0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
365 tayangan4 halaman
Tiga puisi ini membahas tentang katarsis atau pembebasan emosi, kehilangan identitas bangsa, dan kebangkitan kembali sebagai tuan di tanah air sendiri. Puisi-puisi ini menggambarkan perjalanan bangsa yang penuh luka namun akhirnya mampu bangkit kembali dan menentukan nasib sendiri.
Tiga puisi ini membahas tentang katarsis atau pembebasan emosi, kehilangan identitas bangsa, dan kebangkitan kembali sebagai tuan di tanah air sendiri. Puisi-puisi ini menggambarkan perjalanan bangsa yang penuh luka namun akhirnya mampu bangkit kembali dan menentukan nasib sendiri.
Tiga puisi ini membahas tentang katarsis atau pembebasan emosi, kehilangan identitas bangsa, dan kebangkitan kembali sebagai tuan di tanah air sendiri. Puisi-puisi ini menggambarkan perjalanan bangsa yang penuh luka namun akhirnya mampu bangkit kembali dan menentukan nasib sendiri.
apakah yang sempat kita kutip lewat darah dan air mata poyang moyang yang tumpah ke cangkir resah resah menggeliat ke tanah resah menggeliat ke rimba resah memulas ke tulang bangsa
barangkali kitalah penanam padi-padi hampa
membiarkan anak-anak keridik mencuri merisik malinja dan mahsuri, di bendang galauan hingga gugup mengatur genta pertama gugup lahir di mata kita gugup lahir di suara kita gugup membiak di mana-mana
kita tidak lagi pernah bertanya kenapa manusia
harus jadi manusia tanpa menolak kebenaran untuk jadi manusia yang tegar meniup seruling kemanusiaan yang ligat memetik kecapi keseluruhan kerana kita lupa apa yang tersimpan di album bangsa
album bangsa pernah menyimpan sejuta potret luka
luka berpinar ke nyali jagat luka berputar ke rohaniah umat luka menyentak haluan kiblat
esok kita bakal menggali tanah dan menggalas
cangkelong maut dari kulit sendiri ke manakah bangkai dosa akan dikirim ke kali tujuh penjuru gunung atau ke laut tuju penjuru tanjung, sedang kita pernah menari ala canggung maharisi di kaki bicara nihilisme sempurnakah kekesalan kita dengan melimpahkan air mata nanah ke luka bangsa jerit kita nanti Cuma tulang-tulang yang tidak sempat ditalkinkan pada saat pertama lolong angin tenggara memintal duka bersama pekik kita nanti cuma darah-darah yang sempat dikebumikan pada saat pertama raung hujan selatan menganyam gugup yang bergantungan di dada
mari kita lagukan canggung katarsis
arena kita nanti lagi saujana padang lalang muzik kita nanti bukan lagi tubuh sayap merpalang
Ayunkan roh anak ke pintu hakiki
Dodoikan nyali anak ke perabung maknawi Temani tidur mereka dengan mimpi-mimpi wangi Dan selimut Iman dari tuhan Kitalah Tuan Hasyim Yaacob
Kita lari menggendong maruah diri
resah cemas di bumi sendiri Lalu berapakah harga kelangsungan nafas ketika kita tunduk tewas terkongkong dan tertindas?
Ratusan tahun kita ketiadaan wajah,
apakah tanda kehandalan pahlawan sedang bangsa menjadi suruhan? Ratusan tahun kita kehilangan rupa, Di tanah sendiri tuannya siapa? Betapa bosan dalam kehilangan tiada seri di mata, segala malap, tiada cahaya di jiwa, segala gelap, lalu mengeluhrintih bangsa bawahan, kerana pendatang berdiri, mempertidak hak dan menuding jari:
"Kami sebenarnya tuan,
kamu yang lemah adalah suruhan!"
Tetapi segala sementara, segala sementara,
tidak terbenam inti keberanian tidak terkikis nadi kepahlawanan: bangkit Tok Janggut dengan kegagahan, bangkit Mat Kilau dengan kecekalan, bangkit Maharaja Lela dengan kehandalan, bangkit Bahaman dengan keyakinan, bangkit segala wira, bangkit, bangkit bangsaku memaknakan pertuanan: berbadai di jiwa membela ibunda berapi di mata menuntut merdeka!
Kini bagaikan permata,
merdeka di genggaman kita tergenggam juga kebijaksanaan. kitalah penentu kelangsungan.
Pengalaman adalah perisai sejati,
tegap kita dengan mata waspada santun kita dengan telinga budi, kita bangunkan tiang yang lima, dalam rangka hidup bersama kita ukir hala tuju dengan agama, budaya dan ilmu.