Anda di halaman 1dari 11

Perjuangan Ummat Islam Indonesia Yang

Sebenarnya
Juni 3, 2009

Pengertian Ashobiyah dan Pengakuan Bangsa


Posted by abuqital1 under Tanya Jawab tentang NII
[5] Comments

Tanya:

Di antara bunyi Proklamasi N I I didapat kata-kata Kami ummat Islam Bangsa


Indonesia. Dari itu apa perbedaan antara pengertian jiwa kebangsaan yang
disebut ashobiyyah dengan pengakuan sebagai bangsa ?

Jawab:

Jiwa kebangsaan yang disebut ashobiyah ialah yang mengandung arti cinta
terhadap satu bangsa, hanya karena sebangsa dengan dirinya, tanpa
memperdulikan salah atau benar. Jadi, orang yang berperang membela
kebangsaan (Ashobiyah), artinya bahwa yang menjadi dasar utama bagi dirinya
berperangnya itu ialah karena bangsanya sedang berperang dengan bangsa
lain, sehingga dirinya berpihak kepada bangsanya itu dengan tidak
memperdulikan mana yang salah dan mana yang benar. Dalam arti lain bahwa
berperang nya itu bukan karena membela kebenaran (hukum) dari Allah.
Pengertiannya, meskipun bangsanya itu dalam posisi yang salah, namun tetap
dibela, karena satu bangsa. Sebaliknya, walaupun dalam posisi yang benar (haq),
namun karena tidak sebangsa, maka diperanginya. Itulah yang dimaksud
Ashobiyah.

Maka, pantaslah mereka yang telah berperang mengusir bangsa asing, merasa
puas walau hasilnya masih saja hukum-hukum kafir warisan bangsa asing. Hal
itulah yang dimaksud oleh hadist mengenai yang mati karena Ashobiyah.
Perhatikan sabda Nabi Saw:

( ) . .

Bukan dari golongan kami siapa saja yang mengajak kepada kebangsaan. Dan
bukan pula dari golongan kami orang yang berperang karena kebangsaan. Dan
tidak juga termasuk golongan kami yang mati karena kebangsaan. (HR Abu
Daud).

Adapun pengakuan sebagai bangsa, yaitu sekedar menyatakan diri sebagai


salah satu dari bangsa yang ada. Hal sedemikian merupakan keharusan dengan
tujuan menjelaskan. Sebab, tidak benar sebagai Bangsa Indonesia jika
mengakukan dirinya Bangsa Belanda atau bangsa lainnya.

Soal pengakuan sebagai bangsa diantara banyak bangsa dijamin keberadaannya.


Sebagaimana dikemukakan dalam ayat yang bunyinya:

Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antaramu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal._(Q.S.49:13).

Dari ayat di atas itu dimengerti bahwa adanya pengakuan sebagai bangsa supaya
bangsa lainnya mengenal, atau bisa saling kenal mengenal adalah suatu kepastian.
Dalam ayat itu disebutkan bahwa ukuran yang paling mulia adalah taqwanya
kepada Allah. Dengan demikian tidak boleh salah atau benar adalah bangsa sendiri
lalu dibela. Kalau asal bangsa sendiri biar salah lalu dibela, maka itulah
Ashobiyah.

GHAZWUL FIKR , SYARIAH , TSAQOFAH , UST. SYAM

Mengenal Hakikat Ashabiyah*

POSTED BY: MUHAMMAD TOHIR - 17.10

Oleh Ust. Syamsudin Ramadhan

Definisi Ashabiyyah

Secara literal, ashabiyyah berasal dari kata ashabah yang bermakna


al-aqaarib min jihat al-ab (kerabat dari arah bapak). Disebut demikian
dikarenakan orang-orang Arab biasa menasabkan diri mereka kepada bapak (ayah),
dan ayahlah yang memimpin mereka, sekaligus melindungi mereka. Adapun kata
al-ashabiyyah dan at-taashshub bermakna "al-muhaamat wa al-mudaafaat
(saling menjaga dan melindungi). Jika dinyatakan, taashshabnaa lahu wa
maahu : nasharnaahu (kami menolongnya). [Imam Ibnu Mandzur, Lisaan
al-Arab, juz 1/602]
Di dalam Kitab An-Nihaayah fi Ghariib al-Atsar dinyatakan, al-ashabiyyu
man yuiinu qaumahu ala al-dhulm): orang yang ashabiyyah adalah orang yang
menolong kaumnya dalam kedzaliman). [An-Nihayah fi Ghariib al-Atsar, juz
3/482]

Adapun menurut syariat, yang dimaksud dengan al-ashabiyyah adalah al-


muawanah ala al-dzaalim. Di dalam Kitab Faidl al-Qadiir, disebutkan:

( ) )
: (
:

.

(Bukanlah golongan kami, siapa saja yang menyerukan kepada ashabiyyah),


yakni orang yang menyeru manusia untuk berkumpul di atas ashabiyyah, yaitu:
menolong orang yang dzalim. (Bukanlah golongan kami, siapa saja yang berperang
di atas ashabiyyah, dan bukan golongan kami, barangsiapa mati di atas
ashabiyyah). Imam Ibnu al-Atsir berkata, Al-Ashabiy (orang yang ashabiyyah)
adalah orang yang marah karena keashabiyyahannya (kaumnya), dan melindungi
mereka (karena keashabiyyahannya). At-Tashiib : al-Mudaafaah wa al-
Muhaamaat (saling melindungi dan menjaga). Imam Ibnu Taimiyyah berkata,
Jelaslah berdasarkan hadits ini, bahwasanya taashshubnya seorang laki-laki
kepada suatu kelompok, secara mutlak, adalah perbuatan kaum jahiliyyah yang
harus dijauhi dan dicela; dan berbeda dengan mencegah orang yang dzalim dan
membantu orang yang didzalimiy bukan karena permusuhan, maka perbuatan ini
adalah terpuji bahkan wajib. Tidak ada saling menafikan antara hadits ini dengan
hadits, Tolonglah saudaramu yang dzalim maupun yang didzalimi[Faidl al-
Qadiir, juz 5/492]

Penjelasan senada juga disampaikan oleh Imam Mubarakfuriy dalam Kitab


Aun al-Mabuud:

: : . :
" " .
:

: (
)
: ( ) .

Al-Manawiy berkata, Yaitu, orang yang menyeru manusia untuk berkumpul di


atas ashabiyyah, yaitu menolong orang yang dzalim. Imam Al-Qaariy
menyatakan, Yakni, perkumpulan ashabiyyah dalam menolong orang-orang
yang dzalim. Di dalam hadits disebutkan maa baala dawa al-jaahiliyyah, berkata
pengarang Kitab An Nihayah, Yakni seruan mereka, wahai kaum fulaan, yang
mana mereka menyeru satu dengan yang lain terhadap suatu urusan yang terjadi.
(Siapa saja yang berperang di atas ashabiyyah): yakni berperang di atas
kebathilan. Di sebagian naskah tidak ada lafadz (man maata alaa ashabiyyah):
yakni (mati) di atas jalan menjaga kejahiliyahan. [Aun al-Mabuud, juz 11/161]

Makna syariy ashabiyyah seperti di atas disarikan dari beberapa hadits


Nabi saw berikut ini. Imam Abu Dawud menuturkan sebuah riwayat dari Watsilah
bin al-Asqa ra, bahwasanya ia mendengar bapaknya berkata:

Saya (bapak Watsilah bin al-Asqa ra) bertanya, Yaa Rasulullah, apa ashabiyyah
itu? Beliau menjawab, Kamu menolong kaummu atas kedzaliman. [HR. Imam
Abu Dawud]

Imam An Nasaaiy meriwayatkan sebuah hadits dari Abbad bin Katsir al-
Syamiy dari seorang perempuan yang bernama Qusailah, bahwasanya ia berkata,
Aku pernah mendengar ayahku berkata,

Saya bertanya kepada Nabi saw, seraya berkata, Yaa Rasulullah apakah termasuk
ashabiyyah, seorang laki-laki yang mencintai kaumnya? Nabi saw menjawab,
Tidak. Tetapi, termasuk ashabiyyah adalah seorang laki-laki menolong kaumnya
dalam kedzaliman.[HR. Imam An Nasaaiy]

Dari penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwasanya yang dimaksud


dengan ashabiyyah adalah membela kelompok atau kaumnya dalam urusan
kebathilan.

Hukum Ashabiyyah

Ashabiyyah (menolong atau membela kelompok atau kaumnya dalam


kebathilan) termasuk perbuatan haram. Imam Abu Dawud menuturkan sebuah
hadits dari Jubair bin Muthim ra bahwasanya Nabi saw bersabda:


Tidaklah termasuk golongan kami, siapa saja yang menyeru kepada ashabiyyah,
dan bukanlah termasuk golongan kami, siapa saja yang berperang di atas
ashabiyyah, dan bukan termasuk golongan kami, siapa saja yang mati di atas
ashabiyyah. [HR. Imam Abu Dawud]

Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra,


bahwasanya Rasulullah saw bersabda:






Barang siapa keluar dari ketaatan dan memecah belah Jamaah, lalu ia mati, maka
matinya (seperti) mati jahiliyyah. Dan barangsiapa berperang di bawah panji
ashabiyyah, marah karena ashabiyyah, atau menyeru kepada ashabiyyah, atau
menolong kerabat (dalam kedzaliman), kemudia ia terbunuh, maka matinya adalah
mati jahiliyyah. Dan siapa saja memerangi umatku, membunuh orang yang baik
maupun orang yang buruk dari umatku, dan tidak memperhatikan orang-orang
mukminnya, tidak pula memperhatikan orang yang membuat perjanjian, maka ia
bukan termasuk golonganku, dan aku bukan termasuk golongannya. [HR. Imam
Muslim]

Imam An Nasaaiy menuturkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra,


bahwasanya Rasulullah saw bersabda:




Barang siapa keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari Jamaah, lalu ia mati,
maka matinya seperti mati jahil;iyyah. Siapa saja memerangi umatku, membunuh
orang baiknya maupun fajirnya, tidak memperhatikan orang Mukminnya, dan tidak
memperhatikan orang yang memiliki perjanjian, maka aku bukan golongannya,
dan barang siapa berperang di bawah panji ashabiyyah, atau menyeru kepada
ashabiyyah, atau marah karena ashabiyyah, lantas ia terbunuh, maka matinya
seperti mati jahiliyyah. [HR. Imam An Nasaaiy]

Hadits-hadits di atas, dan masih banyak hadits yang lain, menjelaskan


dengan sharih (jelas), bahwasanya ashabiyyah adalah perbuatan haram. Pasalnya,
larangan ashabiyyah disertai dengan adanya celaan dan ancaman dari Rasulullah
saw; yakni mati seperti jahiliyyah dan bukan termasuk golongan Nabi saw. Ini
merupakan indikasi (qarinah) yang menunjukkan bahwasanya larangan
meninggalkan ashabiyyah bersifat pasti (haram).

Diantara perbuatan yang terkategori tindakan ashabiyyah adalah membela


bangsa dan negara, hanya karena alasan kebangsaan, tanpa memandang lagi
apakah bangsanya benar atau tidak. Membela keluarga dan kerabat meskipun
mereka melakukan kedzaliman dan kefajiran. Termasuk ashabiyyah pula,
membela kelompok atau partai yang jelas-jelas telah menyimpang dari ajaran
Islam. [Wallahu alam bish shawab]

*Judul asli: Hakekat Ashabiyah

Ringkasan Singkat Buku Fikr Ibn Khaldun, al-'Ashabiyah wa ad-Dawlah

Adapun yang menjadi alasan menapa Abid aljabiri menulis desertasi tentang
pemikiran Ibnu Khaldun adalah ingin mengembalikan intisari pemaknaan yang
yang telah dituliskan oleh Ibnu khaldun dalam Mukaddimahnya, karena ia
melihat banyaknya kekeliruan para peneliti dalam menjadikan Mukaddimah
sebagai sumber ditambah lagi pemahaman mukaddimah sulit dipahami. Kita
dapat melihat ketika gagasan ibn khaldun di dompleng untuk kepentingan
pemikiran yang dikembangkannya, padahal jika kita teliti secara seksama, Ibn
Khaldun tidak menulis segala sesuatu tentang sosial, politik dan ekonomi secara
secara gambling dan sistematis. Oleh karna itu abid menginginkan untuk
reorisinalitas pemikiran kepada sang pemiliknya Ibnu Khaldun[6].
Abid aljabiri mengungkapkan dalam mukaddimah desertasinya:
Oleh karena itu kalau kita concern melakukan studi pemikaran ibnu khaldun
dalam konteks yang genuine: yaitu konteks penelitian atau pengalamannya dan
kondisi-kondisi semasanya. Dan sesuai dengan keterangan budaya yang
mengelilinginya. Maka hal ini tidak akan memberikan pengertian kepada kita
bahwa pemikiran ini mati yang terputus hubungannya dengan konsentrasi dan
aktifitas pemikiran kita. Kita spakat bahwa pemikiran ibnu khaldun adalah
pemikiran filosofis karena dalam menelaaahnya perlu tambahan ekstra untuk
bisa meneliti dan studi kritisnya. Sehingga dalam catatan mukaddimahnya bukan
hanya merekam rincian-rincian sejarah arab islam yang terepenting dan krusial
saja, bahkan menurut abid jabiri bahkan mukaddimah memang refleksi dari
sejarah arab islam tersebut. Refleksi dari peristiwa atau kejadian-kejadian fakta
arab secara mendalam, yang berjalan dan bertemu di dalam struktur abad-abad
pertengahan. Dimana sebuah struktur-struktur baru yang harusnya dibangun di
masa sekarang, di hari ini[7].
Menurut Ibnu khaldun Ashabiyah kunci yang akan menjawab problematika
sejarah Islam sampai pada masanya. Ashabiyah bukan hanya untuk masa
tertentu, namun ashabiyah menjadi tawaran teori Ibn Khaldun yang akan
menentukan dalam pandangannya bentuk pembangunan dan pembentukan
gerakan sejarah. Artinya ashabiyah akan membentuk peradaban dengan
berbagai sendi-sendi yang harus dibangun melalui sejarah.

IV. Ashabiyah dan Urgensinya


Secara etimologis ashabiyah berasal dari kata ashaba yang berarti mengikat.
Secara fungsional ashabiyah menunjuk pada ikatan sosial budaya yang dapat
digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Selain itu, ashabiyah juga
dapat dipahamai sebagai solidaritas sosial, dengan menekankan pada
kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok.[8]
Menurut A. Rahman Zainuddin, dalam kerangka pemikiran Ibnu Khaldun
perkembangan kekuasaan sangat dipengaruhi oleh Ashabiyah. Ashabiyah adalah
faktor yang menggerakkan kekuasaan dan para pendukungnya untuk maju terus
ke depan. Ia akan maju terus sampai pada suatu kali nanti, apabila ditakdirkan
akan berhasil dalam usahanya, ia akan sampai ke puncak kekuasaan tertinggi,
yang oleh ibnu khaldun dinamakan kekuasaan sempurna, yaitu kekuasaan
Negara.[9]
Seperti disampaikan Ibn Khaldun dalam bukunya Muqaddimah, bahwa ashabiyah
sangat menentukan kemenangan dan keberlangsungan hidup suatu negara,
dinasti, ataupun kerajaan. Tanpa dibarengi ashabiyah, maka keberlangsungan
dan eksistensi suatu Negara tersebut akan sulit terwujud, serta sebaliknya,
negara tersebut berada dalam ancaman disintegrasi dan kehancuran[10].
Mengenai alasan diperlukannya ashabiyah tersebut, Ibn Khaldun mengemukakan
dua premis penting. Pertama, dalam teori tentang berdirinya negara berkenaan
dengan realitas kesukuan. Ia berpendapat bahwa orang tidak mungkin
mendirikan negara tanpa didukung persatuan dan solidaritas yang kuat. Di
dalamnya terdapat ajakan untuk senantiasa waspada dan siaga sepenuh jiwa
dan raga untuk mempertahankan negaranya.[11]
Kedua, bahwa proses mendirikan negara itu harus melalui perjuangan yang
keras dan berat, dengan mempertaruhkan nyawa. Kalau dirinya tidak mampu
menundukkan lawan maka dirinya sendiri yang akan kalah atau binasa. Oleh
sebab itu, dibutuhkan kekuatan yang besar untuk mewujudkannya. Dengan
demikian, terbentuknya Ashabiyah (solidaritas) ini mutlak dibutuhkan.[12]
Kemudian dalam pembentukan ashabiyah tersebut, Ibn Khaldun berpendapat
bahwa agama mempunyai peran penting dalam membentuk persatuan tersebut.
Menurutnya, semangat persatuan rakyat yang dibentuk melalui peran agama itu
tidak bisa ditandingi oleh semangat persatuan yang dibentuk oleh faktor lainnya.
[13] Baik itu suku, kebangsaan, keturunan, maupun keluarga sekalipun.
Oleh karena itu penulis mencoba untuk mengklasifikasikan Ashabiyah yang yang
dimaksudkan oleh Ibn Khaldun, seperti yang telah kami sampaikan pada
pendahuluan bahwasanya ashabiyah secara umum dipisahkan oleh ibn khaldun
menjadi Ashabiyah Positif dan ashabiyah Negatif.
a) Ashabiyah dibidang Sejarah
Dalam kitab Al-ibar Ibn Khaldun membahas secara rinci tentang sejarah bangsa
arab, zaman dimana masyarakat arab arab terdiri dari bangsa Barbar, yang
terdiri dari penduduknya tinggal menetap dan hidup mengembara. Dan
masyarakat budaya (hadharah) yang lebih modern yang hidupnya telah
menetap, sudah berdagang dan sudah tentu mengalami kemajuan
peradaban[14].
Dalam pandangan Ibn Khaldun sejarah merupakan hal yang rasional, factual dan
terbebas dari mitos. Sejarah bukan untuk dimonopoli, para ahli sejarah cendrung
mengangkat fakta hanya bersifat narrative untuk kepentingan suatu bangsa
sejarah milik semua orang dan saling memberi pengaruh bukan mempolitisis
sejarah menjadi kebanggaan suatu bangsa[15], beliau juga tidak setuju dengan
menjeneralkan sejarah pada pada tiga sumber; Shem, Ham, and Japhet, seperti
sejarah arab pada abad pertengahan. Ibn Khaldun selalu mencerminkan
pemikirannya mengenai manusia dan peri kehidupannya apa adanya, tanpa
rekayasa. Secara singkat bagi ibn khaldun menyampaikan, ekonomi, alam dan
agama kesatuan yang mempengaruhi gerak sejarah[16]
Hukum sejarah menurut ibn khaldun adalah masalah perubahan dalam
ungkapan beliau:
Dunia dan bangsa-bangsa dengan segala kebiasaan dan system kehidupan
tidaklah terus menerus dalam keadaan dan cara yang konstan. Semua
ditentukan oleh perbedaan-perbedaan dan menurut hari-hari, dan periode-
periode serta oleh perpindahan dan suatu kedaan kepada keadaan lainnya,
individu-individu, waktu-waktu, kota-kota mengalami perubahan, maka demikian
juga daerah-daerah iklim distrik, periode-periode, Negara-negara mengalami
perubahan, karena memang demikianlah hukum yang ditentukan oleh Allah
kepada makhluk-Nya.

Penjelasan Ibn Khladun mengandung arti bahwa perubahan bagi sejarah


merupakan hukum yang dianggap sebagai suatu keharusan, dan peradaban itu
berubah, maka pokok perubahan dan pengembangan sejarah adalah ashabiyah.
Peran ashabiyah dalam bidang sejarah ini terutama pada eksistensi suatu
Negara sangat berkaitan, karena dengan lemahnya ashabiyah maka suatu
Negara atau dinasti akan mengalami kehancuran, sehingga akan muncul Negara
atau dinasti baru.

b) Ashabiyah di Bidang Agama


Ashabiyah akan mempunyai landasan bilamana perasaan atau jiwa itu
didasarkan pada faktor-faktor keagamaan atau faktor dunidawi yang legal,
artinya Agama memiliki arti penting dalam Ashabiyah.
Agama erat kaitannya untuk kelancaran dan kemajuan bagi ashabiyah, karena
seorang pemimpin yang tetap taat beragama maka dia akan tetap
melanggengkan ashabiyah dalam kepemimpinannya. Namun menurut Ibn
Khaldun pendekatan Ashabiyah terhadap masalah-masalah kegamaan,
ashabiyah bukanlah pendekatan yang tepat. Karena agama jarang menjadi
sentral pemikiran manusia, hal ini memang sedikit membingungkan, dengan
alasan pendekatan terhadap kehidupan manusia khususnya, ashabiyah bukanlah
mutlak dari pendekatan keagamaan[17]

c) Ashabiyah di Bidang Negara


Kekuasaan Negara dalam pengertian ibn khaldun adalah dominasi dan
memerintah atas dasar kekerasan serta tidak adanya kepuasan dalam
memerintah. Penerapan ashabiyah dalam sebuah Negara menurut Ibn Khaldun
haruslah menggunakan satu ciri khas yaitu menceritakan keadaan sebagaimana
adanya, karena sebuah Negara yang berbudaya terbentuk melalui pembangunan
dan penaklukan kota-kota oleh masyarakat primitive yang memiliki ashabiyah
yang kuat. Tujuan pembentukan Negara adalah mewujudkan keinginan-keinginan
alamiah dan mengaktualisasikan potensi-potensi dan kesempurnaan hidup
manusia
Ashabiyah tetap dianggap sebagai faktor esensial bagi kelanjutan Negara.
Besarnya suatu Negara, luasnya suatu daerah dan bagaimana Negara itu
berpengaruh pada Negara lain itu sangat tergatung pada besarnya kekuatan
pendukungnya, oleh sebab itu suatu Negara tidak dapat didirikan tanpa adanya
Ashabiyah.
Ashabiyah pada dasarnya bukanlah suatu hal yang kongkrit atau bisa kita
katakan suatu hal yang absrak tanpa wujud dan juga hanya terjadi pada
hubungan yang ada pertalian darah saja. Karena itu ashabiyah ini merupakan
hubungan kelompok yang tidak berhubungan darah namun mempunyai tujuan
yang sama Asabiya is a function of lianage affiliation or something that fulfils
the role of such affiliation.[18] Orang-orang tersebutpun akan mempertaruhkan
jiwa raganya untuk mempertahankan tujuan yang sudah disepakati bersama,
termasuk tujuan untuk mempertahankan eksistensi suatu Negara.

d) Ashabiyah di Bidang Politik


Manusia dan politik memeiliki hubungan saling mengikat antara satu dengan
yang lainnya, kehidupan manusia tidak mungkin terlepas dari politik, karena
antara manusia dan politik memiliki hubungan penting dalam segi kehidupan
bermasyarakat. Namun hubungan ini memliki kekhasan berdasarakan dengan
definisi politik sendiri yang lebih bersifat kekuasaan, kekerasan dan pemaksaan.
Sehingga terkesan menghalangi pencapaian orang lain, demi pencapaian tujuan
pribadi. Seperti diungkapkan worsley:
Kita dapat dkatakan bertindak secara politis apabila kita menghalangi orang lain
sehingga kita bertindak sesuai dengan apa yang kita inginkan dari mereka
dengan definisi ini, tindakan menghalangi dalam hubungan apapun bersifat
politis. Semua jenis tekanan, mulai dari perang, penyiksaan yang terorganisir
sampai pada nilai-nilai yang tersembunyi dalam pembicaraan antar pribadi,
semua itu merupakan dimensi yang bersiat politis[19]
Peran ashabiyah dalam perpolitikan tidaklah begitu berpengaruh, karena politik
merupakan sesuatu yang dilakukan bukan menggunakan perasaan, tentunya hal
ini dapat dilihat sepanjang hidup Ibn Khaldun, dimana beliau sering singgah di
rumah tahanan. Dalam perpolitikan para penguasa hanya mengandalkan logika
saja, sedangkan ashabiyah merupakan hal; yang berhubungan dengan perasaan.

e) Ashabiyah di bidang ekonomi


Konsep ekonomi yang diajukan ibnu khaldun merupakan obat resesi ekonomi,
yaitu mengecilkan pajak dan meningkatkan ekspor pemerintah. Pemerintah
merupakan pasar terbesar baik pendapatan maupun penerimaannya. Jika pasar
pemerintah mengalami penurunan, maka sangat wajar jika pasar lain ikut turun.
Ada beberapa poin pokok bahasan ekonomi ibnu khaldun, yang pertama harus
dimulai dengan nilai, seterusnya pembagian kerja, system harga, hukum
penawaran, dan permintaan, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal,
pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran public, daur
perdagangan, pertanian, industry & perdagangan, hak kemakmuran[20].
Konsep diatas terlihat jelas akan membangun ashabiyah ekonomi kerakyatan
kekuatan ashabiyah ini nantinya akan membangun sinergisitas dengan
ashabiyah dibidang lainnya. Lagi-lagi peran Negara menjadi sentral dalam
membangun sector ashabiyah dalam menguatkan sendi-sendi kehidupan yang
memiliki nilai filosofis yang tinggi
SUMBER:

ANDY FAMILY

Blog ini merupakan kumpulan tulisan dari tugas perkuliahan di UIN Sunan
Kalijaga, Kosentrasi Filsafat Islam

3. Menurut Ibn Khaldun, ashabiyah merupakan unsur penting dalam


membangun negara. Tanpanya, negara akan mudah runtuh karena tidak
memiliki ikatan solidaritas sosial yang kuat, untuk saling bekerja sama,
membangun sikap saling pengertian, dan bahu- membahu
mempertahankan keutuhan negara. Selain itu, ia juga berpendapat
bahwa dalam konteks negara Islam saat itu, kaum Quraisy merupakan
kelompok yang paling mampu mempertahankan solidaritas umat Islam,
sehingga layak untuk dipilih menjadi pemimpin (khalifah) negara.
Pendapat tersebut didukung oleh fakta sejarah yang menunjukkan
keunggulan kaum Quraisy dibanding kaum lainnya. Kaum Quraisy
mempunyai karisma dan kemampuan untuk menjadi pemimpin. Oleh
sebab itu, keunggulan tersebut merupakan bekal untuk menjaga
keutuhan dan kebersamaan umat Islam untuk hidup bernegara. Kata
Kunci: ashabiyah, negara, khalifah mengharuskan dirinya merespon,
menganalisis, kemudian menghasilkan solusi untuk memberi solusi
terhadap persoalan yang dihadapi. Dengan demikian, solusi yang
diberikan akan membumi dan Pendahuluan Perkembangan konsep
maupun teori yang dikembangkan seorang intelektual tentu tidak
terlepas dari kondisi sosial maupun politik yang

PEMIKIRAN IBN KHALDUN TENTANG ASHABIYAH. Available from:


http://www.researchgate.net/publication/267230326_PEMIKIRAN_IBN_KH
ALDUN_TENTANG_ASHABIYAH [accessed Aug 24, 2015].

Anda mungkin juga menyukai