Pendahuluan
Secara global perkembangan filsafat islam sejak awal sampai kini dapat
dibagi menjadi lima priode :
1. masa penterjemahan dan perluasan terhadap buku-buku
Yunani. Yang kemudian disertai dengan pemaduan diantara agama dan
filsafat.
IKHWANUS SHAFA
A. Sejarah Ikhwan al-Shafa dan Risalahnya
Ikhwan as-Shafa berarti (Persaudaraan Kemurnian) adalah organisasi rahasia yang
aneh dan misterius yang terdiri dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basrah, Irak-
yang saat itu merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyah-di sekitar abad ke-10 Masehi.
Kelompok yang lahir di Bashrah kira-kira tahun 373H/983M ini, terkenal dengan Risalahnya,
yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem filsafat mereka. Nama lengkap kelompok
ini adalah Ikhwan al-Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna al-Majd. Sebuah
nama yang diusulkan untuk mereka sandang sebagaimana termaktub dalam bab Merpati
Berkalung dan Kalilah wa Dimnah, sebuah buku yang sangat mereka hormati. Ikhwan al-
Shafa berhasil merahasiakan nama mereka secara seksama. Namun Abu Hayyan al-Tauhidi
menyebutkan, sekitar tahun 373H/983M lima orang dari kelompok Ikhwan al-Shafa seperti,
Abu Sulaiman Muhammad bin Masyar al-Busti, yang dikenal dengan al-Muqaddisi, Abu al-
Hasan Ali bin Harun al-Zanjani, Abu Ahmad Muhammad al-Mihrajani, al-Aufi, dan Zaid bin
Rifaah yang terkenal itu.
1. Klasifikasi Ilmu
Ikhwan al-Shafa membagi cabang pengetahuan menjadi tiga kelas utama, yaitu: matematika,
fisika, dan metafisika. Dalam Rasail matematika meliputi: teori tentang bilangan, geometri,
astronomi, geografi, musik, seni teoritis dan praktis, etika, dan logika. Fisika meliputi: materi,
bentuk, gerak, waktu, ruang, langit, generasi, kehancuran, mineral, esensi alam, tumbuhan,
hewan, tubuh manusia, indera, kehidupan dan kematian, mikrikosmos, suka, duka, dan
bahasa. Metafisika dibagi menjadi psiko-rasionalisme dan teologi. Psiko-rasionalisme
meliputi fisika, rasionalistika, wujud, mikrokosmos, jiwa, tahun-tahun raya, cinta,
kebangkitan kembali dan kausalitas. Teologi meliputi keyakinan atau akidah Ikhwan al-
Shafa, persahabatan, keimanan, hukum Allah, kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur
alam, dan magis.
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1. Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang
perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui
hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2. Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3. Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa.
Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru,
yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru
mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan
para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir.
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang yang
belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda
apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki
bekas yang tidak mudah dihilangkan. Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan
terjadi karena pancaindera berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi
dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki
pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara
dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan tersebut bermula dari
jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui
proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara
berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan
inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-
quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi
atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan
(al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah),
bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan al-
Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta
tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato memandang bahwa
manusia memiliki potensi, dengan potensi ini ia belajar, yang dengannya apa yang terdapat
dalam akal itu keluar menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup
bersama alam ide (Tuhan) yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu
menyatu dengan jasad, maka jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak
mengetahui segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan jasad.
Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam
ide.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan
antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap
ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia
juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri
melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan
filsafat. Dalam hal ini Ikhwan al-Shafa mengklasifikasikan ilmu pengetahuan aqliyah kepada
3 (tiga) kategori, yaitu; matematika, fisika, dan metafisika. Ketiga klasifikasi tersebut berada
pada kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan menghantarkan peserta didik
mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis pengetahuan
tersebut dapat diperoleh melalui pancaindera, akal, dan inisiasi. Meskipun ia lebih
menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya
pancaindera dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan.
Oleh karena ini diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.
Bagi Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka itu adalah muallim,
ustadz dan muaddib. Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa
yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai
guru dari segala sesuatu. Guru, ustadz, atau muaddib dalam hal ini berada pada posisi ketiga.
Urutan ini selanjutnya digambarkan sebagai berikut:
1. Al-Abrar dan al-Ruhama, yaitu orang yang memiliki syarat kebersihan dalam
penampilan batinnya dan berada pada usia kira-kira 25 tahun.
2. Al-Ruasa dan al-Malik, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan yang usianya kira-
kira 30 tahun, dan disyaratkan memelihara persaudaraan dan bersikap dermawan.
3. Muluk dan Sulthan, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan dan telah berusia 40
tahun.
4. Tingkatan yang mengajak manusia untuk sampai pada tingkatannya masing-masing,
yaitu berserah dan menerima pembiasaan, menyaksikan kebenaran yang nyata,
kekuatan ini terjadi setelah berusia 50 tahun.
Bagi golongan Ikhwan al-Shafa, filsafat itu bertingkat-tingkat. Pertama-tama cinta kepada
ilmu; kemudian mengetahui hakikat wujud-wujud menurut kesanggupan manusia, dan yang
terakhir ialah berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu.
Filsafat, kebijaksanaan atau kebijakan filosofis, menurut Ikhwan, adalah berperilaku seperti
Tuhan (Godlike) sedapat mungkin. Definisi filsafat secara lebih terincinya, cinta kepada
ilmu pengetahuan disamping pengetahuan mengenai esensi segala wujud, yang diperoleh
sedapat mungkin, ditambah dengan keyakinan dan berperilaku yang selaras dengan
keyakinan itu.
Dalam memandang antara filsafat dan agama, Ikhwan al-Shafa yakin bahwa tak ada
pertentangan serius antara filsafat dan agama. Sebab, sama-sama bertujuan meniru Tuhan
sesuai dengan kemampuan manusia. Peniruan ini, menurut Ikhwan al-Shafa, bisa dicapai
lewat pengetahuan teoritis atau amal kebajikan yang menyucikan individu bersangkutan.
Perbedaan antara filsafat dan agama berada hanya pada tataran yang subsider, yakni
bersangkutan bahasa khusus yang dipakai oleh keduannya.
Bagi Ikhwan al-Shafa, nilai utama filsafat terletak pada upayanya mengungkapkan
pengertian tersembunyi (batin) dari wahyu. Filsafat juga mengajarkan agar manusia
tidak berhenti pada makna eksternal (zhahir) wahyu secara vulgar dan profligate.
Bahkan, filsafat mengajarkan bahwa hakikat kekufuran (kufr), kekeliruan,
kebodohan, dan kebutaan ialah bersikap puas terhadap tafsiran-tafsiran eksternal
yang bertumpu pada kesenagan-kesenangan ragawi dan imbalan-imbalan kasatmata.
Bagi seorang bijak bestari, semua tafsiran itu justru mengisyaratkan kebenaran-
kebenaran spiritual. Dengan demikian, neraka adalah alam fana yang terletak di
bawah bulan, sedangkan surga adalah tempat menetapnya jiwa dan alam raya.
Imam Ghazali (450-505 H/ 1065-1111 M)
Biografi
Nama lengkapnya ialah Abu Hamid Muhammad Ibn Ahmad al-Ghazali Al-Thusi,
lahir di desa Thus Khurasan, Iran tahun 450 H/1056 M. Sejak kecil al-Ghazali
menjadi yatim, sehingga ia dan saudaranya dipelihara oleh seorang sufi, teman
ayahnya. Kondisi ini tidak menyurutkan semangatnya belajar agama. Guru
terpentingnya ialah imam Harmain Al-Juwaini, dalam bidang teologi dan Abu Ali Al-
Fadhl ibn Muhammad ibn Ali al-Farmadzi. (Berkat bimbingan dari gurunya, Imam
Ghazali terus mengadakan kajian keislaman, sehingga ia menguasai dan ahli dalam
semua disiplin Islam. Keahliannya ini menyebabkan ia digelari sebagai Hujjah al-
islam bukti kebenaran Islam) dan Zain al-Din (perhiasan agama). Pada mulanya
beliau adalah seorang teolog (mutakallimin), kemudian tidak puas sebagai teolog
menjadi filsuf. Tidak puas dengan filsuf akhirnya Imam Ghazali beralih menjadi sufi.
Karena menurutnya tasauflah yang memberikan kepuasan bagi manusia dalam kaitan
penemuan kebenaran.
Karya-karyanya
Ihya Ulum al-Din (menghidupkan ilmu-ilmu agama). Buku ini merupakan
magnum opus Imam Ghazali, karena di dalamnya termuat pemikiran yang
komprehensif tentang Islam
Tahafuf al-Falasifah (kerusakan kaum filsuf), berisikan kritik pedas terhadap
filsuf, baik Yunani maupun muslim, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina.penolakan
terhadap filsafat ini dilakukansetelah mengadakan kajian yang mendalam
terhadap filsafat melalui bukunya Maqashid al-Falsafah
Munqiz min al-Dhalal (melepaskan dari kesesatan). Buku ini mengisahkan
proses perkembangan intelektualnya yang kemudian menjadi sufi.
Al-Mustasyfa min al-Aldillah, berisikan kajian mengenai konsep-konsep
Ushul Fiqh
Pemikirannya
Al-Dariah (ateisme), yaitu para filsuf yang mengingkari adanya Tuhan dan
penciptaan alam semesta, karena menurut mereka alam telah terjadi sejak
sedia kala dengan sendirinya, tanpa ada keterlibatan Tuhan.
Al-Thabiiyyah (naturalisme), yaitu filsuf yang mengadakan kajian segala
sesuatu dengan pendekatan fisika, dan hanya mengakui bahwa segala sesuatu
hanyalah sebagai unsure fisika. Sehingga berkesimpulan bahwa jiwa manusia
juga termasuk fisika yang tidak mengalamai kehancuran dengan kehancuran
badan. Akibatnya mereka mengingkari adanya kebangkitan jasmani pada hari
kiamat.
Al-Ilahiyyat (teisme), yaitu fisuf yang dengan kajian filsafat sampai pada
kesimpulan akhir bahwa Tuhan ada di dalam kehidupan manusia. Kelompok
ini muncul dari dua aliran sebelumnya.
2. Epistemologi (Marifah)
Epistemology membicarakan sumber dari ilmu pengetahuan manusia dan
bagaimana cara memperolehnya. Menurut Imam Ghazali, pengetahuan
manusia berasal dari tiga sumber, yaitu:
Akal, yaitu manusia memperoleh pengetahuan dengan
mempergunakan akal pikirannya. Paham semacam ini di Barat
muncul dengan sebutan rasionalisme
Indra, manusia memperoleh pengetahuan dengan mempergunakan
panca indranya. Paham semacam ini muncul dengan sebutan
empirisme
Hati, sebagai pengetahuan yang tertinggi, manusia memperoleh
pengetahuan dengan mempergunakan hati. Hati ibarat cermin yang
mampu menangkap segala citra di dalam Luh Mahfuz, manakala
cermin itu bersih. Oleh karena itu, agar manusia mampu
memperoleh pengetahuan melalui hati, maka hati manusia harus
disucikan terlebih dahulu.
Kedua sumber ini memiliki kaitan yang erat di antara satu dengan yang lain. Menurut
Ibn Thufail, akal berperan sebagai pemberi informasi kebenaran (Ilaman), sedangkan
wahyu sebagai pemberi konfirmasi (tibyanan)
7. IBNU RUSYD
b) Karya-Karyanya
Al-Kindi merupakan filsuf yang produktif, terbukti dengan banyaknya karya beliau.
Paling tidak terdapat 270 buah karya Al-Kindi yang dikelompokkan kepada 17
kelompok, yaitu mengenai filsafat, logika, ilmu hitung, globular, music, astronomi,
geometri, sperikal, mesid, astrologi, dialektika, psikologi, politik, meteorology,
dimensi, benda-benda pertama, dan spesis tertentu logam dan kimia.
c) Pemikirannya
Al-kindi merumuskan pemikiran kefilsafatan. Disini hanya dibatasi pada dua kajian
terpenting yaitu:
1) Hubungan Agama dan Filsafat
Problem pertama yang dihadapi para filsuf muslim ialah bagaimana memadukan
kebenaran agama yang bersumber dari kitab suci dengan kebenaran filsafat yang
bersumber dari manusia yang sebagian ajarannya dipandang bertentangan dengan
ajaran agama islam. Untuk menghindari pertentangan ini Al-Kindi mengadakan
pemaduan (talfiq) yang dimulai dari memposisikan pengertian filsafat. Menurut Al-
Kindi filsafat adalah ilmu tentang segala sesuatu, yang dipelajari orang menurut
kadar kemampuannya. Oleh karena filsafat berbicara tentang Tuhan, dan agama
berasal dari Tuhan, maka diantara agama dan filsafat tidak terdapat pertentangan.
Menurut Al-Kindi, keselarasan agama dengan filsafat didasarkan pada tiga alasan,
yaitu ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, kebenaran wahyu yang diturunkan
kepada nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian, dan menuntut ilmu, secara
logika, dianjurkan oleh agama.
b). Karya-Karyanya
Beliau adalah filsuf besar muslim yang banyak menyusun karya filsafat, bahkan
memadukan beberapa kejanggalan-kejanggalan terutama antara Plato dan Aristoteles.
Pemikiran ini ditulis dalam bukunya yang berjudul Al-Jamu Bayna Rayay Al-
Hakimayn; A Flaton wa Aristo. Karna ulasannya yang mendalam terhadap karya
Aristoteles, dia deberi gelar Aristoteles kedua. Selain karya tersebut, karya penting
lainnya adalah: Arau Ahl Madinah Al-Fadhilah (kajian politik, terutama tentang
konsep Negara ideal), Maqalat Fi Maani Al-Aql (ulasan tentang akal), Al-Ibanah An
Ghardhi Aristo Fi Kitabi Ma Bada- Al-Thabiah (ulasan metafisika aristoteles), Al-
Masail Al-Falsafiyah Wa Ajiwibah Anha (kajian tentang problematika filsafat serta
solusinya).
c). Pemikirannya
Kajian Al-Farabi mencakup beberapa aspek, namun dibatasi pada tiga masalah utama
yaitu:
1. Kesatuan Filsafat
Menurut Al-Farabi, pemikiran para filsuf yunani (khususnya plato dan aristoteles)
pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan yang sistematik, sehingga tidak terdapat
perbedaan diantara kedua tokoh tersebut. Dituangkan dalam karyanya Al-Jamu
Bayna Rayay Al-Kakimayn: A Falton Wa Aristo. Apabila dalam kenyataannya
terdapat pertentangan, hal ini disebabkan oleh tiga hal: definisi filsafat yang dibuat
tidak benar, pandangan orang terhadap pemikiran kedua tokoh itu tidak benar,
pengetahuan kita tentang pertentangan itu tidak benar.
2. Ketuhanan
Al-Farabi mengatakan: Allah adalah wujud yang tidak mempunyai hole (matter,
benda) dan tidak mempunyai form (shurah, bentuk), yang sifatnya asli dan tanpa
permulaan (no beginning) serta selalu ada tiada akhir. Untuk membuktikan
kesempurnaan wujud Tuhan, Al-Farabi membagi wujud menjadi dua tingkatan: wujud
yang ada disebabkan yang lainnya (al-wujudhu bighairihi) seperti cahaya matahari
ada karna ada matahari, manusia ada karena ada yang menciptakan. Wujud yang
engada dengan sendirinya (al-wujudhu binafsihi) yaitu wujud yang tabiatnya
menghendaki wujudnya, bahkan ia menyebabkan adanya wujud lain. Wujud inilah
yang paling sempurna, yang disebut Al-Farabi sebagai wujud Tuhan.
3. Penciptaan alam (Emanasi)
Permasalahan yang muncul di dalam kajian penciptaan alam ialah, apakah alam
muncul langsung dari Tuhan atau tidak, kemudian apakah alam diciptakan dari tiada
atau dari sesuatu yang ada. Menghadapi dua permasalahan ini, Al-Farabi menyatakan
bahwa alam berasal dari Tuhan, namun melalui beberapa tahapan. Karena alam
berasal dari Tuhan, maka alam diciptakan bukan dari tiada, melainkan dari suatu
potensi (esensi) yang sudah ada, langsung dari Tuhan.
4. Negara ideal (Al-Madhinah Al-Fadhilah)
Menurut Al-Farabi, negara sama halnya dengan tubuh manusia yang memiliki kepala,
badan, tangan, kaki, jantung dan lain-lain. Dari semua unsure yang paling penting
adalah kepala yang diibaratkan al-farabi sebagai kepala Negara. Karena itu, Negara
yang ideal adalah yang diperintah oleh kepala Negara yang memiliki aneka
kualifikasi, yaitu: cerdas, memiliki ingatan yang baik, pikiran yang tajam, mencintai
pengetahuan, bersikap moderat, mencintai kejujuran, murah hati, sederhana,
mencintai keadilan, pemberani, sehat jasmani dan pandai bicara.
Semua karakter ini ada pada nabi, anmun karena nabi sudah tiada, posisinya
digantikan oleh filsuf. Oleh karena itu, jabatan kepala Negara ideal harus dipegang
oleh filsuf. Menurut al-farabi, selain Negara ideal, terdapat empat bentuk Negara
lainnya:
a. Negara Jahil: Negara yang masyarakatnya tidak mengetahui keutamaan agama
dan hanya mementingkan kesenangan duniawi dengan mengabaikan keutamaan
ukhrawi.
b. Negara fasik: Negara yang masyarakatnya tidak berupaya mengamalkan ajaran
agama dalam kehidupan walau mengetahuinya.
c. Negara sesat: Negara yang masyarakatnya memiliki keyakinan sesat dengan
berburuk sangka kepada Allah.
d. Negara yang berubah: Negara yang masyarakatnya mengalami perubahan dari
perilaku masyarakat utama kemudian berubah menjadi Negara yang jahil, fasik
dan sesat.