Anda di halaman 1dari 15

Ancaman Non-Militer Terhadap Keamanan Nasional di Papua

Jerry Indrawan
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Paramadina
Email: jerry_indrawan18@yahoo.co.id

Abstrak
Pertahanan negara merupakan salah satu elemen pokok suatu negara karena menyangkut kepentingan
perlindungan warga negara, wilayah, dan sistem politiknya dari ancaman negara lain. Situasi di Papua tidak dapat
dikategorikan sebagai konflik bersenjata, tetapi lebih bisa dikategorikan sebagai kekacauan, ketegangan, atau gangguan
dalam negeri. Ancaman non-militer pada hakikatnya adalah ancaman yang menggunakan faktor-faktor nirmiliter yang
dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan
segenap bangsa. Keinginan masyarakat Papua untuk merdeka lebih disebabkan karena mereka tidak mengalami kesetaraan
dalam hal kesejahteraan dengan propinsi-propinsi lain di Indonesia. Jika tidak ada penanganan yang serius, kondisi ini akan
berkembang menjadi kondisi permanen yang tentunya akan menjadi ancaman besar terhadap keamanan nasional.

Kata Kunci: ancaman non-militer, pertahanan negara, keamanan nasional, dan papua

Abstract
National defense is one of the basic elements of a country because it involves the need to protect citizens, regions
and political systems from the threat of another country. The situation in Papua can not be categorized as an armed
conflict, but rather categorized as chaos, tension, or domestic disturbance. Non-military threats in essence are threats
using non-military factors to endanger state sovereignty, territorial integrity, and safety of the entire nation. Papua’s
desire for independence is mainly because they do not have equality, in terms of the welfare, compared to other provinces
in Indonesia. If there is no serious treatment, this condition will develop into a permanent condition, which would certainly
be a major threat to national security

Keywords: non-military threats, national defense, national security, and papua

Pendahuluan Ancaman non-militer sangat


Selain ancaman militer yang berdimensi sosial budaya karena sifatnya yang
menggunakan kekuatan bersenjata dan internal, atau muncul dari dalam negara.
terorganisasi, dewasa ini, muncul juga Ancaman jenis ini berdimensi sosial budaya
ancaman non-militer. Ancaman non-militer karena didorong oleh isu-isu kemiskinan,
pada hakikatnya adalah ancaman yang kebodohan, keterbelakangan, dan
menggunakan faktor-faktor non-militer yang ketidakadilan. Isu-isu ini sangat terkait dengan
dinilai mempunyai kemampuan yang masalah-masalah sosial budaya.3 Isu-isu
membahayakan kedaulatan negara, keutuhan tersebut kemudian berkembang menjadi titik
wilayah negara, dan keselamatan segenap pangkal timbulnya permasalahan, seperti
bangsa.1 Ancaman non-militer dapat separatisme, terorisme, kekerasan, dan bencana
berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial akibat perbuatan manusia. Permasalahan ini
budaya, teknologi dan informasi, serta lama-lama menjadi “kuman penyakit” yang
2
keselamatan umum. mengancam persatuan dan kesatuan bangsa,

1
Jerry Indrawan. 2015. Studi Strategis dan
Keamanan. Jakarta: Nadi Pustaka. Hal. 69.
2 3
Ibid. Hal. 69. Ibid. Hal. 65.
nasionalisme, patriotisme, dan keamanan mengakui keunikan Papua, saat berdebat
nasional. menentukan status Papua pada sidang
Membahas masalah Papua seperti persiapan kemerdekaan Indonesia, Bung Hatta
tidak ada habis-habisnya di republik ini. bahkan cenderung berpendapat agar rakyat
Penulis melihat bahwa pemekaran Papua yang Papua menentukan sendiri nasibnya.5
eksesif, bukan sebagai solusi, melainkan Sementara itu, Bung Karno lebih menekankan
menunjukkan ketidaksungguhan pemerintah pada aspek strategis-politis. Jika Papua lepas
menuntaskan masalah Papua. Menurut penulis, ke negara lain bisa berdampak kepada
selain menimbulkan kebingungan, pemekaran Indonesia. Lagipula, Papua juga berada di
Papua tergolong tergesa-gesa, serta secara bawah kolonial Belanda dan daerah itu
tidak langsung mencerminkan (Boven-Digul) pernah menjadi tempat
ketidakmampuan Jakarta berdialog dengan pembuangan tokoh-tokoh pergerakan
6
masyarakat Papua dalam menyelesaikan Indonesia. Menurut Soekarno pula, dalam
masalah-masalah yang seharusnya dimasukkan kitab Negarakertagama disebutkan bahwa
dalam bingkai NKRI. Sayangnya, menurut Papua masuk wilayah Majapahit. Pada
penulis pemerintah masih memperlakukan akhirnya, melalui voting, mayoritas pendiri
Papua semata-mata dari sudut ancaman negara memilih Papua untuk bergabung
7
separatisme. Cara pandang yang tak ubahnya dengan Republik Indonesia.
dengan cara pandang di era Orde Baru dulu. Keunikan sejarah Papua lainnya adalah
Problematika Papua dan daerah-daerah saat proses integrasi. Sampai 1963, wilayah itu
konflik lainnya semestinya dilihat dari sudut menjadi sengketa antara Indonesia dan
pandang yang lebih komprehensif, seperti Belanda. Setelah melalui pemerintahan
masalah ketidakadilan sosial, absennya sementara PBB, barulah Indonesia secara de
penghargaan terhadap keunikan sejarah, facto berkuasa atas Papua tahun 1963. Tahun
budaya, ras, lokalitas, dan lain sebagainya. 1969 integrasi Papua diperkuat lewat
Dalam konteks ini, pemekaran wilayah bukan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang
sesuatu yang haram, asalkan ada secara aklamasi menyatakan tergabung dengan
rasionalitasnya, melalui proses dialog yang NKRI. Aklamasi saat Pepera inilah yang
jujur, dan tak melanggar UU yang berlaku. seharusnya menyadarkan kita bahwa
Ditinjau dari segi ras, budaya, dan masyarakat Papua memilih dengan hati mereka
sejarah, masalah Papua memang memiliki untuk bergabung dengan NKRI.
nuansa "berbeda". Papua tak hanya berbeda
dari sudut budaya dan ras dengan Indonesia,
ekonomi, dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Elsam.
tapi juga pengalaman historisnya di bawah Hal. 7
5
penjajahan Belanda.4 Bung Hatta pernah 6
Ibid. Hal. 7.
Ibid. Hal. 7.
7
BIK. Pigay dan Decki Natalis. 2000. Evolusi
4
George Junus Aditjondro. 2000. Cahaya Bintang Nasionalisme dan Sejarah Konflik di Papua.
Kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hal. 191.
Ketika masih menyelesaikan studi di terutama pasca runtuhnya Uni Soviet.
Universitas Pertahanan, Prof. Susanto Zuhdi, Perubahan lingkungan keamanan pasca perang
Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas dingin memiliki enam dimensi.8
Indonesia, yang kebetulan mengajar penulis di Pertama, pergeseran sumber ancaman
sana, pernah berkata: “[..s]eperti layaknya dari lingkungan eksternal menjadi lingkungan
perjalanan sebuah kereta api, penumpangnya domestik. Kedua, perubahan sifat ancaman dari
tidak harus berangkat dari stasiun awal. Ada militer menjadi non-militer. Ketiga, perubahan
yang baru naik pada stasiun-stasiun berikutnya, respon dari militer menjadi non-militer.
dan akhirnya semua sampai bersama-sama ke Keempat, perubahan tanggung jawab
tujuan”. Orang Papua memang tidak dari awal keamanan dari negara menuju kolektif.
kemerdekaan bergabung dengan NKRI, tetapi Kelima, perubahan nilai inti keamanan dari
seiring berjalannya waktu kesamaan tujuan dan negara menjadi individual, dan dari nasional
visi bangsa mereka ternyata sama dengan menjadi keamanan global. Dan keenam,
NKRI, sehingga akhirnya mereka pun secara kebijakan pembangunan instrumen militer
aklamasi menyatakan kesediaannya bergabung menuju pada kebijakan keamanan yang
dengan kita. memfokuskan pada pembangunan manusia
Karena itu, patut disesalkan yang berkelanjutan.
pendekatan monolitik pemerintah terhadap Ancaman terhadap keamanan nasional
Papua selama ini. Dengan latar belakang dapat dipahami atau didefinisikan sebagai
sejarah integrasi yang kontroversial, suatu tindakan atau serangkaian peristiwa yang
seharusnya yang dilakukan Jakarta adalah dapat memberikan ancaman dalam dua dimensi
mengambil hati masyarakat Papua. Pendekatan sekaligus, yaitu secara langsung atau tidak
keamanan seharusnya tidak lagi digunakan, langsung membahayakan kehidupan
sekalipun kerangka penyelesaian masalah di masyarakat; dan untuk membatasi pilihan-
Papua tetap harus dilihat dari sudut pandang pilihan kebijakan pemerintah. Atas dasar itu,
ancaman terhadap keamanan nasional. Dengan analisa ancaman dapat dilakukan melalui dua
bergesernya definisi keamanan dan ancaman metode, yaitu (1) berdasarkan ancaman (threat
militer, tulisan ini akan membahas bagaimana based assessment), atau analisa mengenai
menyelesaikan masalah Papua dengan terlebih kalkulasi ancaman yang dihadapi; dan (2)
dulu melihat masalah ini dari perspektif berdasarkan kapabilitas (capability based
keamanan nasional dan ancaman non-militer. assessment), atau analisa mengenai kalkukasi
kemampuan untuk bisa melakukan suatu
Definisi Ancaman Non-Militer dan tindakan militer.9
Keamanan Nasional Penulis berpendapat bahwa untuk
Seperti yang sudah disebutkan, definisi melihat faktor-faktor yang menjadi ancaman,
ancaman militer dan keamanan sudah jauh
8
Indrawan. Op cit. Hal. 7.
mengalami perkembangan dewasa ini, 9
Ibid. Hal. 11.
resiko, dan bencana terhadap Papua, lebih baik didasarkan pada konsep
dipandang dari sudut pandang keamanan ketahanan nasional (national
nasional. Penulis tidak mengatakan bahwa resilience)
gangguan keamanan yang terjadi di Papua, 2. Cara pandang keamanan yang
yang menggunakan kekuatan senjata, bukan seimbang antara state security
merupakan ancaman bagi keamanan nasional. dan human security
Akan tetapi, penulis akan menitikberatkan 3. Pemahaman bahwa keamanan
kepada ancaman non-militer, di mana nasional bukan tanggung
ditakutkan akan menjadi permanen, serta jawab pemerintah semata,
derajat ancamannya terhadap keamanan tetapi seluruh elemen
nasional akan meningkat di masa depan. masyarakat
Penulis tidak merasa kondisi konflik di Papua 4. Keamanan tidak lagi dipahami
akan mengarah pada terjadinya konflik sebagai penggunaan kekuatan
bersenjata (armed conflict), akan tetapi militer saja
ancaman terkait konteks human security akan 5. Diletakkan dalam hubungan 4
meluas, sehingga bisa memperpanjang pilar dalam mencapai
terjadinya konflik (prolong) kepentingan nasional,
Inilah perspektif baru keamanan development, democracy,
nasional, yakni dalam arti besar mencakup diplomacy, dan defense.
negara bangsa (yang bukan merupakan entitas Development menjadi basis
tunggal) dan masyarakat (publik dan individu). demokrasi. Democracy
Salah satunya adalah human security atau biasa menjamin diperhatikannya
juga dikenal dengan terminologi keamanan kelompok marjinal dalam
insani. Seperti yang dikatakan Vaclav Havel: pembangunan. Ia memberikan
“kedaulatan masyarakat, wilayah, bangsa, kredibilitas dan internal
negara, hanya bermakna jika berasal dari justification diplomasi di luar
kedaulatan sejati, yaitu kedaulatan manusia”.10 negeri. Democracy menjamin
Jadi, keamanan nasional bukan saja harus kontrol dan supremasi sipil
selaras dengan prinsip-prinsip global, tetapi dalam kaitannya dengan
juga antisipatif terhadap dinamika global. defense. Development
Karena itulah, strategi keamanan nasional menjamin peningkatan
harus dibangun berdasarkan prinsip-prinsip di kemampuan militer dan
bawah ini: kesejahteraan prajurit. Defense
yang kuat akan memberikan
1. Pemahaman mengenai
confidence yang cukup dalam
keamanan komprehensif,
praktik diplomacy
10
Ibid. Hal. 7.
6. Faktor pengikat untuk nation masyarakat, politik.14 Dinamika dari masing-
building adalah faktor masing kategori ini ditentukan oleh aktor-aktor
keadilan, bukan hanya sejarah sekuritisasi, yang didefiniskan sebagai aktor-
yang diikat dengan aspirasi aktor yang melakukan sekuritisasi dengan
politik dan bukan kesukuan menyatakan sesuatu dan negara menjadi objek
atau etnisitas. Kesatuan utama yang harus diamankan, yang secara
(uniformity) harus ditolak, nyata terancam.15
persatuan (unity) harus Ancaman terhadap negara inilah yang
11
diperjuangkan dan dibangun. harus diredefinisi, karena di dalam negara
terdapat banyak unsur. Umumnya, ancaman
Dalam studi keamanan kita juga harus
terhadap negara an sich dikategorikan sebagai
mengenal istilah “Sekuritisasi”. Istilah
ancaman militer, misalnya dari negara tetangga
sekuritisasi pertama diciptakan oleh Ole
seperti Malaysia, Australia, atau ancaman
Waever tahun 1995. Konsep sekuritisasi
militer dari China terkait sengketa Laut China
membahas bagaimana sebuah masalah
Selatan yang meluas ke Kepulauan Natuna.
ditransformasikan oleh aktor-aktor sekuritisasi
Akan tetapi, seperti sudah dijelaskan
menjadi sebuah masalah keamanan.
sebelumnya, yang saat ini lebih banyak terjadi
Sekuritisasi adalah versi yang ekstrim dari
adalah ancaman yang sifatnya non-militer, dan
politisasi yang memungkinkan digunakannya
tidak hanya menyasar negara, tetapi juga
cara-cara yang luar biasa atas nama
unsur-unsur di dalamnya. Untuk itu, diperlukan
keamanan.12 Studi sekuritisasi bertujuan untuk
sebuah identifikasi yang jelas dan menyeluruh
memahami “siapa yang melakukan sekuritisasi,
tentang bagaimana perkembangan ancaman
(securitizing actor) terhadap isu atau ancaman
tersebut, kapan, bagaimana dan mengapa suatu
apa, dari siapa, (referent object), mengapa,
tingkat ancaman tertentu dapat berkembang
hasilnya apa dan dalam kondisi apa?13
menjadi lebih besar.
Intepretasi sempit dari keamanan
berfokus pada negara dan pertahanannya dari
Sistem Pertahanan Negara
serangan militer negara lain. Mazhab
Di bagian ini penulis akan
Kopenhagen menekankan bahwa keamanan
menyinggung sedikit tentang hubungan
adalah soal bertahan hidup (survival), karena
ancaman non-militer dan keamanan nasional
itu masalah keamanan sangat terkait dengan
dengan sistem pertahanan negara. Pertahanan
ancaman yang ada (eksis), termasuk masalah-
negara juga merupakan salah satu elemen
masalah non-militer. Mazhab ini memperluas
pokok suatu negara karena menyangkut
konsep keamanan menjadi lima kategori, yaitu
kepentingan untuk melindungi warga negara,
keamanan militer, lingkungan, ekonomi,
wilayah dan sistem politiknya dari ancaman
11
Ibid. Hal. 8.
12 14
Ibid. Hal. 9. Ibid. Hal. 10.
13 15
Ibid. Hal. 9. Ibid. Hal. 10.
negara lain.16 Hal ini sejalan dengan pendapat proses. Hasilnya berupa kebijakan yang dibuat
KJ Holsti, di mana pertahanan adalah berdasarkan aspirasi masyarakat.19
kepentingan nasional yang dinilai sebagai core Menurut Barry Buzan, negara
value atau sesuatu yang dianggap paling vital diidentikkan dengan istilah “pemerintah
bagi negara dan menyangkut eksistensi suatu pusat”.20
Sedangkan menurut Joel Migdal,
17
negara. Penyelenggaraan pertahanan bukan negara adalah sebuah organisasi yang tersusun
merupakan suatu hal yang mudah, melainkan dari beberapa agen-agen, dipimpin dan
suatu hal yang sangat kompleks. Dalam dikoordinasikan oleh kepemimpinan negara
pelaksanaannya, pertahanan nasional (otoritas eksekutif), yang memiliki kemampuan
melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan otoritas untuk membuat dan
ketersediaan ilmu pengetahuan dan teknologi, mengimplementasikan aturan yang mengikat
pemetaan geopolitik nasional, sumber daya untuk semua orang, sejalan juga dengan aturan
alam, sumber daya manusia dan industri yang mengikat untuk organisasi-organisasi
pertahanan nasional. Karena itulah, sistem sosial lainnya, di dalam sebuah wilayah
pertahanan negara dapat membantu tertentu, dan dapat menggunakan kekerasan
menganalisa potensi ancaman non-militer untuk memastikan terselenggaranya aturan
terhadap keamanan nasional di Papua. tersebut.21 Dalam kajian hubungan antar
Sebelumnya akan dijelaskan, apakah bangsa, negara dianalogikan sebagai sebuah
yang dimaksud dengan sistem dan apa organisme yang dapat tumbuh dan berkembang
hubungannya dengan negara dan ancaman? atau justru malah mati. Untuk dapat tetap
Sistem adalah kumpulan dari komponen- hidup maka negara harus bisa bertahan dalam
komponen yang berinteraksi satu dengan yang mengatasi setiap kesulitan seperti ancaman
lainnya demi tujuan dan maksud yang sama.18 terhadap eksistensinya, hambatan dalam
Teori analisa sistem dari ilmuwan politik pemenuhan kebutuhan, tantangan dalam
Amerika Serikat David Easton menunjukkan penyelesaian masalah dan gangguan yang
pola serupa. Ada proses input, proses, dan datang dari berbagai sektor
output. Dari sudut pandang politik, proses ini Kembali ke teori Easton, sistem
dimulai dari penangkapan aspirasi masyarakat tingkah laku politik merupakan suatu unit
(input) yang diolah dan dikonversikan dalam tersendiri dan akan terus bekerja karena secara
lembaga konversi yang disebut eksekutif, konstan mendapat banyak input (tuntutan dan
legislatif dan yudikatif, sehingga disebut dukungan). Sistem sebagai sebuah konsep

19
Ibid. Hal. 37.
20
Barry Buzan. 1991. People States and Fear. An
16
KJ. Holsti. 1981. International Politics: A Agenda for International Security Studies in the
Framework of Analysis. New Delhi: Prentice Hall. Post Cold War Era. Hertfordshire: Harvester
Hal. 200. Wheatsheaf. Hal. 59.
17 21
Ibid. Hal. 200. Joel S. Migdal. 1988. Strong Societies and Week
18
Roy C. Macridis dan Bernard E. Brown. 1996. States: State-society Relations and State
Perbandingan Politik. Jakarta: PT. Erlangga. Hal. Capabilities in the Third World. New Jersey:
36 Princeton University Press. Hal. 19.
ekologis menunjukkan adanya suatu organisasi keutuhan NKRI dan ancaman pertahanan
yang berinteraksi dengan suatu lingkungan, negara. Dalam konteks Papua, mereka
yang dipengaruhinya maupun menuntut rasa aman. Dan tuntutan mereka,
mempengaruhinya.22 Faktor lingkungan sangat secara tidak langsung, dapat mengancam
determinan dalam proses politik, serta output pertahanan negara karena banyaknya tindakan-
23
yang dihasilkannya. tindakan melawan hukum, seperti tindakan
Menurut Undang-Undang No. 3 tahun separatisme yang digaungkan oleh Organisasi
2002 tentang Pertahanan Negara, sistem Papua Merdeka (OPM).
pertahanan negara adalah sistem pertahanan Sistem pertahanan negara
yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh membutuhkan sumber daya nasional yang
warga negara, wilayah dan sumber daya mumpuni dan paham spektrum ancaman di era
nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini modern ini. Untuk itu, penguatan sistem
oleh pemerintah dan diselenggarakan secara pertahanan negara dapat membantu
total, terpadu, terarah dan berlanjut untuk menetralisir ancaman militer, dan tentunya
menegakkan kedaulatan negara, keutuhan ancaman non-militer, terkait keamanan
wilayah dan keselamatan segenap bangsa dari nasional di Papua. Sederhananya, jika proses
segala ancaman. Keterlibatan warga negara, input dari masyarakat Papua direspon dengan
wilayah dan sumber daya nasional lainnya, positif oleh pemerintah pusat, maka output
menurut model sistem pertahanan negara yang yang menjadi keluarannya pun akan menjadi
dibuat oleh mantan Rektor Universitas positif. Papua tidak akan meminta
Pertahanan Indonesia Syarifudin Tippe, adalah kemerdekaan karena kepentingannya
input dalam keseluruhan proses pertahanan terakomodasi. Otomatis, ancaman terhadap
negara. keamanan nasional pun berkurang.
Penulis berpandangan bahwa, input Penyelenggaraan sistem pertahanan
tersebut belum diolah dan masih bersifat baku negara tidak hanya dimaksudkan untuk
dan mentah. Konsepsi warga negara, wilayah menghadapi ancaman militer, tetapi juga
dan sumber daya nasional lainnya belum ancaman non-militer yang berasal dari dalam.
diproses menjadi output yang keluarannya Demi menjaga keutuhan NKRI, maka
adalah kedaulatan, keutuhan dan keselamatan pendekatan-pendekatan yang bersifat
bangsa dan NKRI. Karena itulah, input terdiri kesejahteraan layak dikedepankan dalam
dari tuntutan rasa aman, tuntutan keselamatan diskursus ini. Soal-soal kesetaraan, pemenuhan
bangsa, tuntutan integritas, kedaulatan, hak asasi manusia, mutual agreement dan
dialog menjadi garda terdepan yang harus
22
Mochtar Mas’hoed dan Colin MacAndrews.
2001. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: dilakukan. Kesadaran akan potensi integratif
Gadjah Mada University Press. Hal. 24-25. tersebut semestinya menjadi kewajiban
23
Lebih lengkapnya bisa lihat, Ikuo Kabashima dan
Lynn T. White III (ed). 1986. Political System and pemerintah memupuk secara intens semangat
Change. New Jersey: Princeton University Press.
Hal. 23-40.
integrasi di atas logika nasionalisme sipil yang
mengandaikan demokrasi, kesetaraan, keadilan Criminal Tribunal for the former Yugoslavia),
sosial dan kesejahteraan bersama, pluralisme maka situasi di Papua tidak termasuk armed
dan penghargaan terhadap HAM. conflict. Kalau kita bicara OPM, penulis rasa
mereka baru bisa dikatakan sebagai kelompok
Ancaman terhadap Keamanan Nasional di bersenjata yang terorganisir jika kelompok
Papua tersebut telah mempunyai susunan organisasi
Pasca runtuhnya Uni Soviet dan yang menunjukkan siapa yang merupakan
masuknya dunia ke era teknologi informasi, pimpinan tertinggi sampai dengan terendah,
pergeseran paradigma keamanan dari state serta mempunyai aturan disiplin yang mengikat
centered menjadi people centered (human bagi anggotanya. Hal ini karena sampai hari ini
security) membuat community participation tidak ada korelasi yang kuat antara pihak-pihak
menjadi tidak terpisahkan dari konsep yang ingin merdeka di Papua dengan OPM
keamanan nasional, maupun perumusan aturan secara organisasi. Mereka berjuang terpisah-
24
yang terkait. Terlebih lagi ketika arus pisah, dengan tidak selalu membawa bendera
globalisasi berhasil mengangkat nilai-nilai OPM. Kondisi yang sangat berbeda dengan
demokrasi dan penghormatan hak asasi Aceh, di mana perjuangannya selalu berada di
manusia ke segala pelosok dunia, muncul bawah komando GAM, dengan struktur
kesadaran bahwa masyarakat atau warga organisasi yang jelas.
negara bukan semata-mata hanya menjadi Ukuran terorganisirnya suatu
objek, tetapi juga subjek tatanan kehidupan organisasi militer dilihat dari rantai komando
nasional. Keamanan adalah barang publik dan aturan disiplin yang berlaku secara internal
(milik masyarakat) sehingga harus dapat di dalam organisasi militer yang bersangkutan.
dinikmati oleh seluruh masyarakat.25 Meskipun pengorganisasian dan ketentuan
Menurut penulis, situasi di Papua tidak disiplin internal tersebut tidak harus ketat
dapat dikategorikan sebagai konflik bersenjata seperti suatu organisasi militer dari angkatan
(armed conflict). Papua lebih dikategorikan bersenjata reguler, namun setidaknya
sebagai kekacauan dan ketegangan, atau menunjukkan adanya suatu rantai komando di
gangguan dalam negeri (internal disturbances dalam organisasi kelompok bersenjata tersebut,
and tension). Sejauh pengetahuan penulis, yang memungkinkan pimpinan tertinggi
dengan menggunakan pengertian atau batasan melakukan komando dan kontrol atau
armed conflict sebagaimana dirumuskan dalam merencanakan suatu operasi militer yang
kasus Dusko Tadic di ICTY (International terencana. Apabila suatu kelompok bersenjata
melakukan operasi atau aksi-aksinya tanpa
24
Lebih jelasnya lihat di Bambang Heru Sukmadi. didasarkan kepada suatu rencana yang
2010. Keamanan Nasional: Sebuah Konsep dan dikoordinasikan oleh pimpinan tinggi, maka
Sistem Keamanan bagi Bangsa Indonesia. Jakarta:
Sekretariat Jenderal Dewan Pertahanan Nasional. tindakan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
Hal. 28.
25
Ibid. Hal. 28.
suatu operasi militer, tetapi merupakan suatu
tindakan kekerasan menggunakan senjata yang diantaranya yang merupakan konflik
26
dilakukan oleh kelompok bersenjata. antarnegara. Konflik-konflik lokal, komunal,
Di era perang dingin (cold war) dan horisontal, dll terbukti menjadi ancaman non-
sesudahnya, pendekatan keamanan dari sisi militer bagi keamanan nasional yang harus
ilmu militer (military science) dirasakan segera ditangani.
kurang dapat menyelesaikan segenap potensi Kembali ke masalah Papua, keinginan
ancaman yang timbul. Bagi setiap negara masyarakat Papua untuk merdeka lebih
khususnya Indonesia, hadirnya aktor non-state disebabkan karena mereka tidak mengalami
dalam bentuk kelompok (network) nonregular kesetaraan dalam hal kesejahteraan dengan
militaries (seperti OPM contohnya) propinsi-propinsi lain di Indonesia. Fakta
menjadikan spektrum ancaman semakin berbicara bahwa pemerintah pusat
kompleks. Keamanan nasional bukan lagi mengalokasikan triliunan rupiah untuk dana
sekedar kondisi di mana ancaman dapat diatasi, alokasi Papua. Ini pun belum termasuk dana
tetapi juga harus mampu bertahan dalam skala tambahan yang jumlahnya ditetapkan DPR atas
nasional, situasi regional, bahkan global. usulan dari gubernur. Ditambah dengan dana
Maka, lahirlah istilah spesifik seperti Otonomi Khusus (Otsus) yang setiap lima
pengaturan keamanan/ketahanan (defence tahun mencapai kurang lebih 30 triliun,
management), ketahanan ekonomi (defence harusnya pembangunan Papua sudah sangat
economics), ketahanan finansial (defence terjamin. Akan tetapi, dana sebesar itu tidak
finance), ketahanan energi (energy security), sampai kepada yang membutuhkan. Terlalu
ketahanan informasi (cyber security) dan banyak permasalahan dari sisi birokrasi di
ketahanan terhadap bencana alam (disaster Papua yang menyebabkan alokasi sumber daya
management), serta conflict resolution. menjadi tidak setara. Barry Buzan secara
Ahli-ahli studi perdamaian mulai sederhana mengatakan, bahwa untuk mengerti
menjawab permasalahan-permasalahan, seperti keamanan nasional selalu dibutuhkan
kejahatan genosida (pasca PD II), perlombaan interdependence antar semua stake holders
senjata antara blok barat dan timur, perang agar kesemuanya merasa aman (secure).27
sipil, konflik ras, agama, sosial, sampai isu Interdependence dibutuhkan agar alokasi
terorisme pada era itu. Intra-state conflicts sumber daya menjadi setara. Sayangnya, hal
(konflik internal dalam sebuah negara) macam itu tidak terlihat di bumi Papua.
ini membuat ancaman nyata terhadap sistem Penulis berpendapat bahwa kondisi
pertahanan sebuah negara, apalagi ketika inter- seperti inilah yang akan melahirkan kondisi
state conflict (konflik antarnegara) semakin
jarang terjadi pasca PD II. Dari tahun 1990 26
Malvern Lumsden dan Rebecca Wolfe. 1996.
sampai 1994 terjadi sekitar 49 konflik Evolution of a Problem Solving Workshop: An
Introduction to Social-Psychological Approaches to
bersenjata di dunia dan 25 diantaranya Conflict Resolution, Journal of Peace Psychology.
Hal. 1
menyebabkan korban tewas dan sangat sedikit 27
Buzan. Op cit. Hal. 2.
instabilitas di Papua. Jika tidak ada stabilitas keamanan di Papua dalam jangka
penanganan yang serius, kondisi ini akan panjang, karena secara tidak langsung
berkembang menjadi kondisi permanen, yang “menyerang” urat nadi kehidupan masyarakat
tentunya akan menjadi ancaman besar terhadap di Papua. Bayangkan tanpa sumber daya alam
keamanan nasional. Contohnya, watak yang mencukupi, maka terjadilah ketimpangan
kekerasan yang melekat dan berkembang, ekonomi yang meluas, yang sulit diatasi tanpa
seperti api dalam sekam yang berdimensi suku, masyarakat yang masih mempertahankan
agama, ras dan antargolongan, pada dasarnya identitas kulturalnya. Identitas kultural orang
timbul akibat watak kekerasan yang sudah Papua perlahan tergerus oleh individualisme
melekat. Kondisi ini sudah barang tentu personal yang bersaing memperebutkan
menjadi ancaman terhadap socio-political sumber daya.
stability, yang diwujudkan pada adanya Akhirnya, penulis berkesimpulan
keinginan untuk merdeka atau secessionist bahwa faktor-faktor tersebut berproses secara
movement. meluas, serta menghasilkan efek domino
Watak kekerasan itu pula yang sehingga dapat melemahkan kualitas bangsa
mendorong tindakan kejahatan termasuk Indonesia secara keseluruhan. Apalagi konflik
perusakan lingkungan dan bencana buatan berdimensi vertikal antara pemerintah pusat
manusia. Ancaman terhadap ecological dan daerah, seperti penyeragaman identitas
balance, seperti ekspolitasi sumber daya alam, budaya dan pemerintahan lokal, serta
menjadi kepedulian kita bersama untuk diatasi. pendekatan keamanan represif yang sering
Bersamaan dengan itu banyaknya sengketa diterapkan pemerintah pusat, merupakan
antarwilayah di Papua, yang melibatkan suku- ancaman besar terhadap cultural cohesiveness
suku lokal juga mengancam territorial Papua, dan tentunya external peace and
integrity Papua. Belum lagi ketimpangan harmony Indonesia secara umum. Jadi sekali
ekonomi antara orang Papua asli dengan lagi, ancaman terhadap keamanan nasional di
pendatang, yang sering mengakibatkan konflik Papua sebenarnya bukanlah konflik bersenjata
antar mereka. Tentunya kondisi ini sangat (militer), tetapi memang ancaman non-militer.
berpengaruh terhadap economic sustainability Bicara keinginan Papua untuk
mereka. merdeka, gagasan John Herz tentang “security
Exploitation of natural resources, dilemma” juga bisa kita kaji dalam konteks
economic disparity, dan homogenization of disintegrasi seperti ini. Herz mengatakan, aktor
cultural identity and local government menjadi internasional dalam upaya memenuhi
faktor-faktor ancaman non-militer yang sudah kebutuhannya (termasuk keamanannya)
dan akan terus terjadi di Papua jika kita tidak terkadang bersingguhan satu sama lain. Hal ini
berbuat sesuatu terhadapnya. Tiga faktor di membuat semuanya merasa terancam dan
atas yang bisa kita kategorisasikan masuk bersikap defensif (tidak terbuka) antar satu
dalam proses sekuritisasi ini mengancam
sama lain.28 Papua merasa bahwa mereka harus interrelationship dan defense cooperation
29
melakukan all means untuk mendapatkan patutlah didukung.
kesejahteraan, akan tetapi langkah-langkah itu Menurut Pervaiz Iqbal Cheema, CBM
bersingguhan dengan aturan yang berlaku di dapat meningkatkan kesepakatan umum
Republik Indonesia. Persingguhan- antarnegara yang kemungkinan berkembang
persingguhan macam ini memang umumnya menjadi perjanjian formal antar negara-negara
terjadi dalam konteks Internasional tersebut. Bahkan, CBM dapat
(antarnegara), akan tetapi berkembangnya diimplementasikan dalam beberapa kategori,
ancaman-ancaman internal membuat konsep seperti konsultasi, batas-batas, transparansi,
“security dilemma” menjadi relevan dikaitkan keamanan dan tindakan-tindakan preventif,
dengan masalah Papua. dll.30 Dengan ini, negara menyadari potensi
Dalam konteks internasional, mereka, serta pentingnya mengadakan
Confidence Building Measures (CBM) menjadi kerjasama dengan negara-negara lain. Bagi
salah satu upaya positif mengatasi “security Indonesia, kerjasama yang kuat dengan negara
dilemma”. Mutual agreement dan defense lain akan memperkokoh kedaulatan dan
cooperation menjadi dua kata kunci yang bisa keutuhan NKRI.31
kita kembangkan di sini. Dalam hal defense Bicara kedaulatan dan keutuhan NKRI,
cooperation antara Indonesia dengan negara penulis merasa perlu menerapkan konsep yang
lain (lingkungan), perlu juga kita amati mirip dengan CBM dalam konteks nasional.
persoalan Confidence Building Measures Konsep integrasi dengan perlakuan yang adil
(CBM). Menurut Dipankar Banerjee, bagi masyarakat Papua perlu dikedepankan.
keberadaan CBM dipertanyakan di dunia Ketika ada mutual agreement dalam konteks
internasional. Hal ini karena implementasinya CBM, perlu juga dibuat semacam kesepakatan
sangat bergantung pada realitas politik dan dalam konteks nasional agar semangat
tingkat hubungan antarnegara. Mereka akan integrasilah yang muncul di Papua,
bekerja sama apabila ada keinginan dan dibandingkan dengan disintegrasi. Integrasi
kepentingan untuk itu. CBM bisa dipahami akan memunculkan potensi-potensi lokal
juga sebagai langkah-langkah menghindari Papua sehingga koheren dengan semangat
konflik (conflict avoidance measures), kebangsaan.
walaupun masih sangat tergantung political Kesadaran akan potensi integratif
will dari negara-negara yang terkait. Akan tersebut semestinya menjadi kewajiban
tetapi, jika katakanlah ada saja sedikit pemerintah memupuk secara intens semangat
keinginan untuk menghindari perang, maka integrasi di atas logika nasionalisme sipil
keberadaan CBM dalam konteks
29
Dipankar Banerjee (ed). 1999. Confidence
Building Measures in South Asia. Colombo:
28
John H. Herz. 1959. International Politics in the Regional Centre for Strategic Studies. Hal. 1.
30
Atomic Age. New York: Columbia University Ibid. Hal. 31.
31
Press. Hal. 231. Ibid. Hal. 31.
(memakai istilah Jack Snyder) yang melahirkan "negara dalam negara", hal itu juga
mengandaikan demokrasi, kesetaraan, keadilan tak harus dengan menunjukkan sikap
sosial dan kesejahteraan bersama, pluralisme kecurigaan yang berlebihan. Pembangunan
dan penghargaan terhadap HAM. Dalam kebijakan yang berskala nasional, seperti UU
konsep sistem pertahanan semesta, sistem Otsus tersebut, harus memiliki paradigma
pertahanan negara kita adalah dengan pendekatan keamanan yang berorientasi pada
melibatkan warga negara dalam upaya-upaya kesejahteraan (people centered). Dalam
pertahanan negara. Dalam pemahaman penulis, perspektif politik multikultural, kenyataan itu
dialog adalah elemen penting jika kita ingin tak menjadi masalah. Wilayah yang terbentang
mencegah ancaman disintegrasi Papua. dari Sabang hingga Merauke ini adalah sebuah
Pendekatan-pendekatan yang sifatnya bangsa besar yang terdiri dari "bangsa-bangsa"
kesejahteraan layak dikedepankan dalam yang lebih kecil. "Bangsa-bangsa" di sini tentu
diskursus ini. Soal-soal kesetaraan, pemenuhan merujuk kepada pengertian kesatuan identitas,
hak asasi manusia, mutual agreement dan ras, bahasa ibu dan sebagainya. Dalam konteks
dialog menjadi garda terdepan dalam upaya- negara multi-bangsa, tak ada alasan logis buat
upaya menyelesaikan masalah-masalah di Papua untuk memisahkan diri dari NKRI.
Papua. Ancaman terhadap keamanan nasional di
Oleh karena itu, setiap negara Papua seharusnya dapat diatasi dengan
cenderung memperkuat kemampuan respon meningkatkan partisipasi masyarakat Papua itu
non-militer masing-masing tanpa sendiri.
meninggalkan kemungkinan dilakukannya Undang-undang yang dibuat pusat bagi
respon militer. Untuk menghadapi ancaman Papua tidak boleh lagi dirumuskan sekedar
yang tingkat kompleksitasnya semakin tinggi, oleh perwakilan pemerintah pusat dengan elit-
dengan sendirinya negara dituntut untuk elit Papua semata. Seperti analogi kredo
mampu melakukan respon yang komprehensif pertahanan negara (sesuai UU Pertahanan
dan terpadu antara respon militer dan non- Negara), yang melibatkan partisipasi warga
militer secara efektif, baik dalam tataran negara, maka setiap manusia Papua harus turut
32
global, regional dan tentunya domestik. serta melibatkan dirinya sendiri dalam
Kalau kebijakan Otonomi Khusus pembahasannya. Karena pertahanan negara
(otsus) dianggap "berlebihan" (eksesif), hal itu merupakan salah satu elemen pokok suatu
bisa didialogkan dengan jujur dan damai, negara, dan menyangkut kepentingan untuk
bukan dengan "mengangkangi" aturan tersebut melindungi warga negara, wilayah dan sistem
tanpa alasan yang jelas. Kalau Undang-Undang politiknya, maka keterlibatan segenap unsur
No 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua masyarakat sangat diharapkan.
dianggap menafikan NKRI dan bakal Paradigma pembuatan undang-undang
kita harus bergeser dari pasif, menjadi aktif.
32
Sukmadi. Op cit. Hal. 32.
Selama ini undang-undang (aturan) dibuat
terlebih dulu oleh elit, lalu kemudian setelah pendekatan-pendekatan yang sifatnya
jadi disosialisasikan kepada masyarakat (pasif). kesejahteraan layak dikedepankan dalam
Penulis berpendapat, proses sosialisasi itu diskursus ini. Soal-soal kesetaraan, pemenuhan
harus dilakukan di awal agar masyarakat hak asasi manusia, mutual agreement dan
paham dan mengerti benar roh dan semangat dialog menjadi garda terdepan yang harus
dari undang-undang yang akan diusulkan itu. dilakukan. Dialog tidak akan mengambil
Termasuk juga mereka merasa aman (secure) nyawa siapapun, malah akan bermuara pada
karena terlibat dalam prosesnya. Ketika kesejahteraan. Dialog hanya menakutkan bagi
masyarakat Papua secara kultural dan mereka yang selama ini mengambil
sosiologis dapat menerimanya, maka tingkat keuntungan dari kekacauan, kekerasan,
kepatuhannya pun akan semakin tinggi. ketidakjelasan dan status quo. Mereka yang
Seperti teori Easton di atas, input harus diawali anti dialog adalah orang-orang yang
dari masyarakat, bukan sebaliknya. menjadikan kekerasan dan ketidakadilan
sebagai sumber mata pencaharian dan
Kesimpulan kekuasaan yang biasanya mengatasnamakan
Ancaman non-militer adalah ancaman bangsa dan negara, atau mengatasnamakan
yang menggunakan faktor-faktor non-militer, rakyat Papua, bahkan mengatasnamakan suku
yang dinilai mempunyai kemampuan yang atau agama.
membahayakan kedaulatan negara, keutuhan Pembangunan kebijakan yang berskala
wilayah negara dan keselamatan segenap nasional, seperti UU Otsus, harus memiliki
bangsa. Ancaman non-militer dapat berdimensi paradigma pendekatan keamanan yang
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, berorientasi pada kesejahteraan (people
teknologi dan informasi serta keselamatan centered). Dalam perspektif politik
umum. Ancaman non-militer sangat multikultural, kenyataan itu tak masalah.
berdimensi sosial budaya karena sifatnya yang Wilayah yang terbentang dari Sabang hingga
internal, alias muncul dari dalam negara. Merauke ini adalah sebuah bangsa besar yang
Ancaman non-militer didorong oleh isu-isu terdiri dari "bangsa-bangsa" yang lebih kecil.
kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan "Bangsa-bangsa" di sini tentu merujuk kepada
ketidakadilan. Isu tersebut menjadi titik pengertian kesatuan identitas, ras, bahasa ibu
pangkal timbulnya permasalahan, seperti dan sebagainya. Dalam konteks negara multi-
separatisme, terorisme, kekerasan dan bencana bangsa, tak ada alasan logis buat Papua untuk
akibat perbuatan manusia. memisahkan diri dari NKRI. Ancaman
Penyelenggaraan sistem pertahanan terhadap keamanan nasional di Papua
negara tidak hanya dimaksudkan untuk seharusnya dapat diatasi dengan meningkatkan
menghadapi ancaman militer, tetapi juga partisipasi masyarakat Papua itu sendiri.
ancaman non-militer yang berasal dari dalam. Penulis merasa usulan rekomendasi
Demi menjaga keutuhan NKRI, maka kebijakan yang pas untuk Papua harus
diletakkan dalam kerangka kedaulatan dan kebangsaan. Hasilnya, undang-undang tadi
keutuhan NKRI. Konsep integrasi dengan bukan sekedar macan kertas yang mengikat
perlakuan yang adil bagi masyarakat Papua secara hukum, tapi juga dipatuhi secara sosial
perlu dikedepankan. Ketika ada mutual maupun budaya. Sederhananya, jika proses
agreement dalam konteks undang-undang yang input dari masyarakat Papua direspon dengan
dibuat pemerintah pusat bagi Papua, perlu juga positif oleh pemerintah pusat, maka output
dibuat semacam kesepakatan dalam konteks yang menjadi keluarannya pun akan menjadi
lokal agar semangat integrasilah yang muncul positif. Papua tidak akan meminta
di Papua, daripada disintegrasi. Integrasi akan kemerdekaan karena kepentingannya
memunculkan potensi-potensi lokal Papua terakomodasi. Otomatis, ancaman terhadap
sehingga koheren dengan semangat keamanan nasional pun berkurang.

DAFTAR PUSTAKA Lumsden, Malvern dan Rebecca Wolfe. 1996.


Evolution of a Problem Solving Workshop:
Aditjondro, George Junus. 2000. Cahaya An Introduction to Social-Psychological
Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian Approaches to Conflict Resolution, Journal
Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan Hak Asasi of Peace Psychology.
Manusia. Jakarta: Elsam. Macridis, Roy C. dan Bernard E. Brown. 1996.
Banerjee, Dipankar (ed). 1999. Confidence Perbandingan Politik. Jakarta: PT.
Building Measures in South Asia. Colombo: Erlangga.
Regional Centre for Strategic Studies. Mas’oed, Mochtar dan Colin MacAndrews.
Buzan, Barry. 1991. People States and Fear. An 2001. Perbandingan Sistem Politik.
Agenda for International Security Studies Yogyakarta: Gadjah Mada University
in the Post Cold War Era. Hertfordshire: Press.
Harvester Wheatsheaf. Migdal, Joel S. 1988. Strong Societies and
Herz, John H. 1959. International Politics in Week States: State-society Relations and
the Atomic Age. New York: Columbia State Capabilities in the Third World. New
University Press. Jersey: Princeton University Press.
Holsti, KJ. 1981. International Politics: A Pigay, BIK. dan Decki Natalis. 2000. Evolusi
Framework of Analysis. New Delhi: Nasionalisme dan Sejarah Konflik di
Prentice Hall. Papua. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Indrawan, Jerry. 2015. Studi Strategis dan Sukmadi, Bambang Heru. 2010. Keamanan
Keamanan. Jakarta: Nadi Pustaka. Nasional: Sebuah Konsep dan Sistem
Kabashima, Ikuo dan Lynn T. White III (ed). Keamanan bagi Bangsa Indonesia. Jakarta:
1986. Political System and Change. New Sekretariat Jenderal Dewan Pertahanan
Jersey: Princeton University Press. Nasional.

Anda mungkin juga menyukai