Anda di halaman 1dari 23

KONFLIK AMERIKA SERIKAT IRAN:

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Konflik dan perang telah terjadi di mana-mana di seluruh dunia ini. Bumi yang terkotak-
kotak menjadi 192 negara dengan lebih dari 6 miliar manusia hidup di dalamnya, ternyata
penuh dengan konflik. Dari konflik antarmanusia, antargolongan, antaretnis, hingga
antarnegara. Steven D. Strauss dalam bukunya World Conflicts (Alpha Books, 2002)
menyatakan bahwa dalam setengah abad terakhir, tidak ada dari 192 negara di dunia ini yang
tidak pernah terlibat konflik. Setiap negara pernah mengalami konflik baik dalam negeri
maupun luar negeri, satu kali atau bahkan lebih.

Konsep conflict resolution atau resolusi konflik lahir atas dasar bagaimana manusia sebagai
makhluk yang hidup secara sosial memiliki tuntutan untuk dapat saling menjunjung tinggi
hak asasi manusia. Conflict resolution atau resolusi konflik ini sendiri muncul setelah
bermunculannya konflik, yang berakibat pada terjadinya peperangan, kekerasan dan
berjatuhannya korban. Pada dasarnya, manusia sebagai makhluk sosial berpotensi untuk
berkonflik, karena adanya perbedaan, kompetisi, dan kepentingan dari banyak pihak yang
terlibat.

Resolusi konflik merupakan sebuah terminologi ilmiah yang penekanannya lebih melihat
bahwa perdamaian merupakan suatu proses terbuka dan melakukan pembagian proses
penyelesaian konflik dalam beberapa tahapan yang sesuai dengan dinamika daripada siklus
konflik. Penjabaran tahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan. Pertama,
konflik tidak hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer, namun juga harus
dilihat sebagai sebuah fenomena sosial. Kedua, konflik memiliki suatu siklus hidup yang
tidak berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik yang spesifik sangat tergantung dari
dinamika lingkungan konflik yang spesifik pula. Ketiga, sebab-sebab suatu konflik tidak
dapat direduksi ke dalam suatu variabel tunggal dalam bentuk suatu proposisibivariat
causality. Suatu konflik sosial harus dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena
interaksi bertingkat berbagai faktor. Terakhir, resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara
optimal jika dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang
relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif jika
dikaitkan dengan upaya komprehensif untuk mewujudkan perdamaian yang dapat berjalan
langgeng.

Ketertarikan penulis untuk membahas lebih jauh mengenai manajemen dan resolusi konflik
serta bagaimana contoh kongkrit yang terjadi di dunia nyata, dalam hal ini konflik yang
terjadi antara Amerika Serikat dan Iran, lebih karena konsep manajemen dan resolusi
konflik sendiri merupakan sebuah konsep yang kompleks, dimana isu-isu serta konsep yang
berada di dalamnya menyangkut tidak hanya masalah hukum, tapi juga melibatkan isu-isu
sosial, politik, dan isu-isu lainnya, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa pemahaman konsep
manajemen dan resolusi konflik diperlukan untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah
yang terjadi di dunia yang penuh konflik ini.

Isu-isu mengenai konflik di wilayah Timur Tengah khususnya dalam hal ini adalah konflik
antara Amerika Serikat sebagai great powers pada masa sekarang ini, dan Iran sebagai negara
yang saat ini dianggap menjadi ancaman bagi Amerika Serikat adalah isu yang menjadi
bahasan dalam penulisan ini. Mengenai konflik yang terjadi antara Iran dan Amerika Serikat
ini sebenarnya secara internasional merupakan dampak daripada kengototan Iran dalam
membangun instalasi nuklir, yang menyebabkan negara ini kini hampir bisa dikatakan
terkucil dalam peta politik negara-negara Barat di bawah kepemimpinan Amerika Serikat.
Yang menarik dalam hal ini salah satunya adalah keberanian daripada Iran sebagai negara di
kawasan Timur Tengah yang belakangan iniditengarai sedang melakukan pengayaan uranium
yang memungkinkannya membuat senjata nuklir, di samping penggunaannya untuk fasilitas
sipil. Amerika Serikat sebagai negara superpower yang merasa menjadi negara hegemon dan
bertindak sebagai polisi dunia, merasa terancam dengan keberadaan Iran ini dimana Iran
ternyata memiliki kapabilitas untuk mengembangkan nuklir.

I.2 Tujuan Penulisan

Penulisan karya tulis yang bertemakan konflik Amerika Serikat-Iran ini secara khusus
ditujukan untuk memenuhi tugas yang diberikan sebagai syarat tugas akhir semester pada
perkuliahan Manajemen dan Resolusi Konflik. Selanjutnya secara umum, tujuan dari
penulisan karya tulis ini adalah untuk dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana
manajemen dan resolusi konflik yang dipandang secara teori dan bagaimana aplikasi
manajemen dan resolusi konflik pada konflik yang nyata ada.
Selanjutnya diharapkan juga, melalui karya tulis ini penulis khususnya dapat memahami lebih
mendalam dan meluas tentang konsep serta isu manajemen dan resolusi konflik,sehingga
tidak hanya memahami secara konseptual tetapi juga lebih memahami serta mampu
menganalisis bagaimana isu manajemen dan resolusi konflik diaplikasikan dalam rangka
yang nyata. Selain itu pula, pada umumnya diharapkan pembaca dan pihak-pihak selain
penulis dapat lebih memahami bagaimana manajemen dan resolusi konflik memiliki
keterkaitan dengan konflik, kedaulatan sebuah negara, tindakan kekerasan, serta dapat
memahami konsep-konsep apa saja yang memiliki hubungan dan keterkaitan dengan masalah
manajemen dan resolusi konflik ini serta bagaimana keterlibatan konsep-konsep tersebut
dalam aplikasinya secara nyata.

I. 3 Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah metode eksploratif, dimana
penulis berusaha menggambarkan bagaimana konsep manajemen dan resolusi konflik, apa
saja yang menjadi dasar-dasar dari kemunculan konsep itu sendiri, serta konsep-konsep apa
saja yang berada dalam ruang lingkup manajemen dan resolusi konflik itu sendiri, untuk
selanjutnya menggambarkan pula kondisi nyata dari konsep manajemen dan resolusi konflik
dengan memunculkan dan membahas-bahas isu yang berkaitan, dalam hal ini membahas
tentang konflik khususnya konflik nuklir antara Amerika Serikat dan Iran. Setelah melakukan
penggambaran dan penjelasan tentang hal tersebut, selanjutnya dilakukan analisis terhadap
isu-isu yang ditampilkan lalu menganalisisnya melalui konsep-konsep dan teori-teori yang
ada.
BAB II

PEMBAHASAN

KONFLIK DAN RESOLUSI KONFLIK

Teori Konflik : Penjelasan

Benturan sosial demi benturan sosial berlangsung dengan mengambil bentuk aneka-rupa serta
menyentuh hampir di segala aspek (frame of conflict) kehidupan masyarakat (konflik agraria,
sumberdaya alam, nafkah, ideologi, identitas-kelompok, batas teritorial, dan semacamnya).
Satu hal yang perlu dicatat adalah apapun bentuk benturan yang berlangsung akibat dari
konflik sosial maka akibatnya akan selalu sama yaitu tekanan sosial, kepedihan (bitterness),
disintegrasi sosial yang seringkali juga disertai oleh musnahnya aneka aset-aset material dan
non-material.

Kehancuran aset non-material yang paling kentara ditemukan dalam wujud dekapitalisasi
modal sosial yang ditandai oleh hilangnya trust di antara para-pihak yang bertikai,
rusaknya networking, dan hilangnya compliance pada tata aturan norma dan tatanan
sosial yang selama ini disepakati bersama-sama. Seolah semua yang telah dengan susah
payah dibangun dan ditegakkan oleh masing-masing warga yang bertikai, dengan mudah
diakhiri begitu saja karena konflik sosial.

Pendefinisian teori konflik sendiri dilakukan untuk memberikan batasan ruang lingkup dan
ragam konflik sehingga konflik sebagai fenomena sosial dapat diletakkan dalam perspektif
yang tepat. Tinjauan teori konflik akan mengetengahkan sejumlah pengamatan. Pertama, ada
banyak sekali literatur yang ditulis tentang sifat dan teori konflik, terutama yang berhubungan
dengan peperangan. Kedua, kurangnya kesepakatan atau konsensus antara pandangan
kontemporer dan historis mengenai konflik manusia. Ketiga, di antara literatur yang sangat
erat kaitannya dengan para ahli teori ilmu politik, ada beberapa dikotomi yang mengarah ke
pencarian paradigma yang dominan.

Dikotomi pertama berkenaan dengan sifat konflik. Dougherty dan Pfaltzgraff menjelaskan
masalah tersebut: Para ilmuwan sosial terbagi dalam persoalan apakah konflik sosial harus
dipandang sebagai sesuatu yang rasional, konstruktif, dan berfungsi secara sosial, atau
sesuatu yang irasional, patologis, dan tidak berfungsi secara sosial. Hal ini menimbulkan
akibat-akibat yang penting, terutama untuk resolusi konflik. Juga ada polaritas yang nyata
dalam pendekatan-pendekatan teoritisnya.
Ada dua pendekatan yang berlawanan: pendekatan klasik dan pendekatan
behavioris.Pendekatan klasik memusatkan diri pada analisis tataran makro. Perhatiannya
tertumpu pada analisa interaksi antar kelompok. Kelompok-kelompok ini dapat dibagi ke
dalam berbagai sempalan berdasar, antara lain: nasional, institusional, etnis, kelas, dan
ideologis. Ahli teori klasik menaruh perhatian pada interaksi antar kelompok pada tataran
sadar (conscious level). Sedangkan kaum behavioris memusatkan diri pada tataran mikro,
dengan individu, bukan kelompok, sebagai unit kajiannya. Kaum behavioris mengkaji faktor
ketidaksadaran (the unconscious) untuk memahami faktor-faktor motif yang tak
terungkapkan. Dougherty dan Pfaltzgraff (1981:37) menggambarkan metode-metode
penelitian yang lain: kaum behavioris lebih menyukai mengisolasi sedikit variabel dan
menganalisa banyak kasus untuk menentukan hubungan antar variabel itu. Sebaliknya, kaum
tradisionalis (klasik) lebih sering mengkaji semua variabel yang dianggap dapat berpengaruh
terhadap hasil (outcome) sebuah kasus.

Konflik menyebabkan terjadinya interaksi pada tataran yang lebih serius dari sekedar
kompetisi. Meskipun, sebagaimana yang dinyatakan Schelling, konflik, kompetisi, dan
kerjasama (cooperation) pada dasarnya saling berkaitan, konflik terjadi manakala tujuan,
kebutuhan, dan nilai-nilai kelompok-kelompok yang bersaing bertabrakan dan akibatnya
terjadilah agresi, walaupun belum tentu berbentuk kekerasan.

Manajemen Konflik : Definisi

Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar
dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi
pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi[1] dari pelaku maupun pihak luar
dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak
luar sebagai pihak ketiga, yang diperlukan adalah informasi yang akurat tentang situasi
konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan
terhadap pihak ketiga.

Menurut Ross, manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku
atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang
mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan
mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau
agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam
memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan
oleh pihak ketiga.

Faktor-Faktor Penyebab Konflik

Ada beberapa faktor yang bisa kita analisis sebagai penyebab atau paling tidak pemicu
terjadinya suatu konflik. Pertama, karena ambisi untuk menunjukkan eksistensi dan pamer
kekuatan (power showing).Woodrow Wilson mengatakan pada saat Perang Dunia I bahwa
perang yang dia lakukan bertujuan untuk mengakhiri semua peperangan (war to end all
wars). Sementara George.W Bush mengatakan bahwa perang melawan terorisme adalah
perang untuk menghapuskan kejahatan (wipe out evil).Pada hakikatnya semua ingin
menyalurkan eksistensi diri dan identitas politik di mata dunia internasional. Kemudian
mengklaim bahwa tindakan mereka sendirilah yang benar. Faktor ini juga termasuk faktor
penting penyebab konflik politik (revolusi, kudeta) ataupun fenomenaethnic
cleansing dan genocide yang beberapa dekade ini cukup marak di dunia.

Kedua, konflik dan perang adalah bisnis model baru yang sangat menguntungkan. Cukup
mengagetkan bahwa Amerika sebagai negara yang paling banyak terlibat konflik dan perang,
ternyata juga sebagai penjual senjata paling besar di dunia. Irak sebagai musuh tetap Amerika
dalam beberapa dekade ini mencatatkan diri sebagai negara pengimpor senjata terbesar di
dunia. Tak bisa kita pungkiri bahwa perang adalah merupakan bisnis besar. Selain
keuntungan penjualan senjata, juga kekayaan alam bisa jadi daya tarik lain. Bukan suatu
rahasia lagi bahwa Amerika juga mengagendakan eksplorasi minyak dalam setiap
keterlibatan konflik dengan negara lain, khususnya negara di wilayah Timur Tengah.

Faktor yang ketiga adalah faktor kemiskinan, ketidakadilan, dan gap sosial yang terlalu besar.
Negara miskin lebih besar memiliki peluang konflik dibandingkan negara kaya (dengan
perbandingan tiga banding satu). Sekjen PBB Kofi Annan menambahkan dalam salah satu
pidatonya bahwa selain faktor kemiskinan, adanya ketidakadilan dan gap sosial-ekonomi
yang cukup besar termasuk penyebab konflik yang penting.[2]

Teori Konflik Mikro dan Teori Konflik Makro

Asumsi kaum behavioris yang paling penting adalah keyakinan bahwa akar penyebab perang
itu terletak pada sifat dan perilaku manusia; dan keyakinan bahwa ada hubungan yang erat
antara konflik intrapersonal dan konflik yang merambah tatanan sosial eksternal. Penganut
behavioris berusaha mengukuhkan apakah manusia memiliki karakteristik biologis atau
psikologis yang akan membuat kita melakukan tindakan cenderung ke arah agresi atau
konflik. Mereka juga berusaha menyelidiki hubungan antara individu dan keberadaannya di
lingkungannya. Di antara teori-teori mikro yang paling umum/lazim yang ada adalah:
perilaku hewani (animal behavior), teori agresi bawaan/instinktif (instinct or innate theories
of aggression), teori agresi frustasi, teori pembelajaran social dan teori identitas sosial.

Teori makro memusatkan perhatian pada interaksi kelompok-kelompok, terutama pada


tataran sadar. Para ahli teori politik awal, dari Thucidydes dan Sun Tzu sampai Machiavelli
dan Von Clausewitz, telah memilih satu unsur tertentu sebagai pusat perhatian yaitu
kekuasaan. Memakai dan menjalankan kekuasaan adalah konsep utama teori konflik makro.
Para ahli teori makro sependapat bahwa kekuasaan itu datang dalam berbagai bentuk:
ekonomi, politik, militer, bahkan budaya. Asumsi umum makro, atau teori klasik adalah
bahwa akar konflik berasal dari persaingan kelompok dan pengejaran kekuasaan dan sumber-
sumber. Diantara teori-teori makro yang paling umum yang ada adalah : Teori pencegahan
(detterence theory), Teori pengambilan keputusan (decision making theory), dan Teori
permainan (game theory).

Teori Konflik Fusi merupakan jawaban atas ketidakmampuan teori makro atau teori mikro
saja dalam menjelaskan konflik yang terjadi. Melalui teori konflik fusi ini terlahirlah Teori
Sistem Musuh (Enemy System Theory/EST), Teori Kebutuhan Manusia (Human Needs
Theory/HNT) dan Teori Resolusi Konflik (Conflict Resolution Theory).

Resolusi Konflik

Resolusi konflik merupakan sebuah terminologi ilmiah yang penekanannya lebih melihat
bahwa perdamaian merupakan suatu proses terbuka dan melakukan pembagian proses
penyelesaian konflik dalam beberapa tahapan yang sesuai dengan dinamika siklus konflik.
Penjabaran tahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan. Pertama, konflik tidak
boleh hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer, namun harus dilihat sebagai
suatu fenomena sosial. Kedua, konflik memiliki suatu siklus hidup yang tidak berjalan linear.
Siklus hidup suatu konflik yang spesifik sangat tergantung dari dinamika lingkungan konflik
yang spesifik pula. Ketiga, sebab-sebab suatu konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu
variabel tunggal dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariat.

Profesor Burton melakukan pembedaan antara resolusi konflik, manajemen dan penyelesaian
(settlement). Manajemen menurutnya merupakan sebuah proses dengan kecakapan resolusi
perselisihan alternatif (by alternative dispute resolution skills) dan dapat menampung atau
membatasi konflik; sementara settlement adalah progres dengan proses wewenang dan
hukum (by authoritative and legal processes) dan dapat dipaksakan oleh kelompok elit.

Secara empirik, resolusi konflik dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama masih
didominasi oleh strategi militer yang berupaya untuk mengendalikan kekerasan bersenjata
yang terjadi. Tahap kedua memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk memulai proses re-
integrasi elit politik dari kelompok-kelompok yang bertikai. Tahap ketiga lebih bernuansa
sosial dan berupaya untuk menerapkan problem-solving approach. Tahap terakhir memiliki
nuansa kultural yang kental karena tahap ini bertujuan untuk melakukan perombakan-
perombakan struktur sosial-budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas
perdamaian yang langgeng.

Tahapan Resolusi Konflik

1. Tahap Pertama : Mencari De-eskalasi Konflik

Tahapan pertama, konflik yang terjadi masih diwarnai oleh pertikaian bersenjata yang
memakan korban jiwa sehingga pembawa resolusi konflik berupaya untuk menemukan waktu
yang tepat untuk dapat memulai proses resolusi konflik. Tahapan ini masih berurusan dengan
adanya konflik bersenjata sehingga proses resolusi konflik terpaksa harus bergandengan
tangan dengan orientasi-orientasi militer. Proses resolusi konflik baru dapat dimulai jika
mulai didapat indikasi bahwa pihak-pihak yang bertikai akan menurunkan tingkat eskalasi
konflik.

1. Tahap Kedua : Intervensi Kemanusiaan dan Negosiasi Politik


Setelah de-eskalasi konflik terjadi, maka tahap kedua proses resolusi konflik dapat
dimulai bersamaan dengan penerapan intervensi kemanusiaan untuk meringankan
beban penderitaan korban-korban konflik. Dapat dikatakan bahwa tahap ini kental
dengan orientasi politik yang bertujuan untuk mencari kesepakatan politik (political
settlement) antara aktor-aktor yang berkonflik.

1. Tahap Ketiga : Proses dengan melakukan Pendekatan Problem-solving


Tahapan ketiga dari proses resolusi konflik adalah problem-solving yang memiliki
orientasi sosial. Tahap ini diarahkan menciptakan suatu kondisi yang kondusif bagi
pihak-pihak antagonis untuk melakukan transformasi suatu konflik yang spesifik ke
arah penyelesaian.Transformasi konflik dapat dikatakan berhasil jika dua kelompok
yang bertikai dapat mencapai pemahaman timbal-balik (mutual understanding)
tentang cara untuk mengeskplorasi alternatif-alternatif penyelesaian konflik yang
dapat langsung dikerjakan oleh komunitas.

1. Tahap 4 : Usaha-usaha Yang Diarahkan pada Peace-building


Tahap keempat adalah peace-building yang meliputi tahap transisi, tahap rekonsiliasi
dan tahap konsolidasi. Tahap ini merupakan tahapan terberat dan akan memakan
waktu paling lama karena memiliki orientasi struktural dan kultural.

KONFLIK AMERIKA SERIKAT DAN IRAN

Amerika Serikat

Amerika Serikat (disingkat A.S.) atau United States of America (U.S.A.) adalah
sebuahrepublik federal yang terdiri dari 50 negara bagian. Kecuali Alaska (utara Kanada) &
Hawaii (lautan Pasifik), 48 negara bagian lainnya terletak di Amerika Utara. Dari segi
sejarah, negara ini telah terlibat dalam beberapa perang dunia yang besar, dari Perang
1812menentang Inggris, dan berpakta pula dengan Inggris sewaktu Perang Dunia
I dan Perang Dunia II.[3]

Amerika Serikat dikenal sebagai negara hegemon, superpower yang sering terlibat dalam
berbagai konflik dan peperangan. Pada tahun 1960 Amerika terlibat Perang Dinginmenentang
kekuatan besar yang lain yaitu Soviet serta pengaruh komunisme. Dalam usaha membendung
penularan komunisme di Asia, AS dalam Perang Korea, Vietnam dan terakhir di Afganistan.
Selepas kejatuhan dan perpecahan Soviet, AS bangkit menjadi sebuah kekuatan ekonomi dan
militer yang terkuat di dunia. Sewaktu tahun 1990-an, AS menobatkan dirinya sebagai polisi
dunia dan tentaranya beraksi di Kosovo, Haiti, Somaliadan Liberia, dan Perang
Teluk Pertama terhadap Irak yang menginvasi Kuwait. Selepas serangan teroris pada 11
September 2001 di World Trade Center dan Pentagon, AS melancarkan serangan balasan
terhadap Afganistan dan menjatuhkan negara Taliban di sana dan pada tahun 2003
melancarkan Perang Teluk Kedua terhadap Irak untuk menyingkirkan rezim Saddam Hussein.

Dalam kaitannya berkonflik dengan Iran, terutama yang berkaitan dengan masalah program
nuklir Iran salah satunya adalah kritisi Amerika Serikat dimana Amerika Serikat berfokus
pada kekuatan dan lawan daripada Iran dalam kepemilikan dan kapabilitas senjata nuklir.
Amerika beranggapan bahwa Iran berambisi mempergunakan senjata nuklir untuk
mengganggu perdamaian dan keamanan Amerika Serikat, sekutu dan aliansi Amerika Serikat,
serta stabilitas di wilayah tersebut. Amerika Serikat melihat Iran menunjukantrack
record yang bermasalah tentang kepemilikan nuklir, yang ditunjukan sejarah dimana delapan
belas tahun Iran beberapa kali mencoba menyembunyikan program pengembangan nuklirnya.
Amerika Serikat melihat Iran tidak memberikan tanda-tanda telah membuat keputusan
strategis yang diperlukan untuk meninggalkan apa yang disebut dengan program senjata
nuklir aktif.

Iran

Iran atau Persia adalah sebuah negara Timur Tengah yang terletak di Asia Barat Daya. Iran
adalah salah satu di antara anggota pendiri PBB dan juga epada OKI dan juga GNB. Saat ini
Iran menjadi objek perbincangan banyak kalangan, terutama setelah berkonflik dengan
negara adikuasa, superpower, hegemon Amerika Serikat tentang kepemilikan nuklir.

Inspektur nuklir Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dalam laporan rahasianya
menyatakan bahwa telah menemukan jejak baru plutonium dan uranium yang diperkaya,
keduanya bahan potensial pembuat hulu ledak senjata nuklir di Iran.
Jejak baru itu mereka temukan dalam wadah-wadah di situs penyimpanan sampah nuklir di
Karaj, Iran. Lembaga pemantau nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak dapat
memastikan bahwa program nuklir Iran itu untuk tujuan damai.

Program nuklir Iran sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1959 pada waktu Shah Iran
berkuasa, dengan pembelian reaktor untuk riset dari Amerika Serikat. Setelah revolusi tahun
1979, semua kegiatan nuklir dihentikan dan baru dimulai lagi setelah perang Iran-Irak selesai.
Iran menjadi negara berpihak pada Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) pada tahun 1992.
Namun pada tahun 2003 IAEA dalam laporannya bulan Juni mencatat bahwa Iran tidak
memenuhi kewajibannya sesuai dengan Safeguard Agreements, yaitu mekanisme IAEA untuk
memastikan bahwa bahan nuklir akan dialihkan ke penggunaan untuk membuat senjata
nuklir. Kecurigaan bahwa Iran mulai mengembangkan senjata nuklir makin merebak.

Program Nuklir Iran

Kepemilikan senjata nuklir menempatkan negara pemiliknya pada posisi strategis. Arti
penting senjata nuklir terletak pada daya hancurnya yang dahsyat dan
kemampuannyaberfungsi sebagai sarana pengancam (deterrence). Senjata nuklir
dikembangkan untuk merespons suatu ancaman, meningkatkan kebanggaan nasional, dan
mempertahankan status sebagai negara adidaya.[4] Adalah sifat negara adidaya untuk
mempertahankanstatus quo distribusi kekuasaan global, sehingga munculnya negara nuklir
baru akan disikapi dengan curiga. Dewasa ini ada sejumlah negara pemilik senjata nuklir,
yakni Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, Cina, India, Pakistan, dan Israel. Tampaknya
Iran berkeinginan untuk bergabung dalam the nuclear club ini.

Program nuklir Iran diluncurkan sekitar tahun 1950 dengan bantuan dari Amerika Serikat
sebagai bagian dari program Atoms for Peace. Setelah revolusi Iran pada tahun 1979,
pemerintah Iran secara temporer membubarkan program ini, dan setelah itu kembali
menyegarkannya dengan hanya sedikit bantuan negara-negara Barat daripada bantuan pada
masa sebelum revolusi Iran. Program Iran ini termasuk pengadaan uranium, reaktor nuklir,
dan fasilitas pemrosesan uranian.

Pada tahun 1968, Iran menandatangani Non-Proliferation Treaty atau NPT dan
meratifikasinya pada tahun 1970. Dengan perkembangan badan atom Iran dan NPT, pimpinan
Iran menyetujui rencana pembangunannya, dengan bantuan Amerika Serikat, sebanyak dua
puluh tiga buah stasiun nuklir pada tahun 2000.

Hubungan Amerika Serikat Iran

Hubungan politis yang terjadi antara Amerika Serikat Iran dimulai ketika Syah Persia
(Iran), Nassereddin Shah Qajar, mengirimkan perwakilan Iran (Persia) pertama, Mirza
Abolhasan Shirazi ke Washington D.C pada pertengahan tahun 1800. Pada tahun 1883,
Samuel Benjamin diutus oleh Amerika Serikat sebagai pejabat diplomatik Amerika Serikat
pertama untuk Iran. Perwakilan pertama Iran untuk Amerika Serikat adalah Mirza
Alobohassan Khan Ilchi Kabir.

Hubungan politis antara Amerika Serikat dan Iran sendiri diwarnai dengan beberapa
pembabakan yang terdiri dari politik perminyakan (periode tahun 1950an), pemerintahan
Carter (tahun 1977-1979), revolusi tahun 1979, pemerintahan Ronald Reagan (tahun 1980),
pemerintahan Clinton (1990), pemerintahan Bush yang dibagi menjadi dua fase yang
berlangsung hingga sekarang.

Konflik Amerika Serikat-Iran : Seputar Pengembangan Program Nuklir Iran


Isu senjata nuklir masih jadi isu panas terutama dengan terjadinya konflik antara Iran dan
Amerika Serikat. Iran menegaskan bahwa program pengayaan uranium yang dilakukannya
ditujukan untuk pembangkit listrik, sementara Amerika Serikat bersikeras menuding Iran
tengah berupaya mengembangkan senjata nuklir.

Menurut Amerika Serikat, Iran tidak memiliki kebutuhan mendesak akan sebuah pembangkit
listrik tenaga nuklir. Sebagai negara yang juga ikut menandatangani dan meratifikasi Nuclear
Non-Proliferation Treaty (NPT) atau perjanjian untuk tidak menyebarluaskan senjata nuklir
dan teknologi pembuatannya. Iran sebenarnya memiliki hak yang dijamin oleh perjanjian
tersebut untuk mengembangkan sebuah pengadaan energi dari reaksi nuklir. Namun,
pengadaan energi ini harus berada di bawah pengawasan Badan Tenaga Atom Internasional
(International Atomic Energy Agency, lAEA). Teknologi yang dikembangkan untuk
memperoleh energi demi kepentingan sipil dan militer memang berbeda dan LAEA bertujuan
untuk membatasi program seperti pengayaan Uranium agar tidak mencapai tingkat yang
dapat digunakan untuk pembuatan senjata nuklir.

Sepanjang kepemilikan nuklirnya, Iran dianggap Amerika Serikat melakukan kebohongan


atau sengaja menyembunyikan pengembangan nuklir tersebut. Pada bulan Mei 2003,
Delegasi Iran di Komite Persiapan NPT menyatakan bahwa mereka menganggap bahwa
mendapatkan, mengembangkan dan menggunakan senjata nuklir adalah tidak manusiawi,
tidak bermoral. illegal dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar kami. Senjata nuklir
tidak ada tempat di doktrin pertahanan Iran. Dikatakan bahwa kecurigaan tentang
kerahasiaan di pabrik nuklir di Natanz dan Arak sangat tidak berdasar dan irasional. Pada
tanggal 6 Agustus 2003, Presiden Khatami menyatakan bahwa Iran tidak bisa menggunakan
senjata nuklir karena ajaran-ajaran Islam dan moral. Iran sampai sekarang selalu menegaskan
bahwa Iran berdasarkan pada NPT mempunyai hak untuk menggunakan tenaga nuklir untuk
tujuan damai.

Pandangan pemerintah Amerika Serikat dan beberapa negara utama di Eropa bahwa tujuan
utama Iran bukanlah untuk mengembangkan sumber tenaga listrik, namun lebih kepada
senjata nuklir. Mereka memberikan contoh dengan banyak aktivitas nuklir yang selama dua
dekade terakhir ini merupakan pelanggaran terhadap persyaratan dan kewajiban yang tertera
dalam Non-Proliferation Treaty. Menurut majalah The Economist,bahkan sebelum
pemilihan Presiden Mahmoud Ahmadinejad, Iran melakukan negosiasi dalam ketidakjujuran.
Sepanjang periode ini pemerintah Eropa percaya bahwa, ketidakjujuran ini akan terus
berlangsung dalam penelitian nuklir, yang dapat meningkatkan pengayaan nuklir.

Namun pada tanggal 12 September 2003 Board of Governors IAEA mengeluarkan resolusi
yang menyerukan agar Iran menghentikan semua kegiatan pengayaan uranium (uranium
enrichment) dan pemrosesan ulang. Dari tahun ke tahun berikutnya masalah nuklir dan
kecurigaan terhadap ambisi senjata nuklir Iran makin meningkat. Tuduhan AS mengenai
ambisi nuklir Iran dan tuntutan AS agar Iran menghentikan proses pengkayaan uranium ini
juga meningkatkan ketegangan antara AS dan Iran. Presiden Bush menyatakan bahwa AS
memprioritaskan diplomasi, tetapi opsi penggunaan kekerasan untuk menyerang fasilitas
nuklir Iran tetap terbuka bagi AS. AS tetap menolak untuk bicara langsung dengan Iran
sebagai cara untuk menyelesaikan masalah nuklir Iran.

Oleh karena itu, melalui bantuan tiga Negara Eropa, yaitu Inggris, Prancis dan Jerman (yang
disebut E3) diupayakanlah dialog dengan Iran untuk meminta Iran membekukan kegiatan
pengkayaan uranium. Dan sebagai imbalannya, Iran akan diberikan bahan bakar nuklir.
Upaya E3 tersebut, yang terakhir berlangsung pada tanggal 3 Maret 2006, pada akhirnya
menemui jalan buntu. Khawatir tentang lajunya program nuklir Iran, DK PBB pada tanggal
31 Juli 2006 mengeluarkan resolusi yang meminta agar Iran menghentikan kegiatan
pengkayaan nuklir and pemrosesan kembali. Menghadapi ini Presiden Ahmadinejad
mengatakan bahwa DK PBB tidak punya legitimasi dan keputusannya adalah illegitimate.

Pada tanggal 12 November 2006 juru bicara Kemlu Iran menyatakan bahwa Iran
merencanakan untuk membangun 3,000 centrifuge pengkayaan uranium pada bulan Maret
2007. Pada tanggal 23 Desember 2006 DK PBB kembali mengadopsi resolusi yang lebih
keras lagi dengan resolusi 1734, kali ini dengan suara bulat, yang memuat sanksi berat dan
ekstensif terhadap Iran. Resolusi ini mengenakan sanksi pada Iran dalam kaitan dengan
perdagangan bahan dan teknologi nuklir yang sensitif sebagai upaya menghentikan
pengkayaan uranium yang bisa digunakan untuk membuat bom nuklir. Baru-baru ini
dilaporkan bahwa pada tanggal 26 Januari 2007 yang lalu pejabat-pejabat PBB menyatakan,
bulan Februari Iran akan memulai pembangunan fasilitas pengkayaan uranium di bawah
tanah untuk menghasilkan bahan yang akan dapat dipakai untuk untuk membuat senjata
nuklir. Menghadapi situasi ini EIBaradei sebagai Dirjen IAEA menyerukan suatu peringatan
dalam masalah nuklir ini, yaitu Iran membekukan program nuklirnya, dan untuk sementara
DK PBB untuk sementara menghentikan pelaksanaan sanksi terhadap Iran.
Pada gilirannya ancaman terhadap keamanan dan stabilitas kawasan jelas akan meningkat
pula. Situasi makin memburuk oleh ancaman Israel terhadap Iran bahwa opsi serangan
terhadap instalasi-instalasi nuklir Iran tetap terbuka, dan pengakuan yang seolah-olah tidak
sengaja oleh PM Israel Ehud Olmert bahwa Israel adalah Negara nuklir. Situasi demikian
jelas akan mendorong suatu perlombaan senjata nuklir di kawasan. Keamanan dan stabilitas
kawasan juga akan dapat diperparah dengan kebijakan Pemerintah Bush untuk menyerang
kantor perwakilan Iran di Baghdad dan menangkap diplomat-diplomat Iran dan tekadnya
untuk menangkap apa yang dikatakan sebagai agen-agen Iran di Irak.

Kebijakan AS merupakan langkah provokatif yang dapat mendorong konflik

langsung dengan Iran. Tenggat waktu 60 hari yang ditetapkan oleh resolusi DK PBB 1737
bagi Iran untuk memenuhi tuntutan DK PBB agar Iran menghentikan pengkayaan

uranium akan jatuh pada bulan depan. Jika Iran tidak memenuhi tuntutan ini, besar
kemungkinan DK PBB akan keluar dengan resolusi baru yang akan memperkuat sanksi
terhadap Iran. Pada tahap sekarang ini sulit diharapkan Iran akan memenuhi tuntutan DK
PBB tersebut. Perkembangan ini akan berdampak buruk terhadap keamanan dan stabilitas
kawasan.

Ancaman Amerika Serikat Terhadap Iran

Dua puluh lima tahun setelah pelajar Iran menjadi diplomat untuk Amerika, Iran dan Amerika
Serikat berada pada situasi potensial untuk berkonfrontasi serius dalam permasalahan bom
nuklir. Iran mengatakan bahwa mereka mengembangkan energi nuklir hanya untuk
memenuhi kebutuhan akan tenaga listrik dan memiliki hak untuk memiliki manufaktur tenaga
reaktor. Amerika Serikat telah mewakilkan negosiasi dengan aliansinya yaitu Eropa, yang
telah mengendalikannya secara perlahan namun tidak benar-benar memberhentikan kendali
nuklir Iran. Israel, yang juga menentang reaktor Irak pada tahun 1981 ketika Irak memulai
program serupa, telah mengancam tidak akan menoleransi nuklir Iran, yang juga disampaikan
oleh Presiden Amerika Serikat George W.Bush.

Iran menjadi prioritas utama sebagai bahan pertimbangan untuk sedikitnya tiga buah alasan :

Nuclear Proliferation. Estimasi Amerika Serikat tentang berapa lama waktu yang
dibutuhkan oleh Iran untuk bisa mengembangkan senjata nuklir adalah dalam kisaran waktu
satu sampai empat tahun, dan ini dianggap ancaman paling dekat.
Irak. Iran, yang memiliki batasan wilayah yang saling berbagi dengan Irak, telah menutup
pertalian dengan kelompok Shiite Irak yang dapat menjelaskan masa depan politis Irak.

Terorisme. Iran mendukung Hizbullah dan kelompok anti-Israel lainnya yang telah
melancarkan sejumlah serangan dan pemboman di Israel. Iran juga mengatakan melindungi
anggota jaringan Al-Qaeda yang kabur dari Afghanistan. Menghadapi ini, Iran menginginkan
Amerika Serikat untuk tidak melindungi kelompok oposisi Iran yang berbasis di Irak.

Presiden Amerika Serikat, George W.Bush melakukan penekanan untuk segera memulai
konfrontasi dengan Iran di PBB dengan mendesak International Atomic Energy
Agency(IAEA), pengawas nuklir PBB, untuk mengirimkan kasus Iran ke Dewan Keamanan
PBB meskipun Iran berjanji tidak akan memproduksi bahan bakar nuklir. Dewan Keamanan
dapat menjatuhkan sangsi terhadap Iran. IAEA akan mempertimbangkan isu pada 25
November, dimana Iran telah melakukan pengayaan uranium, bahan bakar nuklir, untuk
beberapa tahun tapi mengancam untuk menggunakannya.

Namun tindakan Dewan Keamanan tidak terlalu berarti. Alternatifnya adalah penggunaan
kekerasan yang belum tentu efektif dan dapat meledak sebelum waktunya. Menghapuskan
program nuklir akan sangat sulit apabila tidak memungkinkan, karena itu berarti
membubarkan fasilitas di Iran dan banyak infrastruktur bawah tanah. Serangan udara dapat
memperlambat progres di Iran, tapi biayanya tentu akan sangat tinggi. Pemerintahan Islam
garis keras di Iran telah memperingati bahwa serangan apapun di Iran akan memprovokasi
respons kekerasan, dan Amerika Serikat akan menghadapi banyak resiko di wilayah tersebut,
dengan pasukannya yang berperang secara meningkat juga di Irak.

Pada masa generasi sebelum krisis sandera pada tahun 1979, Iran dan Amerika Serikat
merupakan sekutu yang dekat. Pada tahun 1953, CIA menggulingkan pemerintah terpilih
yang menasionalisasikan industri minyak, dan memasangkan pimpinan monarki yang pro
terhadap Amerika, Shah Mohammed Reza Pahlevi.

Pernyataan dalam Piagam UNESCO bahwa karena peperangan dimulai dari benak manusia,
maka perdamaian juga harus dibangun dari benak manusia, ingin menegaskan pentingnya
diplomasi melalui dialog dalam menciptakan perdamaian internasional. Merupakan sebuah
keanehan ketika tiga puluh lima Dewan Gubernur IAEA (International of Atomyc Energy
Association) menyerahkan masalah nuklir Iran terhadap Dewan Keamanan PBB, dan sepekan
kemudian Amerika Serikat (AS) mulai menyusun rencana serangan militer untuk
menghancurkan fasilitas nuklir Iran. Padahal IAEA bersepakat untuk menunda sanksi Dewan
Keamanan PBB selama sebulan untuk memberikan kesempatan terhadap diplomasi Rusia.

Tindakan AS ini seakan-akan menegaskan bahwa sanksi militer akan diterapkan di Iran
meskipun masih banyak alternatif sanksi lain yang lebih manusiawi. Indikator bahwa AS
memang memiliki rencana untuk melakukan opsi militer terhadap Iran setidaknya ada dua
alasan mengapa AS bernafsu memulai secara dini opsi militer terhadap Iran, yaitu :Pertama,
AS merasa bahwa diplomasi yang ditawarkan oleh Rusia terhadap Iran tidak akan berhasil.
Selama ini Iran dinilai tidak komunikatif (keras kepala) terhadap AS dan Uni Eropa
mengenai transparansi program nuklirnya. Penolakan Iran untuk memperkaya uraniumnya di
Rusia semakin memperkuat argumen AS bahwa Iran benar-benar mengembangkan nuklirnya
untuk kepentingan militer. Kedua, jika Iran bersepakat dengan usulan Moskow, tetap saja hal
ini tidak menguntungkan bagi AS. Pengayaan uranium Iran di Rusia justru menyulitkan AS
untuk mengontrol program nuklir Iran. Dalam konteks ini, kepercayaan AS terhadap Rusia
lemah. Dalam perang Irak Iran, Rusia adalah sekutu Iran. Hal ini berlawanan dengan AS
yang membantu Irak. Indikasi ini muncul ketika AS menilai Rusia dan Cina cenderung
lamban dalam menentukan sikap terhadap program nuklir Iran.Berdasarkan kedua alasan
tersebut di atas, apapun hasil diplomasi antara Rusia dan Iran, AS akan tetap menuntut untuk
penghapusan program nuklir Iran. Sikap keras Washington dimungkinkan untuk menguatkan
posisi Israel sebagai satu-satunya negara di Timur Tengah yang memiliki persenjataan nuklir.
Dalam jangka panjang, hal ini akan menguatkan hegemoni AS di kawasan tersebut.

Rapor merah PBB dalam menyikapi invasi AS terhadap Irak dan Afganistan seharusnya
menjadi cermin bagi Iran dalam menghadapi arogansi AS pasca 11 September 2001. Rusia
dan Perancis walaupun menolak, namun tidak menggunakan hak vetonya untuk
menghentikan invasi tersebut. Sedangkan Cina memilih abstain. Artinya walaupun negara-
negara tersebut bersebrangan dengan AS namun mereka menyatakannya dengan menahan
diri. Sebagai penyumbang biaya operasional terbesar bagi PBB, AS tidak mendapat sanksi
apapun. Apalagi dalam kasus Iran, AS pernah dikecewakan PBB yang gagal membebaskan
lima puluh tiga warga Amerika yang disandera oleh kaum militan Iran pada tahun 1980.
Walaupun pada waktu itu, pemerintah baru di Iran yang bertanggung jawab atas masalah
tersebut telah terbentuk.

Kemesraan AS dan PBB bukannya tanpa ganjalan. Sejak pertengahan perang dingin,
dominasi AS di PBB mulai mendapat perlawanan dari negara-negara dunia ketiga. Salah satu
kasus yang paling penting adalah penghentian konstribusi AS terhadap anggaran UNESCO
pada tahun 1974. Kondisi ini dipicu oleh resolusi UNESCO yang menghendaki pengeluaran
Israel dari kelompok regional Eropa. Tindakan AS ini dikecam oleh dunia internasional,
bahkan banyak program PBB yang kritis terhadap AS. Sejak saat itu, PBB digunakan oleh
negara-negara dunia ketiga untuk menggalang anti-Amerikanisme global walaupun secara
keseluruhan AS masih dominan.

Vonis IAEA bahwa Iran melanggar NPT (Non Proliferation Nuclear Treaty) patut
disayangkan. Sejak awal diberlakukannya, NPT sebenarnya ambivalen. Sebab negara-negara
yang memiliki senjata nuklir tidak memusnahkan persenjataan nuklirnya. Hal ini justru
memicu perkembangan alamiah militer negara-negara di dunia pada kapasitas senjata nuklir
(balance of power). Jika memang NPT ditujukan untuk perdamaian sejati, seharusnya semua
negara harus memusnahkan senjata nuklir. Selain itu, IAEA dan PBB cenderung tidak
konsisten. Israel dan India yang secara terang-terangan memiliki senjata nuklir cenderung
immune terhadap NPT. Maksudnya adalah tidak ada sikap yang tegas terhadap negara-
negara yang tidak meratifikasi NPT. Hal ini dimungkinkan sebab AS memprioritaskan
determinasi untuk mengembangkan hubungan kooperatif dengan major power di dunia. Oleh
sebab itu dapat dimaklumi jika India cenderung mengamankan posisinya dengan memihak
suara mayoritas dalam kasus nuklir Iran. Inkonsistensi ini menunjukkan bahwa IAEA dan
PBB mulai menjauh dari fungsi idealnya. Dalam kasus ini, IAEA akhirnya hanya menjadi
tangan kanan AS untuk melucuti persenjataan Iran, kemudian Dewan Keamanan PBB yang
menyelesaikannya.

Kuatnya pengaruh AS dan tidak adanya negara penyeimbang dalam kedua organisasi
internasional tersebut mengindikasikan bahwa invasi AS terhadap Iran sangat mungkin
terlaksana. Memang kita juga tidak boleh menafikan bahwa ada kemungkinan rencana
penyerangan tersebut adalah strategi AS untuk menggertak Iran agar lebih melunak dalam
diplomasi dengan AS dan Uni Eropa. Asumsinya adalah AS masih memusatkan perhatiannya
dalam stabilitas keamanan di Irak dan Afganistan. Namun kasus Irak setidaknya menjadi
refleksi empiris bagi Iran bahwa tanpa mandat PBB dan dukungan internasional pun AS tetap
melakukan invasi walaupun senjata pemusnah massal yang dijadikan alasan tidak ditemukan.
Seperti argumentasi kaum fungsionalis: perang merupakan produk sistem internasional yang
diorganisir secara kasar. Kecenderungan AS yang gemar melakukan opsi militer dalam
menyelesaikan konflik internasional telah menempatkan Iran dalam posisi yang tidak
menguntungkan.
Resolusi Dewan Keamanan PBB dan Nuklir Iran

Resolusi 1696. Pada tanggal 31 Juli 2006, Dewan Keamanan PBB memenangkan voting 14-1
untuk mengeluarkan Resolusi 1696 Dewan Keamanan PBB, yang diberikan pada Iran hingga
31 Agustus 2006, untuk memenuhi permintaan IAEA tentang nuklir. Pada tanggal 22 Agustus
2006, Iran memberikan jawaban forman terhadap permintaan yang diajukan pada tanggal 6
Juni dari negara-negara yang dikenal sebagai six powers. Tulisan daripada jawaban Iran tidak
tertutup, namun hal ini dilaporkan tidak meminta untuk melakukan pengayaan uranium,
dengan melakukan negosiasi yang lebih luas dengan pihak Barat.

Resolusi 1737. Dengan dukungan P5+1[5], pimpinan negosiator Uni Eropa Javier Solana
bernegosiasi dengan Iran untuk mencoba mengatur suspensi pengayaan yang temporer. Lalu
diadakan perundingan di Berlin, yang dilakukan pada 28 September 2006 tanpa
menghasilkan kesepakatan. Setelah hampir empat bulan melakukan negosiasi dimana Rusia
dan China berpendapat bahwa diplomasi dengan Iran akan memberikan hasil yang lebih baik
daripada memberikan sangsi, sehingga Dewan Keamanan PBB sepakat untuk mengeluarkan
Resolusi DK PBB 1737.

Resolusi 1747 dan Hasilnya. Resolusi 1737 meminta penghapusan pengayaan pada 21
Februari 2007. Laporan IAEA yang dikirimkan ke negara-negara anggota tetap melakukan
aktivitas pengayaannya. Maka pada 8 Maret 2007, melalui diskusi formal disepakati bahwa
Iran akan dijatuhkan sangsi.

ANALISIS / PEMBAHASAN

Aplikasi Teori Konflik : Konflik Amerika Serikat-Iran

Konflik yang terjadi antara Amerika Serikat dan Iran ini bisa ditinjau dari berbagai sudut teori
konflik. Berdasarkan definisi konflik yang diberikan oleh Simon Fisher bahwa konflik
merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih (individu, kelompok negara) yang memiliki
atau yang merasa memiliki sasaran yang tidak sejalan[6], dapat dilihat pada konflik yang
terjadi antara Amerika Serikat dan Iran bahwa dimana Amerika Serikat mengalami perbedaan
sasaran dan pemikiran yang tidak sejalan. Amerika Serikat sebagai salah satu negara adikuasa
yang merasa memiliki kekuatan untuk menjadi polisi dunia pada saat ini, perlu memperingati
Iran yang dianggap memberikan ancaman dengan menggunakan nuklir (walaupun diklaim
hanya untuk pemenuhan kebutuhan akan energi listrik) kepada dunia.
Sementara itu, definisi konflik dari Andrew Heywood bahwa konflik merupakan kompetisi
antar kekuatan yang berlawanan yang merefleksikan keberagaman pendapat, preferensi,
kebutuhan dan kepentingan, digambarkan dalam konflik Amerika Serikat-Iran bahwa
Amerika Serikat merasa bahwa Iran mulai berani menyaingi negara-negara pemilik nuklir
untuk menunjukan eksistensinya sebagai sebuah negara yang ingin diakui di dunia.
Sementara Amerika Serikat berpendapat bahwa kepemilikan nuklir Iran adalah hal yang
ilegal, Iran berpendapat bahwa kepemilikan nuklir adalah hak sebuah negara.

Berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya konflik yang telah dikemukakan di awal


penulisan, salah satunya konflik Amerika Serikat-Iran memenuhi faktor yang pertama yaitu
konflik disebabkan oleh ambisi untuk menunjukkan eksistensi dan pamer kekuatan
(powershowing). Dalam hal ini menurut analisis dari penulis, Iran berusaha menunjukan
eksistensinya sebagai salah satu negara Timur Tengah yang mampu memiliki teknologi nuklir
dan dikatakan oleh presiden Mahmoud Ahmadinejad bahwa mereka bisa maju tanpa
dukungan Amerika Serikat[7]. Iran menyatakan bahwa pihak yang sudah menciptakan
suasana dan situasi tertentu terhadap Iran sebaiknya mengubah perilaku karena bangsa Iran
tidak akan pernah mengalah kepada tekanan seperti itu. Jika Amerika Serikat mengubah
perilaku dan menghormati hak-hak bangsa lain, maka pastinya situasi akan berubah dan tidak
perlu lagi penengah, meski Iran belum pernah meminta hal itu. Sebagai bangsa yang bebas,
rakyat Iran telah memutuskan membela hak-hak sah mereka dalam memanfaatkan energi
nuklir secara damai.

Menurut kaum tradisionalis, sebuah konflik dianalisis dalam tataran makro yang fokus
perhatiannya tertumpu pada analisis interaksi antarkelompok. Asumsi umum yang dimiliki
oleh kaum tradisionalis adalah bahwa akar konflik berasal dari persaingan kelompok dan
pengejaran kekuasaan dan sumber-sumber.

Berdasarkan perspektif tradisionalis, dalam hal ini menempatkan Iran sebagai sebuah
kelompok atau kubu dan Amerika Serikat di kelompok atau kubu lainnya, melihat bahwa
konflik yang terjadi antara dua kelompok ini disebabkan oleh faktor-faktor seperti perbedaan
kepentingan, pendapat, dan sasaran. Awal tahun 2007 babak baru perseteruan antara Amerika
Serikat (AS) dan Iran dimulai kembali. Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) yang dimotori AS secara aklamasi mulai menerapkan sanksi bagi Iran yang berisi
larangan perdagangan material nuklir. Sanksi tersebut diambil setelah Iran menolak untuk
menghentikan program pengayaan uranium yang dicurigai Barat, khususnya AS, untuk
mengembangkan persenjataan nuklir. Menanggapi sanksi DK PBB tersebut, pemerintah Iran
kembali menyatakan bahwa program nuklirnya hanyalah untuk kepentingan sipil. Lebih
lanjut, Iran kembali mengulangi ancamannya akan menggunakan senjata apa pun untuk
mempertahankan diri, termasuk ekspor minyak, sebagai senjata dalam menghadapi tekanan
internasional terhadap program nuklir Iran.

Resolusi Konflik Amerika Serikat Iran

Berdasarkan tahapan-tahapan resolusi konflik, dapat ditinjau dalam kasus konflik Amerika
Serikat Iran ini bahwa prosesnya memenuhi tahapan-tahapan resolusi konflik. Tahapan-
tahapan tersebut terdiri dari :

Tahap Pertama : Mencari De-eskalasi Konflik

Konflik yang terjadi seputar kepemilikan nuklir yang terjadi antara Amerika Serikat dan Iran
berulang kali mengalami ketegangan dan kembali mencapai de-eskalasi konflik. Seperti
kebijakan Amerika Serikat dalam menangani kasus Iran, yang tetap mengutamakan diplomasi
daripada penggunaan kekerasan, karena setelah dipertimbangkan, penggunaan kekerasan
akan lebih banyak menimbulkan kerugian. Dalam kondisi ini ketidakstabilan ini masih dapat
dikendalikan sehingga yang terjadi hanya bentuk ancaman saja, oleh karena itulah tahapan
kedua yaitu intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik bisa dilakukan.

Tahap Kedua : Intervensi Kemanusiaan dan Negosiasi Politik


Setelah de-eskalasi konflik terjadi, maka tahap kedua proses resolusi konflik dapat dimulai
bersamaan dengan penerapan intervensi kemanusiaan untuk meringankan beban penderitaan
korban-korban konflik. Negosiasi politik dilakukan dengan bantuan pihak luar diluar
Amerika Serikat dan Iran, dalam hal ini negara-negara Eropa, dan juga intervensi Dewan
Keamanan PBB, untuk dapat mencari jalan keluar dari konflik yang terjadi antara Amerika
Serikat dan Iran ini. Dapat dikatakan bahwa tahap ini kental dengan orientasi politik yang
bertujuan untuk mencari kesepakatan politik (political settlement) antara Amerika Serikat dan
Iran.

Tahap Ketiga : Proses dengan melakukan Pendekatan Problem-solving


Tahapan ketiga dari proses resolusi konflik adalah problem-solving yang memiliki orientasi
sosial. Tahap ini diarahkan menciptakan suatu kondisi yang kondusif bagi pihak-pihak
antagonis untuk melakukan transformasi suatu konflik yang spesifik ke arah penyelesaian.
Dalam konflik yang terjadi antara Amerika Serikat-Iran, masih sangat sulit untuk dapat
mencapai tahapan ini, karena masih belum ditemukan kesepakatan yang dapat memenuhi
kepentingan dan harapan kedua belah pihak.

Tahap 4 : Usaha-usaha Yang Diarahkan pada Peace-building


Pada masa sekarang ini, tahapan keempat belum dapat dicapai dalam konflik yang terjadi
antara Amerika Serikat dan Iran.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Conflict resolution atau resolusi konflik lahir atas dasar bagaimana manusia sebagai makhluk
yang hidup secara sosial memiliki tuntutan untuk dapat saling menjunjung tinggi hak asasi
manusia. Conflict resolution atau resolusi konflik ini sendiri muncul setelah bermunculannya
konflik, yang berakibat pada terjadinya peperangan, kekerasan dan berjatuhannya korban.
Pada dasarnya, manusia sebagai makhluk sosial berpotensi untuk berkonflik, karena adanya
perbedaan, kompetisi, dan kepentingan dari banyak pihak yang terlibat.

Resolusi konflik sendiri dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama masih didominasi oleh
strategi militer yang berupaya untuk mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi. Tahap
kedua memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk memulai proses re-integrasi elit politik
dari kelompok-kelompok yang bertikai. Tahap ketiga lebih bernuansa sosial dan berupaya
untuk menerapkan problem-solving approach, sementara tahap terakhir bertujuan untuk
melakukan perombakan-perombakan struktur sosial-budaya yang dapat mengarah kepada
pembentukan komunitas perdamaian yang langgeng.

Dalam mengusahakan penyelesaian atau resolusi konflik yang terjadi antara Amerika Serikat
dan Iran ternyata baru mencapai tahapan negosiasi politik, dimana masih mencari-cari
kesempatan untuk bisa bersepakat tentang hal-hal yang menjadi masalah sehingga terciptanya
konflik tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Alin, Erika. 1994. The United States and the 1958 Lebanon Crisis. Lanham, MD: University Press of
America
Azar, Edward E., and John W. Burton.1986. International Conflict Resolution: Theory and Practice.
Boulder, Co: Rienner.

Bill, James A.1998. The Eagle and the Lion: The Tragedy of American-Iranian Relations.New Haven,
Conn.: Yale University Press

Connaughton, Richard. 2002. Military Intervention and Peacekeeping: The Reality.UK :Ashgate
Publishing

Daniel, Elton L. 2001. The History of Iran. Westport, Conn.: Greenwood Press,.

Jeong, Ho-Won. 1999. Conflict Resolution: Process, Dynamics and Structure. Aldershot, UK:
Ashgate Publishing

Kauppi, Mark V. dan Paul R.Viotti. 1997. International Relations and World Politics : Security,
Economy, Identity. London : Prentice-Hall, Inc.

Rourke, John T.. 2005. International Politics on the World Stage, 10th ed. Boston et al:

McGraw-Hill

Spiegel, Steven. 2004. World Politics in New Era. Belmont: Thomson Wadsworth.

Jurnal :

Bill, James A.1999.Iran and the United States: A Clash of Hegemonies.. Middle East Report, No. 212,

Beeman, William O.2003.Iran and the United States: Postmodern Culture Conflict
inAction.. Anthropological Quarterly 76 no. 4, Fall

Fatemi, Khosrow.1980 .The Iranian Revolution: Its Impact on Economic Relations with the United
States.. International Journal of Middle East Studies, 12 No.3

Zabih, Sepehr.1976.Irans Policy Toward the Persian Gulf.. International Journal ofMiddle East
Studies,

Artikel / Internet :

MacFarquhar, Neil.2003. .After the War: Tehran; Iran Disputes U.S. on Actions in Iraq,.NewYork
Times.

Artikel karya Navastara tentang Manajemen Konflik : Definisi dan Teori Konflik dalamJepits World
Wide Community

Andi Widjajanto. 2004. Empat Tahap Resolusi Konflik. Tempointeraktif.com

http://www.un.org/news/release

www.wordpress.org

[1] Termasuk juga pendekatan yang mengarah pada tingkah laku.

[2] www.un.org
[3] Dikutip dari artikel tentang Amerika Serikat di wikipedia online.

[4] Rourke, John T.. 2005. International Politics on the World Stage, 10th ed. Boston et al: McGraw-
Hill

[5] terdiri atas lima anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Amerika Serikat,
Cina, Inggris, Prancis, dan Rusia dan Jerman

[6] Fisher, R. J. 1997. Interactive Conflict Resolution. Syracuse, NY: Syracuse University Press

[7] Disampaikan langsung oleh Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, dalam wawancara interaktif
dengan media massa Jepang.

Anda mungkin juga menyukai