Anda di halaman 1dari 15

BAB I.

PENDAHULUAN

Hingga akhir abad ke 19 kasus infeksi serebri masih merupakan penyakit yang serius
dan fatal. Terapi yang sukses pertama kali dilaporkan oleh dr JF Weeds pada tahun 1868
dengan melakukan drainase abses serebri di lobus frontal dari seorang letnan kavaleri yang
tertembak pada bagian kepalanya. Selanjutnya Sir William Macewen menjadi pionir operasi
abses serebri setelah pada tahun 1893 telah mempublikasikan monograf berjudul Pyogenic
infective disease of the brain and spinal cord. Banyak perubahan dalam penatalaksanaan
terkait kondisi tersebut. Perkembangan pesat terjadi setelah ditemukan CT scan tahun 1970
sebagai diagnostic baku, rejimen obat antibiotik, serta kemajuan dalam teknik bedah saraf
yang dilakukan lebih awal telah berdampak pada perbaikan prognosis penyakit. Dimana salah
satu infeksi yang terjadi di serebral yaitu Empiema Subdural.
Empiema Subdural merupakan suatu kondisi medis yang serius dan berbahaya,
dimana terjadinya suatu penimbunan nanah diantara otak dan jaringan disekitarnya
(meningen/selaput otak). Akibatnya bisa berdampak buruk terhadap seluruh sistem dalam
tubuh, karena sistem syaraf pusat yang terletak di otak merupakan pusat pengaturan seluruh
organ yang ada didalam tubuh. Ironisnya, Empiema Subdural ini tergolong penyakit yang
sangat sulit untuk didiagnosis, karena tidak memiliki gejala yang spesifik. Bakteri penyebab
abses otak diprediksi bisa menyebabkan terjadinya Empiema Subdural, namun tidak hanya
itu saja ada beberapa komplikasi yang menyebabkan terjadinya penyakit Empiema Subdural,
diantaranya : Infeksi sinus dan infeksi telinga yang hebat atau parah; Pembedahan dan cedera
kepala atau cedera otak ; Infeksi darah yang berasal dari infeksi paru-paru.

1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Empiema adalah suatu kondisi di mana nanah dan cairan dari jaringan yang terinfeksi
terkumpul dalam rongga tubuh. Empiema berasal dari kata Yunani empyein berarti nanah-
memproduksi (bernanah). Empiema yang paling sering digunakan untuk merujuk kepada
akumulasi nanah di ruang di sekitar paru-paru (rongga pleura). Empiema dalam rongga
pleura kadang-kadang disebut thoracis empiema, atau empiema dada, untuk membedakannya
dari empyema yang berasal dari bagian tubuh lainnya. Empiema Subdural adalah suatu
penimbunan nanah diantara otak dan jaringan disekitarnya (meningen).

Anatomi
Otak adalah organ terpenting dalam tubuh yang berfungsi mengatur dan
mengkoordinir berbagai ker"a tubuh seperti pusat motorik& perilaku& dan fungsi$fungsi t
ubuh homeostasisl a i n n y a . ) t a k d i l i n d u n g i o l e h k r a n i u m & m e n i n g e s d a
n *' +
Liquor Cerebro Spinal
,.-eningens terdiri atas ( lapisan& yaitu

B.Penyebab
Biasanya empiema subdural merupakan komplikasi dari:
Infeksi sinus
Infeksi telinga yang hebat
Cedera kepala atau cedera otak
Pembedahan
Infeksi darah yang berasal dari infeksi paru-paru.
Bakteri penyebab abses otak bisa menyebabkan empiema subdural.

2
Mekanisme kuman masuk ke otak melalui beberapa cara :
1. Perluasan langsung dari kontak focus infeksi (25-50 %) : berasal dari sinus, gigi, telinga
tengah atau mastoid. Akses menuju vena drainase otak melalui vena emissary berkatup
yang menjadi drain regio ini.
2. Hematogen (30 %) : berasal dari focus infeksi jauh seperti endocarditis bacterial, infeksi
primer paru dan pleura. Sering menghasilkan multiple abses serebri.
3. Setelah trauma kepala maupun tindakan bedah saraf yang mengenai dura dan
leptomening.
4. Kriptogenik (hingga 30 %) : tidak ditemukan jelas sumber infeksinya.

Tabel 1. Sumber infeksi, flora mikroba patogen

Sumber infeksi Patogen

Paranasal sinuses Streptococcus (especially S. milleri),


Haemophilus, Bacteroides, Fusobacterium
Odontogenic sources Streptococcus, Bacteroides, Prevotella,
Fusobacterium, Haemophilus
Otogenic sources Enterobacteriaceae, Streptococcus,
Pseudomonas, Bacteroides
Lungs Streptococcus, Fusobacterium, Actinomyces
Urinary tract Pseudomonas, Enterobacter
Penetrating head trauma Staphylococcus aureus, Enterobacter, Clostridium
Neurosurgical procedure Staphylococcus, Streptococcus,
Pseudomonas, Enterobacter
Endocarditis Viridans streptococcus, S. aureus
Congenital cardiac malformations Streptococcus
(especially right-to-left shunts)

Penyebaran ke otak melalui :

3
1. Infeksi penyebaran kontigious dari organ yang berdekatan
infeksi mastoid/telinga tengah
Sinus Para Nasal ( sinusitis frontal, etmoidalis, pansinusitis, )
Infeksi Gigi (Ekstraksi gigi, Caries, peny. Periodontal)
Osteomielitis/infeksi pada scalp
2. Penyebaran Infeksi melalui Hematogen
Penyakit Jantung sianotik kongenitalpenyebab tersering Abses otak pada anak
(60%)
Arteriovenous malformasi paru (sindroma Rendu-Osler-Weber)
Infeksi Paru (Abses paru, Bronkiektasis, Pneumonia, Empiema, Fibrosis kistik)
Endokarditis Infeksi
Sepsis IntraAbdomen
Infeksi Traktus Urinarius
3. Infeksi yang berasal dari trauma kepala dan operasi procedure bedah
adanya fragmen tulang yang tersisa atau benda asingresiko infeksi otak
luka yang terkontaminasi atau komplikasi luka di cranium pasca bedah

C.Gejala dan Tanda


Sistemik : demam subfebril, kurang dari 50 % kasus
Serebral umum : sering dikaitkan dengan peningkatan TIK, yaitu :
- Nyeri kepala kronis progresif (> 50 %)
- Mual, muntah
- Penurunan kesadaran
- Papil edema

4
Perasaan mengantuk
Kejang dan tanda-tanda kelainan fungsi otak lainnya disertai sawan, otot melemah, dan
parestesia. Jumlah sel darah putih bertambah banyak disertai diferensial yang
mengindikasi infeksi.
Saat lesi membesar, pasien menunjukkan gejala yang mirip dengan tumor otak yang
berkaitan dengan gangguan fungsi dalam lobus yang diserang.
Ciri khas yang lain berbeda menurut tempat munculnya abses meliputi : abses lobus
temporal (disfasia auditorik reseptif, pelemahan fasial pusat, hemiparesis), abses serebelar
(pusing, nistagmus kasar, pandangan melemah disisi lesi, tremar, ataksia), Abses lobus
frontal (disfasia yang terlihat jelas, hemiparesis disertai sawan motorik unilateral,
mengantuk, kurang perhatian, kerusakan fungsi mental dan sawan)

Tabel 3. Defisit neurologis abses serebri berdasarkan lokasi.

Temporal lobe
Werincke's aphasia
Homonymous superior quadranopsia
Mild contralateral facial muscle weakness
Frontal lobe
Drowsy
Inattentive
Disturbed judgment
Mutism
Seizures
Presence of grasp, suck and snout reflexes
Contralateral hemiparesis (when the abscess is large)
Parietal lobe
Impaired position sense, two point discrimination and
stereognosis
Focal sensory and motor seizures
Homonymous hemianopsia
Impaired opticokinetic nystagmus
Cerebellar
Ataxia

5
Nystagmus (coarser on gaze toward the lesion)
Ipsilaterial incoordination of arm and leg movements with
intention tremor
Brainstem
Facial weakness and dysphagia
Multiple other cranial nerve palsies
Contralateral hemiparesis

D. Komplikasi Empiema Subdural


Komplikasi Empiema Subdural dapat berupa :
Kejang
Infark serebral
Trombosis sinus cavernous dari trombosis septik pembuluh darah serebral yang
berdekatan
Hidrosefalus karena kompresi otak yang mengakibatkan gangguan aliran cairan
serebrospinal Edema serebri
Osteomielitis kranial terutama dalam tulang tengkorak yang berdekatan
Gejala sisa defisit neurologis (misalnya, hemiparesis dan afasia)

E. Patofisiologi
Empiema yang terjadi pada daerah subdural dapat disebabkan oleh sejumlah
organisme yang berbeda, termasuk bakteri, jamur, dan amoeba, dapat berhubungan juga

6
dengan terjadinya pneumonia, luka dada, bedah dada, abses paru, atau esofagus pecah.
Organisme infektif ini bisa masuk ke otak melalui rongga pleura baik melalui aliran darah
atau sistem sirkulasi lainnya, dalam sekresi dari jaringan paru-paru, atau pada permukaan
instrumen bedah atau benda yang menyebabkan luka dada terbuka. Organisme yang paling
umum yang menyebabkan empiema adalah bakteri berikut: Streptococcus pneumoniae,
haemophilus influenzae, dan Staphylococcus aureus. S. aureus adalah penyebab paling umum
pada semua kelompok umur, 90% dari kasus empyema pada bayi dan anak-anak.
Empyema Subdural dapat berasal juga dari empiema pada panggul wanita, yang
paling sering disebabkan oleh strain Bacteroides atau Pseudomonas aeruginosa. Empiema
subdural biasanya merupakan komplikasi dari sinusitis paranasalis dan dapat sangat mirip
dengan abses serebri. Gejala klinis ditandai dengan peninggian tekanan intrakranial seperti
sakit kepala, muntah proyektil dan kejang. Gambaran MRI dan CT scan akan membedakan
kedua kondisi ini. Pada pasien usia lanjut, sakit kronis, atau alkohol, empiema sering
disebabkan oleh spesies Klebsiella pneumoniae bakteri. Ketika organisme penyakit tiba di
rongga sekitar paru-paru, mereka menginfeksi jaringan yang menutupi paru-paru dan garis
dinding dada. Karena tubuh berusaha untuk melawan infeksi, rongga mengisi dengan cairan
jaringan, nanah, dan sel-sel jaringan yang mati. Tanda-tanda dan gejala empiema agak
berbeda sesuai dengan lokasi infeksi dan tingkat keparahannya. Dalam thoracis empyema,
pasien biasanya menunjukkan gejala pneumonia, termasuk demam, batuk, kelelahan, sesak
napas, dan nyeri dada. Mereka dapat memilih untuk berbaring di sisi tubuh yang terkena
empiema tersebut. anggota keluarga mungkin melihat bau mulut. Dalam kasus yang parah,
pasien mungkin mengalami dehidrasi, batuk darah atau kehijauan-coklat sputum,
menjalankan demam setinggi 105 F (40,6 C), atau jatuh ke dalam koma. Pasien dengan
empyema toraks dapat mengembangkan komplikasi yang berpotensi mengancam nyawa jika
kondisi ini tidak diobati. jaringan yang terinfeksi dapat mengembangkan koleksi besar nanah
(abses) yang bisa pecah ke dalam saluran napas pasien, atau infeksi dapat menyebar ke
jaringan sekitarnya jantung. Dalam kasus ekstrim empiema dapat menyebar ke otak dengan
cara bakteri dibawa dalam aliran darah.
Dalam empyema panggul, infeksi menghasilkan sejumlah besar tebal, nanah yang
berbau busuk yang cepat digantikan bahkan setelah drainase. Empiema kandung empedu
ditandai dengan rasa sakit di sisi kanan atas perut, demam tinggi, dan kekakuan otot-otot di
atas area yang terinfeksi. Infeksi bakteri atau kadang-kadang jamur pada tulang tengkorak
atau sinus udara dapat menyebar ke ruang subdural, menghasilkan empiema subdural. Ruang
arachnoid dan subarachnoid mendasari biasanya tidak terpengaruh, tetapi empiema subdural

7
yang besar dapat menghasilkan efek massa. Selanjutnya, tromboflebitis mungkin berkembang
dalam vena menjembatani yang melintasi ruang subdural, mengakibatkan oklusi vena dan
infark. Empiema mungkin memiliki sejumlah penyebab, tetapi yang paling sering komplikasi
pneumonia.

Tabel 1. Waktu dan perkembangan pembentukan abses serebri


Serebritis awal Serebritis lanjut Pembentukan Pembentukan
kapsul awal kapsul akhir
Hari ke 1 s/d 3 Hari ke 4 s/d 9 Hari ke 10 s/d 13 hari ke 14
Infeksi serebri Jaringan pusat Resolusi daerah Kapsul matang
Terisi sel-sel nekrotik serebritis mengelilingi
radang Fibroblast Peningkatan daerah inflamasi
Edema substansia Neovaskular tepi makrofag dan berisi debris dan
alba, batas belum daerah nekrotik fibroblast sel PMN
jelas Pembentukan Edema serebri
kapsul dan edema semakin meluas

F.Diagnosis
Diagnosis abses serebri ditegakkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang. Pencitraan otak merupakan gold standard penegakan diagnosis.

Pemeriksaan penunjang :
1. Laboratorium :
Leukositosis PMN, peningkatan LED
Kultur darah positif hanya pada 30 % kasus, kultur jaringan lain yang diduga sebagai
fokus. Kultur terhadap hasil operasi abses menunjukkan 40 % negatif, mungkin
disebabkan pemberian antibiotika sebelumnya
2. Imajing :
CT scan dengan kontras
MRI dengan kontras : lebih sensitive, terutama pada fase awal infeksi dan lesi di
daerah fossa posterior

3. Penunjang lain :
EEG : abnormalitas EEG di lokasi lesi berupa gelombang lambat kontinyu
Pemeriksaan cairan serebrospinal membantu memastikan infeksi, namun pungsi
lumbar terlalu beresiko karena bisa memperlihatkan kenaikan tekanan intrakranial dan

8
memicu herniasi serebral. Kultur dan sensitivitas drainase mengidentifikasi
organisme.

Gambar 1.Empiema Subdural

F. Penatalaksanaan

Medikamentosa

1. Pemberian terapi antibiotik


Pemberian terapi antibiotik yang tepat diikuti dengan evakuasi abses serta tindakan
menghilangkan fokus infeksi merupakan pengobatan yang optimal.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa terapi konservatif pada kasus empiema subdural dapat
dilakukan jika memenuhi kriteria berikut yaitu :
Status pasien yang tidak menurun,
Non-focal defisit neurologis,
Infeksi (pus) terbatas dan terlokalisir (tidak di fossa posterior) yang dideteksi dengan
CT scan, Adanya perbaikan kondisi setelah pemberian antibiotik.
Kekurangan terapi konservatif berupa tidak teridentifikasinya organisme sehingga terapi
kurang sensitif, pengobatan yang cukup lama, dan perlu dilakukannya CT scan / MRI yang
baru. Terapi konservatif dengan alasan antara lain ; pasien masih bisa berkomunikasi
walaupun kesadaran sudah mulai menurun (GCS 13), abses (pus) masih terlokalisir pada satu
tempat dengan ketebalan + 1,2 cm, belum terlihat efek pendesakan massa yang signifikan
seperti sakit kepala hebat yang disertai muntah proyektil. Terapi konservatif harus di
evaluasi dalam waktu 72 jam untuk melihat ada tidaknya perbaikan atau respon dari
antibiotik dan bila tidak ada perbaikan setelah diberikan antibiotik yang adekuat maka harus
dipertimbangkan untuk segera dilakukan tindakan pembedahan.
Lama Pemberian
9
Terapi konservatif meliputi pemberian antibiotik secara intravena terlebih dahulu,
direkomendasikan selama 3 minggu atau sampai 1 minggu setelah demam tidak ada lagi,
kemudian dilanjutkan dengan pemberian antibiotik oral hingga 6 minggu. Dianjurkan untuk
mengkombinasi pemberian antibiotik yang efektif terhadap kuman gram positif, gram negatif
dan kuman anaerob.
Antibiotik tersebut berupa :
1) Nafsillin, Oksasillin atau Vankomisin ditambah
2) Sefalosporin generasi ketiga dan ditambah
3) Metronidazol.
Kombinasi ketiga antibiotik tersebut memberikan hasil yang optimal selama pengobatan
empiema subdural. Penatalaksanaan yang tepat dan cepat dapat menurunkan angka kematian
akibat empiema subdural. Terapi konservatif berupa pemberian antibiotik dosis tinggi dengan
spektrum luas atau kombinasi untuk kuman aerob dan anaerob dapat memberikan hasil yang
baik.

Tabel 4. Jenis dan dosis antibiotik yang lazim diberikan pada abses serebri atau empiema
subdural

Empiric antibiotics
Immediately begin empiric antibiotics following sterotactic or open biopsy/aspiration to
obtain a specimen for
The antibiotic regimen is dependent on Gram stain, if available, and the likely source of
abscess.
Origin of Treatment
abscess regimen
Oral, otogenic, Metronidazole (15 mg/kg IV as a loading dose, followed by 7.5 mg/kg
or sinus source IV every eight hours) PLUS either penicillin G (20 to 24 million units
per day IV in six equally divided doses) for a suspected oral focus, or
ceftriaxone (2 g IV every 12 hours) or cefotaxime (2 g IV every four to
six hours) for a suspected sinus or otogenic source
Hematogeno Vancomycin* (30 mg/kg IV daily in two equally divided doses
us spread adjusted per renal function) for empiric coverage of methicillin-
resistant Staphylococcus aureus. Metronidazole may be added for
anaerobic coverage
Postoperati Vancomycin* (30 mg/kg IV daily in two equally divided doses
ve adjusted per renal function) PLUS either ceftazidime (2 g IV every
neurosurgic eight hours) orcefepime (2 g IV every eight hours)
al patients
Penetrating Vancomycin* (30 mg/kg IV daily in two equally divided doses
trauma adjusted per renal function) PLUS either ceftriaxone (2 g IV every
12 hours) orcefotaxime (2 g IV every four to six hours)

10
2. Kortikosteroid dan Antikonvulsan
Efek anti inflamasi dari terapi steroid dapat menurunkan edema serebri, mengurangi
tekanan intrakranial, akan tetapi pemberian steroid dapat menurunkan penetrasi antibiotika ke
dalam abses dan dapat memperlambat pengkapsulan terjadinya infeksi, oleh karena itu
penggunaaan secara rutin tidak dianjurkan. Oleh karena itu kortikosteroid sebaiknya hanya
digunakan untuk tujuan mengurangi efek masa atau edema pada herniasi yang mengancam
dan menimbulkan defisit neurologik fokal. Tunkel dan Scheld (1995) menganjurkan
pemberian deksamethason hanya pada penderita dengan resiko tinggi, atau pada penderita
dengan status mental sangat terganggu, edema otak atau tekanan intrakranial tinggi.

Tindakan Non Medikamentosa


Tindakan seperti burr hole ataupun kraniotomi merupakan pilihan terapi pembedahan
yang dapat dilakukan oleh bedah saraf. Terapi pembedahan meliputi evakuasi abses dan
eradikasi sumber infeksi. Pada bayi biasanya dilakukan aspirasi jarum perkutaneus sedangkan
pada anak dan dewasa tindakan burr hole dapat dilakukan untuk evakuasi abses pada pus
yang terlokalisasi dan fase akut. Bila sudah terdapat perluasan dari pus, kantong pus yang
banyak, dianjurkan untuk melakukan kraniotomi yang diikuti dengan irigasi pus. Menurut
Shearman, Lees dan Taylor, tindakan burr hole lebih efisien dan lebih cepat untuk
mengevakuasi empiema secara komplit apalagi dilakukan pada beberapa tempat diiringi
dengan drainase dan irigasi menggunakan antibiotik, tapi harus dilakukan pemeriksaan CT
scan terlebih dahulu untuk memastikan posisi dari empiema tersebut.
Pendapat ini berbeda dengan Mat Nayan dan kawan-kawan yang menyatakan bahwa
kraniotomi memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan burr hole, karena adanya
perubahan tingkat kesadaran yang lebih baik, evakuasi empiema yang lebih komplit dan tidak
perlunya tindakan re-operasi, tapi tindakan ini harus dilakukan sedini mungkin. Tindakan
untuk eradikasi sumber infeksi. Hal ini mengingat efek samping penggunaan deksamethason
yang cukup banyak seperti perdarahan traktus gastrointestinal, penurunan fungsi imun seluler
sehingga menjadi peka terhadap patogen lain dan mengurangi penetrasi antibiotika kedalam
CSF. Keterlambatan tindakan, baik pemilihan tehnik pembedahan ataupun pemberian
antibiotik yang tepat mengarah ke hasil klinis yang memburuk. Agrawal dan kawan-kawan
menyatakan bahwa perbandingan pasien yang dapat menjadi cacat jika dioperasi dalam
waktu kurang dari 72 jam dengan jika dioperasi setelah 72 jam adalah 10% : 70%.

11
G. Prognosis
Angka kematian pada kasus empiema subdural sekitar 13%-15%, dimana dipengaruhi
beberapa faktor terutama tingkat kesadaran sebelum dan setelah pembedahan. Kematian pada
kasus ini diperkirakan karena adanya proses herniasi sentral. Empiema Subdural yang
menyebabkan terjadinya peningkatan volume otak dan proses inflamasi yang menyebabkan
edema serebri merupakan penyebab terjadinya herniasi dimana terdapat desakan pada ruang
otak yang lemah sehingga menyebabkan kerusakan dan kematian sel serta suplai oksigen dan
nutrisi menjadi terputus sehingga terjadi gagal nafas. Kemungkinan lain yang dapat
menyebabkan kematian adalah syok sepsis, ditandai dengan takipneu, takikardi, hipertermi,
hipoksemia, dan hipotensi, sebagai akibat dari disfungsi multipel organ karena perubahan
metabolik dan hormonal tubuh.
Hasil tergantung pada tingkat kesadaran preoperatif, waktu dan agresivitas pengobatan, dan
cepatnya perkembangan penyakit.
Pada tingkat Kesadaran I (composmentis cooperative) dan II (somnolen dan bingung)
memberikan respon yang baik tanpa gejala sisa terhadap pemberian antibiotik saja
apalagi bila dilakukan tindakan drainase.
Pada tingkat kesadaran III (hanya respon terhadap ransangan Nyeri/stupor) dan IV
(tidak ada respon terhadap nyeri/coma) mempunyai prognosis buruk hingga kematian
baik setelah diberikan terapi adekuat berupa pembedahan yang diikuti pemberian
antibiotik.

12
DECISIONMAKING

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Toyin Segun. Subdural Empyema [Internet]. 2015. [Updated Dec 08, 2015; Cited 01
March 2017 ]. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/1168415-
overview#showall
2. Greenlee John. Intracranial Epidural Abscess and Subdural Empyema [Internet]. 2014
[Updated:April2014; Cited 01 March 2017 ].Available fom :
http://www.merckmanuals.com/professional/neurologic-disorders/brain-
infections/intracranial-epidural-abscess-and-subdural-empyema
3. Kim Jiha. Posttraumatic Intracranial Tuberculous Subdural Empyema[Internet].
[ UpdatedApril17,2015;Cited02Feb2017].Availablefrom:
http://www.jkns.or.kr/journal/view.php?number=815
4. Bintoro AC. Abses Serebri. In : Sudewi AAR, Sugianto P, Ritarwan K, editor. Infeksi
Pada Sistem Saraf. Edisi 1. Surabaya : Airlangga University Press; 2011. p. 21-7.
5. Roos KL, Tyler KL. Meningitis, Encephalitis, Brain Abscess, and Empyema. In :
Hauser SL, editor. Harrisons Neurology in Clinical Medicine. 2nd ed. New York :
McGraw Hill Companies; 2010. p. 451-61.
6. Doan Ninh. Intracranial Subdural Empyema a Recurrent Chronic Subdural
Hematoma[Internet].2016.[Update:Sep 20,2016 Cited March 2017] Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5029463/
7. French H, Schaefer N, Keijzers G, Barison D, Olson S. Intracranial subdural
empyema: a 10-year case series. Ochsner J 2014; 14 :188 94
8. Schaefer Nathan. Intracranial Subdural Empyema: A 10-Year Case Series[Internet] .
2014.[Updated:2014;Cited March 02,2017].Available from :
http://www.ochsnerjournal.org/doi/pdf/10.1043/1524-5012-14.2.188

14
9. Frederick FS. Pathogenesis, clinical manifestations, and diagnosis of brain
abscess[Internet]. 2010 [ Updated April 2012, cited 2013 August 5]. Available
from:URL: http://www.misanjuandedios.org/files/Absceso_Cerebral.pdf.
10. G. John. Subdural Empiema. Merck Manual Home Health Handbook. 2013
11. E John. Intracranial Epidural Abscess and Subdural Empyema [Internet].
2017.[ Updated: January 08, 2017,cited: March 07, 2017] Available from:
http://www. Merck manuals. com/ professional / neurologic disorders / brain-
infections / intracranial -epidural-abscess- and- subdural -empyema

15

Anda mungkin juga menyukai