dengan PJB
Kehamilan dan perinatal : infeksi virus, obat yang dikonsumsi si ibu terutama
saat kehamilan trimester I.
Postnatal : kesulitan minum, sianosis sentral. 2

B. Pemeriksan Fisik.
Auskultasi : harus dilakukan pertama kali sebelum bayi menangis. Frekuensi meningkat dan
irama denyut jantung tidak teratur, suara jantung II mengeras atau tidak terdengar, terdengar
bising jantung (kualitas, intensitas, timing, lokasi), gallop. Tidak semua bising jantung pada
neonatus adalah PJB dan tidak semua neonatus dengan PJB terdengar bising jantung.
Sianosis sentral, penurunan perfusi perifer, hiperaktivitas prekordial, thrill, pulse dan tekanan
darah ke 4 ekstremitas berbeda bermakna, takipnea, takikardia, edema. Tidak semua gejala
tersebut timbul pada masa neonatus dan tidak semua neonatus dengan gejala tersebut
memerlukan tindakan spesifik yang harus segera dilaksanakan tapi memerlukan pemeriksaan
tambahan. 2

Gambar 8. Pemeriksaan Neotatus


C. Pemeriksaan tambahan
Foto polos dada : adanya kelainan letak, ukuran dan bentuk jantung, vaskularisasi paru,
edema paru, parenkim paru, letak gaster dan hepar.
Elektrokardiografi : adanya kelainan frekuensi, irama, aksis gelombang P dan QRS, voltase di
sandapan prekordial. 2

D. Pada monitoring, ditemukan kelainan berupa


Perbedaan saturasi O2 arteri dengan pulse oksimetri pada preduktal (tangan kanan) dan
postduktal (kaki).
pH arteri, dan analis gas darah terhadap hipoksemia dan asidosis metabolik (pada neonatus
dengan gagal jantung ada peningkatan CO2). 2

Gambar 9.Pemeriksaan EKG pada PJB

Berdasarkan riwayat prenatal, natal dan postnatal yang cermat serta pemeriksaan fisis yang
sistematis dan teliti serta pemeriksaan tambahan dan monitoring, maka gejala sianosis sentral,
penurunan perfusi perifer dan takipnea akibat PJB kritis pada neonatus bisa ditegakkan.
Dengan demikian dapat segera diberikan terapi awal untuk mencegah kematian dini dan
sekaligus dapat direncanakan tatalaksana lanjutan yang tepat, rasional dan adekuat. Bilamana
fasilitas kesehatan yang memadai tidak tersedia dan neonatus sudah dalam kondisi yang
relatif stabil maka dapat dipersiapkan pelaksanaan rujukan ke pusat pelayanan jantung yang
terjangkau. 2
Peningkatan impuls parasternal dan subxyphoid sering dijumpai pada PJB sianosis, terabanya
impuls ventrikel kiri menunjukkan adanya dilatasi ventrikel kiri akibat peningkatan beban
volume. Bising jantung sering ditemukan pada neonatus normal dan sering tidak ditemukan
pada neontus dengan PJB. Bising jantung yang bersifat sistolik ejeksi yang menjalar ke leher
akibat lesi obstruksi jantung kiri atau bila terdengar penjalarannya ke punggung maka curiga
adanya lesi obstruksi jantung kanan. Pembesaran dan lokasi hepar sangat membantu adanya
peningkatan volume darah dan tekanan atrium kanan, aliran darah ke paru dan adanya situs
inversus. 2
Gejala sianosis sentral pada penyakit jantung bawaan biru (Cardiac cyanosis) sering belum
terdeteksi pada saat neonatus keluar rumah sakit. Terdapat beberapa keadaan yang juga
memberikan gejala hampir sama yaitu : penyakit parenkhim paru, sirkulasi fetal persisten,
kelainan sisitem saraf sentral dan kelainan hematologi. Penyakit parenkhim paru selalu
disertai distres nafas yang segera memerlukan ventilator dan ditemukan kelainan pada
pemeriksaan foto polos dada. 2
Sirkulasi fetal yang persisten akibat faktor intrauterin sehingga dinding arteria pulmonalis
tetap menebal dan tekanannya tetap tinggi yang sering ditandai distres nafas yang ringan atau
sedang, riwayat asfiksia, sindroma aspirasi mekonium dan prematuritas serta riwayat ibu
mengkonsumsi steroid pada bulan terakhir kehamilan. 2
Tetap terbukanya duktus pada beberapa jam atau hari setelah lahir akan mempertahankan
pasokan darah ke sistem sirkulasi paru tetap normal (ductus dependent pulmonary
circulation). Kondisi ini meniadakan gejala sianosis sentral (masking effect) sehingga tidak
ada persangkaan adanya PJB biru pada neonatus yang sedang kita hadapi. Peningkatan
kebutuhan oksigen oleh tangisan atau aktivitas minum serta peningkatan saturasi oksigen
kearah nilai normal mengakibatkan rangsangan penutupan duktus. Pada saat ini baru timbul
gejala sianosis sentral walaupun kadang masih bersifat transient, yaitu terutama pada saat
menangis atau aktivitas minum. Penutupan duktus masih terjadi secara anatomis tetapi secara
fungsionil masih terbuka. Pada kondisi seperti ini pemeriksaan saturasi oksigen secara serial
dengan cara pulse oxymetri memang diperlukan. Hyperoxic-test, pemberian oksigen 100 %
dengan kecepatan 1 liter/menit selama 10 menit, bila saturasi O2 >98% bukan PJB sianosis,
bila saturasi O2 >90% kemungkinan suatu PJB sianosis, tapi bila saturasi O2 tetap dibawah
90% hampir dipastikan suatu PJB sianosis. 2
Kondisi hipoksemia ini merangsang kemoreseptor sehingga menimbulkan gejala takipnea
ringan dengan ventilasi yang tetap normal. Dengan demikian tidak disertai gejala pernafasan
cuping hidung, retraksi ruang iga maupun suara pernafasan grunting. Hipoksemia akan
berjalan progresif dalam beberapa hari dengan terjadinya penutupan duktus yang sudah
persisten yaitu secara anatomis maupun fungsional. Gejala sianosis sentral semakin nyata dan
tampak menetap, yaitu walaupun pada saat tidur maupun beraktivitas. 2
Gejala penurunan perfusi perifer akibat terganggunya aliran darah ke perifer karena tidak
terbentuknya struktur jantung kiri, obstruksi di tingkat aorta atau disfungsi miokard akibat
sepsis, hipoglikemia, hipokalsemia, asidosis metabolik, anemia dan polisitemia. Dalam
beberapa jam pertama setelah lahir, oleh pengaruh duktus yang masih terbuka akan
meniadakan gejala (masking effect) penurunan perfusi perifer (ductus dependent systemic
circulation). Penutupan duktus akan menimbulkan penurunan aliran darah ke sistem arteri
perifer, hal ini mengakibatkan penurunan perfusi perifer dengan gejala berupa tidak mau
minum, pucat dan berkeringat disertai distres nafas. 2
Gejala takipnea pada neonatus dengan PJB non sianotik (terdapat pirau kiri ke kanan) baru
terjadi beberapa hari atau minggu kehidupan, yaitu setelah terjadi penurunan tahanan
pembuluh darah paru dan penurunan hemoglobin kearah normal. Oleh karena itu, takipnea
yang timbul segera setelah lahir tanpa disertai gejala sianosis sentral dan penurunan perfusi
perifer menunjukkan suatu kelainan paru, bukan PJB. Neonatus normal bernafas lebih cepat
daripada bayi, namun tidak lebih dari 60 kali per menit untuk periode waktu yang lama.2

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan neonatus dengan dugaan PJB kritis tidak jauh berbeda dengan kondisi kritis
pada neonatus akibat penyakit diluar jantung. Faktanya, ada kecenderungan para dokter untuk
melepaskan tanggung jawab dan menyerahkan ke dokter konsultan jantung. Hal ini tidak
boleh terjadi dan alur penatalaksanaannya menjadi tidak efektif sehingga akhirnya merugikan
pasien. 2
Penatalaksanaan awal pada setiap neonatus dengan PJB kritis sangat berperan dalam
mencegah memburuknya kondisi klinis bahkan kematian dini. Diawali dengan
penatalaksanaan kegawatan secara umum kemudian dilanjutkan penatalaksanaan kegawatan
jantung secara khusus sesuai dengan masalah kritis yang sedang dihadapi (sianosis sentral,
peningkatan aliran darah ke paru atau penurunan aliran darah ke sistemik) sebagai berikut : 2
Penempatan pada lingkungan yang nyaman dan fisiologis (suhu 36,5-37 oC dan kelembaban
sekitar 50%). 2
Pemberian oksigen.
Oksigen sering diberikan pada neonatus yang dicurigai menderita PJB tanpa
mempertimbangkan tujuan dan dampak negatifnya. Pemberian oksigen pada neonatus
mengakibatkan vasokonstriksi arteria sistemik dan vasodilatasi arteria pulmonalis, hal ini
memperburuk PJB dengan pirau kiri ke kanan. Pemberian oksigen pada neonatus ductus
dependent sistemic circulation atau ductus dependent pulmonary circulation malah
mempercepat penutupan duktus dan memperburuk keadaan. Pada kedua kondisi tersebut
lebih baik mempertahankan saturasi oksigen tidal lebih dari 85% dengan udara kamar (0,21%
O2). 2
Saturasi oksigen neonatus dengan PJB sianotik selalu rendah dan tidak akan meningkat
secara nyata dengan pemberian oksigen. Namun demikian, pada neonatus yang mengalami
distres, akan mengganggu ventilasinya dan gangguan ini dapat akan berkurang dengan
pemberian oksigen yang dilembabkan dengan kecepatan 2-4 liter per menit dengan masker
atau kateter nasofaringeal. Pada neonatus dengan distres nafas yang berat maka bantuan
ventilasi mekanik sangat diperlukan. 2

Pemberian cairan dan nutrisi


Harus dipertahankan dalam status normovolemik sesuai umur dan berat badan. Pada neonatus
yang dengan distres ringan dengan pertimbangan masih dapat diberikan masukan oral susu
formula dengan porsi kecil tapi sering. Perlu perhatian khusus pada PJB kritis terhadap
gangguan reflex menghisap dan pengosongan lambung serta risiko aspirasi. Pemberian
melalui sonde akan menambah distres nafas dan merangsang reflex vagal. Pada kondisi
shock, pemberian cairan 10 15 ml/kgBB dalam 1-2 jam, kemudian dilihat respons terhadap
peningkatan tekanan darah, peingkatan produksi urine dan tanda vital yang lain. Disfungsi
miokard akibat asfiksia berat memerlukan pemberian dopamin dan dobutamin. 2
Pemberian diet pada penderita penyakit jantung bawaan untuk mengatasi gangguan
pertumbuhan seharusnya dengan pemberian komponen diet yang lebih tinggi dibanding anak
normal agar dapat mencapai pertumbuhan optimal. Recommended Dietary Allowances
(RDA) yang dibutuhkan oleh anak umur kurang dari 6 bulan dengan PJB berat adalah 40 %
lebih besar dari kebutuhannya. 9
Namun penelitian ini tidak membedakan tipe dari PJB dan beratnya gangguan
hemodinamiknya. Pada anak dengan PJB asianotik membutuhkan nutrien lebih tinggi
daripada anak normal. Energi yang dibutuhkan 20-30 % di atas RDA agar dapat mencapai
tumbuh kejar. 9
Penelitian dilakukan oleh Bougle dkk pada bayi berumur 2-14 minggu dengan PJB asianotik
yang mengalami gagal jantung dan gagal tumbuh serta memperoleh digitalis dan diuretik.
Mereka diberi minum melalui sonde lambung secara kontinyu selama 40 hari. Cairan susu
formula bayi yang diperkaya energi dalam bentuk MCT dan karbohidrat, diberikan mulai 40
ml/kgBB/hari ditingkatkan secara progresif sampai terjadi kenaikan berat badan. Jumlah
kalori yang diberikan rata-rata 137 kkal/kgBB/hari. Terjadi peningkatan berat badan yang
bermakna. 9

Pemberian prostaglandin E1
Merupakan tindakan awal yang harus diberikan, sebagai life-saving dan sementara menunggu
kepastian diagnosis, evaluasi dan menyusun terapi rasional selanjutnya, prostaglandin E1
diberikan pada :
Setiap bayi umur kurang dari 2 minggu yang dicurigai dengan PJB sianosis (ductus
dependent pulmonary circulation). Tujuan : meningkatkan aliran darah ke paru (Atresia
pulmonal, pulmonal stenosis yang berat, atresia trikuspid) atau meningkatkan tekanan atrium
kiri agar terjadi pirau kiri ke kanan sehingga oksigenasi sistemik menjadi lebih baik
(transposisi pembuluh darah besar). 2
Setiap bayi umur kurang dari 2 minggu yang disertai syok, pulsasi perifer lemah atau tak
teraba, kardiomegli dan hepatomegali (ductus dependent systemic circulation). Tujuan :
meningkatkan aliran darah ke arteri sistemik (aorta stenosis yang kritis, koartasio aorta,
transposisi pembuluh darah besar, interrupted arkus aorta atau hipoplastik jantung kiri). 2

Dosis awal 0,05 mikrogram/kgBB/menit secara intravena atau melalui kateter umbilikalis,
dosis bisa dinaikkan sampai 0,1 sampai 0,15 mikrogram/kgBB/menit selama belum timbul
efek samping dan sampai tercapai efek yang optimal. Bila terjadi efek samping berupa
hipotensi atau apnea maka pemberian prostaglandin segera diturunkan dosisnya dan diberikan
bolus cairan 5-10 ml/kgBB intravena. Bila terjadi apnea maka selain menurunkan dosis
prostaglandin E1, segera dipasang intubasi dan ventilasi mekanik dengan O2 rendah,
dipertahankan minimal saturasi oksigen mencapai 65 %.2
Bila keadaan sudah stabil kembali maka dapat dimulai lagi dosis awal, bila tidak terjadi efek
samping pada pemberian dosis 0,05 mikrogram/kgBB/menit tersebut, maka dosis dapat
diturunkan sampai 0,01 mikrogram/kgBB/menit atau lebih rendah sehingga tercapai dosis
minimal yang efektif dan aman. Selama pemberian prostaglandin E1 perlu disiapkan
ventilator dan pada sistem infusion pump tidak boleh dilakukan flushed. Harus dipantau ketat
terhadap efek samping lainnya yaitu : disritmia, diare, apnea, hipoglikemia, NEC,
hiperbilirubinemia, trombositopenia dan koagulasi intravaskular diseminata, perlu juga
diingat kontraindikasi bila ada sindroma distres nafas dan sirkulasi fetal yang persisten. Bila
ternyata hasil konfirmasi diagnosis tidak menunjukkan PJB maka pemberian prostaglandin
E1 segera dihentikan. 2
Telah dicoba pemakaian prostaglandin E2 per oral, mempunyai efek yang hampir sama
dengan prostaglandin E1, lebih praktis dan harganya lebih murah. Pada awalnya diberikan
setiap jam, namun bila efek terapinya sudah tercapai, maka obat ini dapat diberikan tiap 3-4
jam sampai 6 jam. Dapat mempertahankan terbukanya duktus dalam beberapa bulan, namun
duktus akan menutup bila pemberiannya dihentikan. 2
Untuk neonatus usia 2-4 minggu, walaupun angka kesuksesan rendah , masih dianjurkan
pemberian prostaglandin E1 . Bila dalam 1-2 jam setelah pemberian dosis maksimum (0,10
mikrogram/kgBB/menit) ternyata tidak terjadi reopen duktus, maka pemberiannya harus
segera distop dan direncanakan untuk urgent surrgical intervention. 2

Koreksi terhadap gagal jantung dan disritmia


Bila gagal jantung telah dapat ditegakkan, maka obat pertama yang harus diberikan adalah
diuretik dan pembatasan cairan, biasanya furosemid dengan dosis awal 1 mg/kgBB yang
dapat diberikan intravena atau per oral, 1 sampai 3 kali sehari. 2
Cedilanid dapat ditambahkan untuk memperkuat kontraksi jantung (inotropik dan
vasopresor) dengan dosis digitalisasi total untuk neonatus preterm 10 mikrogram/kgBB per
oral, untuk neonatus aterm 10 20 mikrogramkgBB per oral. Diberikan loading dose sebesar
1/2 dari dosis digitalisasi total, disusul 1/4 dosis digitalisasi total 6 -12 jam kemudian dan 1/4
dosis sisanya diberikan 12-24 jam kemudian. Disusul dosis rumatan 5-10 mikrogram/kgBB
per oral. Pemberian intravena dilakukan bila per oral tidak memungkinkan, dosis 80% dari
dosis per oral. Dosis per oral maupun intravena diturunkan sampai 60% nya bila ada
penurunan funsi ginjal. 2
Dopamin dosis 2-20 mikrogram/kgBB/menit per drip (dilatasi renal vascular
bed)dikombinasi dengan Dobutamin dosis 2-20 mikrogram/kgBB/menit per drip
(meningkatkan kontraktilitas miokard) merupakan kombinasi yang sangat baik untuk
meningkatkan penampilan jantung dengan dosis yang minimal. 2
Captopril sebagai vasodilator (menurunkan tahanan vaskuler sistemik dan meningkatkan
kapasitas sistem vena) ) sangat berperan pada neonatus dengan gagal jantung kongestif. Dosis
1 mg/kgBB per oral dosis tunggal disusul dosis yang sama untuk rumatan. Sangat efektif
pada kondisi neonatus dengan:
penurunan fungsi ventrikel
pirau kiri ke kanan yang masif regurgitasi katup
hipertensi sistemik
hipertensi pulmonal. 2
Dengan meningkatkan kontraktilitas miokard, menurunkan sinoatrial node rate, dilatasi renal
vascular bed, dan menurunkan tahanan sistemik, maka penampilan jantung dapat
ditingkatkan sehingga dapat meningkatkan sirkulasi perifer dan mengurangi hipoksia
jaringan. 2
Disritmia jantung sering menyertai hipoksemia berat, bila hipoksemia berat telah dikurangi
dan kelainan metabolik lainnya dikoreksi, maka disritmianya biasanya akan menghilang
dengan sendirinya. Tidak dianjurkan memberikan obat anti disritmia tanpa memperbaiki
hipoksemia dan kelainan metabolik lainnya yang menyertai, selain tidak bermanfaat juga
malah menimbulkan disritmia jenis lain yang lebih membahayakan. 2

Koreksi terhadap kelainan metabolik


Hipoksia jaringan akan menyebabkan asidosis metabolik yang seringkali sukar dikoreksi.
Untuk kondisi ini harus diberikan Na-bikarbonat, dosis 1-2 ml/kgBB intravena perlahan-
lahan atau disesuaikan dengan hasil analisis gas darah. 2
Hipoglokemia dan gangguan keseimbangan elektrolit yaitu kalium, natrium, magnesium dan
kalsium sering menyertaikondisi hipoksemia, koreksi secepatnya bila pada pemantauan klinis
ditemukan hal-hal tersebut. 2

Terapi Genetik
Sebuah penelitian baru membuktikan bahwa KCNQ1 adalah gen utama yang menyandi
fungsi jantung. Mutasi yang terjadi pada gen tersebut akan menyebabkan penyakit jantung
bawaan pada ratusan ribu anak dan akan menimbulkan gangguan rhytm atau irama jantung
dengan penderitaan seumur hidup. Kondisi ini pada akhirnya bisa menyebabkan gagal
jantung atau Cardiac suddent dan kematian. Penelitian di Cardiac Research Center, Niigata
University Hospital, Jepang telah melakukan uji gene screening pada lebih dari seratus
keluarga dengan penderita penyakit jantung bawaan. 10
Dari hasil penelitian ini menggambarkan sesuatu yang sangat baru dalam ilmu genetika
kedokteran, bahwa mutasi gen KCNQ1 menjadi dasar timbulnya kelainan jantung bawaan
LQTS, dan diturunkan secara dominan autosomal. Keparahan penyakit tersebut ditentukan
bukan hanya oleh lokasi terjadinya mutasi, namun yang lebih penting lagi adalah jenis asam
amino pembentuk mutan tersebut. Sehingga tentunya, hasil ini dimasa depan dapat digunakan
sebagai dasar ilmiah teknik pengobatan genetik (gene therapy) bagi penderita penyakit
jantung bawaan, yaitu dengan cara mentransgenikkan asam amino mutant pada pasien kearah
asam amino normal. 10
DAFTAR PUSTAKA

1. Ontoseno, T., Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis
Pada Neonatus ( Diagnosis And Management Of Critical Congenital Heart Disease
In The Newborn), Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FK Unair RSU
Dr. Soetomo, Surabaya, 2005.
2. Jaber, Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis
Pada Neonatus, in Wordpress, available at: http://koaskamar13.wordpress.
com/2007/10/05/diagnosis-dan-tatalaksana-penyakit-jantung-bawaan-yang-kritis-
pada-neonatus/, 2007.
3. Dwi, Deteksi dini penyakit jantung bawaan pada bayi untuk indikasi pembedahan,
dalam simposium, Majalah Farmacia Edisi Maret, 2007.
4. Rahayoe, A.U., Penanganan Medis Pada Penyakit Jantung Bawaan, dalam
Medicastores, available at: http://medicastore.com/med/artikel.php?id=140&
UID=2006020707584166.249.66.37, 2006.
5. Suardi, A., Penyakit Jantung Bawaan, available at: http://www.jantungku.
com/2008/09/14/penyakit-jantung-bawaan/, 2008.
6. Admin, Penyakit Jantung Bawaan, available at: http://www.totalkesehatan
anda.com/congenital1.html, 2008.
7. Nasir, N., Tetralogi Falot, available at: http://www.nasriyadinasir.co.cc/2009/
05/tetralogi-fallot.html, 2009
8. Rahmawan, A., Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Asianotik Pada
Anak, Bagian/Ilmu Kesehatan Anak, FK UNLAM RSUD Ulin, Banjarmasin, 2008.
9. Wishnuwardhana, M., Manfaat Pemberian Diet Tambahan Terhadap Pertumbuhan
Pada Anak Dengan Penyakit Jantung Bawaan Asianotik, Universitas Diponegoro,
Semarang, 2006.
10. Ikrar, T., Harapan Baru Terapi Genetik Bagi Penderita Penyakit Jantung Bawaan,
dalam Berita Iptek, available at: http://beritaiptek.istecs.org/harapan-baru-terapi-
genetik-bagi-penderita-penyakit-jantung-bawaan/, 2009.

2.1. Penyakit Jantung Bawaan (PJB)


Menurut Prof. Dr. Ganesja M Harimurti, Sp.JP (K), FASCC, dokter spesialis jantung dan
pembuluh darah di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, mengatakan bahwa PJB adalah
penyakit yang dibawa oleh anak sejak ia dilahirkan akibat proses pembentukan jantung yang
kurang sempurna. Proses pembentukan jantung ini terjadi pada awal pembuahan (konsepsi).
Pada waktu jantung mengalami proses pertumbuhan di dalam kandungan, ada kemungkinan
mengalami gangguan. Gangguan pertumbuhan jantung pada janin ini terjadi pada usia tiga
bulan pertama kehamilan, karena jantung terbentuk sempurna pada saat janin berusia empat
bulan (Dhania, 2009).

2.1.1. Epidemiologi dan Faktor Resiko


Bayi baru lahir yang dipelajari adalah 3069 orang, 55,7% laki- laki dan 44,3% perempuan, 28
(9,1 per-1000) bayi mempunyai PJB. Patent Ductus Arteriosus (PDA) ditemukan pada 12
orang bayi (42,9%), 6 diantaranya bayi prematur. Ventricular Septal Defect (VSD) ditemukan
pada 8 bayi (28,6%), Atrial Septal Defect (ASD) pada 3 bayi (19,7%), Complete Atrio
Ventricular Septal Defect (CAVSD) pada 3,6 % bayi, dan kelainan katup jantung pada bayi
yang mempunyai penyakit jantung sianotik (10,7%), satu bayi Transposition of Great
Arteries (TGA), dua lain dengan kelainan jantung kompleks sindrom sianotik. Ditemukan
satu bayi dengan sindrom Down dengan ASD, dengan ibu pengidap diabetes. Satu orang bayi
dilahirkan dari bapak dengan PJB, tidak ada dari 4 orang ibu dengan PJB mempunyai bayi
dengan PJB. Atrial fibrillation ditemukan di satu orang bayi. Dari 28 bayi dengan PJB, 4 mati
(14,3%) selama 5 hari pengamatan. Data menunjukkan ibu yang tidak mengkonsumsi vitamin
B secara teratur selama kehamilan awal mempunyai 3 kali risiko bayi dengan PJB. Merokok
secara signifikan sebagai faktor risiko bagi PJB 37,5 kali. Faktor risiko lain secara statistik
tidak berhubungan (Harimurti, 1996).
Dalam hubungan keluarga yang dekat risiko terjadinya PJB yang terjadi 79,1%, untuk
Heterotaxia, 11,7% untuk Conotruncal Defects, 24,3% untuk Atrioventricular Septal Defect,
12,9% untuk Left Ventricular Outflow Tract Obstruction, 7,1% untuk Isolated Atrial Septal
Defect dan 3,4% untuk Isolated Ventricular Septal Defect. Risiko terjadinya PJB dari jenis
lain 2,68%, risiko didapatnya PJB dari jenis yang sama berkisar 8,15%. Didapati hanya 2,2%
kejadian PJB pada populasi yang diamati (Poulsen, 2009).
2.1.2. Jenis PJB
1. PJB Non Sianotik
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) non sianotik adalah kelainan struktur dan fungsi jantung
yang dibawa lahir yang tidak ditandai dengan sianosis; misalnya lubang di sekat jantung
sehingga terjadi pirau dari kiri ke kanan, kelainan salah satu katup jantung dan penyempitan
alur keluar ventrikel atau pembuluh darah besar tanpa adanya lubang di sekat jantung.
Masing-masing mempunyai spektrum presentasi klinis yang bervariasi dari ringan sampai
berat tergantung pada jenis dan beratnya kelainan serta tahanan vaskuler paru (Roebiono,
2003).
a. Ventricular Septal Defect (VSD)
Pada VSD besarnya aliran darah ke paru ini selain tergantung pada besarnya lubang, juga
sangat tergantung pada tingginya tahanan vaskuler paru. Makin rendah tahanan vaskuler paru
makin besar aliran pirau dari kiri ke kanan. Pada bayi baru lahir dimana maturasi paru belum
sempurna, tahanan vaskuler paru umumnya masih tinggi dan akibatnya aliran pirau dari kiri
ke kanan terhambat walaupun lubang yang ada cukup besar. Tetapi saat usia 23 bulan
dimana proses maturasi paru berjalan dan mulai terjadi penurunan tahanan vaskuler paru
dengan cepat maka aliran pirau dari kiri ke kanan akan bertambah. Ini menimbulkan beban
volume langsung pada ventrikel kiri yang selanjutnya dapat terjadi gagal jantung (Roebiono,
2003).

b. Patent Ductus Arteriosus (PDA)


Pada PDA kecil umumnya anak asimptomatik dan jantung tidak membesar. Sering ditemukan
secara kebetulan saat pemeriksaan rutin dengan adanya bising kontinyu yang khas seperti
suara mesin (machinery murmur) di area pulmonal, yaitu di parasternal sela iga 23 kiri dan
di bawah klavikula kiri. Tanda dan gejala adanya aliran ke paru yang berlebihan pada PDA
yang besar akan terlihat saat usia 14 bulan dimana tahanan vaskuler paru menurun dengan
cepat. Nadi akan teraba jelas dan keras karena tekanan diastolik yang rendah dan tekanan
nadi yang lebar akibat aliran dari aorta ke arteri pulmonalis yang besar saat fase diastolik.
Bila sudah timbul hipertensi paru, bunyi jantung dua komponen pulmonal akan mengeras dan
bising jantung yang terdengar hanya fase sistolik dan tidak kontinyu lagi karena tekanan
diastolik aorta dan arteri pulmonalis sama tinggi sehingga saat fase diastolik tidak ada pirau
dari kiri ke kanan. Penutupan PDA secara spontan segera setelah lahir sering tidak terjadi
pada bayi prematur karena otot polos duktus belum terbentuk sempurna sehingga tidak
responsif vasokonstriksi terhadap oksigen dan kadar prostaglandin E2 masih tinggi. Pada bayi
prematur ini otot polos vaskuler paru belum terbentuk dengan sempurna sehingga proses
penurunan tahanan vaskuler paru lebih cepat dibandingkan bayi cukup bulan dan akibatnya
gagal jantung timbul lebih awal saat usia neonatus (Roebiono, 2003).

c. Atrial Septal Defect (ASD)


Pada ASD presentasi klinisnya agak berbeda karena defek berada di septum atrium dan aliran
dari kiri ke kanan yang terjadi selain menyebabkan aliran ke paru yang berlebihan juga
menyebabkan beban volum pada jantung kanan. Kelainan ini sering tidak memberikan
keluhan pada anak walaupun pirau cukup besar, dan keluhan baru timbul saat usia dewasa.
Hanya sebagian kecil bayi atau anak dengan ASD besar yang simptomatik dan gejalanya
sama seperti pada umumnya kelainan dengan aliran ke paru yang berlebihan yang telah
diuraikan di atas. Auskultasi jantung cukup khas yaitu bunyi jantung dua yang terpisah lebar
dan menetap tidak mengikuti variasi pernafasan serta bising sistolik ejeksi halus di area
pulmonal. Bila aliran piraunya besar mungkin akan terdengar bising diastolik di parasternal
sela iga 4 kiri akibat aliran deras melalui katup trikuspid. Simptom dan hipertensi paru
umumnya baru timbul saat usia dekade 30 40 sehingga pada keadaan ini mungkin sudah
terjadi penyakit obstruktif vaskuler paru (Roebiono, 2003).

d. Aorta Stenosis (AS)


Aorta Stenosis derajat ringan atau sedang umumnya asimptomatik sehingga sering
terdiagnosis secara kebetulan karena saat pemeriksaan rutin terdengar bising sistolik ejeksi
dengan atau tanpa klik ejeksi di area aorta; parasternal sela iga 2 kiri sampai ke apeks dan
leher. Bayi dengan AS derajat berat akan timbul gagal jantung kongestif pada usia minggu-
minggu pertama atau bulan-bulan pertama kehidupannya. Pada AS yang ringan dengan
gradien tekanan sistolik kurang dari 50 mmHg tidak perlu dilakukan intervensi. Intervensi
bedah valvotomi atau non bedah Balloon Aortic Valvuloplasty harus segera dilakukan pada
neonatus dan bayi dengan AS valvular yang kritis serta pada anak dengan AS valvular yang
berat atau gradien tekanan sistolik 90 100 mmHg (Roebiono, 2003).

e. Coarctatio Aorta (CoA)


Coartatio Aorta pada anak yang lebih besar umumnya juga asimptomatik walaupun derajat
obstruksinya sedang atau berat. Kadang-kadang ada yang mengeluh sakit kepala atau
epistaksis berulang, tungkai lemah atau nyeri saat melakukan aktivitas. Tanda yang klasik
pada kelainan ini adalah tidak teraba, melemah atau terlambatnya pulsasi arteri femoralis
dibandingkan dengan arteri brakhialis, kecuali bila ada PDA besar dengan aliran pirau dari
arteri pulmonalis ke aorta desendens. Selain itu juga tekanan darah lengan lebih tinggi dari
pada tungkai. Obstruksi pada AS atau CoA yang berat akan menyebabkan gagal jantung pada
usia dini dan akan mengancam kehidupan bila tidak cepat ditangani. Pada kelompok ini,
sirkulasi sistemik pada bayi baru lahir sangat tergantung pada pirau dari kanan ke kiri melalui
PDA sehingga dengan menutupnya PDA akan terjadi perburukan sirkulasi sistemik dan
hipoperfusi perifer (Roebiono, 2003).

f. Pulmonal Stenosis (PS)


Status gizi penderita dengan PS umumnya baik dengan pertambahan berat badan yang
memuaskan. Bayi dan anak dengan PS ringan umumnya asimptomatik dan tidak sianosis
sedangkan neonatus dengan PS berat atau kritis akan terlihat takipnu dan sianosis. Penemuan
pada auskultasi jantung dapat menentukan derajat beratnya obstruksi. Pada PS valvular
terdengar bunyi jantung satu normal yang diikuti dengan klik ejeksi saat katup pulmonal yang
abnormal membuka. Klik akan terdengar lebih awal bila derajat obstruksinya berat atau
mungkin tidak terdengar bila katup kaku dan stenosis sangat berat. Bising sistolik ejeksi yang
kasar dan keras terdengar di area pulmonal. Bunyi jantung dua yang tunggal dan bising
sistolik ejeksi yang halus akan ditemukan pada stenosis yang berat (Roebiono, 2003).

2. PJB Sianotik
Sesuai dengan namanya manifestasi klinis yang selalu terdapat pada pasien dengan PJB
sianotik adalah sianosis. Sianosis adalah warna kebiruan pada mukosa yang disebabkan oleh
terdapatnya >5mg/dl hemoglobin tereduksi dalam sirkulasi. Deteksi terdapatnya sianosis
antara lain tergantung kepada kadar hemoglobin (Prasodo, 1994).

a. Tetralogy of Fallot (ToF)


Tetralogy of Fallot merupakan salah satu lesi jantung yang defek primer adalah deviasi
anterior septum infundibular. Konsekuensi deviasi ini adalah obstruksi aliran darah ke
ventrikel kanan (stenosis pulmoner), defek septum ventrikel, dekstroposisi aorta, hipertrofi
ventrikuler kanan. Anak dengan derajat yang rendah dari obstruksi aliran ventrikel kanan
menimbulkan gejala awal berupa gagal jantung yang disebabkan oleh pirau kiri ke kanan di
ventrikel. Sianosis jarang muncul saat lahir, tetapi dengan peningkatan hipertrofi dari
infundibulum ventrikel kanan dan pertumbuhan pasien, sianosis didapatkan pada tahun
pertama kehidupan.sianosis terjadi terutama di membran mukosa bibir dan mulut, di
ujungujung jari tangan dan kaki. Pada keadaan yang berat, sianosis langsung ditemukan
(Bernstein, 2007).

b. Pulmonary Atresia with Intact Ventricular Septum


Saat duktus arteriosus menutup pada hari-hari pertama kehidupan, anak dengan Pulmonary
Atresia with Intact Ventricular Septum mengalami sianosis. Jika tidak ditangani, kebanyakan
kasus berakhir dengan kematian pada minggu awal kehidupan. Pemeriksaan fisik
menunjukkan sianosis berat dan distress pernafasan. Suara jantung kedua terdengar kuat dan
tunggal, seringnya tidak terdengar suara murmur, tetapi terkadang murmur sistolik atau yang
berkelanjutan dapat terdengar setelah aliran darah duktus. (Bernstein, 2007)

c. Tricuspid Atresia
Sianosis terjadi segera setelah lahir dengan dengan penyebaran yang bergantung dengan
derajat keterbatasan aliran darah pulmonal. Kebanyakan pasien mengalami murmur sistolik
holosistolik di sepanjang tepi sternum kiri. Suara jantung kedua terdengar tunggal. Diagnosis
dicurigai pada 85% pasien sebelum usia kehamilan 2 bulan. Pada pasien yang lebih tua
didapati sianosis, polisitemia, cepat lelah, dan sesak nafas saat aktivitas berat kemungkinan
sebagai hasil dari penekanan pada aliran darah pulmonal. Pasien dengan Tricuspid Atresia
berisiko mengalami penutupan spontan VSD yang dapat terjadi secara cepat yang ditandai
dengan sianosis. (Bernstein, 2007)

2.2.3. Deteksi Dini Gejala Klinis


Gejala yang menunjukkan adanya PJB termasuk: sesak napas dan kesulitan minum.
Gejalagejala tersebut biasanya tampak pada periode neonatus. Kelainan-kelainan non kardiak
juga dapat menunjukkan gejala-gejala seperti tersebut di atas. Gejala-gejala yang mengarah
ke PJB seperti adanya bising jantung, hepatomegali, sianosis, nadi femoralis yang teraba
lemah / tidak teraba, adalah juga gejala yang sering ditemukan di ruang bayi dan sering pula
tidak berhubungan dengan abnormalitas pada jantung. Membedakan sianosis perifer dan
sentral adalah bagian penting dalam menentukan PJB pada neonatus. Sianosis perifer berasal
dari daerah dengan perfusi jaringan yang kurang baik,terbatas pada daerah ini, tidak pada
daerah dengan perfusi baik. Sebaliknya sianosis sentral tampak pada daerah dengan perfusi
jaringan yang baik, walaupun sering lebih jelas pada tempat dengan perfusi kurang
baik.tempat atau daerah yang dapat dipercaya untuk menentukan adanya sianosis sentral
adalah pada tempat dengan perfusi jaringan yang baik seperti pada lidah, dan dinding
mukosa. Sianosis sentral pada jam-jam awal setelah lahir dapat timbul saat bayi normal
menangis. Sianosis pada bayi tersebut disebabkan oleh pirau kanan ke kiri melalui foramen
ovale dan atau duktus arteriosus. Kadar hemoglobin yang terlalu tinggi yang disertai dengan
hiperveskositas dapat pula menyebabkan sianosis pada bayi normal. (Rahman, 2008).

Anda mungkin juga menyukai