Jakarta (26/12) – Sebagai orang Indonesia, kita pasti sudah tidak asing lagi dengan bambu.
Tanaman yang biasa digunakan sebagai bahan bakar dan bahan bangunan, khususnya atap
ini ternyata bisa bernilai tinggi di tangan Adang Muhidin. Tidak heran jika Sang kreator alat
musik modern berbahan bambu ini berhasil menjadi salah satu pemenang pada kategori
The Most Social Impact dan menjadi finalis Regional Barat dalam Diplomat Success
Challenge (DSC) 2017 karena keorisinilan idenya yang mampu mengelola sumber daya
sekitar dan memberikan dampak sosial yang tidak kecil kepada masyarakat. Selain berhasil
melahirkan pengusaha muda potensial dari berbagai daerah di Indonesia, DSC 2017 juga
berhasil melahirkan pengusaha muda dari sisi dampak sosial yang diciptakan untuk
masyarakat (kategori social impact) dan ide bisnis yang memiliki peluang besar di masa
depan (kategori potential idea).
Pada awal 2011, Adang Muhidin mendirikan Indonesian Bamboo Community (IBC) yang
memproduksi berbagai alat musik modern dari bambu. Idenya berawal dari keprihatinan
Adang terhadap minimnya pendayagunaan bambu yang keberadaannya begitu melimpah di
Indonesia. Keinginannya menguat saat menonton konser orkestra di televisi tahun 2010. Ia
kemudian mulai berpikir serius menciptakan alat musik dari bambu. Akhirnya, IBC
diresmikan pada 30 April 2011 dan telah berhasil memberikan dampak sosial serta
menumbuhkan kecintaan masyarakat luas tehadap alat musik bambu. IBC merupakan wujud
nyata inovasi modern yang berakar dari sumber daya lokal.
Kreasi pertama Adang Muhidin adalah biola mirip kentongan bersenar yang kemudian
diminati pembeli asal Malaysia senilai Rp 1,5 juta. Berawal dari biola, Adang telah berhasil
mengembangkan berbagai alat musik modern dari bambu. Untuk menjaga mutu alat musik,
IBC konsisten hanya memproduksi masing-masing tiga gitar, bass, biola dan drum setiap
bulannya. Kini, berbagai alat musik bambu ini telah banyak diminati pembeli dari dalam
maupun luar negeri, di antaranya Belgia, Prancis, Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan
snegara lainnya dengan harga yang tidak murah.
“Saya bangga bisa menjadi bagian dari DSC 2017, khususnya kategori social impact. Saya
mendirikan IBC bisa dibilang karena kepekaan sosial, bagaimana membuat bambu yang
keberadaannya merajalela ini bisa bernilai jual tinggi dan banyak diminati. Saya berharap IBC
bisa menginspirasi anak muda Indonesia untuk menciptakan bisnis yang memiliki orientasi
sosial, tidak hanya profit belaka,” tutur Adang Muhidin.
Social Impact adalah kategori baru pada DSC 2017 yang diperuntukkan bagi bisnis yang
sudah berjalan meskipun masih berada dalam tahap awal, original, memiliki visi
pengembangan usaha yang berorientasi sosial dan tidak semata-mata mengedepankan
keuntungan, namun juga nilai kebersamaan dan lokalitas. Selain itu kriteria penilaian lainnya adalah
usaha yang tentunya memberikan dampak positif baik masyarakat, baik yang dilibatkan
dalam rantai produksi, supplier ataupun masyarakat yang lebih luas.
“Adang Muhidin sangat mewakili kategori Social Impact, dimana kategori ini mencari orang-
orang yang tidak hanya piawai berbisnis, tetapi juga mampu memberikan dampak positif
kepada masyarakat luas. Alat musik bambu yang diusungnya memiliki nilai sosial dan nilai
inovasi yang tinggi. Kami berharap ke depannya akan bermunculan lebih banyak lagi bisnis
yang tidak hanya mendulang profit, tetapi juga dampak sosial yang kuat,” jelas Surjanto
Yasaputera, Ketua Dewan Komisioner DSC 2017.
Untuk keterangan lebih lanjut mengenai press release ini, dapat menghubungi:
Wismilak Foundation
(***)