Anda di halaman 1dari 9

MEKANISME HIPERSENSITIVITAS

DISUSUN OLEH :

MOHAMAD PALIH

AFFIANTI RAHMAN

ADE SUTRIANA

NABILA

DADANG SAEPULOH

ENA ELFIANI

IRMA MARLIANA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RAJAWALI


PROGRAM S1 KEPERAWATAN
KELAS NON REGULER RS PARU DR H.A ROTINSULU BANDUNG
2017
HIPERSENSITIVITAS

Hipersensitivitas (atau reaksi hipersensitivitas) adalah reaksi berlebihan, tidak diinginkan


karena terlalu senisitifnya respon imun (merusak, menghasilkan ketidaknyamanan, dan
terkadang berakibat fatal) yang dihasilkan oleh sistem imun.

Reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme dan waktu yang dibutuhkan untuk reaksi,
dibagi menjadi empat tipe: tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV. Penyakit tertentu dapat
dikarenakan satu atau beberapa jenis reaksi hipersensitivitas.

Hipersensitivitas Tipe I

Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas tipe segera. Reaksi ini
berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran
gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari
ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah
terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12
jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler
utama pada reaksi ini adalah sel mast atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh
trombosit, neutrofil, dan eosinofil.

Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit
(tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik
terhadap alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE
merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang
tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan
beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing dan mieloma.

Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah


menggunakan antihistamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization
(imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.

Hipersensitivitas Tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan
imunoglobulin M (IgM) terhadap antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler.
Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang secara langsung
berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi
dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada
target sel

Hipersensitivitas dapat melibatkan molekul komplemen yang berikatan dengan antibodi sel
sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas
tipe II adalah:

Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),

Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat


menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah)

Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus


sehingga menyebabkan kerusakan ginjal)

Hipersensitivitas Tipe III

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan
adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan.
Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks
antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan
adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen
(spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis
memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan
kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit
autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran
sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti
kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.[4]
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena
kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis
akan menimbulkan penyakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis
atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi
Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama
sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit
yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang
menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei
pada paru-paru pembuat keju

Hipersensitivitas Tipe IV

Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe
lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan
makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel
T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang
terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas
pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).

Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu


awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut dapat
dilihat pada tabel di bawah ini

Waktu Penampakan
Tipe Histologi Antigen dan situs
reaksi klinis
Limfosit, diikuti Epidermal (senyawa
48-72
Kontak Eksem (ekzema) makrofag; edema organik, jelatang atau poison
jam
epidermidis ivy, logam berat , dll.)
48-72 Pengerasan Limfosit, monosit, Intraderma (tuberkulin,
Tuberkulin
jam (indurasi) lokal makrofag lepromin, dll.)
Makrofag, Antigen persisten atau
Granulom 21-28
Pengerasan epitheloid dan sel senyawa asing dalam tubuh
a hari
raksaksa, fibrosis (tuberkulosis, kusta, etc.)
Tanda dan Gejala
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental)
menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang
tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems
kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan
diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan
menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran
pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa
intervensi segera,dapatterjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat
mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai
jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal
(ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik,
trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia.
Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:
1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain. gejala
sering disertai pruritis.
2. Demam.
3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi.
4. Limfadenopati
5. kejang perut, mual
6. neuritis optic
7. glomerulonefritis
8. sindrom lupus eritematosus sistemik
9. gejala vaskulitis lain
Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti
demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu
nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi
reaksi obat.
Adapun Gejala klinis umumnya :
1. Pada saluran pernafasan : asma
2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
3. Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal
4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir
F. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi: apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya
urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir.
2. Palpasi: ada nyeri tekan pada kemerahan.
3. Perkusi: mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan.
4. Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng yang
menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)

G. Diagnosa
Bila seorang pasien datang dengan kecurigaan menderita penyakit alergi, langkah
pertama yang harus dilakukan adalah memastikan terlebih dahulu apakah pasien benar-benar
menderita penyakit alergi. Selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan untuk mencari alergen
penyebab, selain juga faktor-faktor non alergik yang mempengaruhi timbulnya gejala.
Prosedur penegakan diagnosis pada penyakit alergi meliputi beberapa tahapan berikut.
1. Riwayat Penyakit. Didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal adanya keterkaitan
penyakit dengan alergi.
2. Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat, dengan perhatian
ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit, konjungtiva, nasofaring, dan paru.
Pemeriksaan difokuskan pada manifestasi yang timbul.
3. Pemeriksaan Laboratorium. Dapat memperkuat dugaan adanya penyakit alergi, namun
tidak untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan laboaratorium dapat berupa hitung jumlah
leukosit dan hitung jenis sel, serta penghitungan serum IgE total dan IgE spesifik.
4. Tes Kulit. Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes tempel) hanya
dilakukan terhadap alergen atau alergen lain yang dicurigai menjadi penyebab keluhan
pasien.
5. Tes Provokasi. Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara langsung kepada
pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan jika terdapat kesulitan diagnosis dan
ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan tes lainnya. Tes provokasi dapat berupa tes
provokasi nasal dan tes provokasi bronkial
H. Penangan dan Terapi
Penanganan gangguan alergi dapat dilakukan dengan cara:
1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin,
isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol, salmeterol,
terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat
menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun
lambat terhadap alergen inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen
selama 34 jam.
b. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di
berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif mereka lebih
efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini
merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat
ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan
asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.

d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi.
Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau intravena
yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal
langsung yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler,
dan kadar Ig E mukosa.
3. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig
E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin dari
basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati
memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya
melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum terapi.
Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka telah
terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan
antigen E ragweed pada kadar berapapun
4. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering
kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedem

Anda mungkin juga menyukai