Anda di halaman 1dari 13

REFLEKSI BHINEKA TUNGGAL IKA

DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT,


BERBANGSA DAN BERNEGARA

LAPORAN HASIL VISITASI MATA DIKLAT PILAR-PILAR KEBANGSAAN


TAHUN 2017

OLEH :
KELOMPOK
BHINEKA TUNGGAL IKA

Ketua : Dian Sukamawan, S.Pi., M.Aq


Anggota : 1. Bayu Aji, S.Si., M.Si.
2. Ridho Karya Dongoran, S.Pi.
3. Janu Dwi Kristianto, S.Pi., M.I.L.
4. Wany Sasmito Prabowo, S.St.Pi.
5. Dessyana E. Haurissa, S.Pi
6. Tri Arga Wikandono, S.T
7. Dody Yuli Putra, S.Pi., M.Si.
8. Renata R. I. S. Sihombing, S.Sos.
9. Junita Ernawati Damanik, SE

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN


BALAI DIKLAT APARATUR SUKAMANDI
SUKAMANDI, 23 PEBRUARI 2017

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia dan
bimbingan-Nya sehingga laporan visitasi mata diklat Pilar Pilar Kebangsaan
ini dapat selesai tepat pada waktunya. Tujuan dari penyusunan laporan ini adalah
untuk meningkatkan pengetahuan tentang Pilar Pilar Kebangsaan khususnya
semboyan negara Bhineka Tunggal Ika.
Secara umum, hasil dari kegiatan visitasi ini diharapkan dapat
meningkatan rasa nasionalisme serta meningkatan kemampuan dalam
mengaktualisasikan nilai dan semangat pilar pilar kebangsaan dalam
pelaksanaan kegiatan di lapangan. Perwujudan pilar-pilar kebangsaaan dalam
setiap langkah dan tindakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang
dilakukan akan memberikan nilai lebih yang sinergi dengan rasa bangga menjadi
warga negara Indonesia (Nasionalisme).
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada tim Widyaiswara yang telah
membimbing penyusunan laporan ini dan tim dari Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) Republik Indonesia yang telah memberikan materi saat visitasi
berlangsung. Ucapan terima kasih juga tidak lupa kami sampaikan kepada
seluruh peserta Diklatpim IV angkatan 27 tahun 2017 yang telah melaksanakan
kegiatan ini dengan penuh kekompakan serta kepada seluruh tim kepanitiaan
yang terlibat mulai dari persiapan hingga pelaksanaan sehingga kegiatan visitasi
dapat berjalan dengan lancar.
Akhir kata, kami mohon maaf jika ada kekurangan dan semoga laporan
ini bermanfaat bagi semua pihak terutama bagi perbaikan pelaksanaan kegiatan
berikutnya di waktu yang akan datang. Saran dan masukan sangat kami
harapkan guna kesempurnaan penyusunan laporan selanjutnya.

Sukamandi, 23 Februari 2017

Kelompok Bhineka Tunggal Ika

DAFTAR ISI
Hal.
KATA PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................
2
C. Pembatasan Masalah .........................................................
D. Rumusan Masalah .............................................................. 2
E. Tujuan Pembuatan Visitasi .................................................
3
F. Manfaat Pembuatan Visitasi ...............................................
3
3
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................... 4
BAB III KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 9
LAMPIRAN .............................................................................................. 10

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengertian pilar kebangsaan adalah sistem keyakinan atau believe
system atau phisophiche grondslag, yan berisi konsep, prinsip dan nilai yang
dianut oleh rakyat negara-bangsa yang bersangkutan yang diyakini memiliki
kekuatan untuk dipergunakan sebagai landasan dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara (LAN 2017). Berdasarkan . terdapat 4 (empat) pilar
kebangsaan, yaitu i) Pancasila sebagai Ideologi dan Dasar Negara; ii) Undang-
undang Dasar (UUD) 1945 sebagai konstitusi negara; (iii) Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagai bentuk negara; dan iv) Bhinneka Tunggal Ika
sebagai semboyan negara.
Sejak tahun 1951, bangsa Indonesia, dengan Peraturan Pemerintah No.
66 tahun 1951, menetapkan lambang negara bagi negara-bangsa yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Ketetapan tersebut dikukuhkan
dengan perubahan UUD 1945 pasal 36A yang menyebutkan: Lambang Negara
ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Lambang
negara Garuda Pancasila mengandung konsep yang sangat esensial dan
merupakan pendukung serta mengikat pilar-pilar dimaksud. Burung Garuda yang
memiliki 17 bulu pada sayapnya, delapan bulu pada ekornya, 45 bulu pada leher
dan 19 bulu pada badan di bawah perisai, menggambarkan tanggal berdirinya
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perisai yang digantungkan di dada
Garuda menggambarkan sila-sila Pancasila sebagai dasar negara, ideologi
bangsa dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Sementara itu Garuda
mencengkeram pita yang bertuliskan Bhinneka Tunggal ika, menggambarkan
keanekaragaman komponen bangsa yang harus dihormati, didudukkan dengan
pantas dan dikelola dengan baik. Dengan demikian terjadilah suatu kesatuan
dalam pemahaman dan mendudukkan pilar-pilar tersebut dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara (lppkb.wordpress.com)
Bhineka Tunggal Ika memiliki 5 (lima) prinsip untuk dapat
mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah i) Perilaku Inklusif; ii) Mengakomodasi
difat pluraristik; iii)Tidak Mencari menangnya sendiri; iv) Musyawarah untuk
mufakat; dan v) Dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan lembaga tertinggi
negara yang berdasarkan pasal 2 ayat 1 UUD 1945, terdiri atas anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui
Pemilihan Umum dan diatur oleh Undang-undang. Berdasarkan Pasal 3 UUD
1945, MPR bertugas antara lain i) mengubah dan menetapkan UUD; dan ii)
Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sebagai semboyan negara, Bhinneka Tunggal Ika harus tercermin di
MPR baik dalam bentuk susunan keanggotaan, proses pengambilan keputusan
serta penetapan kebijakan. Oleh karena itu, tema yang ingin diangkat adalah
Refleksi Bhineka Tunggal Ika di MPR.

B. Identifikasi Masalah
1) Keterwakilan Suku, Agama dan Ras di MPR
2) Proses pengambilan keputusan apakah dipengaruhi oleh Suku,
Agama dan Ras?
3) Sistem pemilihan anggota MPR?
4) Esensi Bhineka Tunggal Ika di MPR?
C. Pembatasan Masalah
Keterwakilan Suku, Agama dan Ras di MPR karena MPR miniatur
multikultularisme masyarakat Indonesia dan semakin maraknya upaya
mengkotak-kotakkan multikultularisme yang ada di Indonesia serta
intoleransi yang tinggi.

D. Perumusan Masalah
Perilaku inklusif, mengakomodasi sifat pluralistik, tidak mencari
menangnya sendiri, musyarawah untuk mufakat, dan dilandasi rasa kasih
sayang dan rela berkorban

E. Tujuan Pembuatan Visitasi


Pembuatan laporan visitasi ini bertujuan untuk melakukan observasi
langsung terhadap refleksi Bhinneka Tunggal Ika di MPR, memperluas
dan menanamkan pemahaman serta wawasan mengenai bhinneka
tunggal ika.

F. Manfaat Pembuatan Visitasi


1) Pribadi
Untuk lebih memahami Bhinneka Tunggal Ika sebagai salah satu pilar
kebangsaan.
2) Kelompok
Memupuk semangat kebersamaan dan saling tolong menolong dalam
memecahkan permasalahan
3) Organisasi
Mengamalkan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam berorganisasi.

BAB II
PEMBAHASAN

B. MENGAKOMODASI SIFAT PLURALISTIK


Bangsa Indonesia adalah negara yang pluralistik yakni terdiri dari
beranekaragam suku bangsa, budaya, etnik, bahasa, dan sebagainya.
Soeprapto (2013) menyatakan bahwa pluralistik berasal dari kata plural yang
artinya banyak, maka pluralistik berarti sifat atau kualitas yang menggambarkan
keanekaragaman; suatu pengakuan bahwa alam semesta dalam
keanekaragaman. Pluralistik terkait kehidupan berbangsa dan bernegara
didefiniskan bahwa setiap masyarakat dimana warga dapat secara legal dan
publik memiliki pandangan beberapa etika yang saling bersaing dan
diperbolehkan untuk memilik apa yang telah diyakini dengan tidak merendahkan
bahkan menyalahkan keyakinan orang/kelompok lain dan dilarang keras
melakukan pemaksaan untuk mengikuti keyakinannya.
Pluralistik erat kaitanya dengan multikultural, hal itu disebabkan
multikultural tidak dapat terjadi pada masyarakat yang homogen, yakni
masyarakat yang memiliki identitas ras atau etnis yang sama. Multikultural
menginginkan suatu penghargaan dan penilaian terhadap budaya orang lain
serta merupakan sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan dalam
kesederajatan, baik secara individual maupun secara
kebudayaan (Suparlan, 2002).
Berkaitan dalam membentuk kesatuan dari keanekaragaman tidak terjadi
pembentukan konsep baru dari keanekaragaman yang ada melainkan dicari
common denominator yang merupakan prinsip-prinsip yang memiliki kesamaan
dari keanekaragaman yang dijadikan ketunggalan dan kemudian dipergunakan
sebagai acuan dalah hidup berbangsa dan bernegara. Hal tersebutlah yang
dinyatakan sebagai ketunggalan Bhineka Tunggal Ika yang mendukung nilai-nilai
inklusif, terbuka, ko-eksistesi damai dan kebersamaan, kesetaraan, tidak merasa
yang paling benar, toleransi, musyawarah serta penghargaan terhadap pihak lain
yang berbeda (LAN-RI, 2017).
Sesuai dengan pernyatan Presiden Soekarno yang dalam salah satu
pidatonya berkata Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang,
bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita
mendirikan negara semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu.
Saya yakin, bahwa syarat mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah
permusyawaratan, perwakilan. Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan
demkorasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup (Yudi Latif, 2011)
Jika menengok kebelakang, pada masa Orde Baru, konflik dan kekerasan
atas nama agama memang tidak begitu mengemuka, karena pemerintah dengan
ideologi developmentalismenya menganggap ketertiban umum yang dibungkus
dengan istilah stabilitas nasional menjadi perhatian serius. Ketegangan dan
konflik antar agama tidak terjadi bukan karena mereka telah hidup rukun, tetapi
karena ditekan sedemikian rupa oleh penguasa agar potensi itu tidak muncul ke
permukaan. Di samping itu, kelompok- kelompok yang dikenal sebagai
fundamentalis-radikal tidak mendapat tempat pada masa Orde baru. Mereka
menjadi gerakan bawah tanah yang selalu menghindar dari sorotan publik. Tapi,
pada era reformasi yang menjadi momentum terbukanya ruang kebebasan yang
lebih lebar, problem hubungan mayoritas dan minoritas yang selama ini
beroperasi secara laten, kemudian muncul ke permukaan.
Maraknya konflik dan kekerasan atas nama agama pasca runtuhnya Orde
Baru memang bukan sesuatu yang aneh. Melalui konsep SARA, rezim Orde
Baru menciptakan segregasi sosial sedemikian rupa, baik berdasarkan etnis,
agama, kelas maupun asal usul dan kedaerahan. Kelompok yang satu
dipisahkan secara sosial dari kelompok lainnya, sehingga tidak terjadi
persinggungan yang berarti. Masyarakat juga dilarang membicarakan masalah
yang berkaitan dengan isu SARA secara terbuka dengan alasan SARA adalah
sumber konflik yang harus ditutup rapat-rapat. Akibatnya, orang hidup dalam
ketidaktahuan tentang satu sama lain. Mereka hidup dalam asumsi-asumsi etnik
dan sama sekali tidak pernah belajar untuk membongkar asumsi-asumsi
tersebut. Mereka menganggap kelompok lain melalui stereotip yang berkembang
di masyarakat. Padahal stereotip selalu mengandung simplifikasi di satu sisi dan
generalisasi di sisi yang lain. Begitu segregasi itu jebol bersamaan dengan
runtuhnya rezim Orde Baru, konflik horizontal dengan mudah meledak di mana-
mana, bahkan dengan pemicu yang sangat sederhana sekalipun. Masyarakat
dipenuhi prasangka etnik yang sangat tipikal, tapi pada saat yang sama tidak ada
lagi yang menghalangi tindakan berdasarkan prasangka itu. Hanya butuh pemicu
kecil untuk meledakkan konflik diantara mereka. Maka konflik horizontal yang
penuh dengan kekerasan, termasuk yang mengatasnamakan agama.
Mengapa hal tersebut terjadi, menurut pendapat saya konflik yang
mengemuka setelah orde baru dikarenakan tidak berjalannya pemahaman yang
untuh mengenai apa yang menjadi jati diri bangsa sebagai bangsa yang
pluralistik dan multikultultural. Kita perlu kembali meyakini kembali bahwa
keberagaman yang ada bukan sesuatu yang membuat kita mejadi terpecah-
belah melainkan sesuatu kekuatan yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia.
Pluralistik dan multikultultural merupakan keniscayaan yang merupakan
kekuatan bangsa Indonesia untuk terwujudnya masyarakat modern yang
demokratis. Prinsip bersatu dalam perbedaan (unity in diversity) perlu dijujung
tinggi sebagai salah satu pembentuk identitas bangsa. Misrawi (2013)
menyatakan bahwa ada beberapa hal yang penting untuk selalu dijaga demi
terwujudnya semboyan bangsa Indonesia Bhineka Tunggal Ika terkait pluralistik
dan multikulturalnya bangsa Indonesia adalah
(1) Hidup berdampingan secara damai dan kesamaan hak (co-existence)
(2) Keterbukaan perihal pentingnya pada kelompok lain (awarness)
(3) Pengenalan terhadap kelompok lain dibarengi dengan melakukan dialog
(mutual learning)
(4) Pemahaman atas kelompok lain (understanding)
(5) Penghormatan, pengakuan dan memberikan konstribusi pada kelompok lain
(respect)
(6) Penghargaan pada persamaan dan perbedaan, serta merayakan
kemajemukan (value and celebration)
Upaya yang berkesinambungan dan sosialisasi dilakukan melalui
pendidikan (baik pendidikan di lingkungan keluarga, pendidikan formal dan
informal), dialog perlu dilakukan secara intensif di era reformasi dan globalisasi
saat ini sebagai upaya memupuk rasa nasionalisme bagi negara yang
multikultural dan pluralistik. Karena prinsip unity in diversity yang terkandung
dalam semboyan negara Indonesia Bhineka Tunggal Ika bukan kata-kata
belaka tetapi merupakan suatu kekuatan bangsa yang akan menjadikan
Indonesia menjadi negara modern demokratis yang bebeda dengan negara-
negara lainnya.
Setiap penduduk Indonesia harus memandang bahwa perbedaan tradisi,
bahasa, dan adat-istiadat antara satu etnis dengan etnis lain sebagai, antara satu
agama dengan agama lain, sebagai aset bangsa yang harus dihargai dan
dilestarikan. Pandangan semacam ini akan menumbuhkan rasa saling
menghormati, menyuburkan semangat kerukunan, serta menyuburkan jiwa
toleransi dalam diri setiap individu.
Bila setiap warganegara memahami makna Bhinneka Tunggal Ika,
meyakini akan ketepatannya bagi landasan kehidupan berbangsa dan
bernegara, serta mau dan mampu mengimplementasikan secara tepat dan
benar, Negara Indonesia akan tetap kokoh dan bersatu selamanya.

Kesimpulan dan Rekomendasi

A. Kesimpulan
Setiap penduduk Indonesia harus memandang bahwa perbedaan tradisi,
bahasa, dan adat-istiadat antara satu etnis dengan etnis lain sebagai,
antara satu agama dengan agama lain, sebagai aset bangsa yang harus
dihargai dan dilestarikan. Pandangan semacam ini akan menumbuhkan
rasa saling menghormati, menyuburkan semangat kerukunan, serta
menyuburkan jiwa toleransi dalam diri setiap individu. Bila setiap
warganegara memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, meyakini akan
ketepatannya bagi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta
mau dan mampu mengimplementasikan secara tepat dan benar, Negara
Indonesia akan tetap kokoh dan bersatu selamanya.
B. Rekomendasi
Upaya yang berkesinambungan dan sosialisasi dilakukan melalui
pendidikan (baik pendidikan di lingkungan keluarga, pendidikan formal
dan informal), dialog perlu dilakukan secara intensif di era reformasi dan
globalisasi saat ini sebagai upaya memupuk rasa nasionalisme bagi
negara yang multikultural dan pluralistik. Karena prinsip unity in diversity
yang terkandung dalam semboyan negara Indonesia Bhineka Tunggal
Ika bukan kata-kata belaka tetapi merupakan suatu kekuatan bangsa
yang akan menjadikan Indonesia menjadi negara modern demokratis
yang bebeda dengan negara-negara lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. 2017. Bahan Ajar Diklat


Kepemimpinan Tingkat IV. Agenda Self Mastery. Pilar-Pilar Kebangsaan.
Jakarta

Misrawi Zuhairi. 2013. Kesadaran Multikultural dan Deradikalisasi Pendidikan


Islam: Pengalaman Bhineka Tunggal Ikan dan Qabul Al-Akhar. Jakarta.
Jurnal Pendidikan Islam Vol II.No. 1 Juni 2013.

Soeprapto. 2013. Pancasila. Jakarta : Konstiusi Press

Suparlan. 2002 dalam http://id.wikipedia.org/wiki/multikulturalisme&perbedaan-


plural-dan-multikultural. (diunduh pada tanggal 23 Februari 2017)

Yudi Latif. 2011. Negara Paripura : Historisitas, Rasionalitas, dan Akualitas


Pancasila. Jakarta. Penerbit Gramedia. Hlm. 383
LAMPIRAN 1. Dokumentasi Visitasi Ke Gedung MPR-RI

Gambar 1. Photo bersama dengan Narasumber dari MPR- RI Bapak M. Rizal,


SH., M.Si. (Kepala Biro Kesekretariaan Pimpinan MPR-RI)
Gambar 2. Photo Bersama Perserta Diklat Kepemimpinan IV Angkatan 27
dengan Coach Bapak Jajang Sumarna, M.Pdi dan Panitia dari BDA
Sukamandi di Gedung MPR-RI

Gambar 3. Photo Bersama Perserta Diklat Kepemimpinan IV Angkatan 27


dengan Coach Bapak Jajang Sumarna, M.Pdi dan Panitia dari BDA
Sukamandi di Gedung MPR-RI

Anda mungkin juga menyukai