PENDAHULUAN
Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering pada usia anak-anak,
diderita kira-kira 5-10% anak-anak dan menjadi penyebab kurang lebih 400.000 rawat inap di
rumah sakit tiap tahun. Pada tahun 1997, National Heart, Lung, and Blood Institute of
America mendefinisikan asma sebagai penyakit inflamasi kronis pada saluran pernafasan
yang melibatkan banyak jenis sel termasuk sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Inflamasi ini
menyebabkan episode berulang serangan wheezing, dyspnea, dan batuk. Serangan asma
berhubungan dengan obstruksi yang lebih banyak terjadi di saluran pernafasan kecil sampai
sedang, bersifat reversibel (sebagian atau seluruhnya) dengan pengobatan atau spontan. Asma
juga berhubungan dengan peningkatan terjadinya hiperrespons dari saluran pernafasan
terhadap macam-macam stimulus atau rangsangan.
1
BAB II
PEMBAHASAN
STATUS ASMATIKUS
Status asmatikus merupakan suatu eksasebasi akut dari asma yang tidak berespons
terhadap pengobatan awal dengan bronkodilator. Status asmatikus bervariasi dari yang ringan
sampai ke yang berat, yaitu bronkospasme, inflamasi salur pernafasan, dan sumbatan oleh
mukus yang menyebabkan gangguan pernafasan; retensi karbon dioksida; hipoksemia; dan
gagal nafas. Tanda klinis yang biasa adalah wheezing persisten dengan retraksi. Tapi, tidak
semua anak-anak dengan asma berat ada wheezing, sebagian dari mereka mungkin hanya
menderita batuk, dyspnea, atau muntah. Atau dalam arti lain, tidak semua pasien dengan
wheezing menderita asma; mereka mungkin menderita salah satu dari macam-macam
penyebab yang bisa menyebabkan obstruksi saluran pernafasan.3
EPIDEMIOLOGI
Di seluruh dunia, insidensi terjadinya asma diperkirakan ada kurang lebih 20 juta
kasus, di mana 15% dari angka tersebut terjadi pada anak-anak. Peningkatan insidens kasus
asma di seluruh dunia adalah akibat dari polusi dan industrialisasi. Dari hipotesis higienis,
perbaikan dalam imunisasi dan kesehatan masyarakat akan berkontribusi dalam peningkatan
insidens kasus asma.2
Angka mortalitas untuk asma telah meningkat mendadak. Dari tahun 1993-1995,
angka rata-rata kematian menurut umur karena asma telah meningkat sebanyak 40%.
Pada bayi, asma pada laki-laki lebih parah dari perempuan. Pada anak-anak yang
lebih tua, keparahan dan insidensi asma kurang lebih sama banyak pada laki-laki dan
perempuan. Tapi pada dewasa, insidens asma lebih banyak pada wanita.
Anak-anak yang menderita asma pada tahun pertama setelah kelahiran dan pada umur 9-16
tahun akan cenderung untuk menderita asma yang lebih parah.
2
PENYEBAB
Asma terjadi akibat sejumlah faktor, termasuklah faktor predisposisi genetik, dan faktor
lingkungan.
Infeksi virus
Gastroesophageal reflux disease (dari suatu penelitian refluks dari isi lambung,
teraspirasi atau tidak, bisa menginduksi asma pada anak-anak dan dewasa yang
beresiko)
Suhu dingin
3
PATOFISIOLOGI
Program Global Initiative for Asthma (GINA) yang dibentuk pada tahun 1993 atas
kerjasama antara National Heart and Blood Institute (NHLBI) dan WHO, menggambarkan
konsep inflamasi sebagai dasar mekanisme terjadinya asma. Berdasarkan revisi terakhir tahun
2002 asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
peran banyak sel, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Inflamasi kronik ini akan
menyebabkan peningkatan hiperreaktivitas jalan napas yang memicu terjadinya episode
mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan dan batuk terutama pada malam atau dini
hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun
bervariasi; dapat bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.1
Gambar: Presentasi antigen oleh sel dendritik, dengan respons limfosit dan sitokin yang
akhirnya menyebabkan inflamasi saluran pernafasan dan simptoms asma.
4
Terpaparnya seseorang yang beresiko terhadap alergen atau rangsangan menyebabkan
suatu reaksi inflamasi dari saluran pernafasan, yaitu terjadinya degranulasi sel mast,
pelepasan mediator inflamasi, infiltrasi dari eosinofil dan limfosit T yang teraktivasi. Pelbagai
mediator inflamasi bisa terlibat termasuklah interleukin (IL)-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-8, IL-10,
dan IL-13; leukotriene; dan granulocyte-macrofage colony-stimulating factors (GM-CSFs).
Ini semua akhirnya akan merangsang lagi sel mast, netrofil dan eosinofil.
Secara fisiologis, asma akut terdiri dari 2 komponen, yaitu respons bronkospastik
awal (early bronchospastic response); dan respons inflamasi akhir (later inflammatory
response).4
Dalam beberapa menit setelah terpapar alergen, terjadi degranulasi sel mast sambil terjadinya
pelepasan mediator inflamasi, termasuk histamin, prostaglandin D2, leukotriene C4. Semua
bahan ini akan menyebabkan kontraksi dari otot salur pernafasan, peningkatan permeabilitas
kapiler, sekresi mukus, dan aktivasi refleks neuronal. Fase ini ditandai dengan terjadinya
bronkokonstriksi yang biasanya bisa diobati dengan bronkodilator, seperti agen beta-2-
agonis.
5
Bronkospasme, sumbatan mukus, dan edema pada saluran pernafasan perifer menyebabkan
peningkatan resistensi saluran pernafasan dan obstruksi. Udara yang terperangkap akan
mengakibatkan hiperinflasi paru, ventilation/perfusion mismatch (V/Q mismatch), dan
meningkatnya dead space ventilation. Paru akan mengembang pada saat hampir akhir
inspirasi pada akhir kurva compliance pulmonal, dengan compliance yang menurun dan kerja
untuk bernafas yang meningkat. Meningkatnya tekanan pleural dan intra-alveolar akibat dari
obstruksi dan hiperinflasi, bersama dengan tekanan mekanis dari alveolus yang terdistensi,
akan mengakibatkan penurunan perfusi alveolus. Kombinasi dari atelektasis dan penurunan
perfusi alveolus menyebabkan V/Q mismatch dalam unit paru. V/Q mismatch dan hipoksemia
yang terjadi mengakibatkan peningkatan dalam minute ventilation.
Dalam fase awal asma akut, hiperventilasi bisa mengakibatkan alkalosis repiratorik. Ini
karena unit paru yang terobstruksi secara relative jumlahnya lebih sedikit berbanding unit
paru yang tidak terobstruksi. Hiperventilasi mengakibatkan terjadinya pembuangan karbon
dioksida melalui unit paru tidak terobstruksi. Tapi, semakin lama jumlah unit paru yang
terobstruksi menjadi lebih banyak, dan ini akan mengakibatkan penurunan kemampuan
pembuangan karbon dioksida di paru, yang akhirnya akan menyebabkan terjadinya
hiperkarbia.
KLINIS
Riwayat penyakit
Untuk menentukan riwayat penyakit dari seorang anak dengan tanda dan gejala dari
eksaserbasi akut asma, yang harus dipertanyakan atau diperhatikan adalah seperti berikut:4
Adakah terdapat penyakit yang diderita sekarang, seperti infeksi saluran penafasan
atas atau pneumonia:
o Riwayat atopi
o Riwayat alergi
6
o Riwayat asma dalam keluarga
Faktor resiko untuk terjadinya asma berat atau status asmatikus persisten:
o Perbaikan kurang dari 10% dalam peak expiratory flow rate (PEFR) dari
baseline, walaupun dengan pengobatan
7
Tabel Penilaian Derajat Serangan Asma1,8
8
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan awal dilakukan untuk menentukan kondisi pasien dan mencari resiko untuk
terjadinya gagal nafas. Episode akut asma bisa bermula dengan simptom yang ringan seperti
dyspnea. Dengan obstruksi saluran pernafasan yang semakin memburuk, respiratory distress,
termasuk retraksi, penggunaan otot abdomen sewaktu ekspirasi, dan tidak bisa berbicara satu
atau dua kata bisa ditemukan. V/Q mismatch mengakibatkan penurunan saturasi oksigen dan
hipoksia. Tanda vital bisa menunjukkan takikardia dan hipertensi. Peak flow rate haruslah
diperiksa sebagai tanda vital pada anak-anak yang kooperatif. Jika tidak diberi pengobatan,
obstruksi saluran nafas yang lama dan usaha untuk bernafas yang meningkat bisa
menyebabkan bradikardia, hipoventilasi, dan cardiorespiratory arrest.6
Pemeriksaan umum
o Anak dengan status asmatikus bisa dehidrasi karena asupan makanan atau
minuman buruk, muntah, dan usaha untuk bernafasa yang meningkat.
o Pasien dengan asma sedang sampai berat biasanya tidak bisa berbicara dengan
kalimat penuh.
o Tingkat kesadaran bervariasi dari sadar penuh sampai koma. Jika hipoksemia
memburuk, pasien yang letargi menjadi agitasi. Dengan meningkatnya
obstruksi pada unit paru, hipoksemia memburuk lalu hiperkarbia terjadi.
Kedua hipoksemia dan hiperkarbia bisa mengakibatkan kejang dan koma, dan
merupakan tanda akhir dari respiratory compromise.
9
o Pada auskultasi selalu ditemukan wheezing bilateral pada ekspirasi. Suara
nafas inspirasi bisa normal, berkurang atau tidak ada tergantung keparahan
penyakit. Silent chest bisa ditemukan pada pasien yang sudah terjadi
impending respiratory failure, di mana sudah terjadi obstruksi yang berat atau
terlalu lelah untuk menghasilkan wheezing.
o Pada pasien status asmatikus sedang sampai berat, penggunaan otot abdomen
bisa mengakibatkan sakit abdomen.
DIAGNOSIS BANDING
Sindrom aspirasi
Bronkiektasis
Cystic fibrosis
Cedera inhalasi
Limfadenopati
Infeksi RSV
Trakeomalasia
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemilihan jenis pemeriksaan tergantung dari data riwayat penyakit dan kondisi pasien.
10
Pulse oximetry memberikan evaluasi saturasi oksigen, yang sangat penting karena penyebab
kematian utama pada status asmatikus adalah hipoksia. Keuntungan penggunaan pulse
oximetry adalah mudah didapatkan, tidak invasif, menunjukkan monitoring yang
berkelanjutan, dan merupakan indikator yang baik untuk hipoksemia akibat V/Q mismatch.
Pengukuran elektrolit serum adalah sangat penting, terutama untuk memonitor kadar kalium
serum. Obat yang digunakan untuk mengobati status asmatikus bisa menyebabkan
hipokalemia. Nilai pH yang rendah bisa menyebabkan peningkatan transien dari kalium.
Kadar glukosa serum bisa meningkat akibat stress, penggunaan agen beta-agonis, seperti
epinefrin, dan penggunaan kortikosteroid. Namun, akibat penyimpanan yang tidak baik,
hipoglikemia bisa terjadi pada anak-anak yang lebih muda.
Pemeriksaan hitung sel darah lengkap dan diferensial, bisa menunjang kepada peningkatan
jumlah sel darah putih, dengan atau tanpa pergeseran ke kiri. Hitung sel darah lengkap juga
bisa mengindikasikan ada infeksi bakteria; tapi dengan penggunaan beta-agonis dan
kortikosteroid bisa mengubah komposisi dari sel darah putih dengan meningkatkan hitung sel
darah putih perifer.
Memonitor peak flow merupakan suatu pengukuran objektif terhadap obstruksi saluran
pernafasan pada anak yang berusia cukup dan kooperatif, dan bisa mentolerir pemeriksaan ini
tanpa memperparah penyakit yang dideritanya.
Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan foto thoraks diindikasikan pada anak-anak dengan presentasi yang atipikal atau
yang tidak berespon terhadap terapi. Pada anak-anak yang sudah diketahui menderita asma,
pemeriksaan foto thoraks dilakukan jika curiga menderita pneumonia, pneumothoraks,
pseudomediastinum atau atelektasis yang signifikan.
11
TINDAKAN/PROSEDUR
Intubasi trakeal dan ventilasi mekanis diindikasikan pada gagal nafas. Ventilasi non-invasif
bisa dicoba terlebih dulu untuk mengurangi paksaan untuk bernafas dan kelelahan, agar tidak
dilakukan intubasi. Pemasangan chest tube mungkin perlu untuk penanganan pneumothorax,
jika terjadi.
PENATALAKSAAN
Menurut guidelines yang didapatkan dari National Asthma Education and Prevention
Program (NAEPP) of America Expert Panel, penanganan atau perawatan terhadap seseorang
anak dengan asma termasuklah rawat jalan yang intensif dengan medikasi dan intervensi
lingkungan. Rawat inap di rumah sakit merupakan suatu kagagalan dalam penanganan pasien
rawat jalan. Penanganan pasien dengan status asmatikus adalah seperti berikut:6,7
Oksigen
Beta-agonis inhalasi
Albuterol atau salbutamol, dan terbutalin merupakan terapi akut untuk asma. Obat-
obat ini menstimulasi cyclic adenosine monophosphate (AMP) untuk memediasi
terjadinya bronkodilatasi. Saluran pernafasan mempunyai banyak reseptor beta.
Dengan menstimulasi reseptor ini, otot saluran pernafasan berelaksasi, pembersihan
mukosiliar meningkat, dan produksi mukus menurun. Administrasi obat ini melalui
nebulisasi inhalasi biasanya merupakan cara yang paling efektif.
Kortikosteroid
12
Kortikosteroid seperti metilprednisolon, prednisolon atau prednisone, merupakan
terapi yang penting dalam pengobatan status asmatikus. Ia digunakan untuk
mengurangi inflamasi saluran pernafasan yang berat dan edema pada asma. Selain itu
kortikosteroid dikatakan membantu meningkatkan efek obat beta-agonis.
Kortikosteroid bisa diberikan secara intravena atau oral. Walaupun kebanyakan dokter
memberikan kortikosteroid secara intravena pada kasus status asmatikus, terdapat
penelitian yang mengatakan bahwa pemberian kortikosteroid secara oral adalah sama
efektif dengan pemberian kortikosteroid secara intravena.
Antikolinergik
Bedah
Status asmatikus umumnya ditangani dengan terapi medikasi, tapi jika terjadinya
pneumothoraks maka dilakukan thorakostomi atau thorakosentesis.
Diet
Beberapa anak dengan asma biasanya mempunyai beberapa episode asma akibat alergi
terhadap bahan makanan tertentu. Konsultasi dengan ahli nutrisi mungkin akan membantu
dalam menentukan penanganan pasien secara diet.
PENANGANAN LANJUT
Indikasi rawat di ruang rawat intensif 1,3,7
o Tidak ada respons sama sekali terhadap tata laksana awal dan/atau perburukan
asma yang cepat.
13
o Adanya kegelisahan, nyeri kepala, dan tanda lain ancaman henti napas, atau
hilangnya kesadaran.
o Tidak ada perbaikan dengan pengobatan baku di ruang rawat inap.
o Ancaman henti napas yang ditandai oleh hipoksemia yang menetap walaupun
sudah diberi oksigen (kadar paO2 <60 mmHg dan/atau paCO2 >45 mmHg,
walaupun begitu gagal napas dapat terjadi pada kadar paCO2 yang lebih
tinggi atau lebih rendah)
Indikasi pemasangan ventilasi mekanik pada serangan asma berat:5
Follow-up pasien yang dirawat jalan dan perawatan yang berkelanjutan terhadap
pasien yang pernah dirawat di ICU pediatrik karena status asmatikus yang parah
adalah sangat penting untuk mengoptimalkan hasil jangka panjang dan kualitas hidup
dan meminimalkan episode eksaserbasi asma parah.
Antara yang penting dan harus diperhatikan adalan obat-obatan untuk diambil di
rumah, seperti anti-inflamasi. Kortikosteroid sekarang dianggap sebagai salah satu
terapi utama untuk pengobatan maintenance terhadap asma. Ada studi mengatakan
bahwa penggunaan anti-inflamasi yang kurang berhubungan dengan asma yang lebih
14
parah. Ini karena terjadinya remodeling dari saluran pernafasan, dan perubahan dari
proses inflamasi pada tubuh yang persisten.
Perubahan atau kontrol terhadap lingkungan juga perlu pada anak dengan asma yang
berhubungan dengan alergi yang berkaitan dengan lingkungan.
Medikasi
Obat-obatan termasuk bronkodilator untuk terapi inhalasi seperti albuterol; steroid inhalasi;
dan obatan oral seperti antagonis leukotriene, dan/atau teofilin. Terapi kortikosteroid jika
diindikasikan harus disertai instruksi tertulis dari dokter mengenai cara-cara untuk
mengkonsumsinya.
Pindah ruangan
Anak yang dirawat di ICU karena status asmatikus yang parah bisa dipindah ke ruangan yang
biasa jika pasien telah memenuhi kriteria berikut:9,10
15
KOMPLIKASI
Cardiac arrest
Hipoksemia dengan cedera susunan saraf pusat yang hipoksik dan iskemik
16
Pneumothoraks atau pneumomediastinum
PENCEGAHAN
Pencegahan pada asma terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu pencegahan primer, sekunder,
dan tersier.11
Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah terjadinya sensitisasi pada bayi yang belum
tersensitisasi. Pencegahan primer ini dapat dilakukan prenatal atau pascanatal. Pencegahan
sekunder bertujuan untuk mencegah terjadinya inflamasi/asma pada bayi/anak yang sudah
tersensitisasi. Pencegahan tersier bertujuan mencegah terjadinya serangan akut atau
eksaserbasi pada bayi/anak asma.
17
BAB III
PENUTUP
Status asmatikus adalah suatu keadaan darurat medik yang lain, bila tidak diatasi
dengan cepat dan tepat kemungkinan besar akan terjadi kegawatan medik yakni kegagalan
pernafasan. pada status asmatikus selain spasme otot-otot bronkus terdapat pula sumbatan
oleh lendir yang kental dan peradangan. Faktor-faktor ini yang terutama menyebabkan
refrakternya serangan asma ini terhadap obat-obatan bronkodilator.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma management and prevention.
National Institute of Health. National Heart, Lung, and Blood Institute 2002 (revisi).
Diperbaharui dari: NHLBI/WHO workshop report: global strategy for asthma
management and prevention issued January 1995; NIH publ. no.02-3659.
http://www.nhlbi.nih.gov/
19
20