Anda di halaman 1dari 23

Filsafat islam

Pendahuluan

1. kemenangan dinasti Abbasiyah atas dinasti Amawiyah yang


menyebabkan perpindahan pusat pemerintahan dunia Islam dari
Damaskus ke Baghdad, memiliki makna yang signifikan bagi kelahiran dan
pengembangan filsafat di dunia Islam.

2. faktor penyebab : geografis baghdad yang dikelilingi oleh pusat-


pusat pengembangan kebudayaan/filsafat yunani.

3. islam dalam waktu singkat mampu menyerap kebudayaan


Yunani.
Faktor :
Pertama, karena perpindahan pusat pemerintahan Islam dari
Damaskus ke Baghdad sabagai titik api pengembangan kebudayaan
Yunani.
Kedua, disebabkan oleh kemunduran filsafat di kalangan Yunani,
Persia dan dunia kristen serta Eropa secara keseluruhan.
Ketiga, dorongan berfilsafat dari ajaran Islam. Dalam hal ini dapat
dilihat dari all-quran (2:269, 9:122, dst)
Keempat, kecinataan khalifah terhadap ilmu pengetahuan. Para
khalifah khususnya dinasti Abbasiyah begitu mencitai ilmu pengetahuan.
Hal ini dilampiaskan dalam bentuk penyediaan sarana dan pra sarana
bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Kelima, kemajuan ekonomi yang diraih dunia islam. Namun faktor
ekonomi ini sangat lah terkait dengan keempat faktor yang mendukung
kemajuan.
Kelima faktor ini menyatu padu menjadi daya pendorong yang kuat bagi
kegiatan dan pengembangan filsafat di dunia islam.
Prioderisasi perkembangan filsafat islam

Secara global perkembangan filsafat islam sejak awal sampai kini dapat
dibagi menjadi lima priode :
1. masa penterjemahan dan perluasan terhadap buku-buku
Yunani. Yang kemudian disertai dengan pemaduan diantara agama dan
filsafat.

2. masa kritikan terhadap filsafat islam. Hal ini dilakukan dengan


sedikit menggunakan metode filsafat.

3. masa pembelaan terhadap filsafat islam, peristiwa ini terjadi di


belahan barat dunia islam, maupun dibelahan timur dunia islam.
Dibelahan barat tokohnya adalah Ibn Rusyid dengan bukunya Tahafut al-
tahafut (kehancuran orang yang menghancurkan filsafat). Sedangkan di
belahan timur tokohnya adalah Nashiruddin Thusi dengan bukunya syarah
al-Isyarat wa al-Tanbihat (ulasan, sekaligus pembelaan terhadap buku Ibnu
Sina)

4. masa kritikan lanjutan terhadap filsafat islam dengan pendekatan


teologi. Hal ini disemangati oleh kitab Tahaful al-falasifah karya imam
Ghazali.

5. masa kefakuman dan peralihan corak filsafat.


Aktifitas filsafat mengalami kefakuman di dunia sunni. Ditambah lagi
dengan kegemilangan Imam Al-Ghazali dengan universitas Nizamiyahnya.
Sedangkan di dunia Syii filsfat semakin bertambah coraknya.

IKHWANUS SHAFA
A. Sejarah Ikhwan al-Shafa dan Risalahnya
Ikhwan as-Shafa berarti (Persaudaraan Kemurnian) adalah organisasi rahasia yang
aneh dan misterius yang terdiri dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basrah, Irak-
yang saat itu merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyah-di sekitar abad ke-10 Masehi.
Kelompok yang lahir di Bashrah kira-kira tahun 373H/983M ini, terkenal dengan Risalahnya,
yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem filsafat mereka. Nama lengkap kelompok
ini adalah Ikhwan al-Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna al-Majd. Sebuah
nama yang diusulkan untuk mereka sandang sebagaimana termaktub dalam bab Merpati
Berkalung dan Kalilah wa Dimnah, sebuah buku yang sangat mereka hormati. Ikhwan al-
Shafa berhasil merahasiakan nama mereka secara seksama. Namun Abu Hayyan al-Tauhidi
menyebutkan, sekitar tahun 373H/983M lima orang dari kelompok Ikhwan al-Shafa seperti,
Abu Sulaiman Muhammad bin Masyar al-Busti, yang dikenal dengan al-Muqaddisi, Abu al-
Hasan Ali bin Harun al-Zanjani, Abu Ahmad Muhammad al-Mihrajani, al-Aufi, dan Zaid bin
Rifaah yang terkenal itu.

Karya monumental Ikhwan al-Shafa adalah ensiklopedia Rasail Ikhwan al-Shafa.


Rasail Ikhwan Ash-Shofa wa Khilan al-Wafa didirikan pada abad ke 4 H yang dikarang oleh
10 orang yang mengaku dirinya sebagai pakar tapi mereka merahasiakan identitasnya.
Ensiklopedi ini secara garis besar, dapat dibagi menjadi empat kelompok:
Kelompok pertama, berisi empat belas risalah matematis tentang angka. Oleh kalangan
Ikhwan al-Shafa, angka dianggap alat penting untuk mengkaji filsafat sebab ilmu angka akar
semua sains, saripati kebijaksanaan, sumber kognisi, dan unsur pembentuk makna.
Kelompok kedua, terdiri atas tujuh belas risalah yang membahas persoalan fisik-materiil.
Secara kasar, semua risalah tersebut berkaitan dengan karya-karya fisika Aristoteles.
Kelompok ketiga, terdiri atas sepuluh risalah psikologis-rasional yang membahas prinsip-
prinsip intelektual, intelek itu sendiri, hal-hal kawruhan (intelligibles), hakikat cinta erotik
(isyq), hari kebangkitan, dan sebagainya.
Kelompok keempat, terdiri atas empat belas risalah yang membahas cara mengenal
Tuhan, akidah dan pandangan hidup Ikhwan al-Shafa, sifat hukum Ilahi, kenabian, tindakan-
tindakan makhluk halus, jin dan malaikat, rezim politik, dan terakhir hakikat teluh, azimat,
dan aji-aji. Dari isi ensiklopedi tersebut kita dapat menafsirkan bahwa Ikhwan al-Shafa
mencoba melakukan penjelasan-penjelasan yang terkait dengan agama dan ilmu pengetahuan
(filsafat dan sains).
B. Pemikiran Ikhwan al-Shafa terhadap Pendidikan, Agama, dan Filsafat.

1. Klasifikasi Ilmu

Ikhwan al-Shafa membagi cabang pengetahuan menjadi tiga kelas utama, yaitu: matematika,
fisika, dan metafisika. Dalam Rasail matematika meliputi: teori tentang bilangan, geometri,
astronomi, geografi, musik, seni teoritis dan praktis, etika, dan logika. Fisika meliputi: materi,
bentuk, gerak, waktu, ruang, langit, generasi, kehancuran, mineral, esensi alam, tumbuhan,
hewan, tubuh manusia, indera, kehidupan dan kematian, mikrikosmos, suka, duka, dan
bahasa. Metafisika dibagi menjadi psiko-rasionalisme dan teologi. Psiko-rasionalisme
meliputi fisika, rasionalistika, wujud, mikrokosmos, jiwa, tahun-tahun raya, cinta,
kebangkitan kembali dan kausalitas. Teologi meliputi keyakinan atau akidah Ikhwan al-
Shafa, persahabatan, keimanan, hukum Allah, kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur
alam, dan magis.

2. Konsep Pendidikan Ikhwan al-Shafa

A. Cara Mendapatkan Ilmu

Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1. Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang
perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui
hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2. Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3. Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa.
Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru,
yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru
mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan
para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir.
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang yang
belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda
apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki
bekas yang tidak mudah dihilangkan. Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan
terjadi karena pancaindera berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi
dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki
pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara
dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan tersebut bermula dari
jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui
proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara
berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan
inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-
quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi
atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan
(al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah),
bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan al-
Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta
tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato memandang bahwa
manusia memiliki potensi, dengan potensi ini ia belajar, yang dengannya apa yang terdapat
dalam akal itu keluar menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup
bersama alam ide (Tuhan) yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu
menyatu dengan jasad, maka jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak
mengetahui segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan jasad.
Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam
ide.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan
antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap
ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia
juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri
melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan
filsafat. Dalam hal ini Ikhwan al-Shafa mengklasifikasikan ilmu pengetahuan aqliyah kepada
3 (tiga) kategori, yaitu; matematika, fisika, dan metafisika. Ketiga klasifikasi tersebut berada
pada kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan menghantarkan peserta didik
mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis pengetahuan
tersebut dapat diperoleh melalui pancaindera, akal, dan inisiasi. Meskipun ia lebih
menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya
pancaindera dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan.
Oleh karena ini diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.

B. Sosok Ideal Guru

Bagi Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka itu adalah muallim,
ustadz dan muaddib. Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa
yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai
guru dari segala sesuatu. Guru, ustadz, atau muaddib dalam hal ini berada pada posisi ketiga.
Urutan ini selanjutnya digambarkan sebagai berikut:
1. Al-Abrar dan al-Ruhama, yaitu orang yang memiliki syarat kebersihan dalam
penampilan batinnya dan berada pada usia kira-kira 25 tahun.
2. Al-Ruasa dan al-Malik, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan yang usianya kira-
kira 30 tahun, dan disyaratkan memelihara persaudaraan dan bersikap dermawan.
3. Muluk dan Sulthan, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan dan telah berusia 40
tahun.
4. Tingkatan yang mengajak manusia untuk sampai pada tingkatannya masing-masing,
yaitu berserah dan menerima pembiasaan, menyaksikan kebenaran yang nyata,
kekuatan ini terjadi setelah berusia 50 tahun.

3. Pandangan Ikhwan al-Shafa Tentang Agama


Ikhwan al-Shafa adalah Muslim. Namun mereka memiliki interpretasi tersendiri
mengenai agama pada umumnya dan tentang Islam pada khususnya. Corak Syiah yang amat
tampak dalam kegiatan misioner memang dramatis sebab ini sangat membantu mereka
menyentuh emosi massa. Secara historis, sebetulnya Ikhwan al-Shafa tidak termasuk ke
dalam sekte manapun. Sebetulnya mereka hanya berupaya dengan dibantu Islam dan filsafat
Yunani, untuk menanamkan doktrin spiritual yang dapat menggantikan agama-agama historis
dan yang, pada waktu yang sama, dapat diterima oleh semua orang serta tidak menyinggung
perasaan siapa pun.
Ikhwan al-Shafa memandang agama sebagai sebuah din, yaitu kebiasaan atau
kepatuhan kepada seorang pemimpin yang telah diakui. Agama sangat diperlukan sebagai
sanksi sosial dalam mengatur massa, dalam mensucikan jiwa, dan dikarenakan semua
manusia sebelum lahirnya pun sudah bertabiat untuk beragama dan berbuat kebajikan. Dalam
pengertian ini agama adalah satu untuk semua orang dan segala bangsa.
Hukum (Arab: Syariah atau namus, dari kata Yunani: nomos, hukum) oleh Ikhwan al-Shafa
adalah apa yang kita maksud dengan agama sekarang (dalam istilah kita agama sama dengan
hukum dalam istilah Ikhwan). Hukum-hukum itu beraneka ragam disesuaikan dengan
beragamnya komunitas, kelompok, dan individu). Hukum ini diajarkan oleh orang-orang
bijak yang ada di setiap bangsa demi kemaslahatan bangsa-bangsa yang bersangkutan. Atas
dasar ini, Ikhwan al-Shafa menyatakan bahwa segala tema metafisika di dalam kitab-kitab
suci misalnya mengenai penciptaan, mengenai Adam, Setan, pohon pengetahuan,
kebangkitan kembali, Hari Perhitungan, neraka, dan surga harus dianggap sebagai simbol-
simbol dan harus dipahami secara alegoris.
Penafsiran Ikhwan al-Shafa terhadap teks Al-Quran tersebut lebih bersifat esotoris
(secara batin), dalam artian pemaknaan Al-Quran dengan simbol-simbol. Karena sifat
penafsiran Ikhwan al-Shafa yang esotoris ini, mereka dianggap sebagai kelompok aliran
kebatinan. Sebagaimana ditulis dalam www.samuderailmufortuna.blogspot.com :
Rasail adalah upaya pembentukan sistem agama baru yang menggeser posisi syariat Islam
yang telah menjadi "barang antik". Usaha ini gagal dan menuai banyak kritikan dari ulama-
ulama umat yang menjelaskan kesesatan dan kekeliruan mazhab ini. Secara implisit, Rasail
mengandung keyakinan-keyakinan filosofis para kaum Bathiniyyah, para filosof, dan kaum
Nasionalis, diantaranya:
a. Pengingkaran kebangkitan manusia dengan jasad-jasadnya di akhirat.
b. Perbedaan interpretasi surga dan neraka dari pendapat umum yang mutawatir.
c. Bantahan implikasi setan seperti yang dipahami umat Islam, menurut mereka setan itu
konotasi makhluk-makhluk jahat yang menerawang di orbit bulan dan kawan-
kawannya berupa makhluk-makhluk yang tidak diketahui bentuknya di kehidupan
dunia.
d. Interpretasi makna kafir dan azab secara maknawi.
e. Keyakinan bahwa derajat kenabian bisa dicapai dengan latihan dan kesucian hati.
f. Statemen berbunyi siapa yang telah mencapai alam batin maka berarti dia sudah
terbebas dari praktek ibadah/syariat.
g. Kecondongan pada keyakinan Syi'ah seperti kemaksuman Imam, taqiyah (berbohong
demi kebenaran), mendirikan negara dari ahli bait (keturunan Nabi).
h. Seruan terhadap pluralisme agama serta pelarangan fanatisme terhadap agama tertentu.
Pendapat seperti ini banyak diilhami dari utopia peninggalan-peninggalan para dukun
dan orang-orang Yunani. Sekelompok analisis dan orientalis lain lebih condong
berpendapat bahwa Rasail ini diadopsi dari Ismailiyyah Bathiniyyah.
Dari pendapat-pendapat di atas, semakin nampak bahwa penafsiran agama yang
dilakukan oleh Ikhwan lebih menekankan pada makna esotoris/batiniyah daripada lahiriyah.
Penafsiran esotoris ini lebih banyak dipengaruhi oleh paham Syiah.
4. Pandangan Ikhwan al-Shafa tentang Filsafat

Bagi golongan Ikhwan al-Shafa, filsafat itu bertingkat-tingkat. Pertama-tama cinta kepada
ilmu; kemudian mengetahui hakikat wujud-wujud menurut kesanggupan manusia, dan yang
terakhir ialah berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu.

Filsafat, kebijaksanaan atau kebijakan filosofis, menurut Ikhwan, adalah berperilaku seperti
Tuhan (Godlike) sedapat mungkin. Definisi filsafat secara lebih terincinya, cinta kepada
ilmu pengetahuan disamping pengetahuan mengenai esensi segala wujud, yang diperoleh
sedapat mungkin, ditambah dengan keyakinan dan berperilaku yang selaras dengan
keyakinan itu.

Dalam memandang antara filsafat dan agama, Ikhwan al-Shafa yakin bahwa tak ada
pertentangan serius antara filsafat dan agama. Sebab, sama-sama bertujuan meniru Tuhan
sesuai dengan kemampuan manusia. Peniruan ini, menurut Ikhwan al-Shafa, bisa dicapai
lewat pengetahuan teoritis atau amal kebajikan yang menyucikan individu bersangkutan.
Perbedaan antara filsafat dan agama berada hanya pada tataran yang subsider, yakni
bersangkutan bahasa khusus yang dipakai oleh keduannya.

Bagi Ikhwan al-Shafa, nilai utama filsafat terletak pada upayanya mengungkapkan
pengertian tersembunyi (batin) dari wahyu. Filsafat juga mengajarkan agar manusia
tidak berhenti pada makna eksternal (zhahir) wahyu secara vulgar dan profligate.
Bahkan, filsafat mengajarkan bahwa hakikat kekufuran (kufr), kekeliruan,
kebodohan, dan kebutaan ialah bersikap puas terhadap tafsiran-tafsiran eksternal
yang bertumpu pada kesenagan-kesenangan ragawi dan imbalan-imbalan kasatmata.
Bagi seorang bijak bestari, semua tafsiran itu justru mengisyaratkan kebenaran-
kebenaran spiritual. Dengan demikian, neraka adalah alam fana yang terletak di
bawah bulan, sedangkan surga adalah tempat menetapnya jiwa dan alam raya.
Imam Ghazali (450-505 H/ 1065-1111 M)
Biografi
Nama lengkapnya ialah Abu Hamid Muhammad Ibn Ahmad al-Ghazali Al-Thusi,
lahir di desa Thus Khurasan, Iran tahun 450 H/1056 M. Sejak kecil al-Ghazali
menjadi yatim, sehingga ia dan saudaranya dipelihara oleh seorang sufi, teman
ayahnya. Kondisi ini tidak menyurutkan semangatnya belajar agama. Guru
terpentingnya ialah imam Harmain Al-Juwaini, dalam bidang teologi dan Abu Ali Al-
Fadhl ibn Muhammad ibn Ali al-Farmadzi. (Berkat bimbingan dari gurunya, Imam
Ghazali terus mengadakan kajian keislaman, sehingga ia menguasai dan ahli dalam
semua disiplin Islam. Keahliannya ini menyebabkan ia digelari sebagai Hujjah al-
islam bukti kebenaran Islam) dan Zain al-Din (perhiasan agama). Pada mulanya
beliau adalah seorang teolog (mutakallimin), kemudian tidak puas sebagai teolog
menjadi filsuf. Tidak puas dengan filsuf akhirnya Imam Ghazali beralih menjadi sufi.
Karena menurutnya tasauflah yang memberikan kepuasan bagi manusia dalam kaitan
penemuan kebenaran.
Karya-karyanya
Ihya Ulum al-Din (menghidupkan ilmu-ilmu agama). Buku ini merupakan
magnum opus Imam Ghazali, karena di dalamnya termuat pemikiran yang
komprehensif tentang Islam
Tahafuf al-Falasifah (kerusakan kaum filsuf), berisikan kritik pedas terhadap
filsuf, baik Yunani maupun muslim, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina.penolakan
terhadap filsafat ini dilakukansetelah mengadakan kajian yang mendalam
terhadap filsafat melalui bukunya Maqashid al-Falsafah
Munqiz min al-Dhalal (melepaskan dari kesesatan). Buku ini mengisahkan
proses perkembangan intelektualnya yang kemudian menjadi sufi.
Al-Mustasyfa min al-Aldillah, berisikan kajian mengenai konsep-konsep
Ushul Fiqh

Pemikirannya

1. Agama dan Filsafat


Banyak anggapan yang mengatakan bahwa Imam Ghazali sangat embenci
dan sekaligus mengharamkan filsafat. Namun apabial pemikirannya
ditelusuri lebih jauh, sebenarnya Imam Ghazali tidak membenci apalagi
mengharamkan filsafat. Beliau hanya mengkritik pola dan metode pikir
kaum filsuf.
Ketidaksimpatiannya terhadap filsafat, karena menurutnya, terdapat tiga
problem filsafat yang jelas bertentangan dengan ajaran Islam, yaitu:
Kekadiman alam. Menurut filsafat, alam bersifat qadim, karena
tiada awal bagi keberadaannya. Dengan demikian terdapat dua
yang qadim yaitu Tuhan dan alam. Adanya dua yang qadim
merupakan kemusyrikan
Tidak bangkitnya jasad pada hari kiamat karena yang berbangkit
hanya roh saja. Menurut filsafat, yang berbngkit hanya rohani,
tidak jasmani, karena jasmani telah mengalami kehancuran.
Menurut Iman Ghazali, pandangan ini bertentangan dengan ayat-
ayat yang menggambarkn bahwa pada hari kiamat yang berbangkit
hanya jasmani
Tuhan tidak mengetahui hal-hal kecil (juzi), karena pengetahuan
Tuhan hanya bersifat umum (kulli). Pandangan filsuf ini
bertentngan dengan ayat-ayat yang menggambarkan bahwa Allah
mengetahui segala sesuatu

Berkaitan dengan karyanya Al-munqiz min al-Dhalal (pelepasan dari


kesesatan), Imam Ghazali membagi kalangan filsuf kepada tiga kelompok, yaitu :

Al-Dariah (ateisme), yaitu para filsuf yang mengingkari adanya Tuhan dan
penciptaan alam semesta, karena menurut mereka alam telah terjadi sejak
sedia kala dengan sendirinya, tanpa ada keterlibatan Tuhan.
Al-Thabiiyyah (naturalisme), yaitu filsuf yang mengadakan kajian segala
sesuatu dengan pendekatan fisika, dan hanya mengakui bahwa segala sesuatu
hanyalah sebagai unsure fisika. Sehingga berkesimpulan bahwa jiwa manusia
juga termasuk fisika yang tidak mengalamai kehancuran dengan kehancuran
badan. Akibatnya mereka mengingkari adanya kebangkitan jasmani pada hari
kiamat.
Al-Ilahiyyat (teisme), yaitu fisuf yang dengan kajian filsafat sampai pada
kesimpulan akhir bahwa Tuhan ada di dalam kehidupan manusia. Kelompok
ini muncul dari dua aliran sebelumnya.

Dengan demikian, agaknya iman Ghazali lebih menitikberatkan pada


aksiologi filsafat tersebut, yaitu kemana dan untuk apa filsafat digunakan. Filsafat
diperbolehkan sejauh ia dapat mendukung kebenaran agama, dan hanya ditolak
manakala bertentangan dengan ajaran agama.

2. Epistemologi (Marifah)
Epistemology membicarakan sumber dari ilmu pengetahuan manusia dan
bagaimana cara memperolehnya. Menurut Imam Ghazali, pengetahuan
manusia berasal dari tiga sumber, yaitu:
Akal, yaitu manusia memperoleh pengetahuan dengan
mempergunakan akal pikirannya. Paham semacam ini di Barat
muncul dengan sebutan rasionalisme
Indra, manusia memperoleh pengetahuan dengan mempergunakan
panca indranya. Paham semacam ini muncul dengan sebutan
empirisme
Hati, sebagai pengetahuan yang tertinggi, manusia memperoleh
pengetahuan dengan mempergunakan hati. Hati ibarat cermin yang
mampu menangkap segala citra di dalam Luh Mahfuz, manakala
cermin itu bersih. Oleh karena itu, agar manusia mampu
memperoleh pengetahuan melalui hati, maka hati manusia harus
disucikan terlebih dahulu.

Ibn Thufail (506-581 H/ 1110-1185 M)


Biografinya
Nama lengkapnya ialah Abu Bakar Muhammad bin Malik bin Thufail al-Qaisysyi.
Dalam literature barat namanya disebut dengan Abubacer, karena itu, beliau
merupakan filsuf muslim di belahan Barat dunia Islam. Selain filsuf beliau adalh
seorang sasterawan, ahli matematika, dan terutama dokter.
Karya-karyanya
Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah karya Ibn Thufail. Karya terpentingnya
ialah sebuah fiksi filosofis berjudul Hayy bin Yazqhan fi Asrar al-Hikmah al-
masyriqiyyah. Karya ini sangat menarik perhatian para ahli, sehingga diterjemahkan
ke dalam beberapa bahasa. Ada dua karya mengenai kedokteran yang dikaitkan
dengan Ibn Thufail, yaitu Kitab al-Haiah, karya Al-Bithruji, dan Fi al-Buqa al-
maskunah wa al-Ghair al-maskunah, karya Ibn Rusyd
Pemikirannya
Sistem pemikiran Ibn Thufail terekam dalam karya utamanya, Hayy bin Yazqhan.
Dalam buku fiksi inilah tertuang aneka pemikiran Ibn Thufail. Dalam uraian ini
dibatasi pada dua masalah, sebagai berikut:
Kekuatan akal
Pemikiran terpentingnya ialah mengenai kekuatan akal manusia yang mampu
mencapai kebenaran tanpa bimbingan wahyu. Menurutnya, dengan akal
manusia mampu mengenal Tuhan. Pemikirannya ini dituangkan dalam sebuah
buku dalam bentuk fiksi, yaitu Hayy bin Yazqhan.
Epistemologi
Kajian epistemologi menyangkut sumber pengetahuan manusia. Dari kisah
fiksi di atas dapat diketahui bahwa sumber pengetahuan manusia terdiri atas:
Wahyu, yaitu informasi yang diperoleh melali wahyu yang
disimbolkan dengan asal
Akal, yaitu informasi yang diperoleh manusia dengan fungsionalisasi
akalnya secara maksimal, yang disimbolkan Hayy bin yazqhan

Kedua sumber ini memiliki kaitan yang erat di antara satu dengan yang lain. Menurut
Ibn Thufail, akal berperan sebagai pemberi informasi kebenaran (Ilaman), sedangkan
wahyu sebagai pemberi konfirmasi (tibyanan)

7. IBNU RUSYD

7.1. BIOGRAFI IBNU RUSYD


Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd.
Berasal dari keturunan Arab kelahiran Andalusia. Ibnu Rusyd lahir di kota Cordova tahun
526-595 H atau 1126-1198 M. Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga ahli fiqh, ayahnya
seorang hakim. Demikian juga kakeknya sangat terkenal sebagai ahli fiqh. Sang kakek
dengan cucunya mempunyai nama yang sama, yaitu Abu al-Walid. Maka untuk
membedakannya, sang kakek dipanggil Abul Walid al-Jadd (kakek), sedang sang cucu Abul
Walid al-Hafidz.
Semenjak kecil Ibnu Rusyd belajar ilmu fiqh, ilmu pasti dan ilmu kedokteran di
Sevilla kemudian berhenti dan pulang ke Cordova untuk melakukan studi, penelitian,
membaca buku-buku dan menulis.Pada usia 18 tahun Ibnu Rusyd hijrah ke Maroko, di sana
ia belajar kepada Ibnu Thufail. Dalam bidang ilmu Tauhid (teologi) ia berpegang pada paham
Asyariyah dan hal ini tetap memberikan jalan baginya untuk mempelajari ilmu filsafat.
Ringkasnya Ibnu Rusyd adalah seorang yang ahli dalam bidang filsafat, agama, syariat, dan
kedokteran yang terkenal pada masa itu. Pada tanggal 19 Shafar 595 H/10 Desember 1198 M,
Ibnu Rusyd meninggal dunia di kota Marakesh. Beberapa tahun setelah ia wafat, jenazahnya
dipindahkan ke kampung halamannya yaitu kota Cordova.
Menurut Ibrahim Madkur, Ibnu Rusyd adalah filosof muslim besar periode terakhir
dalam dunia filsafat Islam.Setelah wafatnya Ibnu Rusyd, secara berangsur-angsur filsafat
Islam mulai mengalami kemunduran, akibat kritikan tajam al-Ghazali terhadap masalah-
masalah filsafat dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah. Ketika budaya berfikir ala filsafat mulai
dibenci dan banyak ditinggalkan umat Islam, maka pemikiran-pemikiran filsafat beralih
kepada Eropa yang dibawa dan dikembangkan oleh murid-murid Ibnu Rusyd dari non-
muslim. Berawal dari sini, filsafat-filsafat Aristoteles dan Ibnu Rusyd akhirnya mulai
berkembang di Eropa secara perlahan-lahan walaupun pada awalnya mendapat kecaman yang
keras dari pihak Gereja. Namun pada akhirnya ilmu filsafat menjadi pintu gerbang bagi Eropa
dalam menyongsong peradaban yang maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sebagai seorang penulis produktif, Ibnu Rusyd banyak menghasilkan karya-karya
dalam berbagai disiplin keilmuan. Menurut Ernest Renan (1823-1892) karya Ibnu Rusyd
mencapai 78 judul yang terdiri dari 39 judul tentang filsafat, 5 judul tentang kalam, 8 judul
tentang fiqh, 20 judul tentang ilmu kedokteran, 4 judul tentang ilmu falak, matematika dan
astronomi, 2 judul tentang nahu dan sastra. Di antara karya-karyanya yang terkenal dalam
bidang filsafat adalah :Tahafut al-Tahafut. Buku yang terkenal dalam lapangan ilmu filsafat
dan ilmu kalam. Buku ini merupakan pembelaan Ibnu Rusyd terhadap kritikan al-Ghazali
terhadap para filosof dan masalah-masalah filsafat dalam bukunya yang berjudul Tahafut al-
falasifah.
7.2 FILSAFAT IBNU RUSYD
Sebagai komentator Aristoteles tidak mengherankan jika pemikiran Ibnu Rusyd
sangat dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya untuk
membuat syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles, dan berusaha mengembalikan
pemikiran Aristoteles dalam bentuk aslinya. Di Eropa latin, Ibnu Rusyd terkenal dengan
nama Explainer (asy-Syarih) atau juru tafsir Aristoteles. Sebagai juru tafsir martabatnya tak
lebih rendah dari Alexandre dAphrodise (filosof yang menafsirkan filsafat Aristoteles abad
ke-2 Masehi) dan Thamestius.
Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim
sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles, walaupun
dalam beberapa persoalan filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua filosof muslim
tersebut. Menurutnya pemikiran Aristoteles telah bercampur baur dengan unsur-unsur
Platonisme yang dibawa komentator-komentator Alexandria. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd
dianggap berjasa besar dalam memurnikan kembali filsafat Aristoteles. Atas saran gurunya
Ibnu Thufail yang memintanya untuk menerjemahkan fikiran-fikiran Aristoteles pada masa
dinasti Muwahhidun tahun 557-559 H.
Namun demikian, walaupun Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan berarti
dalam berfilsafat ia selalu mengekor dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd juga
memiliki pandangan tersendiri dalam tema-tema filsafat yang menjadikannya sebagai filosof
Muslim besar dan terkenal pada masa klasik hingga sekarang :
1. Agama dan Filsafat
Ibnu Rusyd adalah tokoh yang ingin mengharmoniskan agama dan filsafat. Di
antaranya tidak terdapat dua kebenaran yang kontradiktif, tetapi sebuah kebenaran
tunggal yang dihadirkan dalam bentuk agama, dan melalui takwil, menghasilkan
pengetahuan filsafat. Agama adalah bagi setiap orang, sedangkan filsafat hanya bagi
mereka yang memiliki kemampuan-kemampuan intelektual yang memadai. Meskipun
demikian, kebenaran yang dijangkau suatu kelompok tidaklah bertentangan dengan
kebenaran yang ditemukan kelompok lain.
Seperti al-Kindi, Ibnu Rusyd juga berpendapat bahwa tujuan filsafat adalah
memperoleh pengetahuan yang benar dan berbuat benar. Dalam hal ini, filsafat sesuai
dengan agama. Sebab tujuan agama-pun tidak lain adalah untuk menjamin
pengetahuan yang benar bagi umat manusia dan menunjukkan jalan yang benar bagi
kehidupan yang praktis. Dari sini dipahami bahwa Agama dan filsafat dalam
pandangannya adalah sejalan dan memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mencapai
pengetahuan yang benar. Berfilsafat secara benar yaitu dengan menggunakan metode
ilmu mantiq yang benar pula, sehingga memunculkan pengetahuan yang tidak
bertentangan dengan ajaran agama. Dengan arti lain orang yang berfilsafat atau filosof
menggunakan logika untuk mencari kebenaran, ukuran kebenaran menurut Rusyd
adalah akal yang dihiasi oleh nilai-nilai agama.
2. Tingkat Kemampuan manusia
Dalam membuktikan kebenaran Ibnu Rusyd merumuskan perbedaan tingkat
kapasitas dan kemampuan manusia dalam menerima kebenaran menjadi tiga
kelompok. Pertama adalah yang menggunakan metode retorik (khathabi). Kedua
metode dialektik (jadali) dan ketiga metode demonstratif (burhani). Metode yang
pertama dan kedua dipakai oleh manusia awam, sedangkan metode yang ketiga
merupakan pengkhususan yang diperuntukkan bagi kelompok manusia yang tingkat
intelektual dan daya kemampuan berfikirnya tinggi.
Tingkat kemampuan manusia ini terkait dengan masalah pembenaran atau
pembuktian atas sesuatu yang dipengaruhi oleh kapasitas intelektualnya. Ibnu Rusyd
menjelaskan, bagi manusia, adanya tingkatan pembuktian kebenaran secara burhani,
jadali dan khatabi, karena kemampuan manusia dalam menerima kebenaran itu
berbeda-beda dan beragam. Pengelompokan ini, menurut Ibnu Rusyd sesuai dengan
semangat al-Quran yang mengajarkan umat Islam untuk mengajak manusia kepada
kebenaran dengan jalan hikmah, pelajaran yang baik dan debat yang argumentatif.
Allah berfiran dalam surat an-Nahl ayat 125 berbunyi:Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.
3. Kebahagiaan
Konsep kebahagiaan Ibnu Rusyd sejalan dengan ide al-Farabi dan Ibnu Sina
yang menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan adalah jalan pencapaian dan kebahagiaan
spiritual. Derajat kesempurnaan tertinggi ialah jika seseorang menembus tabir dan
melihat dirinya aspek demi aspek di hadapan realitas-realitas. Ibnu Rusyd menolak
jika kesederhanaan dan kejumudan orang-orang tasawuf merupakan sarana untuk
menyendiri dan berhubungan dengan Tuhan. Ia menolak anggapan kaum sufi
mengemukakan bahwa kebahagiaan seseorang dapat dicapai tanpa ilmu pengetahuan
Ibnu Rusyd percaya bahwa konsep kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui
akal aktual dan ilmu pengetahuan. Lebih lanjut Ibnu Rusyd berpendapat bahwa sejak
bayi dilahirkan, manusia sudah membawa kesiapan untuk menerima pengetahuan-
pengetahuan umum sehingga jika ia mulai belajar, maka kesiapan ini berubah menjadi
akal aktual. Akal ini selalu berkembang dan meningkat sampai ia bisa berhubungan
dengan akal yang tidak ada pada benda dan daripadanya mengambil pancaran ilham.
Akal yang sudah sampai kepada tahap menerima pancaran ilham merupakan
kesempurnaan tertinggi. Sedangkan jalan yang akan menuntun untuk mencapainya,
ialah perkembangan segala pengetahuan dan peningkatan persepsi manusia. Karena
ilmu pengetahuan semata-mata adalah jalan kebahagiaan dan hubungan dengan alam
akal dan alam ruh.
4. Akal dan Jiwa Manusia
Manusia menurut Ibnu Rusyd, mempunyai dua gambaran yang dalam bahasa
Arab disebut maani.[18] Kedua gambaran itu dinamakan percept (perasaan) dan
concept (pikiran). Perasaan adalah gambaran khusus yang dapat diperoleh dengan
pengalaman yang berasal dari materi. Ibnu Rusyd memberi perbedaan antara perasaan
dan akal. Pemisahan ini memperlihatkan kecenderungan Ibnu Rusyd dalam
memisahkan antara pengetahuan akali (aqli) dengan pengetahuan inderawi (naqli).
Dengan sendirinya kedua pengetahuan ini berbeda dalam hal cara manusia
memperolehnya. Pengetahuan inderawi diperoleh dengan percept (perasaan),
sedangkan pengetahuan aqli diperoleh lewat akal, pemahamannya dilakukan dengan
penalaran atau pikiran.
Akal sendiri dibagi menjadi dua jenis, yang pertama disebut akal praktis dan
yang kedua adalah akal teoritis. Akal praktis memiliki fungsi sensasi, di mana akal ini
dimiliki oleh semua manusia. Di samping memiliki fungsi sensasi, akal praktis juga
memiliki pengalaman dan ingatan. Sedangkan akal teoritis mempunyai tugas untuk
memperoleh pemahaman (konsepsi) yang bersifat universal.Penulis yakin pendapat
Rusyd logis dan tepat, fakta membuktikan perkembangan akal manusia menunjukkan
benar adanya, buktinya dari sekian banyak manusia tidak semuanya berfikir sama dan
cara mengambil kesimpulanpun berbeda pula, tergantung pada tingkat kecerdasan
intelektualis manusia tersebut.

7.3 TANGGAPAN ATAS PENDAPAT AL-GHAZALI


Tiga masalah filsafat yang menyebabkan kekafiran para filosof menurut al-Ghazali
ialah qadimnya alam, Tuhan tidak mengetahui rincian yang terjadi di alam (juziyyat),
dan kebangkitan jasmani. Berikut tanggapan Ibnu Rusyd terhadap kritikan al-Ghazali
mengenai tiga masalah tersebut.
1. Qadimnya Alam
Mengenai masalah pertama qidam al-alam, alam tidak
mempunyaipermulaan dalam zaman, konsep al-Ghazali bahwa alam hadis,alam
mempunyai permulaan dalam zaman, menurut Ibn Rusydmengandung arti bahwa
ketika Tuhan menciptakan alam, tidak adasesuatu di samping Tuhan. Tuhan, dengan
kata lain, di ketikaitu berada dalam kesendirianNya. Tuhan menciptakan alam
daritiada atau nihil.
Konsep serupa ini, kata Ibn Rusyd, tidak sesuai dengan kandungan
al-Qur'an. Didalam al-Qur'an digambarkan bahwasebelum alam diciptakan
Tuhan, telah ada sesuatu disampingNya. Ayat 7 dari surat Hud umpamanya
mengatakan, Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam haridan
takhtaNya (pada waktu itu) berada di atas air.Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa
ketika Tuhan menciptakanlangit dan bumi telah ada di samping Tuhan, air. Ayat 11
dariHa Mim menyebut pula, Kemudian Ia pun naik ke langit sewaktu ia masih
merupakan uap.Di sini yang ada di samping Tuhan adalah uap, dan air sertauap
adalah satu. Selanjutnya ayat 30 dari surat al-Anbiah. mengatakan pula,Apakah
orang-orang yang tak percaya tidak melihat bahwa langit dan bumi (pada mulanya)
adalah satu dan kemudian Kamipisahkan. Kami jadikan segala yang hidup dari air.
Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan bumi pada mulanyaberasal
dari unsur yang satu dan kemudian menjadi dua bendayang berlainan.Dengan ayat-
ayat serupa inilah Ibn Rusyd menentang pendapatal-Ghazali bahwa alam diciptakan
Tuhan dari tiada dan bersifathadis dan menegaskan bahwa pendapat itu tidak sesuai
dengankandungan al-Qur'an. Yang sesuai dengan kandungan al-Qur'ansebenarnya
adalah konsep al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuflain. Di samping itu, kata khalaqa
di dalam al-Qur'an, kataIbn Rusyd, menggambarkan penciptaan bukan dari
"tiada,"seperti yang dikatakan al-Ghazali, tetapi dari "ada," sepertiyang dikatakan
para filsuf. Ayat 12 dari surat al-Mu'minun,menjelaskan, Kami ciptakan manusia
dari inti sari tanah.
Manusia di dalam al-Qur'an diciptakan bukan dari "tiada"tetapi dari
sesuatu yang "ada," yaitu intisari tanah sepertidisebut oleh ayat di atas. Filsafat
memang tidak menerimakonsep penciptann dari tiada (creatio ex nihilo).
"Tiada,"kata Ibn Rusyd tidak bisa berubah menjadi "ada," yang terjadiialah "ada"
berubah menjadi "ada" dalam bentuk lain. Dalam halbumi, "ada" dalam bentuk materi
asal yang empat dirubah Tuhanmenjadi "ada" dalam bentuk bumi. Demikian pula
langit. Dan yang qadim adalah materi asal. Adapun langit dan bumisusunannya
adalah baru (hadis).
Qadimnya alam, menurut penjelasan Ibn Rusyd tidak membawakepada
politeisme atau ateisme, karena qadim dalam pemikiranfilsafat bukan hanya berarti
sesuatu yang tidak diciptakan,tetapi juga berarti sesuatu yang diciptakan dalam
keadaanterus menerus, mulai dari zaman tak bermula di masa lampausampai ke
zaman tak berakhir di masa mendatang. Jadi Tuhanqadim berarti Tuhan tidak
diciptakan, tetapi adalah Pencipta dan alam qadim berarti alam diciptakan dalam
keadaan terusmenerus dari zaman tak bermula ke zaman tak berakhir. Dengan
demikian sungguhpun alam qadim, alam bukan Tuhan, tetapiadalah ciptaan
Tuhan,Bahwa alam yang terus menerus dalam keadaan diciptakan initetap akan ada
dan baqin digambarkan juga oleh al-Qur'an. Ayat47/8 dari surat Ibrahim menyebut:
Janganlah sangka bahwa Allah akan menyalahi janji bagirasul-rasulNya.
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Pemberibalasan di hari bumi ditukar
dengan bumi yang lain dan(demikian pula) langit.
Di hari perhitungan atau pembalasan nanti, tegasnya di harikiamat,
Tuhan akan menukar bumi ini dengan bumi yang lain dandemikian pula langit
sekarang akan ditukar dengan langit yanglain. Konsep ini mengandung arti bahwa
pada hari kiamat bumidan langit sekarang akan hancur susunannya dan menjadi
materiasal api, udara, air dan tanah kembali; dari keempat unsur iniTuhan akan
menciptakan bumi dan langit yang lain lagi. Bumi dan langit ini akan hancur pula,
dan dari materi asalnya akandiciptakan pula bumi dan langit yang lain dan
demikianlahseterusnya tanpa kesudahan. Jadi pengertian qadim sebagaisesuatu
yang berada dalam kejadian terus menerus adalah sesuaidengan kandungan al-Qur'an.
Dengan demikian al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat
untukmengkafirkan filsuf dalam filsafat mereka tentang qadimnyaalam. Kedua-
duanya, kata Ibn Rusyd, yaitu pihak al-Farabi danpihak al-Ghazali sama-sama
memberi tafsiran masing-masingtentang ayat-ayat al-Qur'an mengenai penciptaan
alam. Yang
bertentangan bukanlah pendapat filsuf dengan al-Qur'an, tetapipendapat filsuf dengan
pendapat al-Ghazali.
2. Pengetahuan Tuhan
Dalam masalah pengetahuan Tuhan, al-Ghazali menuduh para filosof
berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil, kecuali dengan cara
yang kulliyat (umum, universal). Ibnu Rusyd menjawab tuduhan al-Ghazali ini telah
salah paham terhadap pendapat filosof. Ibnu Rusyd meluruskan, pendapat filosof
adalah bahwa pengetahuan Tuhan tentang rincian (juziyyat) berbeda dengan
pengetahuan manusia.
Mengenai masalah kedua, Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di
alam, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa para filosof takpernah mengatakan demikian.
Menurut mereka Tuhan mengetahuiperinciannya; yang mereka persoalkan ialah
bagaimana Tuhanmengetahui perincian itu. Perincian berbentuk materi danmateri
dapat ditangkap pancaindra, sedang Tuhan bersifatimmateri dan tak mempunyai
pancaindra.
Pengetahuan manusia adalah mengambil bentuk efek, yaitu melalui yang
ditangkapnya oleh panca indera, sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab
bagi terwujudnya rincian tersebut. Karena itu, pengetahuan manusia bersifat baharu
dan pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yaitu semenjak azalinya. Tuhan mengetahui
segala hal yang terjadi di alam ini. Namun begitu, pengetahuan Tuhan tidak dapat
diberi sifat-sifat kulliyat atau juziyyat, karena sifat-sifat yang demikian hanya dapat
dikaitkan kepada makhluk saja. Secara pasti, pengetahuan Tuhan tidak dapat diketahui
kecuali oleh Tuhan sendiri.
3. Kebangkitan Jasmani
Al-Ghazali menjelaskan dalam Tahafut al-Falasifah para filosof mengatakan
bahwa kebangkitan di akhirat nanti adalah bersifat rohani. Maksudnya manusia akan
menerima balasan baik atau buruk adalah rohaninya bukan jasmani, sementara
pandangan al-Ghazali adalah jasmani dan juga rohani.
Dalam hal pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd menulis dalamTahafut al-
Tahafut bahwa filsuf-filsuf Islam tak menyebut halitu. Dalam pada itu ia melihat
adanya pertentangan dalamucapan-ucapan al-Ghazali. Di dalam Tahajut al-Falasifah
iamenulis bahwa dalam Islam tidak ada orang yang berpendapatadanya
pembangkitan rohani saja, tetapi di dalam buku lain iamengatakan, menurut kaum
sufi, yang ada nanti ialahpembangkitan rohani dan pembangkitan jasmani tidak
ada.
Dengan demikian al-Ghazali juga tak mempunyai argumen kuatuntuk
mengkafirkan kaum filsuf dalam pemikiran tentang tidaktahunya Tuhan tentang
perincian di alam dan tidak adanyapembangkitan jasmani. Ini bukanlah
pendapat filsuf, dankelihatannya adalah kesimpulan yang ditarik al-Ghazali
darifilsafat mereka.
Menanggapi masalah di atas, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa kebangkitan
rohani berdasarkan pendapat para filosof merupakan tawil (interpretasi) yang tidak
perlu dipermasalahkan karena yang terpenting bahwa para filosof juga meyakini
adanya hari kebangkitan dan tidak mengingkarinya. Pengingkaran terhadap hari
kebangkitan yang dapat dikategorikan kafir, bukan pada eksistensi kebangkitannya.
Rusyd dalam hal ini cendrung berpendapat bahwa kemungkinan rohani saja, namun
ada kemungkinan juga beserta jasmani, tetapi bukan lagi jasmani duniawi yang telah
fana, tetapi jasmani lain.
tSementara baik para filosof maupun sufi sepakat bahwa puncak kebahagiaan
adalah pada rohaninya dan bukan pada materinya. Meskipun demikian, Ibnu Rusyd
sendiri tidak menolak kemungkinan adanya kebangkitan jasmani juga, karena tidak
ada yang tidak mungkin dilakukan oleh Allah SWT. Bagi orang awam (khatabi,
jadali) yang masih berfikir sederhana dan belum mampu menangkap pesan-pesan al-
Quran secara abstrak, penggambaran jasmani adalah untuk memotivasi mereka agar
melakukan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan jahat.
7.4 GERAKAN AVERROISME DI EROPA
Averroisme merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan penafsiran filsafat
Aristoteles yang dikembangkan Ibnu Rusyd oleh pemikir-pemikir Barat-Latin, atau juga
disebut gerakan intelektual yang berkembang di Barat pada abad ke 13-17.
Kontak Eropa dengan pemikiran Ibnu Rusyd bermula dari sikap pemerintah al-
Muwahhidun setelah kematian Abu Yacub tahun 1184 M, seterusnya digantikan oleh
putranya Abu Yusuf al-Mansur. Ia terpengaruh oleh fitnah orang yang tidak suka kepada Ibnu
Rusyd, sehingga beliau ditangkap dan disingkirkan ke Lucena di selatan Cardova. Pemerintah
juga memerintahkan untuk membakar semua karyanya dan sekaligus melarang membaca
karya-karyanya. Beberapa pengikut setia dari muridnya seperti Maimunides, Joseph
Benjehovah, bangsa Yahudi ini menyambut Rusyd dengan rasa kecintaan di Lucena. Di sini
Ibnu Rusyd melanjutkan pekerjaannya mengajar dan mengarang, umumnya murid beliau
adalah bangsa Yahudi.
Pemikirannya terus berkembang di Eropa dengan diterjemahnya buku-buku Rusyd
dari bahasa Arab ke bahasa latin dan Ibrani, selanjutnya menggoncangkan sosio-religius yang
selama ini telah merantai akal mereka dengan kebijakan gereja.
Pengaruh Ibnu Rusyd ini semakin menunjukkan bentuknya dengan munculnya
gerakan Averroisme di Barat yang mencoba mengembangkan gagasan-gagasan Ibnu Rusyd
yang rasional dan ilmiyah. Pada mulanya istilah ini dimaksudkan sebagai bentuk penghinaan
terhadap pendukungnya. Tidak seorang pun yang berani dengan tegas menyatakan dirinya
sebagai pendukung Averroisme. Barulah setelah masa Johannes Jandun (1328) yang pertama
kali menegaskan dirinya secara terbuka sebagai pengikut Averroisme dan diikuti oleh Urban
dari Bologna (1334) serta Paul dari Venesia (1429), para pendukung pemikiran Ibnu Rusyd
lainnya mulai berani secara terang-terangan menyatakan pendirian mereka.
Gerakan Averroisme yang ditandai oleh semangat rasional inilah yang yang
melahirkan renaisans di Eropa, artinya kebangkitan Eropa dalam bidang ilmu pengetahuan
warisan Yunani dan Romawi yang pernah padam. Sekaligus melepaskan keterikatan dengan
gereja sebagai agama mayoritas Eropa. Era renaisans Eropa muncul pada abad ke-14 hingga
sekitar pertengahan abad ke-17.
Inti renaisans adalah mengangkat kembali kedaulatan manusia yang telah dirampas
oleh Dewa dan motologi dalam waktu yang berabad-abad lamanya. Kehidupan berpusat pada
manusia bukan pada Tuhan. Tokoh-tokoh Averroisme meyakini kebenaran pandangan Ibnu
Rusyd tentang keharmonisan antara akal dan wahyu, filsafat dan agama, menimbulkan
kesadaran bagi mereka untuk mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan sebagai warisan dari
peradaban Yunani dan Islam

C. PARA FILSUF MUSLIM DAN PEMIKIRANNYA


1. Al-Kindi (185-260 H/ 801-873 M)
a) Biografinya
Nama lengkapnya Abu Yusuf Bin Ishak. Anak seorang gubernur Kufah dan
mempunyai keturunan langsung kepada Yaqub bin Qathan nenek pertama suku
Arabia selatan. Beliau digelar dengan filosof Arab, karena beliaulah satu-satunya
filosof muslim yang berasal dari keturunan Arab. Al-kindi lahir tahun 185 H/ 801 M
dan wafat tahun 260 H bertepatan dengan tahun 873 M. Al-Kindi hidup dalam
kecermelangan dunia islam fase dinasti Abbasiah.

b) Karya-Karyanya
Al-Kindi merupakan filsuf yang produktif, terbukti dengan banyaknya karya beliau.
Paling tidak terdapat 270 buah karya Al-Kindi yang dikelompokkan kepada 17
kelompok, yaitu mengenai filsafat, logika, ilmu hitung, globular, music, astronomi,
geometri, sperikal, mesid, astrologi, dialektika, psikologi, politik, meteorology,
dimensi, benda-benda pertama, dan spesis tertentu logam dan kimia.

c) Pemikirannya
Al-kindi merumuskan pemikiran kefilsafatan. Disini hanya dibatasi pada dua kajian
terpenting yaitu:
1) Hubungan Agama dan Filsafat
Problem pertama yang dihadapi para filsuf muslim ialah bagaimana memadukan
kebenaran agama yang bersumber dari kitab suci dengan kebenaran filsafat yang
bersumber dari manusia yang sebagian ajarannya dipandang bertentangan dengan
ajaran agama islam. Untuk menghindari pertentangan ini Al-Kindi mengadakan
pemaduan (talfiq) yang dimulai dari memposisikan pengertian filsafat. Menurut Al-
Kindi filsafat adalah ilmu tentang segala sesuatu, yang dipelajari orang menurut
kadar kemampuannya. Oleh karena filsafat berbicara tentang Tuhan, dan agama
berasal dari Tuhan, maka diantara agama dan filsafat tidak terdapat pertentangan.
Menurut Al-Kindi, keselarasan agama dengan filsafat didasarkan pada tiga alasan,
yaitu ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, kebenaran wahyu yang diturunkan
kepada nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian, dan menuntut ilmu, secara
logika, dianjurkan oleh agama.

2) Kajian Ketuhanan (Metafisika)


Pemikiran al-Kindi tentang ketuhanan termaktub dalam karyanya yang berjudul fi
falsafahal-ula. Dalam karyanya ini dia mengatakan: Allah adalah wujud yang haqq,
yang tidak ada ketiadaan selama-lamanya yang senantiasa dan akan selalu demikian
wujudnya secara abadi. Keberadaan zat tuhan itu bersifat esa dalam bilangan dan juga
esa dalam zat.
Untuk membuktikan adanya Tuhan, al-kindi menggunakan tiga argument (dalil):
a) Barunya alam
Dalil ini berpijak pada sebab. Alam ini ada sebab yang mendahuluinya dan berarti ada
permulaan, karena itu ia baharu.
b) Keseragaman dan kesatuan
Dalil ini berpijak pada kenyataan bahwa alam empiris tidak terlepas dari adanya
keseragaman yang bersumber dari kesatuan, atau sebaliknya. Adanya dua lingkaran
tersebut tentu bermula dari suatu pengatur yaitu Tuhan.
c) Pengendalian
Suatu dalil yang didasarkan pada keteraturan alam tentu tidak terlepas dari adanya
pengatur dan pengendali dari keteraturan alam, yaitu Tuhan.
2. Al-Farabi (258-339 H/ 870-950 M)
a). Biografinya
Nama lengkapnya Abu nasr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan. Lahir di
Wasji, distrik farab, Turkestan dari seorang ayah Persia dan ibu Turki. Sebagai anak
pejabat dia memperoleh didikan berbagai disiplin ilmu, yaitu bahasa, sastra, logika,
filsafat kepada guru-guru terkenal, seperti Abu Bakar al-Saraj, Biysh Mattius bin
Yunus, Yuhana ibn Hailam dan lain-lain.

b). Karya-Karyanya
Beliau adalah filsuf besar muslim yang banyak menyusun karya filsafat, bahkan
memadukan beberapa kejanggalan-kejanggalan terutama antara Plato dan Aristoteles.
Pemikiran ini ditulis dalam bukunya yang berjudul Al-Jamu Bayna Rayay Al-
Hakimayn; A Flaton wa Aristo. Karna ulasannya yang mendalam terhadap karya
Aristoteles, dia deberi gelar Aristoteles kedua. Selain karya tersebut, karya penting
lainnya adalah: Arau Ahl Madinah Al-Fadhilah (kajian politik, terutama tentang
konsep Negara ideal), Maqalat Fi Maani Al-Aql (ulasan tentang akal), Al-Ibanah An
Ghardhi Aristo Fi Kitabi Ma Bada- Al-Thabiah (ulasan metafisika aristoteles), Al-
Masail Al-Falsafiyah Wa Ajiwibah Anha (kajian tentang problematika filsafat serta
solusinya).
c). Pemikirannya
Kajian Al-Farabi mencakup beberapa aspek, namun dibatasi pada tiga masalah utama
yaitu:
1. Kesatuan Filsafat
Menurut Al-Farabi, pemikiran para filsuf yunani (khususnya plato dan aristoteles)
pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan yang sistematik, sehingga tidak terdapat
perbedaan diantara kedua tokoh tersebut. Dituangkan dalam karyanya Al-Jamu
Bayna Rayay Al-Kakimayn: A Falton Wa Aristo. Apabila dalam kenyataannya
terdapat pertentangan, hal ini disebabkan oleh tiga hal: definisi filsafat yang dibuat
tidak benar, pandangan orang terhadap pemikiran kedua tokoh itu tidak benar,
pengetahuan kita tentang pertentangan itu tidak benar.
2. Ketuhanan
Al-Farabi mengatakan: Allah adalah wujud yang tidak mempunyai hole (matter,
benda) dan tidak mempunyai form (shurah, bentuk), yang sifatnya asli dan tanpa
permulaan (no beginning) serta selalu ada tiada akhir. Untuk membuktikan
kesempurnaan wujud Tuhan, Al-Farabi membagi wujud menjadi dua tingkatan: wujud
yang ada disebabkan yang lainnya (al-wujudhu bighairihi) seperti cahaya matahari
ada karna ada matahari, manusia ada karena ada yang menciptakan. Wujud yang
engada dengan sendirinya (al-wujudhu binafsihi) yaitu wujud yang tabiatnya
menghendaki wujudnya, bahkan ia menyebabkan adanya wujud lain. Wujud inilah
yang paling sempurna, yang disebut Al-Farabi sebagai wujud Tuhan.
3. Penciptaan alam (Emanasi)
Permasalahan yang muncul di dalam kajian penciptaan alam ialah, apakah alam
muncul langsung dari Tuhan atau tidak, kemudian apakah alam diciptakan dari tiada
atau dari sesuatu yang ada. Menghadapi dua permasalahan ini, Al-Farabi menyatakan
bahwa alam berasal dari Tuhan, namun melalui beberapa tahapan. Karena alam
berasal dari Tuhan, maka alam diciptakan bukan dari tiada, melainkan dari suatu
potensi (esensi) yang sudah ada, langsung dari Tuhan.
4. Negara ideal (Al-Madhinah Al-Fadhilah)
Menurut Al-Farabi, negara sama halnya dengan tubuh manusia yang memiliki kepala,
badan, tangan, kaki, jantung dan lain-lain. Dari semua unsure yang paling penting
adalah kepala yang diibaratkan al-farabi sebagai kepala Negara. Karena itu, Negara
yang ideal adalah yang diperintah oleh kepala Negara yang memiliki aneka
kualifikasi, yaitu: cerdas, memiliki ingatan yang baik, pikiran yang tajam, mencintai
pengetahuan, bersikap moderat, mencintai kejujuran, murah hati, sederhana,
mencintai keadilan, pemberani, sehat jasmani dan pandai bicara.
Semua karakter ini ada pada nabi, anmun karena nabi sudah tiada, posisinya
digantikan oleh filsuf. Oleh karena itu, jabatan kepala Negara ideal harus dipegang
oleh filsuf. Menurut al-farabi, selain Negara ideal, terdapat empat bentuk Negara
lainnya:
a. Negara Jahil: Negara yang masyarakatnya tidak mengetahui keutamaan agama
dan hanya mementingkan kesenangan duniawi dengan mengabaikan keutamaan
ukhrawi.
b. Negara fasik: Negara yang masyarakatnya tidak berupaya mengamalkan ajaran
agama dalam kehidupan walau mengetahuinya.
c. Negara sesat: Negara yang masyarakatnya memiliki keyakinan sesat dengan
berburuk sangka kepada Allah.
d. Negara yang berubah: Negara yang masyarakatnya mengalami perubahan dari
perilaku masyarakat utama kemudian berubah menjadi Negara yang jahil, fasik
dan sesat.

Anda mungkin juga menyukai