Anda di halaman 1dari 13

BROMO ADVENTURE

Butir-butir pasir yang keperakan itu membumbung tinggi, diterpa laju roda-roda kendaraan kami
yang terseok-seok kala melintasinya. Matahari yang sudah cukup tinggi, setidaknya mampu
menormalkan kulit kami yang memucat diterpa udara dingin Tengger sedari malam tadi, yang
kala ini tengah berjuang melintasi tebalnya hamparan pasir dan debu.
Dan gunung itu berdiri kokoh disana, menggoda kami untuk segera menaklukkannya. Cendawan
raksasa itu, Bromo, memang adalah alasan kami rela berpayah-payah membelah padang pasir
sembari menahan dingin yang menggigit kulit ini. Kami ber-empat belas, dengan mengendarai
tujuh motor yang semuanya Matic.
Dan jelas, itu bukanlah pilihan kendaraan yang tepat.
Acuk, yang berboncengan dengan marten di depan sana, terlihat menghentikan motornya dan
melambaikan tangannya pada kami semua. Nampak Honda Beat yang dikendarai mereka telah
lusuh berbalut pasir. Dan mungkin, Yamaha Mio-ku juga tak jauh beda.
istirahat dulu, katanya singkat. Dan kulihat, roda motornya telah terbenam pasir setidaknya
lima senti dalamnya.
wow, ekstreeeem!!! seru viktor sembari membuka kaca helmnya, setelah ia menghentikan
motornya di samping motorku.
Dan Yuyun, yang diboncengnya, menampakkan ekspresi yang seperti baru saja selamat dari
terkaman macan.
gilaaa. Timpal Ernest yang menepi beberapa detik kemudian. curam banget, yang
barusan itu!
Aku mengangguk, membenarkan.

Kami sebelumnya bertolak dari Penanjakan, sebuah tempat di kawasan Bromo yang biasanya
dipakai sebagai tempat untuk menyaksikan matahari terbit. Dan kini, kami sedang meniti
perjalanan menuju kawah. Bukan perjalanan yang mudah memang, apalagi dengan hanya
menunggangi empat Beat dan tiga Mio. Kami harus menuruni bukit dengan jalan curam dan
berbatu, hingga beberapa kali hampir tergelincir. Di beberapa turunan curam, kami harus
menurunkan penumpang atau bahkan menuntun motor kami daripada mengambil resiko
terjungkal. Dan setelah itu pun, kami masih harus melalui hamparan padang pasir yang luas.

Dan disini, kami berdecak kagum sendiri kala memandang ke arah bukit di belakang kami, ke
tempat yang kami yakini adalah Penanjakan. Itu kami kenali dari beberapa Tower yang berdiri
tegak disana. Ada rasa kepuasan tersendiri, kala menengok kembali jalan-jalan yang telah kami
tempuh. Kami tadi bediri di sana, dimana kami dapat melihat dengan jelas hamparan pasir serta
puncak-puncak yang tertancap kokoh di atasnya. Kawah Bromo, gunung Batok, hingga puncak
Semeru di kejauhan sana. Dan setelah kami ada di tengah padang pasir ini, kami makin
menyadari betapa tingginya tempat kami tadi berpijak dan betapa panjangnya jalur yang telah
dan yang masih akan kami tempuh.
Lelah? Pasti. Namun, rasanya semua terbayarkan, bila kau melihat sambutan dari langit biru
yang terhampar tanpa cacat, bila kau mendengar melodi angin berpadu mesra bersama desir
pasir, yang menemanimu menjelajahi kecantikan perawan alam ini.

Kini semua motor telah terparkir bergerombol pada hamparan pasir antara kawah dan
penanjakan, mungkin saja tepat di tengah-tengahnya. Dan kami, berdiri sejenak meresapi tiap-
tiap suara alam yang tertangkap, merasakan kembali tiap-tiap hela nafas kami, serta kulit kami
yang sebelumnya hampir-hampir tak dapat merasa.
dari sini kita kemana? tanya Friska, dan semua kepala jadi menoleh ke arahku. Aku secara tak
resmi menjadi pemandu disini.
Aku mengangkat bahu.
kesana, mungkin? kataku sembari menunjuk ke kejauhan sana, pada titik mungil yang kalau
aku tak keliru, itu adalah sebuah Pura.

*******************
Kemarin malam, 14 Juli 2012, pukul 22.00 WIB
Kelap-kelip lampu jalanan menjelma bagai ribuan manik-manik yang bertabur di sepanjang
jalan, menggantikan butir-butir mutiara langit yang masih nyaman bersembunyi dalam selimut
gelap. Cukup terang, untuk membimbing hasrat jiwa-jiwa petualang kami.

Kami beriringan melintasi lenggang malam, hendak merealisasikan petualangan yang telah lama
kami rencanakan. Sederhana, kami ingin menyaksikan matahari terbit dari puncak Bromo. Dan
malam ini, adalah malam yang kami sepakati sebagai waktu perealisasian tersebut.

Kira-kira ada tiga jalur yang bisa ditempuh untuk mencapai puncak setinggi dua ribu tiga ratus-
an meter diatas permukaan laut tersebut. Pertama, dari arah utara yaitu melalui kabupaten
Probolinggo. Ini adalah jalur utama, dan merupakan jalur yang paling mudah dilalui. Di
sepanjang jalan, terdapat banyak penginapan bahkan restoran, serta termasuk jalur yang paling
ramai dilalui wisatawan. Masalahnya, karena kami bertolak dari Malang, maka jalur ini bagi
kami adalah jalur yang paling jauh. Maka, kami memilih lintasan yang kedua, yaitu melalui
Pasuruan. Jalur ini kabarnya lebih terjal dibanding yang pertama, dan juga lebih sepi. Namun
karena kami berangkat bersama-sama, maka kami merasa cukup aman.
Sebetulnya masih ada jalur yang ketiga yaitu melalui Tumpang, melewati tempat wisata Coban
Pelangi. Ini sebetulnya adalah jalur yang paling dekat, namun dari yang pernah kudengar, jalur
Tumpang adalah jalur yang paling berbahaya. Bukan hanya karena medannya yang paling terjal,
sempit dan berbatu, yang nampak mustahil didaki oleh Matic sekelas Mio, namun juga hutan
lebat yang konon katanya adalah sarang penyamun yang mana sangat tidak dianjurkan bagi
siapapun untuk melintasinya pada malam hari.

Maka malam ini, bertolaklah kami dari pelataran kampus Universitas Kanjuruhan Malang,
menuju Pasuruan, dengan hanya bermodal papan penunjuk jalan.
Dan, seperti yang kami khawatirkan, perjalanan ini sama sekali bukanlah perjalanan mulus tanpa
hambatan.
Kami menepi di bawah keremangan lampu jalan, kira-kira lima ratus meter setelah melewati
pasar Lawang. Penyebabnya, adalah karena lampu motor yang dikendarai oleh Ejin dan Friska
tiba-tiba meredup dan padam. Padahal, setelah dari Pasuruan nanti kami harus melalui jalanan
yang sepi dan gelap.
kenapa sih motornya? tanya Acuk dengan sedikit nada gusar, ketika Ia dan Ernie yang
diboncengnya itu menepi.
gak tau lah! jawab Friska sembari mengangkat bahu.
kita cari bengkel! seru Marten, setelah ia turun dari boncenganku. bahaya kalau jalan gelap-
gelap,
dimana? tanyaku, lebih kepada diri sendiri.
Dan semua terdiam selama beberapa saat. Aku tidak tahu mereka semua sedang berfikir atau
justru membiarkan kepala mereka kosong.
Zal, kamu gak tau kah?..
nggak, jawabku cepat. Menjadi satu-satunya orang asli Malang di rombongan ini, bukan
berarti aku yang paling tahu tentang segala rupa tetek bengek seperti bengkel dan semacamnya di
sini. Ingin kutegaskan bahwa aku sama tidak tahunya dengan mereka.
terus gimana dong!? tanya Bella. Ia dan para wanita yang lain mulai terlihat resah.
Kami kembali terdiam sejenak. Sementara, sinar suram lampu jalan yang menerangi kami ini
pun entah mengapa turut meredup.
kita cari bengkel sambil jalan! usul Alex, dan yang lain mendengarkan. kita jalan pelan-pelan
aja, masih cukup waktu kok!
Sebagian besar mengangguk setuju, sisanya diam.
bener, kita harus lanjut jalan! sambung Viktor, kemudian Ia menunjuk Ejin. kalian di
belakangku aja, terus yang dibelakang kalian..
aku! sahutku, menawarkan diri.
jangan Zal, kamu yang paling depan aja!.soalnya kamu yang paling ngerti jalan,
Aku mengiyakan saja. Meskipun, hanya karena pernah melewati Pasuruan bukan berarti aku
mengetahui lika-liku jalan menuju Bromo. sekali lagi, kutegaskan bahwa satu-satunya pedoman
kami hanyalah papan penunjuk jalan yang biasa ada di persimpangan.
Maka, kembali kami beriringan menyusuri malam yang makin larut, meniti jalur utama Malang
Surabaya yang nampak tak pernah sunyi.
Dan ini hanyalah secuil kecil bongkahan rintangan yang menanti kami.

**************
Pukul 23.15
Jalanan semakin lengang, seiring malam yang semakin larut. Lampu jalanan yang tak lagi
nampak membuat malam semakin perawan, yang syukurnya bintang gemintang tak lagi
disembunyikan awan. Sementara di tengah keremangan ini, kami masih merayapi jalan sunyi,
dengan salah satu dari kami telah tak berpenerangan lagi.

Sepi oleh hiruk pikuk manusia, namun ramai dengan ditemani mobil-mobli besar yang justru
kapasitasnya semakin memadat menjelang tengah malam.
Dalam keadaan begini, susah sekali mempertahankan urutan kendaraan sebagaimana yang telah
direncanakan tadi. Kami seringkali diselingi oleh oleh truk ataupun bus malam yang terkenal
sering ugal-ugalan, yang mau tak mau memaksa kami untuk menghindari atau kadang
menyesuaikan dengan kondisi jalanan.

Terakhir kulihat, motor Ejin yang lampunya mati itu masih beriringan dengan Viktor, sehingga
aku cukup tenang berjalan sendiri di depan setelah tadi berhasil mendahului sebuah truk
bermuatan penuh pasir.
Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba, kulihat Fifin yang tengah dibonceng oleh Reno itu
seperti memanggil-manggilku dengan panik. Ia memberi isyarat agar kami segera menepi.
Zal, anak-anak suruh kita berhenti! seru Marten yang tengah kubonceng
ya, tapi jangan di tempat sepi!..Cari tempat aman dulu! jawabku agak keras, melawan
suara dentuman mesin motorku serta truk di belakangku yang cukup kencang di telinga.
Dari kejauhan, aku melihat sebuah depot kecil yang masih buka. Kuisyaratkan pada Reno dan
Alex yang masih di jangkauan pandangku untuk menepi. Lalu, dari sana kami menanti satu per
satu teman kami merapat.
Ernest dan istrinya nampak syok, dan Acuk pun pucat pasi. Bella bahkan seperti hendak
menangis.
ada apa? tanya Marten begitu semua lengkap. Nampak hanya kami berdua yang tidak tahu apa
yang terjadi.
kami tadi mau dicegat. Jawab Ernest, yang nampak masih kesulitan mengatur nafasnya.
dicegat siapa?
orang,.boncengan..bawa celurit
Dan bulu kudukku seketika meremang, serta malam serasa dua kali lipat senyapnya. Untuk
sesaat, yang kami lakukan hanyalah merasakan denyut jantung kami masing-masing. Merasakan
malam yang mulai menampakkan sisi mencekamnya.
gimana ceritanya? tanyaku.
Tak ada yang langsung menjawab, mungkin masih ngeri mengingat apa yang baru saja terjadi.
Friska dan Fifin saling berbisik cepat menggunakan bahasa Kalimantan, sementara Acuk, lebih
memilih diam tertunduk.
Viktor lah yang menjelaskannya padaku dan Marten.
tadi, waktu kami masih di belakang truk,..tiba-tiba ada motor yang hadang kami,.
dua orang,.boncengan, tambah Ernes. waktu itu, Acuk yang paling dekat sama
orangnya,
mereka ngeluarin celurit,..trus yang dibelakang tanya,.
tanya apa?
Dan Acuk, dengan suara yang masih lemas, menjawab.
dia tanya.Woi.anak Malang ya!?gitu
Dan seketika pemahaman menjalari kepalaku yang telah kebas oleh malam yang dingin ini,
terutama setelah melihat slayer yang meliliti leher Acuk dan Ernest. Pantas saja!.
Orang waras mana yang nekat bermotor ke Pasuruan dengan mengenakan slayer A***a (maaf,
lebih baik tidak saya tulis)? Betapa cerobohnya..!!
cuma dua orang itu yang nyegat? tanyaku.
Mereka mengangguk.
mungkin mereka gak tau kalau kita rombongan,
Seorang pria paruh baya menghampiri kami. Laki-laki berjaket hitam dan berselempang sarung
yang mungkin adalah pemilik depot yang kami singgahi ini, menanyakan perihal dan tujuan
kami, dan kamipun menceritakannya. Syukurlah beliau cukup ramah. Beliau memberi petunjuk
jalan pada kami untuk menuju Bromo, dan tentu saja menawarkan kami untuk singgah di
depotnya.
Dan meskipun nampak sedikit kecewa karena kami memutuskan untuk langsung meneruskan
perjalanan, pria itu masih mengingatkan kami untuk behati-hati.
pokoknya, sekarang jangan sampe ada yang pisah dari rombongan! kata Ernest,
mengingatkan.
ya, betul!..tapi jangan lupa Marten memberi isyarat pada leher.
oh, iya Ernest buru-buru melepas slayer yang melilit lehernya. Kalau Acuk, slayernya
sudah ditanggalkan sedari tadi.
terus, mending kami paling belakang aja, soalnya kan cowok semua! kata Marten sembari
menunjuk dirinya dan aku. Memang, diantara semua rombongan, hanya aku saja yang
membonceng laki-laki.
jangan,Rizal tetep di depan aja! bantah Viktor. Kemudian, Ia menunjuk Acuk. Cuk,
kamu bonceng Marten! Erni dibonceng Rizal aja,..nanti kamu sama Marten yang
paling belakang!
aduuuh,.kok paling belakang sih? bantah Acuk, yang pucat di wajahnya belum juga
hilang.
gak apa-apa,kan sama Marten!
Setelah diam sejenak, Acuk pun mengangguk setuju. Meskipun, dari ekspresi wajahnya nampak
ia masih keberatan.
tenang Cuk, kan ada aku! seru Marten sembari menepuk bahunya. nanti kalau ada apa-apa,
.pasti aku selamatkan,motornya!
Dan kami pun tertawa, memecahkan kebekuan malam yang kian memekat ini.
****************
Pukul 00.00
Kini malam telah memekat sempurna, dan kami telah ditenggelamkan dalam gelapnya. Meniti
jalur sunyi diantara rimbunnya pepohonan yang menjulang tinggi. Bila tadi masih ditemui
berbagai macam kendaraan besar yang menemani perjalanan kami, kini semenjak meninggalkan
jalur utama dan meniti jalur mendaki dan berliku yang kami yakinimeski tak seratus persen
akan membawa kami menuju Bromo, jalanan sepenuhnya senyap. Hanya kami yang nampaknya
mengisi kekosongan dari titian ini.

Beribu titik-titik terang di kejauhan, yang menyerupai bintang gemintang, menandakan kami
telah jauh meninggalkan pusat keramaian. Yang ada hanya jajaran tegap pohon-pohon pinus yang
makin menenggelamkan kami dalam keperawanan malam.
Di satu jalanan yang lurus dan landai, Viktor menyejajarkan motorku dengan motornya.
masih jauh kah Zal? tanyanya padaku, dengan pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya.
Dan aku sudah lelah untuk menjawab tidak tahu, jadi aku mencoba memberi jawaban lain yang
memuaskan.
kayaknya,.. jawabku sekenanya.
nanti di atas ada pom bensin gak?
Nah, itu baru pertanyaan bagus.
Sebelumnya aku memang pernah ke Bromo, dan itulah kira-kira yang membuatku seperti mbah
kuncen bagi teman-temanku. Padahal, waktu itu jalur yang kulalui adalah jalur dari Probolinggo,
dan disana pun aku hanya singgah sebentar. Kalau melalui jalur itu, dari yang ku ingat, memang
masih terdapat stasiun pengisian bahan bakar. Tapi kalau jalur ini, aku tidak tahu sama sekali.
bensinnya siapa yang mau habis? tanyaku, agak mengalihkan pembicaraan.
motor Reno,
mestinya di atas nanti ada, jawabku, meskipun aku sendiri tak yakin.
Dan kembali Viktor menempatkan motornya dibelakangku. Aku tahu, semuanya berharap agar
jangan sampai ada motor yang kehabisan bahan bakar di tengah hutan pinus yang lebat ini.
Jalanan rasanya semakin terjal menanjak. Meski sudah kuputar penuh gas motorku ini, namun
masih saja si Mio terseok-seok meniti lintasan yang entah dimana ujungnya ini.
Dan setitik cahaya di ujung jalan, akhirnya membawa sebongkah besar kelegaan. Kira-kira
setelah empat puluh lima menit meniti jalur gelap nan terjal itu, kami pun tiba di pos pertama,
dan langsung disambut oleh seorang petugas penjaga. Setelah mencerca kami dengan beberapa
pertanyaan formal yang membosankan, kami pun dipersilahkan untuk beristirahat sejenak di area
pos itu. Kata sang petugas, setelah ini masih ada satu pos lagi yang harus dilalui dan pos itu baru
dibuka pukul tiga pagi. Maka, selama dua jam ke depan, mau tidak mau kami harus
menghabiskan waktu di sana.
Syukurnya, selain ada warung kopi untuk kami menghangatkan badan, di pos itu juga terdapat
kios yang menjual bensin eceran, sehingga hilanglah kekhawatiran kami.
Aku tersenyum, memikirkan ambisi kami yang ingin menyaksikan sunrise dari Bromo sebentar
lagi akan terlaksana.

*************
Pukul 03.15
Kepalaku serasa ngilu, dan tangan ini sedari tadi telah mati rasa. Terpaan hawa dingin yang
membekukan ini serasa makin tak tertahankan lagi, seiring malam yang kian mendekati pagi.
Tubuh ini bahkan tak mampu untuk berhenti menggigil.

Saat ini, yang paling kuinginkan hanyalah menepikan motorku di Penanjakan, lalu disana aku
dapat mencari warung untuk memesan kembali secangkir kopi panas, sembari menanti tampilnya
sang mentari.
Dari sang petugas tadi, kami dapat mengetahui seluk beluk rute kawasan Bromo serta tempat-
tempat yang dapat dikunjungi. Penanjakan adalah tujuan awal kami, lalu selanjutnya adalah
kawah Bromo.
Dan kini kami bejalan beriringan dalam satu rombongan besar, karena selama dua jam
menunggu tadi, beberapa rombongan motor lain yang bertujuan sama telah ikut bergabung.
Beramai-ramailah kami melintasi jalur asri, dari kawasan Taman Nasional Bromo Tengger
Semeru ini.

Semestinya sisa perjalanan ini akan jadi sangat menyenangkan, kalau saja hal naas ini tidak
terjadi.
Aku berdiri dengan perasaan tak menentu, di jalan gelap tanpa penerangan, beberapa ratus meter
setelah melintasi pos kedua. Campur aduk rasanya, meratapi keadaan yang entah mengapa harus
motorku yang mengalaminya.
bannya kempes Zal? tanya Erni, dengan campuran ekspresi antara panik dan pasrah.
Aku mengangguk lemas. Menyadari, bahwa hanya kami yang tertinggal di sini. Karena, dengan
adanya rombongan yang besar itu, mestinya tak akan ada yang tahu kalau kami tertinggal.
Mungkin saja mereka mengira bahwa motorku telah melesat jauh di depan mereka.
trus gimana!?
Aku, selama beberapa saat terdiam, membiarkan kekosongan menjalari pikiranku. Kutarik nafas
dalam dalam, sembari meresapi kebekuan malam yang tak sedikitpun menyembunyikan bintang.
Hanya batang-batang kokoh pepohonan yang menjadi selubung gelap di sepanjang jalan.
Tidak, aku tidak ingin ambisiku kandas di sini. Masih ada waktu, dan pasti masih akan ada
banyak cara. Titik-titik lemah cahaya di kejauhanyang kami ketahui sebagai pos keduayang
telah kami lalui barusan, setidaknya menjadi secercah harapan.
ayo, kita tuntun motor balik kesana!
Erni mengangguk.
Bahkan, setelah kami menuntun motor ini kembali, hawa dingin yang menggigiti kulit ini tak jua
mau pergi. Tetap menyerang tiap-tiap inci dari indra perasa kami. Dan dengan tubuh yang
mengigil ini, kami menghampiri pos kedua, menjumpai petugas disana.
tambal ban ada mas, tapi bukanya jam delapan pagi, kata sang petugas, yang seketika
membuat semangat kami anjlok total. kalau mau, mas naik ojek aja! tapi biasanya untuk dua
orang, pulang pergi seratus lima puluh ribu,
Kami tertunduk lesu di halaman pos, merenungi kelanjutan perjalanan kami yang tak jelas.
Otakku rasanya beku, sebagaimana tanganku yang mati rasa. Dan kulihat, Erni hampir sama
putus asanya. Kulihat jam dinding di dalam pos. Dari waktu yang tertera, mestinya satu setengah
jam lagi mentari telah terbit di ufuk timur sana. Artinya, sepanjang itu pula-lah waktu yang
tersisa bagi kami untuk menyelesaikan misi ini.
telponnya diangkat Er? tanyaku penuh harap.
Erni menggeleng dengan lesu.
mereka di motor sih,.
Kami pun kembali membisu, yang lagi-lagi diselingi angin pembeku.
masa sih,mereka gak ada yang sadar, kalau kita ketinggalan? keluh Erni, disertai
dengan gigilannya.
mereka pasti sadar! jawabku, semantap yang kubisa.
Erni menatapku dengan penuh tanya.
pasti..soalnya, tiket mereka ada di aku semua, jelasku, sembari menunjukkan empat
belas lembar tiket yang tadi kubeli di pos kedua ini saat hendak berangkat.
ooo, iya ya kata Erni sembari tersenyum pahit. masalahnya, mereka bisa tepat waktu
apa gak?
berdoa saja,
Benar, yang bisa kami lakukan saat ini hanyalah percaya pada teman-teman kami. Percaya,
bahwa mereka akan segera menjemput kamimenjemput ambisi kamiyang akan terlaksana
selangkah lagi.
Kami hanya bisa menanti.

**************
Pukul 04.45
Kami serasa berkejaran dengan warna biru yang merambati langit dari ujung timur sana, yang
dengan congkaknya coba mengusiri bintang-bintang dan para penghuni malam. Dua Beat ini
ingin kami pacu sekencang-kencangnya, hanya saja terjalnya tanjakan dan tajamnya tikungan
jelas tidak mengizinkannya.
Ayolah, sedikit lagi!

Rombongan telah tiba di Penanjakan, dan menyadari kami berdua tak ada. Barulah mereka
mengecek handphone masing-masing. Dan jemputan pun tiba sekitar tiga puluh menit yang lalu,
menyelamatkan kami yang sudah hampir seperti chiken nugget di dalam kulkas.
Acuk dan Marten tampil sebagai pahlawan, dan keahlian mereka dalam ber-ugal-ugalan adalah
penentu tercapainya segenap harapan.

Aku hampir-hampir tak bisa bernafas, mendapati Marten yang tengah memboncengku ini meniti
jalur di tepian tebing tak ubahnya seperti menjoki kuda sumbawa. Padahal, kalau sampai
tergelincir kesana, maka jangankan untuk pulang hidup-hidup, untuk menemukan jasadnya saja
rasanya susah tak terkira.
Tapi yang kulakukan adalah menyemangatinya untuk melaju lebih kencang lagi.
Warna biru tua yang mulai menjalari langit timur menandakan waktu kami tak banyak lagi,
semantara kami berlari dan terus berlari, mengejar asa. Acuk yang membonceng Erni agak
tertinggal di belakang sana, namun kami meyakini mereka masih dapat mengikuti.
Dan di ujung sana, akhirnya terlihat titik-titik cahaya.

Kami disambut dengan teriakan gembira, beserta banyak desahan nafas lega. Mereka menunggu
kami, seperti kami menanti mereka. Kami telah berkumpul di sini, lengkap. Dan sekarang, hanya
satu lagi yang harus dilakukan!
Penanjakan adalah tempat yang paling tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan kawah
maupun gunung Batok. Dari sini, semuanya tersaji manis dan menakjubkan. Dari deretan hutan
pinus, lautan pasir, hingga rerimbunan bunga abadi Edelweis. Rasa takjub yang mengusir dingin
dan penat tanpa sisa, dan yang ada hanya syahdu dan syukur.
Dengan semangat yang meluap-luap, kami meniti anak tangga ini dengan setengah berlari. Di
puncak tangga sana, kami akan menjadi saksi terbitnya mentari hari ini. Semua berduyun-duyun,
menyambut sang raja siang kala menduduki tahtanya.
ayo Zal..!!! seru Ernes, sembari berlari kecil. Ia nampak mesra bergandengan dengan
istrinya, berlari berdua.
ntar aku nyusul!
Aku menemukannya, bersandar tentram di sisi bukit. Dimana, tasbih angin dapat leluasa
menyapanya melalui jendelanya yang tak berkaca. Ujung atapnya yang mengerucut pun seolah
tengah menghitung bintang-gemintang, mengkalkulasikan karya cipta-Nya yang berenang-
renang di angkasa.
Dan aku pun memenuhi undangan itu.
Betapa ruku dan sujud ini terasa amat menenteramkan, meski dinginnya air wudhu amat
menyengat hingga membuat ngilu sekujur tulang. Hatiku terasa merdu sebagaimana dendang
alunan lagu. Dan segenap panorama alam yang terangkai indah ini, seolah menjadi jembatan
yang menghantarkan kekhusyuan pada seisi relung hati.
Di musholla yang mungil ini, aku merasakan bahwa hati telah terhantar pada kedamaian.
Dan seuntai benang merah pun akhirnya nampak membentang di kejauhan, menghantarkan
segenap mata pada satu ketakjuban. Benang merah yang membaur dengan biru gelapnya langit
itu, memikat segenap mata yang tiada mampu mengungkapkan indahnya melalui bahasa. Karena
pada saat ini, segenap mata itu menjadi saksi sang mentari yang tengah menggagahi pagi.
***************
Hari ini, 15 Juli 2012, pukul 09.30
Kami ber-empat belas duduk bercengkrama di tepi kawah, pada puncak Bromo. Menikmati
belaian angin, pelukan langit biru, serta dikerumuni hamparan pasir yang luas. Ada rasa
kepuasan tak terlukiskan, juga bangga akan diri sendiri.
Dan tak ada yang salah dengan itu.
tadi tambal ban habis berapa Zal? tanya Viktor padaku.
lima ribu, jawabku. tapi, aku juga ngasih sepuluh ribu buat yang jaga motorku,
Viktor mengangguk-angguk.
habis ini kita pulang? tanyanya lagi.
ya,
Aku berdiri, lalu merentangkan tanganku lebar-lebar. Bersamaan dengan itu, angin pun
berhembus, seolah ingin membawaku terbang.
kita pulang lewat Tumpang! kataku, sembari kemudian menunjuki hamparan pasir yang
membentang. kita nyusuri padang pasir ini ke selatan, setelah itu lewat padang sabana,
kamu tau jalannya?
nggak,
yesss!!!

*****TAMAT*****

Anda mungkin juga menyukai