Anda di halaman 1dari 16

KEMOTERAPI

Kemoterapi merupakan salah satu metode pengobatan kanker mengunakan

obat-obat sitostatika yang bekerja dengan menghancurkan sel-sel kanker. Pengobatan

secara kemoterapi pada pasien kanker dapat ditujukan sebagai pengobatan kuratif

ataupun paliatif. Pada penggunaan dengan tujuan kuratif, kemoterapi diberikan

sebagai tindakan untuk menyembuhkan. Sementara pada pengobatan paliatif,

pemeberian kemoterapi ditujukan untuk mengurangi gejala-gejala yang timbul

sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien, bukan dengan tujuan mengobati

(De Jong, 2002).

Tujuan dan prinsip dari kemoterapi sendiri adalah untuk menghentikan

mikrometastatis sel kanker, mengurangi gejala dan kekambuhan, serta memperbaiki

kualitas dan perpanjangan hidup dari pasien (Dipiro, 2008).

Kemoterapi yang diberikan pada pasien kanker umumnya berupa kombinasi

dari beberapa sitostatika yang diberikan secara bersamaan dengan jadwal yang telah

ditentukan. Sitostatika diberikan secara bersamaan dengan jadwal yang telah

ditentukan. Sitostatika yang diberikan secara persiklus dimana masing-masing siklus

memiliki jeda beberapa waktu. Jeda tersebut ditujukan untuk memberikan waktu pada

tubuh pasien memperbaiki sel-sel normal yang ikut rusak akibat efek samping dari

kemoterapi (Canadian Cancer Society, 2011).

Obat sitostatika bekerja dengan mempengaruhi metabolisme asam nukleat

terutama DNA atau biosintesis protein. Hal ini menyebabkan obat sitostatika bekerja
secara tidak selektif, karena bersifat toksik baik pada sel kanker maupun sel normal.

Sifat toksik tersebut terutama pada sel normal dengan kecepatan proliferasi yang

tinggi, misalnya pada sumsum tulang belakang, sel-sel rambut, kulit, kelenjar

kelamin, janin, dan gastrointestinal. Beberapa obat bahkan memiliki toksisitas

spesifik terhadap organ, seperti nefrotoksisitas pada cisplatin dan neurotoksisitas pada

penggunaan vinkristin (King, 2000).

2.3.1 Penggolongan Sitostatika

Sitostatika dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan faktor bagaimana

obat itu bekerja, struktur kimia obat, dan hubungan obat yang satu dengan yang

lainnya. Beberapa sitostatika memiliki golongan yang sama karena berasal dari

tumbuhan yang sama. Beberapa sitostatika memiliki beberapa mekanisme kerja

sehingga menjadi bagian dari beberapa golongan.

Ditinjau dari kemampuan kerja obat terhadap siklus sel, sitostatika dibagi

menjadi dua golongan, yaitu (Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas

Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2008):

a. Cell cycle specific (CCS)


Sitostatika golongan ini memiliki efek toksik selektif pada sel yang sedang

berpoliferasi.
b. Cell cycle nonspecific (CCNS)
Sitostatika golongan ini efektif terhadap tumor dengan poliferasi tinggi, pada

semua tingkat proliferasi sel kecuali G0.

Sitostatika bekerja terutama pada DNA yang merupakan komponen utama

dari gen yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel, yaitu meliputi: (1)
menghambat sintesa DNA atau RNA sel, (2) merusak replikasi DNA, (3)

mengganggu transkripsi DNA oleh RNA, (4) menggangu kerja gen (Gilman , 2012).

Berdasarkan mekanisme kerja tersebut sitostatika dibagi menjadi beberapa

golongan (Katzung, 2002):

a. Zat Alkilasi
Zat pengalkilasi bekerja secara langsung dengan merusak DNA sel sehingga

mencegah pembelahan sel kanker. Golongan ini bekerja di semua fase siklus sel dan

digunakan untuk mengobati bermacam-macam kanker, termasuk leukemia, limfoma,

penyakit Hodgkin, multiple myeloma, dan sarcoma, serta kanker paru-paru, payudara

dan ovarium (American Cancer Society, 2015).


Mekanisme obat yang mengganggu pembelahan dan fungsi DNA pada

jaringan yang berpoliferasi dengan cepat menjadi dasar penggunaan terapeutiknya,

namun dengan mekanisme tersebut menyebabkan obat memiliki banyak efek toksik.

Mekanisme tersebut terutama ditujukan pada sel-sel yang membelah dengan cepat,

seperti sel-sel kanker.


Karena golongan ini bekerja merusak DNA, maka golongan ini juga dapat

menyebabkan kerusakan jangka panjang pada sumsum tulang. Meskipun jarang

terjadi, golongan obat ini juga dapat menyebabkan penyakit leukemia akut. Resiko

leukemia dari zat pengalkilasi bergantung pada dosis, yang berarti resikonya akan

lebih kecil dengan penggunaan dosis rendah, dan resiko semakin besar jika dosis

ditingkatkan. Resiko leukemia setelah penggunaan alkylating agents tertinggi sekitar

5 sampai 10 tahun setelah terapi.


Obat golongan ini juga berefek pada mukosa dari saluran lambung-usus, sel-

sel kelamin (sterilitas pada proa) dan janin muda (abortus). Selain itu, obat ini pada

prinsipnya juga bersifat karsinogen. Zat pengalkilasi dibagi menjadi kelas yang

berbeda, terdiri dari :


1) Nitrogen mustard : meklortamin (nitrogen mustard), klorambusil,

siklofosfamid (Cytoxan ), ifosfamid, dan melfelan.


2) Nitrourea : streptozosin, Karmustin (BCNU), dan lomustin.
3) Alkil sulfonat : busulfan
4) Triazin : decarbazine (DTIC) dan temozolomid (Temodar )
5) Etilenimin : thiotepa dan altretamin (heksametilmelamin)

Busulfan Klorambusil

Gambar 1 . struktur kimia busulfan dan klorambusil (Sweetman, 2009)

Senyawa Platinum seperti cisplatin, carboplatin, dan oxalaplatin dapat digolongkan

sebagai zat pengalkilasi karena memiliki mekanisme kerja membunuh sel yang sama

namun dengan resiko leukemia yang lebih rendah dibandingkan dengan zat

pengalkilasi. Senyawa ini bekerja dengan menghambat sintesa DNA dan RNA mirip

dengan senyawa alkilasi. Obat ini terutama digunakan pada kanker testis dan ovarium

yang biasanya dikombinasikan dengan bleomisin dan vinblastin atau dengan

etoposida. Efek samping yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang hebat,
serta kerusakan ginjal dan telinga. Efek ototoksisitas tersebut menyebabkan senyawa

platinum tidak boleh dikombinasikan dengan aminoglikosida.

Ifosfamid sangat dekat hubungannya dengan siklofosfamid tetapi memiliki

spectrum aktivitas dan toksisitas yang berbeda. Thiotepa dan busulfan digunakan

khusus untuk kanker ovarium dan leukemia myeloid kronik.

b. Antimetabolit
Antimetabolit menghambat pembentukan DNA dan RNA dengan cara

menggantikan blok badan normal RNA dan DNA. Antimetabolit ini merusak sel

selama fase S, ketika kromosom sel dikopi. Golongan ini biasa digunakan untuk

mengobati leukemia, kanker payudara, kanker ovarium, dan kanker saluran intestinal,

dan juga jenis kanker lainnya (American Cancer Society, 2015).


Sitostatika golongan ini memiliki struktur yang mirip dengan beberapa

metabolit yang penting bagi fisiologi sel yakni asam folat, purin, dan pirimidin. Obat

golongan ini akan menduduki tempat beberapa metabolit tanpa mengambil alih

fungsinya sehingga terjadi kegagalan dalam sintesa DNA atau RNA dan perbanyakan

sel terhenti. Sitostatika golongan ini tergolong dalam prodrug, yang berarti obat baru

akan berubah menjadi metabolit aktif setelah dimetabolisme dalam hati.


Golongan antimetabolit dibagi dalam 3 kelompok, yaitu :
1) Analog asam folat
Bekerja dengan menghambat dihydrofolatreduktase yang bekerja

mengkatalisis dihidrofolat (FH2) menjadi tetrahidrofolat (FH4) yang

merupakan metabolit aktif dari asam folat yang berperan sebagai kofaktor

penting dalam berbagai reaksi transfer atom karbon pada sintesa protein dan

asam nukleat pada sel. Selain itu analog asam folat juga mencegah regenerasi
asam tetrahidrofolat yang penting dalam pemebentukan asam timidilat yang

diperlukan dalam sintesa DNA.


Contoh : metotreksat
2) Analog pirimidin
Analog pirirmidin bekerja dengan menghambat sintesis timidilat, suatu

bahan penting untuk sintesis DNA dan sitosin arabinosida yang dapat

bergabung langsung dengan DNA sehingga menghambat replikasi. Efek

samping obat ini adalah mual, muntah, dan depresi sumsum tulang.
Contoh : 5-flourourasil, sitarabin, gemcitabin, dan capetabin
3) Analog purin
Struktur obat yang mirip dengan beberapa metabolit penting bagi fisiologi

sel membuat obat ini dapat menduduki tempat metabolit tersebut dalam enzim

tanpa mengambil alih fungsinya, sehingga sintesa DNA atau RNA gagal dan

perbanyakan sel akan terhenti. Obat golongan ini tidak bersifat sitotoksik

namun memiliki efek samping merusak hati.

Contoh : 6-merkaptopurin dan 6-tioguanin.

c. Antimitotik
Antimitotik bekerja dengan menghalangi pembelahan sel (mitosis) pada

metaphase (tingkat kedua dari mitosis) tapi dapat merusak sel di semua fase dengan

menghambat enzim pembentuk protein yang dibutuhkan dalam pembentukan sel

(American Cancer Society, 2015). Berbeda dengan zat alkilasi yang menghambat

pemebelahan inti dengan mengganggu pembelahan kromosom, antimitotik bekerja

dengan mencegah masuknya belahan kromosom itu kedalam anak inti.


Contoh : alkaloid vinka (vinkristin, vinblastin, dan derivate semi sintetiknya

vindesin), podofilin, dan obat-obat terbaru dari kelompok taxoida {paclitaksel

(Taxol ), dosetaksel(Taxotere )}

Gambar 2. Struktur kimia dosetaksel (Sweetman, 2009)

Alkaloid vinblastin beserta derivatnya yaitu vinkristin diperoleh dari

tumbuhan Vinca rosea. Obat ini banyak digunakan pada bermacam limfoma dengan

efektifitas yang tinggi. Biasanya alkaloid ini digunakan sebagai terapi kombinasi

dengan bleomisin dan cisplatin atau dengan doksorubisin dan prednisolon. Efek

samping obat ini adalah myelosupresi, terutama leucopenia yang biasanya akan

hilang dalam setelah satu minggu. Pada vinkristin, efek myelosupresi lebih ringan

namun neurotoksisitasnya lebih besar.

Gambar 3. Struktur kimia vinblastin

Golongan obat ini digunakan untuk mengobati bermacam kanker seperti

kanker payudara, paru-paru, myeloma, limfoma, dan leukemia. Golongan ini dapat
menyebabkan kerusakan syaraf, sehingga penggunaan obat golongan ini

pemberiannya dibatasi (American Cancer Society, 2015).

Podofilin diperoleh dari akar tanaman Podophyllum peltatum yang

mengandung zat anti mitotis podofilotoksin. Dua glikosida semi sintetis dari

Podophyllum peltatum adalah etoposida dan teniposida yang bekerja dengan

menghambat fase mitosis pada sel. Etoposida terutama digunakan dalam kombinasi

dengan bleomisin, karboplatin dan cisplatin. Efek samping utamanya adalah

leucopenia dan trombositopenia yang bersifat reversible. Selain itu etoposida juga

menyebabkan mual, muntah, hipotensi, dan kerontokan rambut.

Paclitaxel yang merupakan obat baru dari kelompok taxan yang berkhasiat

sitotoksis dengan jalan menghambat mitosis. Obat ini digunakan khusus pada kanker

ovarium dan kanker payudara setelah terapi dengan cisplatin tidak terlalu member

hasil yang sesuai harapan. Dosetaksel memiliki efek dan mekanisme kerja yang sama

dengan paclitaxcel, namun dengan keaktifan yang lebih yaitu lebih kurang 2 kali

lebih aktif daripada paclitaxcel. Efek samping utama paclitaxcel adalah gejala

myelosupresi hebat, alopecia total, serta efek samping mual dan muntah yang bersifat

ringan.

d. Antibiotik
Obat golongan ini tidak seperti antibiotik yang digunakan untuk mengobati

infeksi. Obat ini bekerja dengan cara mengubah DNA dalam sel kanker untuk

menghambat perkembangan dan pembelahan sel kanker. Antrasiklin merupakan

antibiotik anti kanker yang bekerja mempengaruhi enzim yang terlibat dalam
replikasi DNA. Obat ini bekerja di setiap fase siklus sel. Antrasiklin juga digunakan

secara luas untuk variasi jenis kanker. Dalam pemberian obat ini perlu perhatian lebih

karena obat ini dapat merusak jantung secara permanen jika diberikan dosis tinggi.

Karena alasan ini, dosis seusia hidup dibatasi . Contoh : daunorubisin, doksorubisin,

epirubisin, dan idarubisin (American Cancer Society, 2015).


Doksorubisin bekerja dengan menghambat sintesa dari DNA dan RNA.

Lazimnya digunakan sebagai kombinasi, terutama pada leukemia akut, limfoma

nonhodgkin, kanker ovarium, brokus dan kanker payudara metastase. Obat ini sangat

kardiotoksis dan juga myelotoksis. Efek samping lain dari obat ini berupa mual,

muntah, dan kerontokan rambut total yang bersifat reversibel.

Gambar 4. Struktur kimia doksorubisin (Sweetman, 2009)


Epirubisin memiliki toksisitas jantung dan sumsum tulang yang lebih rendah

dibandingkan dengan doksorubisin. Efek mual dan muntah juga lebih rendah pada

epirubisin. Namun untuk mendapatkan efek yang sama dengan doksorubisin pada

kanker payudara dibutuhkan dosis epirubisin yang lebih tinggi.

Gambar 5. Struktur kimia Epirubisin (Sweetman, 2009)


Bleomisin merupakan campuran dari dua zat yang dihasilkan oleh

Streptomyces verticillus yang efektif untuk kanker testis jika dikombinasikan dengan

vinblastin dan cisplatin. Efek samping paling berat adalah toksisitas pada organ paru

yang menyebabkan perlunya dilakukan monitoring fungsi paru pada pasien yang

menggunakan obat ini. Selain itu bleomisin juga sering merusak kulit dan juga

mukosa.

e. Imunomodulansia
Obat golongan ini diberikan pada pasien kanker untuk membantu sistem imun

tubuhnya untuk mengenali dan menyerang sel kanker. Obat ini memiliki metoda yang

unik dalam pengobatan dan sering dianggap terpisah dari kemoterapi. Ada jenis

imunoterapi yang berbeda-beda, yaitu Active immunotherapies menstimulasi sistem

imun tubuh dengan sendirinya untuk melawan penyakit. Passive immunotherapies

tidak bergantung pada tubuh untuk melawan penyakit, komponen sistem imun tubuh

seperti antibody diproduksi diluar tubuh dan diberikan untuk melawan kanker

(American Cancer Society, 2015).


Contoh imunoterapi aktif yaitu :
1) Terapi antibodi monoclonal, seperti rituximab dan alemtuzumab
2) Non spesifik imunoterapi dan adjuvant, seperti BCG, interleukin-2, dan

interferon-alfa
3) Obat-obat imunomodulansia, seperti thalidomide dan lenalidomida
Vaksin kanker merupakan jenis dari imunoterapi aktif. Pada tahun 2010, FDA

menyetujui vaksin pertama untuk mengobati kanker (Provenge vaksin untuk

kanker prostat), vaksin lainnya untuk jenis kanker lainnya masih dalam

penelitian (American Cancer Society, 2015).


f. Hormon dan anti hormon
Golongan hormon dan anti hormon memiliki mekanisme yang berbeda-beda.

Mekanisme spesifik tergantung pada kanker dan hormon yang berkaitan. Misal, pada

kanker prostat dan payudara, dimana pertumbuhan tumor yang sebagian bergantung

pada hormon-hormon kelamin, sehingga pertumbuhan tumor dapat dihambat dengan

pemberian hormon yang berlawanan.


Golongan obat ini umumnya adalah golongan hormon seks, atau obat-obatan

hormonal yang dapat mempengaruhi produksi normal hormon pada pria dan wanita.

Golongan obat ini digunakan untuk menghambat pertumbuhan sel pada payudara,

prostat, dan endometrium (rahim), yang normalnya berkembang akibat pengaruh

alami hormon dalam tubuh.


Pengobatan kanker dengan menggunakan hormon tidak bekerja dengan cara

yang sama seperti obat kemoterapi pada umumnya, tetapi memiliki mekanisme kerja

dengan mencegah sel kanker menggunakan hormon untuk tumbuh dan berkembang,

atau dengan mencegah tubuh untuk menghasilkan hormon. Misalnya pada hormon

kelamin pada kanker payudara dan prostat yang diberikan karena pertumbuhan sel

yang tergantung dari hormon tersebut.


Contoh obat-obat terapi hormon :
1) Anti-estrogen : fulvestrant, tamoxifen, dan toremifen.
2) Inhibitor enzim aromatase : anastrozole, exemestane, dan letrozole
3) Progestin : megestrol asetat
4) Estrogen
5) Anti-androgen : bicalutamid, flutamid, dan nilutamid
6) Gonadotropin-releasing hormon (GnRH), yang juga diketahui sebagai agonis

hormon luteinizing (LHRH) : leuprolid dan goserelin.


g. Golongan obat-obat lain
Contoh dari golongan obat-obat ini adalah enzim asparaginase, senyawa-

senyawa platina, hidroksiurea, prokarbazin, topotecan, dan irinotecan. Totpotecan


merupakan obat terbaru dengan mekanisme kerja menghambat enzim yang terlibat

pada replikasi DNA. Topotecan sendiri bekerja dengan menghambat enzim yang

bekerja pada perbanyakan sel dan replikasi DNA sehingga berefek memusnahkan sel-

sel tumor yang sedang tumbuh. Efek sampingya relative tidak begitu berat, seperti

mual, muntah, dan kerontokan rambut.


Prokarbazin memiliki mekanisme kerja yang mirip dengan zat alkilasi yang

khusus digunakan pada limfoma hodkin bersama klormetin, vinkristin, dan

prednisone. Efek samping utamanya adalah myelosupresi, hemodialisa, gangguan

lambung, gangguan usus, reaksi neurologis dan pendarahan.

2.3.2 Cara Pemberian Kemoterapi

Menurut Cancer Council Australia (2012), cara pemberian obat kemoterapi

dibagi menjadi :

a. Pemberian secara intravena


Kemoterapi umumnya diberikan dalam bentuk tetesan cairan infus ke dalam

pembuluh darah (intravena).

b. Pemberian secara oral


Berberapa orang butuh meminum obatdalam bentuk tablet atau kapsul saat

dirumah.
c. Pemberian secara topikal (krim)
Beberapa kanker kulit diobati dengan menggunakan kemoterapi krim yang

diaplikasikan langsung pada kulit.


d. Pemberian secara injeksi
Lebih sedikit umumnya, kemoterapi dapat diinjeksikan dengan menggunakan

jarum pada bagian tubuh yang berbeda-beda, seperti : intramuscular,


subkutan, intratekal, intra-arterial, intraperitoneal, intrapleural, intravesika,

dan intralesional
e. Chemotherapy wafers
Beberapa pasien yang harus dioperasi untuk tumor otak (kraniotomi) akan

memiliki gel wafer kemoterapi kecil yang dapat larut yang ditempatkan

langsung pada bagian tumor selama operasi berlangsung.


f. Kemoterapi dosis tinggi
Terapi ini diberikan sebagai bagian dari sumsum tulang atau transplantasi

stem sel jaringan darah untuk kondisi seperti leukemia atau limfoma.

Kemoterapi dosis tinggi membunuh semua sel kanker pada darah sebelum sel

baru dan sehat di transplantasikan.

g. Kemoembolisasi
Digunakan untuk kanker hati atau beberapa tipe kanker yang telah menyebar

ke hati, kemoembolisasi adalah prosedur penyuntikan kemoterapi secara

langsung ke dalam pembuluh darah yang mensuplai tumor sehinnga

memblokir tumor mendapatkan nutrisi dan oksigen.

2.3.3 Perhitungan Dosis Kemoterapi

Mayoritas dosis kemoterapi diberikan secara individual tiap pasien dan

umumnya dihitung berdasarkan Luas Permukaan Tubuh (LPT) atau berat badan.

Perhitungan LPT harus dibakukan dan digunakan dengan metode yang sama oleh

semua petugas kesehatan di institusi. Perhitungan metode Mosteller merupakan yang

paling sederhana dan secara luas digunakan walaupun metode yang lainnya seperti

metode DuBois juga dapat digunakan. Untuk pasien dengan berat badan atau indeks

massa tubuh yang ektrim perlu mendapatkan perhatian khusus dan penggunaan obat
adjuvant harus dilakukan perhitungan LPT. Hal ini sangat penting karena faktor

lainnya seperti fungsi ginjal, fungsi hati, dan status kondisi juga dimasukkan dalam

perhitungan dosis (Carrington, 2008).

Rumus Mosteller (Mosteller, 1987) :

Luas permukaan tubuh ( m2 ) =


berat badan ( kg ) tinggi badan(cm)
3600

Pembulatan dosis yang dianjurkan adalah 5% dari dosis hasil perhitungan

karena berdasarkan suatu penelitian terhadap regimen kemoterapi FEC, rentang

tersebut tidak berbeda makna dalam munculnya toksisitas akut kemoterapi (Sukandar,

et.al., 2014). Atau perhitungan luas permukaan tubuh lainnya seperti rumus DuBois

and DuBois : BSA (m2)= 0.007184 Tinggi (cm)0.725 Berat (kg)0.425, dan rumus

Haycock : BSA (m2)=0.024265 Tinggi (cm)0.3964 Berat (kg)0.5378 (Wang,

et.al.,1992).

RUJUKAN

American Cancer Society. 2015. Chemotherapy principles Atlanta. Diakses 15


Januari 2015 dari http://www.cancer.org.

Canadian Cancer Society. 2011. Chemotherapy and Other Drug Therapies: A guide
for people with cancer. Ontorio: Canadian Cancer Society.

Davey, P. 2002. Medicine at a glance. Jakarta: Erlangga.

De Jong, W. 2002. Kanker, apakah itu? pengobatan, harapan hidup, dan dukungan
keluarga. Jakarta: Penerbit Arkan.
Dipiro J.T., Medina P.J & Fausel C. 2008. Cancer treatment and chemotheraphy in
pharmacotheraphy a pathophysiologic approach handbook 7 edition. New
th

York: The McGraw-Hill.

Gilman, A.G, Joel, G.H, & Lee, E.L. 2012. Goodman & Gilman dasar farmakologi
terapi edisi 10. Tim ahli bahasa Sekolah Farmasi ITB. Jakarta: EGC.

Katzung, B. 2012. Basic and clinical pharmacology 12thedition. Jakarta: Penerbit


Buku Kedokteran EGC.

King, R. J. B. 2000. Cancer biology second edition. London: Pearson Education


Limited.

Mosteller, R.D. 1987. Simplified calculation of body-surface area. N Engl J Med, Vol.
317: pp. 1098.

Sweetman, C.S. 2009. Martindale: The complete drug reference 36th edition.
Chicago: Pharmaceutical Press.

Wang, Y., Jonathan, M. & Ronald, T. 1992. Predictors of body surface area. J Clin
Anesth, Vol. 4, No. 1: pp. 4-10.

Anda mungkin juga menyukai