Anda di halaman 1dari 4

KE RUANG KATARSIS

Zaen Kasturi

Sesudah mengisi mimpi sesia di ranjang nyedar


apakah yang sempat kita kutip lewat darah dan air mata
poyang moyang yang tumpah ke cangkir resah
resah menggeliat ke tanah
resah menggeliat ke rimba
resah memulas ke tulang bangsa

barangkali kitalah penanam padi-padi hampa


membiarkan anak-anak keridik mencuri merisik
malinja dan mahsuri, di bendang galauan
hingga gugup mengatur genta pertama
gugup lahir di mata kita
gugup lahir di suara kita
gugup membiak di mana-mana

kita tidak lagi pernah bertanya kenapa manusia


harus jadi manusia tanpa menolak kebenaran untuk jadi manusia
yang tegar meniup seruling kemanusiaan
yang ligat memetik kecapi keseluruhan
kerana kita lupa
apa yang tersimpan di album bangsa

album bangsa pernah menyimpan sejuta potret luka


luka berpinar ke nyali jagat
luka berputar ke rohaniah umat
luka menyentak haluan kiblat

esok kita bakal menggali tanah dan menggalas


cangkelong maut dari kulit sendiri
ke manakah bangkai dosa akan dikirim
ke kali tujuh penjuru gunung
atau ke laut tuju penjuru tanjung, sedang kita
pernah menari ala canggung maharisi
di kaki bicara nihilisme
sempurnakah kekesalan kita dengan melimpahkan air mata nanah ke luka bangsa
jerit kita nanti
Cuma tulang-tulang yang tidak sempat ditalkinkan
pada saat pertama lolong angin tenggara memintal duka bersama
pekik kita nanti
cuma darah-darah yang sempat dikebumikan
pada saat pertama raung hujan selatan menganyam gugup
yang bergantungan di dada

mari kita lagukan canggung katarsis


arena kita nanti lagi saujana padang lalang
muzik kita nanti bukan lagi tubuh sayap merpalang

Ayunkan roh anak ke pintu hakiki


Dodoikan nyali anak ke perabung maknawi
Temani tidur mereka dengan mimpi-mimpi wangi
Dan selimut Iman dari tuhan
Kitalah Tuan
Hasyim Yaacob

Kita lari menggendong maruah diri


resah cemas di bumi sendiri
Lalu berapakah harga kelangsungan nafas
ketika kita tunduk tewas
terkongkong dan tertindas?

Ratusan tahun kita ketiadaan wajah,


apakah tanda kehandalan pahlawan
sedang bangsa menjadi suruhan?
Ratusan tahun kita kehilangan rupa,
Di tanah sendiri tuannya siapa?
Betapa bosan dalam kehilangan
tiada seri di mata, segala malap,
tiada cahaya di jiwa, segala gelap,
lalu mengeluhrintih bangsa bawahan,
kerana pendatang berdiri,
mempertidak hak dan menuding jari:

"Kami sebenarnya tuan,


kamu yang lemah adalah suruhan!"

Tetapi segala sementara, segala sementara,


tidak terbenam inti keberanian
tidak terkikis nadi kepahlawanan:
bangkit Tok Janggut dengan kegagahan,
bangkit Mat Kilau dengan kecekalan,
bangkit Maharaja Lela dengan kehandalan,
bangkit Bahaman dengan keyakinan,
bangkit segala wira, bangkit,
bangkit bangsaku memaknakan pertuanan:
berbadai di jiwa membela ibunda
berapi di mata menuntut merdeka!

Kini bagaikan permata,


merdeka di genggaman kita
tergenggam juga kebijaksanaan.
kitalah penentu kelangsungan.

Pengalaman adalah perisai sejati,


tegap kita dengan mata waspada
santun kita dengan telinga budi,
kita bangunkan tiang yang lima,
dalam rangka hidup bersama
kita ukir hala tuju
dengan agama, budaya dan ilmu.

Kitalah tuan.

Anda mungkin juga menyukai