PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tonsil
2.1.1 Anatomi Tonsil
1
Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi
faring. Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal
(adenoid).5 Unsur yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral
faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller,
di bawah mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba
eustachius.5
2
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat,
folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel
(terdiri dari jaringan linfoid).5
Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu
batas anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding
luarnya adalah otot konstriktor faring superior.5 Pilar anterior
mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari
palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. 5 Pilar posterior adalah
otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba eustachius dan
dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral
esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar
posterior tidak terluka.5 Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di
bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke
jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring.5
Kapsul Tonsil
3
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran
jaringan ikat, yang disebut kapsul.5 Walaupun para pakar anatomi
menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para klinisi menyatakan bahwa
kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil.5
Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil
terdapat plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang
telah ada sejak masa embrio.5 Serabut ini dapat menjadi penyebab
kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat.5 Komplikasi yang
sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal
lidah.5
Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis
eksterna, yaitu 1) A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan
cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina asenden; 2) A. maksilaris
interna dengan cabangnya A. palatina desenden; 3) A. lingualis
dengan cabangnya A. lingualis dorsal; 4) A. faringeal asenden. Kutub
bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan
bagian posterior oleh A. palatina asenden, diantara kedua daerah
tersebut diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi
oleh A. faringeal asenden dan A. palatina desenden. Vena-vena dari
tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.
Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah
dan pleksus faringeal.5
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian
getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di
bawah M. Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan
akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai
4
pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening
aferen tidak ada.5
Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V
melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf
glosofaringeus.5
Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit,
0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi
limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-
75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri
atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen
presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke
sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin spesifik. Juga
terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.5
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan
bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi
dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.5
5
dinding belakang nasofaring.5 Jaringan adenoid di nasofaring terutama
ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa
Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius.5 Ukuran adenoid bervariasi
pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran
maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.5
c Tonsil lingual
Tonsilla pharyngea, terletak di bagian dorsocranial nasopharynx dan
bila membesar sama dengan adenoid.
6
Tonsilla tubaria, terletak di dinding lateral nasopharynx sekitar muara
tubae auditivae Eustachii.
2.2 Tonsilitis
2.2.1 Definisi
Tonslitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan cincin
Waldeyer,1,2,6 terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat dalam
rongga mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil
faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral
band dinding faring/Gerlachs tonsil).2,6 Tonsilitis dibagi menjadi 2 tipe
yaitu tonsilitis akut dan tonsilitis kronis.1,2
Tonsilitis akut merupakan suatu inflamasi akut yang terjadi pada
tonsilla palatina, yang terdapat pada daerah orofaring yang disebabkan
adanya infeksi bakteri maupun virus.2
Sedangkan tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering
terjadi pada tenggorokan terutama pada usia muda.2 Penyakit ini terjadi
disebabkan peradangan pada tonsil oleh karena kegagalan atau
ketidakesuaian pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis akut. 2
Tonsilitis kronis pada anak dapat disebabkan karena anak sering menderita
ISPA atau tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat.1 Tonsilitis kronis juga
merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh penyakit
tenggorok berulang.2
2.2.2 Etiologi
Tonsilitis bisa disebabkan oleh beberapa jenis bakteri dan virus. 1
Antara tonslitis akut dan tonsilitis kronik memiliki perbedaan
penyebabnya yaitu tonsilitis akut lebih sering disebabkan oleh kuman grup
7
A streptococus -hemolyticus, pneumococcus, streptococcuc viridans dan
streptococcuc pyrogenes, sedangkan tonsilitis kronik kuman penyebabnya
sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-kadang kuman berubah menjadi
kuman golongan gram negatif.1
2.2.3 Epidemiologi
Berdasarkan survey epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi
(indonesia) tahun 1994-1996, prevalensi tonsilitis kronis sebesar 3,8%
8
jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan
limfoid digantikan oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan
sehingga kriptus melebar.1 Secara klinis kriptus diisi oleh detrius.1 Proses
berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya
menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fosa tonsilaris.1 Pada
anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submanibula.1
Penggunaan antibiotik yang luas pada pengobatan infeksi saluran
pernapasan atas, tanpa bukti empiris yang jelas, telah meningkatkan
terjadinya resisten berbagai strain mikroba dari staphylococcus aureus,
streptococcus pneumonia, haemofilus influenzae, moraxella catarrhalis
dan lainnya terhadap antibiotik.1
2.2.5 Klasifikasi
a Tonsilitis Akut
1 Tonsilitis viral
Virus Epstein Barr adalah penyebab paling sering. Jika terjadi
infeksivirus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut
akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat
nyeri dirasakan pasien.6
2 Tonsilitis bakterial
Peradangan akut tonsil yang dapat disebabkan oleh kuman
grup A stereptococcus beta hemoliticus yang dikenal sebagai strept
throat, pneumococcus, streptococcus viridan dan streptococcus
piogenes. Haemophilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis
akut supuratif. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil
akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Masa inkubasi 2-4
hari.6
b Tonsilitis Membranosa
1. Tonsilitis difteri
Tonsilitis ini disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphteriae. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan
9
sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam darah.
Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas.6 Gejalanya terbagi menjadi 3
golongan besar, umum, lokal dan gejala akibat eksotoksin. Gejala
umum sama seperti gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris,
nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan
keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil
membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin
meluas dan membentuk pseudomembran yang melekat erat pada
dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Gejala
akibat endotoksin dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh,
misalnya pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
dekompensasi kordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan
kelumpuhan otot palatum dan otot pernafasan, pesudomembran
yang meluas ke faringolaring dapat menyebabkan sumbatan jalan
nafas atas yang merupakan keadaan gawat darurat serta pada ginjal
dapat menimbulkan albuminuria.6
2. Tonsilitis septik
Penyebab tonsilitis septik adalah Streptococcus hemoliticus
yang terdapat dalam susu sapi sehingga menimbulkan epidemi.
Oleh karena itu di Indonesia susu sapi dimasak dulu dengan cara
pasteurisasi sebelum diminum maka penyakit ini jarang
ditemukan.6
3. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau
triponema yang didapatkan pada penderita dengan higiene mulut
yang kurang dan defisiensi vitamin C.6
4. Penyakit keganasan
Pembesaran tonsil dapat merupakan manifestasi dari suatu
keganasan seperti limfoma maligna atau karsinoma tonsil.
Biasanya ditemukan pembesaran tonsil yang asimetris.6
10
c Tonsilitis Kronik
Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok,
beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.6
11
Faktor Risiko : 6
a Faktor usia, terutama pada anak.
b Penurunan daya tahan tubuh.
c Rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu).
d Higiene rongga mulut yang kurang baik.
12
membentuk pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya
sehingga bila diangkat akan mudah berdarah.6
d. Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan
mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan
jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran
tonsil dapat dibagi menjadi: 6
1 T0: tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat.6
2 T1: <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring atau batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai
jarak pilar anterior uvula.6
3 T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaringatau batas medial tonsil melewati jarak pilar
anterior-uvula sampai jarak pilar anterior-uvula.6
4 T3: 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring atau batas medial tonsil melewati jarak pilar
anterior-uvula sampai jarak pilar anterior-uvula.6
5 T4: > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring atau batas medial tonsil melewati jarak pilar
anterior-uvula sampai uvula atau lebih.6
13
2.2.8 Komplikasi
Gangguan tonsilitis kronis dapat menyebar dan menimbulkan
komplikasi melalui perkontinuitatum, hematogen atau limfogen.1
Penyebaran perkontinuitatum dapat menimbulkan rinitis kronis, sinusitis,
dan otitis media.1 Penyebaran hematogen atau limfogen dapat
menyebabkan endokarditis, artritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis,
dermatitis, urtikaria, furunkulosis, dan pruritus.1
2.2.9 Penatalaksanaan
a Istirahat cukup.6
b Makan makanan lunak dan menghindari makan makanan yang
mengiritasi.6
c Menjaga kebersihan mulut.6
d Pemberian obat topikal dapat berupa obat kumur antiseptik.6
e Pemberian obat oral sistemik
1. Pada tonsilitis viral istirahat, minum cukup, analgetika, antivirus
diberikan bila gejala berat. Antivirus metisoprinol (isoprenosine)
diberikan pada infeksi virus dengan dosis 60-100mg/kgBB dibagi
dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak
<5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali
pemberian/hari.6
2. Tonsilitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya
streptococcus group A, diberikan antibiotik yaitu Penicillin G
Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau Amoksisilin 50
mg/ kgBB dosis dibagi 3 kali/ hari selama 10 hari dan pada dewasa
3x500 mg selama 6-10 hari atau eritromisin 4x500 mg/hari. Selain
antibiotik juga diberikan kortikosteroid karena steroid telah
menunjukkan perbaikan klinis yang dapat menekan reaksi
inflamasi. Steroid yang dapat diberikan berupa deksametason
3x0,5 mg pada dewasa selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01
mg/kgBB/hari dibagi 3 kali pemberian selama 3 hari.6
3. Pada tonsilitis difteri, Anti Difteri Serum diberikan segera tanpa
menunggu hasil kultur, dengan dosis 20.000-100.000 unit
14
tergantung umur dan jenis kelamin. Antibiotik penisilin atau
eritromisin 25-50 mg/kgBB/hari. Antipiretik untuk simptomatis
dan pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat tidur
selama 2-3 minggu.6
4. Pada Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)
diberikan antibiotik spektrum luas selama 1 minggu, dan
pemberian vitamin C serta vitamin B kompleks.6
Indikasi Tonsilektomi
Menurut Health Technology Assessment, Kemenkes tahun 2004,
indikasi tonsilektomi, yaitu:
a Indikasi Absolut: 6
1. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran nafas,
disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmonar
2. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis
dan drainase
3. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
4. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi
b Indikasi Relatif: 6
1. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat
2. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
3. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptococcus yang
tidak membaik dengan pemberian antibiotik laktamase resisten.
15
2.2.10 Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam jika pengobatan adekuat dan
kebersihan mulut baik.6
16
kekuatan daya anestesi, zat anestetik disebut kuat bila dengan tekanan
parsial rendah sudah mampu memberi anestesia yang adekuat.
C Perektal
Anestesi perektal kebanyakan dipakai pada anak-anak, terutama
untuk induksi anestesi atau tindakan operasi singkat.4,7
Kerugian :
Membutuhkan pemantauan ekstra selama anestesi berlangsung
Membutuhkan mesin-mesin yang lengkap
Dapat menimbulkan komplikasi yang berat, seperti :
kematian, infark myokard, dan stroke
Dapat menimbulkan komplikasi ringan seperti : mual,
muntah,sakit tenggorokkan, sakit kepala. Resiko terjadinya
komplikasi pada pasien dengan anestesi umum adalah kecil,
bergantung beratnya komorbit penyakit pasiennya.
17
anestesia berikutnya dengan lebih baik. Beberapa penelitian menganjurkan
obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan
digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu
tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga
jangan diulang.4
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan
umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.4
Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai.Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi pemeriksaan darah rutin (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto thoraks.4
18
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya
setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E = EMERGENCY), misalnya ASA IE atau
IIE.4
Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan
risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif
dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama
periode tertentu sebelum induksi anestesi.4
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anestesi. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan
untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam
sebelum induksi anestesi.4
Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun
dari anestesi diantaranya : 4
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anestesi
19
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestesi
Mengurangi mual-muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi lambung
Mengurangi reflex yang membahayakan
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam waktu 1
jam, sedangkan secara intramuskular minimum harus ditunggu 40 menit.
Pada kasus yang sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang
tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara intravena.4
Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan
pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua
obat premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan
sedikit hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi
dengan pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.4
20
Pethidin : Dosis premedikasi dewasa 25 100 mg IV.Diberikan untuk
menekan tekanan darah dan pernapasan serta merangsang otot
polos.Pethidin juga berguna mencegah dan mengobati menggigil pasca
bedah.4
Gol. Transquilizer
Diazepam (Valium) : Merupakan golongan benzodiazepine.Pemberian
dosis rendah bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik.Dosis
premedikasi dewasa 0,2 mg/kgBB IM.4,7
2.3.6 Induksi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan.
Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuskular atau
rektal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan
dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan pembedahan selesai.4
21
S : Suction Penyedot lender, ludah danlain-lainnya.
Induksi intravena
Paling banyak dikerjakan dan digemari. Induksi intravena dikerjakan
dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi
bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi
anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan
selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
22
muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian
sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam
(valium) dengan dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi
salivasi diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.4
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuskular 3-10 mg. ketamin
dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml =
50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).4
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak mengganggu kardiovaskular,
sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan
jantung. Untuk anestesi opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg
dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.4,7
Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur.4
Induksi inhalasi
N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan
beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal
25%. Bersifat anastesi lemah, analgesinya kuat, sehingga sering
digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada
anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan
salah satu cairan anastesi lain seperti halotan.4
Halotan (fluotan)Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi,
asalkan anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan
diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring
laring.Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus
simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi
vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor.
23
Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat
pelepasan insulin sehingga meninggikan kadar gula darah.4
Enfluran (etran, aliran)Efek depresi napas lebih kuat dibanding
halotan dan enfluran lebih iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap
sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan
aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding
halotan.4
Isofluran (foran, aeran)Meninggikan aliran darah otak dan tekanan
intrakranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial
dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.Efek terhadap depresi
jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi
teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan
koroner.4
Desfluran (suprane)Sangat mudah menguap. Potensinya rendah
(MAC 6.0%), bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan
hipertensi. Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran.
Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi
anestesi.4
Sevofluran (ultane)Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak
merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi
inhalasi disamping halotan.4
Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi
biasa hanya sungkup muka yang tidak kita tempelkan pada muka pasien,
tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur baru
sungkup muka kita tempelkan.4
24
2.3.7 Stadium anestesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium
(stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu: 4
Stadium I (analgesi), dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai
hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti
perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan
pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar dapat
dilakukan pada stadium ini.4
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi), dimulai dari hilangnya
kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.4
Stadium III (pembedahan), dimulai dengan tcraturnya pernapasan
sampai pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana
yaitu: 4
Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang,
terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil
midriasis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring
dan muntah tidak ada, dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang
sempurna (tonus otot mulai menurun).4
Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi
di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi
otot sedang, dan refleks laring hilang sehingga dikerjakan intubasi.4
Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal
mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral,
refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir
sempuma (tonus otot semakin menurun).4
Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal
paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks
sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik
sempuma (tonus otot sangat menurun).4
25
Stadium IV (paralisis medula oblongata), dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. pada stadium ini
tekanan darah tak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhirnya
terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat
diatasi dengan pernapasan buatan.4,7
Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem
anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa
sehingga ketika digunakan untuk bernapas spontan atau dengan
26
tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat mulut
atau hidung.4
27
Gambar 6. Klasifikasi struktur faring (Mallampati)
Indikasi intubasi trakea
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam
trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi
sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut: 4
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan
sekret jalan napas, dan lain-lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan
efisien, ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
Kesulitan intubasi 4
1 Leher pendek berotot
2 Mandibula menonjol
3 Maksila/gigi depan menonjol
4 Uvula tak terlihat
5 Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6 Gerak vertebra servikal terbatas
Komplikasi intubasi 4
1. Selama intubasi
- Trauma gigi geligi
- Laserasi bibir, gusi, laring
- Merangsang saraf simpatis
- Intubasi bronkus
- Intubasi esophagus
- Aspirasi
- Spasme bronkus
28
2. Setelah ekstubasi
- Spasme laring
- Aspirasi
- Gangguan fonasi
- Edema glottis-subglotis
- Infeksi laring, faring, trakea
Ekstubasi 4
1 Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2 Ekstubasi dikerjakan umumnya pada anestesi sudah ringan dengan
catatan tak akan terjadi spasme laring.
3 Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret
dan cairan lainnya.
29
Morfin
Dosis anjuran untuk menghilangkan nyeri sedang ialah 0,1-0,2
mg/kgBB dan dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dapat diberi
1-2 mg intravena dan diulang sesuai keperluan.
Petidin
Dosis petidin intramuskular 1-2 mg/kgBB dapat diulang tiap 3-4
jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. petidin menyebabkan
kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan takikardi.
Fentanil
Pada fentanil efek depresi napasnya lebih lama dibanding efek
analgesianya. Dosis 1-3 g/kgBB efek analgesianya hanya
berlangsung 30 menit.
Nalokson
Nalokson ialah antagonis murni opioid. Nalokson biasanya
digunakan untuk melawan depresi nafas pada akhir pembedahan
dengan dosisi 1-2 g/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5
menit.4,8
30
Kandungan air lebih besar
31
Bila terpaksa operasi : pemberian antikolinergik, ventilasi masker,
kelembaban udara pernafasan, pengawasan yang lebih lama di
ruang recovery
Laboratorium
Puasa pre operasi
Bayi = 4 jam
Anak = 5 jam
Premedikasi
Midazolam (0,07-0,2 mg/kgBB)
Ketamin 2-3 mg/kgBB
Atropin menurunkan insiden hipotensi pada anak < 3 bulan,
mengurangi sekret
Monitoring : suhu (malignant hipertermia dan hipotermia)
kadar glukosa (hipoglikemia < 30 mg/dL(neonatus))
Induksi anestesi :
Inhalas : agen inhalasi
Intravena : ketamin, propofol, pentotal
Intramuskuler : ketamin, midazolam,
Perrektal : ketamin, pentotal
Induksi intravena
Thiopental (3mg/kg neonate, 5-6 mg/kg u/ infant & children)
efek sedasi pasca operasi
Ketamin 1-2 mg/kgBB
Propofol 2-3 mg/kg hipnosis kuat
Midazolam 0,3-0,5 mg/kgBB
Diazepam 1-2 mg/kgBB
Induksi inhalasi anestesi :
a Alternatif, bila iv line belum terpasang
b Sevoflurane & Halothan
Sevoflurane induksi halus, iritasi minimal
Halothan bronkodilatasi, aritmogenik
Desflurane & isofluran batuk, iritasi jahan nafas, laringospasme
32
b 6 bln-5 tahun : Steal induksi
c > 5 tahun : Single breath induction
d >7/8 tahun : Slow inhalasi induction
2.4.6 Maintanance
Anak < 10 kg Mapleson D circuit low resistance dan ringan
Anak < 10 kg peak insp. Pressure 15-18 cm H2O
Anak lebih besar tidal volume 8 10 mL/kg
Pasca operasi
Posisi pasca operasi :
o 1. Head up : pada pasca operasi daerah abdomen
o 2. Head down : riwayat prdrhn banyak, hipovolemi
o 3. Lateral/semiprone : post TE, puasa kurang
Pengelolaan di ruang recovery gunakan Steward Score
33
Blood loss (Kehilangan darah)
EBV = Neonatus prematur (100 mL/kg), neonatus full term (85-90
mL/kg), infants (80 mL/kg)
Perdarahan > 10% EBV berikan darah (Pilihan :PRC !)
Hematokrit neonatus (55%), bayi 3 bulan (30%), bayi 6 bulan
(35%)
2.4.8 Laringospasme
Merupakan spasme kuat, involunter karena stimulasi nervus laringeus
superior
Pencegahan : ekstubasi pasien awake atau deep
Terapi : jaw thrust- ventilasi tekanan positif, paralisis dgn suksinil
kolin (4-6 mg/kgBB) atau rocuronium (0,4 mg/kg)
Pasien anak diposisikan lateral, shg sekresi oral keluar
34