- Asianosis
- Aliran darah ke A.pulmonalis ;lebih banyak
- Shunt terletak anatara 2 arteri besar (A. Pulmonalis dan aorta)
- Shunt darah dari aorta ke A.pulmonalis melalui ductus arteriosus yang persisten, jadi
tingkat keparahan berkaitan dengan besarnya ductus dan rasio resistensi vaskuler
pulmo dan sistemik.
Patofisisologi
Pada saat lahir ductus botalli tetap terbuka sehingga darah dari ventrikel kiri ke aorta,
kemudian melalui ductus menuju arteri pulmonalis. Aliran darah dalam ductuss terjadi saat
sistole maupun distole sehingga terdengar bising kontinyu. Karena darah aorta ada yang
mengalir melalui ductus, ventrikel kiri harus bekerja lebih berat dan tekanan diastole lebih
rendah. Sehingga akan terjadi nadi dengan amplitudo besar, pada kapiler akan tampak
denyutan, yang disebut water hammer pulse.
Aliran darah ke pulmo lebih banyak yang lambat laun akan menyebabkan
arteriosklerosis pada a. Pulmonalis, yang berakibat berbaliknya shunt darah dari A.
Pulmonalis melalui ductus ke aorta. Pada keadaan tersebut, anggota tubuh bagian bawah
ductus menjadi sianosis sedsangkan bagian kepala dan tangan tetap normal.
Anamnesis
- Ductus sempit : tidak bergejala
- Ductus sedang dan lebar, tahanan paru masih tinggi : keadaan umum dapat bisa baik
dan bisa takipnea.
- Ductus sedang dan lebar usia 6 8 minggu: mudah lelah, sukar makan, banyak
berkeringat, takipnea, sering menderita radang paru yang sukar diobati.
- Pertumbuhan terhambat
- Bila tahanan paru lebih tinggi dari tahanan sistemik, akan terjadi sindroma eisen
menger, dimana shunt berbalik dari kanan ke kiri: takipnea, dispnea de effort, sianosis
tubuh bagian bawah ( karena mendapat darah dari aorta sebelah distal ductus ).
Klinis laboratoris
- PDA kecil: asimptomatik, PDA besar : bisa CHF
- Pemeriksaan fisik: takikardi, sesak napas, denyut nadi kuat lalu tiba tiba
menghilang(water hammer pulse)
- Bising sistolik/diastolik (bising kontinyu) infra claviculer kiri
- Rontgen thorax PDA kecil : normal, PDA besar: kardomegali tipe kiri, corakan
vaskuler meningkat, aortic knob menonjol, arteri pulmonalis membesar.
- EKG, PDA kecil: normal, PDA besar: LVH tipe volume, atau BVH.
- Ekokardiografi: pembesaran atrium kiri karena venous return pulmoner meningkat
Pemeriksaan fisik
- Ductus sempit:
Teraba nadi dengan amplitudo besar, ictus cordis normal, S1 dan S2 normal,
bsisng kontinyu terkeras pada ICS II linea para sternalis kiri dan dibawah clavicula.
- Ductus sedang dan lebar, tahanan paru masih tinggi:
Anak tampak kecil dengan gejala gejala gagal jantung.
- Amplitudo nadi lebar.
- Dada kiri mencembung sesuai dengan pembesaran jantung
- Ictus cordis tampak kuat angkat
- Pada palpasi tampak ventrikel kiri membesar
- S1 mengeras, S2 tertutup bising kontinyu
- Bising terdengar keras pada ICS II linea para sternalis kiri dan dibawah clavicula
menjalar ke punggung.
- Pada apex terdengar bisisng mid diastolik nada rendah (rumble)
- Dapat terjadi jari tabuh, tergantung derajat hipoksisa.
- Bila tahanan pulmonal sama dengan tahanan sistemik, maka tidak ada shunt sehingga
tidak ada bisisng atau terdengar bisisng pendek tipe ejeksi pada ICS I sampai II linea
para sternalis kiri.
Pemeriksaan tambahan
- EKG:
o Ductus kecil dalam batas normal
o Pada bayi : hipertrofi biventrikuler
o Pada anak yang lebih besar : 60% EKG normal, 25% gambaran hipertrofi
ventrikel kiri
o Jika tahanan paru telah naik: deviasi sumbu ke kanan, hipertrofi ventrikel
kanan dan kadang ada hipertrofy atrium kanan.
- Radiologi
o Ductus kecil: dalam batas normal.
o Ductus sedang dan lebar dengan tahanan paru normal: kardiomegali, batang
arteri pulmonalis menonjol, aorta asenden membesar, corakan paru bertambah.
o Ductus lebar dengan tahanan paru mulai naik: besar jantung normal atau
sedikit membesar, ventrikel kanan membesar, pembuluh darah paru sentral
melebar, pembuluh darah perifer normal atau berkurang.
Ekokardiografi
Mengukur besarnya ductus, dimensi atrium kiri dan ventrikel kiri.
Prognosis
- Prognosis baik pada penderita asimptomatis, resiko endokarditis infektif (jarang
sebelum 5 tahun)
- Dapat terjadi gagal jantung (13% setelah usia 20 tahun).
- PDA pada bayi sering kali menutup sendiri
- Bayi prematur dengan gagal jantung : terapi digitalis diuretik diharapkan dapat
menutup.
- Bayi aterm jarang terjadi penutupan spontan, terutama jika menyebabkan gagal
jantung pada tahun pertama.
- Defek kecil dapat menutup sendiri. Defek besar dapat menyebabkan decomp,
pneumonia, hipertensi pulmonalis, sampai endokarditis.
Penatalaksanaan
- Indometasin pada bayi prematur supaya PDA menutup
- Oklusi kateter
- Ligasi pada anak usia 6 bulan 2 tahun tapi jika ada decomp segera lakukan ligasi
- Profilaksis endokarditis.
Terapi
1. Pembedahan
Pada bayi premature tanpa distress respirasi : perbaiki gagal jantung dengan digitalis.
Bila berhasil dapat ditunda 3 bulan lagi. Tetapi bila gagal jantung tidak dapat diatasi
dilakukan penutupan.
2. Bayi dengan distress respirasi dilakukan operasi.
Gejala klinis tampak segera setelah lahir dan berat, berupa penurunan suhu kulit dan
perubahan warna kulit yang pucat, penurunan tekanan darah sampai tidak terukur, sulit atau
tidak terabanya denyut nadi perifer, hiperaktif RV, dan penurunan capillary refile, metabolik
asidosis berat serta distres nafas sedang sampai berat.2
Denyut nadi dan tekanan darah harus diukur pada ektremitas atas dan bawah, normal tekanan
darah ekstremitas bawa lebih tinggi. Bila ada perbedaan denyut nadi tanpa disertai perbedaan
tekanan darah, harus diraba pulsasi arteri karotis. Perbedaan pulsasi arteri karotis dengan
pulsasi ekstremitas bawah dan ekstremitas bawah menunjukkan kemungkinan koartasio aorta,
interrupted aorta atau arteri subklavia berasal dari aorta d Ada keadaan pada neonatus yang
baru lahir dengan penrunan perfusi perifer disertai gejala distres nafas derajat sedang sampai
berat yang disertai retraksi ruang iga, subkosta, nafas cuping hidung dan grunting, yaitu
persistent pulmonary hypertension dan total anomalous pulmonary venous return. Kedua
kondisi ini sulit dibedakan, pada persistent pulmonary hypertension sering disertai riwayat
prenatal berupa ketuban pecah dini, sindroma aspirasi mekonium atau asfiksia berat. 2
Diagnosa
A. Riwayat.
Famili dengan penyakit herediter, saudaranya dengan PJB
Kehamilan dan perinatal : infeksi virus, obat yang dikonsumsi si ibu terutama
saat kehamilan trimester I.
Postnatal : kesulitan minum, sianosis sentral. 2
B. Pemeriksan Fisik.
Auskultasi : harus dilakukan pertama kali sebelum bayi menangis. Frekuensi meningkat dan
irama denyut jantung tidak teratur, suara jantung II mengeras atau tidak terdengar, terdengar
bising jantung (kualitas, intensitas, timing, lokasi), gallop. Tidak semua bising jantung pada
neonatus adalah PJB dan tidak semua neonatus dengan PJB terdengar bising jantung.
Sianosis sentral, penurunan perfusi perifer, hiperaktivitas prekordial, thrill, pulse dan tekanan
darah ke 4 ekstremitas berbeda bermakna, takipnea, takikardia, edema. Tidak semua gejala
tersebut timbul pada masa neonatus dan tidak semua neonatus dengan gejala tersebut
memerlukan tindakan spesifik yang harus segera dilaksanakan tapi memerlukan pemeriksaan
tambahan. 2
Berdasarkan riwayat prenatal, natal dan postnatal yang cermat serta pemeriksaan fisis yang
sistematis dan teliti serta pemeriksaan tambahan dan monitoring, maka gejala sianosis sentral,
penurunan perfusi perifer dan takipnea akibat PJB kritis pada neonatus bisa ditegakkan.
Dengan demikian dapat segera diberikan terapi awal untuk mencegah kematian dini dan
sekaligus dapat direncanakan tatalaksana lanjutan yang tepat, rasional dan adekuat. Bilamana
fasilitas kesehatan yang memadai tidak tersedia dan neonatus sudah dalam kondisi yang
relatif stabil maka dapat dipersiapkan pelaksanaan rujukan ke pusat pelayanan jantung yang
terjangkau. 2
Peningkatan impuls parasternal dan subxyphoid sering dijumpai pada PJB sianosis, terabanya
impuls ventrikel kiri menunjukkan adanya dilatasi ventrikel kiri akibat peningkatan beban
volume. Bising jantung sering ditemukan pada neonatus normal dan sering tidak ditemukan
pada neontus dengan PJB. Bising jantung yang bersifat sistolik ejeksi yang menjalar ke leher
akibat lesi obstruksi jantung kiri atau bila terdengar penjalarannya ke punggung maka curiga
adanya lesi obstruksi jantung kanan. Pembesaran dan lokasi hepar sangat membantu adanya
peningkatan volume darah dan tekanan atrium kanan, aliran darah ke paru dan adanya situs
inversus. 2
Gejala sianosis sentral pada penyakit jantung bawaan biru (Cardiac cyanosis) sering belum
terdeteksi pada saat neonatus keluar rumah sakit. Terdapat beberapa keadaan yang juga
memberikan gejala hampir sama yaitu : penyakit parenkhim paru, sirkulasi fetal persisten,
kelainan sisitem saraf sentral dan kelainan hematologi. Penyakit parenkhim paru selalu
disertai distres nafas yang segera memerlukan ventilator dan ditemukan kelainan pada
pemeriksaan foto polos dada. 2
Sirkulasi fetal yang persisten akibat faktor intrauterin sehingga dinding arteria pulmonalis
tetap menebal dan tekanannya tetap tinggi yang sering ditandai distres nafas yang ringan atau
sedang, riwayat asfiksia, sindroma aspirasi mekonium dan prematuritas serta riwayat ibu
mengkonsumsi steroid pada bulan terakhir kehamilan. 2
Tetap terbukanya duktus pada beberapa jam atau hari setelah lahir akan mempertahankan
pasokan darah ke sistem sirkulasi paru tetap normal (ductus dependent pulmonary
circulation). Kondisi ini meniadakan gejala sianosis sentral (masking effect) sehingga tidak
ada persangkaan adanya PJB biru pada neonatus yang sedang kita hadapi. Peningkatan
kebutuhan oksigen oleh tangisan atau aktivitas minum serta peningkatan saturasi oksigen
kearah nilai normal mengakibatkan rangsangan penutupan duktus. Pada saat ini baru timbul
gejala sianosis sentral walaupun kadang masih bersifat transient, yaitu terutama pada saat
menangis atau aktivitas minum. Penutupan duktus masih terjadi secara anatomis tetapi secara
fungsionil masih terbuka. Pada kondisi seperti ini pemeriksaan saturasi oksigen secara serial
dengan cara pulse oxymetri memang diperlukan. Hyperoxic-test, pemberian oksigen 100 %
dengan kecepatan 1 liter/menit selama 10 menit, bila saturasi O2 >98% bukan PJB sianosis,
bila saturasi O2 >90% kemungkinan suatu PJB sianosis, tapi bila saturasi O2 tetap dibawah
90% hampir dipastikan suatu PJB sianosis. 2
Kondisi hipoksemia ini merangsang kemoreseptor sehingga menimbulkan gejala takipnea
ringan dengan ventilasi yang tetap normal. Dengan demikian tidak disertai gejala pernafasan
cuping hidung, retraksi ruang iga maupun suara pernafasan grunting. Hipoksemia akan
berjalan progresif dalam beberapa hari dengan terjadinya penutupan duktus yang sudah
persisten yaitu secara anatomis maupun fungsional. Gejala sianosis sentral semakin nyata dan
tampak menetap, yaitu walaupun pada saat tidur maupun beraktivitas. 2
Gejala penurunan perfusi perifer akibat terganggunya aliran darah ke perifer karena tidak
terbentuknya struktur jantung kiri, obstruksi di tingkat aorta atau disfungsi miokard akibat
sepsis, hipoglikemia, hipokalsemia, asidosis metabolik, anemia dan polisitemia. Dalam
beberapa jam pertama setelah lahir, oleh pengaruh duktus yang masih terbuka akan
meniadakan gejala (masking effect) penurunan perfusi perifer (ductus dependent systemic
circulation). Penutupan duktus akan menimbulkan penurunan aliran darah ke sistem arteri
perifer, hal ini mengakibatkan penurunan perfusi perifer dengan gejala berupa tidak mau
minum, pucat dan berkeringat disertai distres nafas. 2
Gejala takipnea pada neonatus dengan PJB non sianotik (terdapat pirau kiri ke kanan) baru
terjadi beberapa hari atau minggu kehidupan, yaitu setelah terjadi penurunan tahanan
pembuluh darah paru dan penurunan hemoglobin kearah normal. Oleh karena itu, takipnea
yang timbul segera setelah lahir tanpa disertai gejala sianosis sentral dan penurunan perfusi
perifer menunjukkan suatu kelainan paru, bukan PJB. Neonatus normal bernafas lebih cepat
daripada bayi, namun tidak lebih dari 60 kali per menit untuk periode waktu yang lama.2
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan neonatus dengan dugaan PJB kritis tidak jauh berbeda dengan kondisi kritis
pada neonatus akibat penyakit diluar jantung. Faktanya, ada kecenderungan para dokter untuk
melepaskan tanggung jawab dan menyerahkan ke dokter konsultan jantung. Hal ini tidak
boleh terjadi dan alur penatalaksanaannya menjadi tidak efektif sehingga akhirnya merugikan
pasien. 2
Penatalaksanaan awal pada setiap neonatus dengan PJB kritis sangat berperan dalam
mencegah memburuknya kondisi klinis bahkan kematian dini. Diawali dengan
penatalaksanaan kegawatan secara umum kemudian dilanjutkan penatalaksanaan kegawatan
jantung secara khusus sesuai dengan masalah kritis yang sedang dihadapi (sianosis sentral,
peningkatan aliran darah ke paru atau penurunan aliran darah ke sistemik) sebagai berikut : 2
Penempatan pada lingkungan yang nyaman dan fisiologis (suhu 36,5-37 oC dan kelembaban
sekitar 50%). 2
Pemberian oksigen.
Oksigen sering diberikan pada neonatus yang dicurigai menderita PJB tanpa
mempertimbangkan tujuan dan dampak negatifnya. Pemberian oksigen pada neonatus
mengakibatkan vasokonstriksi arteria sistemik dan vasodilatasi arteria pulmonalis, hal ini
memperburuk PJB dengan pirau kiri ke kanan. Pemberian oksigen pada neonatus ductus
dependent sistemic circulation atau ductus dependent pulmonary circulation malah
mempercepat penutupan duktus dan memperburuk keadaan. Pada kedua kondisi tersebut
lebih baik mempertahankan saturasi oksigen tidal lebih dari 85% dengan udara kamar (0,21%
O2). 2
Saturasi oksigen neonatus dengan PJB sianotik selalu rendah dan tidak akan meningkat
secara nyata dengan pemberian oksigen. Namun demikian, pada neonatus yang mengalami
distres, akan mengganggu ventilasinya dan gangguan ini dapat akan berkurang dengan
pemberian oksigen yang dilembabkan dengan kecepatan 2-4 liter per menit dengan masker
atau kateter nasofaringeal. Pada neonatus dengan distres nafas yang berat maka bantuan
ventilasi mekanik sangat diperlukan. 2
Pemberian prostaglandin E1
Merupakan tindakan awal yang harus diberikan, sebagai life-saving dan sementara menunggu
kepastian diagnosis, evaluasi dan menyusun terapi rasional selanjutnya, prostaglandin E1
diberikan pada :
Setiap bayi umur kurang dari 2 minggu yang dicurigai dengan PJB sianosis (ductus
dependent pulmonary circulation). Tujuan : meningkatkan aliran darah ke paru (Atresia
pulmonal, pulmonal stenosis yang berat, atresia trikuspid) atau meningkatkan tekanan atrium
kiri agar terjadi pirau kiri ke kanan sehingga oksigenasi sistemik menjadi lebih baik
(transposisi pembuluh darah besar). 2
Setiap bayi umur kurang dari 2 minggu yang disertai syok, pulsasi perifer lemah atau tak
teraba, kardiomegli dan hepatomegali (ductus dependent systemic circulation). Tujuan :
meningkatkan aliran darah ke arteri sistemik (aorta stenosis yang kritis, koartasio aorta,
transposisi pembuluh darah besar, interrupted arkus aorta atau hipoplastik jantung kiri). 2
Dosis awal 0,05 mikrogram/kgBB/menit secara intravena atau melalui kateter umbilikalis,
dosis bisa dinaikkan sampai 0,1 sampai 0,15 mikrogram/kgBB/menit selama belum timbul
efek samping dan sampai tercapai efek yang optimal. Bila terjadi efek samping berupa
hipotensi atau apnea maka pemberian prostaglandin segera diturunkan dosisnya dan diberikan
bolus cairan 5-10 ml/kgBB intravena. Bila terjadi apnea maka selain menurunkan dosis
prostaglandin E1, segera dipasang intubasi dan ventilasi mekanik dengan O2 rendah,
dipertahankan minimal saturasi oksigen mencapai 65 %.2
Bila keadaan sudah stabil kembali maka dapat dimulai lagi dosis awal, bila tidak terjadi efek
samping pada pemberian dosis 0,05 mikrogram/kgBB/menit tersebut, maka dosis dapat
diturunkan sampai 0,01 mikrogram/kgBB/menit atau lebih rendah sehingga tercapai dosis
minimal yang efektif dan aman. Selama pemberian prostaglandin E1 perlu disiapkan
ventilator dan pada sistem infusion pump tidak boleh dilakukan flushed. Harus dipantau ketat
terhadap efek samping lainnya yaitu : disritmia, diare, apnea, hipoglikemia, NEC,
hiperbilirubinemia, trombositopenia dan koagulasi intravaskular diseminata, perlu juga
diingat kontraindikasi bila ada sindroma distres nafas dan sirkulasi fetal yang persisten. Bila
ternyata hasil konfirmasi diagnosis tidak menunjukkan PJB maka pemberian prostaglandin
E1 segera dihentikan. 2
Telah dicoba pemakaian prostaglandin E2 per oral, mempunyai efek yang hampir sama
dengan prostaglandin E1, lebih praktis dan harganya lebih murah. Pada awalnya diberikan
setiap jam, namun bila efek terapinya sudah tercapai, maka obat ini dapat diberikan tiap 3-4
jam sampai 6 jam. Dapat mempertahankan terbukanya duktus dalam beberapa bulan, namun
duktus akan menutup bila pemberiannya dihentikan. 2
Untuk neonatus usia 2-4 minggu, walaupun angka kesuksesan rendah , masih dianjurkan
pemberian prostaglandin E1 . Bila dalam 1-2 jam setelah pemberian dosis maksimum (0,10
mikrogram/kgBB/menit) ternyata tidak terjadi reopen duktus, maka pemberiannya harus
segera distop dan direncanakan untuk urgent surrgical intervention. 2
Terapi Genetik
Sebuah penelitian baru membuktikan bahwa KCNQ1 adalah gen utama yang menyandi
fungsi jantung. Mutasi yang terjadi pada gen tersebut akan menyebabkan penyakit jantung
bawaan pada ratusan ribu anak dan akan menimbulkan gangguan rhytm atau irama jantung
dengan penderitaan seumur hidup. Kondisi ini pada akhirnya bisa menyebabkan gagal
jantung atau Cardiac suddent dan kematian. Penelitian di Cardiac Research Center, Niigata
University Hospital, Jepang telah melakukan uji gene screening pada lebih dari seratus
keluarga dengan penderita penyakit jantung bawaan. 10
Dari hasil penelitian ini menggambarkan sesuatu yang sangat baru dalam ilmu genetika
kedokteran, bahwa mutasi gen KCNQ1 menjadi dasar timbulnya kelainan jantung bawaan
LQTS, dan diturunkan secara dominan autosomal. Keparahan penyakit tersebut ditentukan
bukan hanya oleh lokasi terjadinya mutasi, namun yang lebih penting lagi adalah jenis asam
amino pembentuk mutan tersebut. Sehingga tentunya, hasil ini dimasa depan dapat digunakan
sebagai dasar ilmiah teknik pengobatan genetik (gene therapy) bagi penderita penyakit
jantung bawaan, yaitu dengan cara mentransgenikkan asam amino mutant pada pasien kearah
asam amino normal. 10
DAFTAR PUSTAKA
1. Ontoseno, T., Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis
Pada Neonatus ( Diagnosis And Management Of Critical Congenital Heart Disease
In The Newborn), Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FK Unair RSU
Dr. Soetomo, Surabaya, 2005.
2. Jaber, Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis
Pada Neonatus, in Wordpress, available at: http://koaskamar13.wordpress.
com/2007/10/05/diagnosis-dan-tatalaksana-penyakit-jantung-bawaan-yang-kritis-
pada-neonatus/, 2007.
3. Dwi, Deteksi dini penyakit jantung bawaan pada bayi untuk indikasi pembedahan,
dalam simposium, Majalah Farmacia Edisi Maret, 2007.
4. Rahayoe, A.U., Penanganan Medis Pada Penyakit Jantung Bawaan, dalam
Medicastores, available at: http://medicastore.com/med/artikel.php?id=140&
UID=2006020707584166.249.66.37, 2006.
5. Suardi, A., Penyakit Jantung Bawaan, available at: http://www.jantungku.
com/2008/09/14/penyakit-jantung-bawaan/, 2008.
6. Admin, Penyakit Jantung Bawaan, available at: http://www.totalkesehatan
anda.com/congenital1.html, 2008.
7. Nasir, N., Tetralogi Falot, available at: http://www.nasriyadinasir.co.cc/2009/
05/tetralogi-fallot.html, 2009
8. Rahmawan, A., Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Asianotik Pada
Anak, Bagian/Ilmu Kesehatan Anak, FK UNLAM RSUD Ulin, Banjarmasin, 2008.
9. Wishnuwardhana, M., Manfaat Pemberian Diet Tambahan Terhadap Pertumbuhan
Pada Anak Dengan Penyakit Jantung Bawaan Asianotik, Universitas Diponegoro,
Semarang, 2006.
10. Ikrar, T., Harapan Baru Terapi Genetik Bagi Penderita Penyakit Jantung Bawaan,
dalam Berita Iptek, available at: http://beritaiptek.istecs.org/harapan-baru-terapi-
genetik-bagi-penderita-penyakit-jantung-bawaan/, 2009.
2. PJB Sianotik
Sesuai dengan namanya manifestasi klinis yang selalu terdapat pada pasien dengan PJB
sianotik adalah sianosis. Sianosis adalah warna kebiruan pada mukosa yang disebabkan oleh
terdapatnya >5mg/dl hemoglobin tereduksi dalam sirkulasi. Deteksi terdapatnya sianosis
antara lain tergantung kepada kadar hemoglobin (Prasodo, 1994).
c. Tricuspid Atresia
Sianosis terjadi segera setelah lahir dengan dengan penyebaran yang bergantung dengan
derajat keterbatasan aliran darah pulmonal. Kebanyakan pasien mengalami murmur sistolik
holosistolik di sepanjang tepi sternum kiri. Suara jantung kedua terdengar tunggal. Diagnosis
dicurigai pada 85% pasien sebelum usia kehamilan 2 bulan. Pada pasien yang lebih tua
didapati sianosis, polisitemia, cepat lelah, dan sesak nafas saat aktivitas berat kemungkinan
sebagai hasil dari penekanan pada aliran darah pulmonal. Pasien dengan Tricuspid Atresia
berisiko mengalami penutupan spontan VSD yang dapat terjadi secara cepat yang ditandai
dengan sianosis. (Bernstein, 2007)