Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Ketuban Pecah Dini

1. Definisi

Ketuban pecah dini adalah ketuban pecah sebelum ada tanda- tanda

persalinan, tanpa memperhatikan usia gestasi dan dapat terjadi kapan saja

dari 1-12 jam atau lebih.(Varney, H. 2007)


Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya

melahirkan atau sebelum in partu, pada pembukaan < 4 cm (fase laten)

yang dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya

melahirkan.(Nugroho,T. 2011)
Ketuban Pecah Dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnyab ketuban

sebelum waktu melahirkan. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan

maupun jauh sebelum usia kehamilan 37 minggu. KPD yang memanjang

adalah KPD yang terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan.

(Asuhan Kebidanan 4 (Patologi) : 230)

Kebanyakan ibu dengan KPD akan mengalami persalinan spontan dan

hasilnya baik. Namun, ada bahaya yang berhubungan dengan ketuban

pecah meliputi infeksi, tali pusat menumbung, infeksi latrogenik, asenden

dari pemeriksaan vagina dan perlunya indukasi atau augmentasi persalinan

dengan intervensi yang sesuai. (Chapman, Vicky, 2006 : 6).


Dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah dalam proses

persalinan, ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban

sebelum persalinan. Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia

kehamilan 37 minggu di sebut ketuban pecah dini pada kehamilan

premature. Dalam keadaan normal 8-10% perempuan hamil aterm akan

mengalami ketuban pecah dini. (sarwono prawirohardjo, 2008)

Ketuban pecah dini prematur terjadi pada 1% kehamilan pecahnya

selaput ketuban berkaitan dengan perubahan proses biokimia yang terjadi

dalam kolagen matrix ekstra seluler amnion, korion dan apoptosis

membrane janin. Membran janin dan desidua bereaksi terhaap stimuli

seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban dengan memproduksi

mediator seperti prostaglandin, sitokinin dan protein hormon yang

merangsang aktivitas matrix degrading enzim. (sarwono

prawirohardjo,2008)

Ketuban pecah dini / KPD (early rupture of the

membrane) didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum waktunya

melahirkan. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh

sebelum waktunya melahirkan. KPD preterm adalah KPD sebelum usia

kehamilan 37 minggu. KPD yang memanjang adalah KPD yang terjadi

lebih dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan.

Kejadian KPD berkisar 5-10% dari semua kelahiran, dan KPD

preterm terjadi 1% dari semua kehamilan. 70% kasus KPD terjadi pada
kehamilan cukup bulan. KPD merupakan penyebab kelahiran prematur

sebanyak 30%.

2. Penyebab

Penyebab KPD masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan

secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang

berhubungan erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang lebih

berperan sulit diketahui (Nugroho, 2011).


Faktor-faktor predisposisi itu antara lain adalah:
a. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis).
Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana

korion, amnion dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri.

Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan

janin, bahkan dapat berlanjut menjadi sepsis (Prawirohardjo, 2008).


Membrana khorioamnionitik terdiri dari jaringan viskoelastik.

Apabila jaringan ini dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan

akan menipis dan sangat rentan untuk pecah disebabkan adanya

aktivitas enzim kolagenolitik. Grup B streptococcus mikroorganisme

yang sering menyebabkan amnionitis. Selain itu Bacteroides fragilis,

Lactobacilli dan Staphylococcus epidermidis adalah bakteri-bakteri

yang sering ditemukan pada cairan ketuban pada kehamilan preterm.

Bakteri-bakteri tersebut dapat melepaskan mediator inflamasi yang

menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini menyebabkan adanya perubahan

dan pembukaan serviks, dan pecahnya selaput ketuban (Varney, 2007).


Jika terdiagnosis korioamnionitis, perlu segera dimulai upaya untuk

melahirkan janin sebaiknya pervaginam. Sayangnya, satu-satunya

indikator yang andal untuk menegakkan diagnosis ini hanyalah demam;


suhu tubuh 38C atau lebih, air ketuban yang keruh dan berbau yang

menyertai pecah ketuban yang menandakan infeksi (Anonim, 2007).


b. Riwayat ketuban pecah dini
Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya beresiko 2-4 kali

mengalami ketuban pecah dini kembali. Patogenesis terjadinya ketuban

pecah dini secara singkat ialah akibat adanya penurunan kandungan

kolagen dalam membrane sehingga memicu terjadinya ketuban pecah

dini dan ketuban pecah dini preterm terutama pada pasien risiko tinggi

(Nugroho, 2010).
Wanita yang mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan atau

menjelang persalinan maka pada kehamilan berikutnya wanita yang

telah mengalami ketuban pecah dini akan lebih beresiko mengalaminya

kembali antara 3-4 kali dari pada wanita yang tidak mengalami ketuban

pecah dini sebelumnya, karena komposisi membran yang menjadi

mudah rapuh dan kandungan kolagen yang semakin menurun pada

kehamilan berikutnya (Anonim, 2007).


c. Tekanan intra uterin
Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan

(overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion dan gemeli. Pada

kelahiran kembar sebelum 37 minggu sering terjadi pelahiran preterm,

sedangkan bila lebih dari 37 minggu lebih sering mengalami ketuban

pecah dini (Nugroho, 2010).


Perubahan pada volume cairan amnion diketahui berhubungan erat

dengan hasil akhir kehamilan yang kurang bagus. Baik karakteristik

janin maupun ibu dikaitkan dengan perubahan pada volume cairan

amnion. Polihidramnion dapat terjadi akibat kelainan kongenital,

diabetes mellitus, janin besar (makrosomia), kehamilan kembar,


kelainan pada plasenta dan tali pusat dan penggunaan obat-obatan

(misalnya propiltiourasil). Kelainan kongenital yang sering

menimbulkan polihidramnion adalah defek tabung neural, obstruksi

traktus gastrointestinal bagian atas, dan kelainan kromosom (trisomi 21,

18, 8, 13) komplikasi yang sering terjadi pada polihidramnion adalah

malpresentasi janin, ketuban pecah dini, prolaps tali pusat, persalinan

pretem dan gangguan pernafasan pada ibu (Prawirohardjo, 2008).


d. Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia)
Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia),

didasarkan pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk

mempertahankan kehamilan. Inkompetensi serviks sering menyebabkan

kehilangan kehamilan pada trimester kedua. Kelainan ini dapat

berhubungan dengan kelainan uterus yang lain seperti septum uterus

dan bikornis. Sebagian besar kasus merupakan akibat dari trauma bedah

pada serviks pada konisasi, produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi

berlebihan serviks pada terminasi kehamilan atau laserasi obstetrik

(Prawirohardjo, 2008).
Diagnosa inkompetensi serviks ditegakkan ketika serviks menipis

dan membuka tanpa disertai nyeri pada trimester kedua atau awal

trimester ketiga kehamilan. Umumnya, wanita datang kepelayanan

kesehatan dengan keluhan perdarahan pervaginam, tekanan pada

panggul, atau ketuban pecah dan ketika diperiksa serviksnya sudah

mengalami pembukaan. Bagi wanita dengan inkompetensi serviks,

rangkaian peristiwa ini akan berulang pada kehamilan berikutnya,

berapa pun jarak kehamilannya. Secara tradisi, diagnosis inkompetensia

serviks ditegakkan berdasarkan peristiwa yang sebelumnya terjadi,


yakni minimal dua kali keguguran pada pertengahan trimester tanpa

disertai awitan persalinan dan pelahiran ( Morgan, 2009).


Faktor resiko inkompetensi serviks meliputi riwayat keguguran

pada usia kehamilan 14 minggu atau lebih, adanya riwayat laserasi

serviks menyusul pelahiran pervaginam atau melalui operasi sesar,

adanya pembukaan serviks berlebihan disertai kala dua yang

memanjang pada kehamilan sebelumnya, ibu berulang kali mengalami

abortus elektif pada trimester pertama atau kedua, atau sebelumnya ibu

mengalami eksisi sejumlah besar jaringan serviks (Morgan, 2009).


e. Paritas
Para adalah seorang wanita yang pernah melahirkan bayi yang

dapat hidup (Saifuddin, 2006). Paritas terbagi menjadi primipara dan

multipara. Primiparitas adalah seorang wanita yang telah melahirkan

bayi hidup atau mati untuk pertama kali. Multiparitas adalah wanita

yang telah melahirkan bayi hidup atau mati beberapa kali (sampai 5 kali

atau lebih) (Varney, 2007).


f. Kehamilan dengan janin kembar
Pada kehamilan kembar, evaluasi plasenta bukan hanya mencakup

posisinya tetapi juga korionisitas kedua janin. Pada banyak kasus

adalah mungkin saja menentukan apakah janin merupakan kembar

monozigot atau dizigot. Selain itu, dapat juga ditentukan apakah janin

terdiri dari satu atau dua amnion. Upaya membedakan ini diperlukan

untuk memperbaiki resiko kehamilan. Pengawasan pada wanita hamil

kembar perlu ditingkatkan untuk mengevaluasi resiko persalinan

preterm. Gejala persalinan preterm harus ditinjau kembali dengan

cermat setiap kali melakukan kunjungan (Nugroho, 2010).


Wanita dengan kehamilan kembar beresiko tinggi mengalami

ketuban pecah dini juga preeklamsi. Hal ini biasanya disebabkan oleh

peningkatan massa plasenta dan produksi hormon. Oleh karena itu,

akan sangat membantu jika ibu dan keluarga dilibatkan dalam

mengamati gejala yang berhubungan dengan preeklamsi dan tanda-

tanda ketuban pecah (Varney, 2007).


g. Usia ibu yang 20 tahun
Usia ibu yang 20 tahun, termasuk usia yang terlalu muda dengan

keadaan uterus yang kurang matur untuk melahirkan sehingga rentan

mengalami ketuban pecah dini. Sedangkan ibu dengan usia 35 tahun

tergolong usia yang terlalu tua untuk melahirkan khususnya pada ibu

primi (tua) dan beresiko tinggi mengalami ketuban pecah dini

(Nugroho, 2010).
Usia dan fisik wanita sangat berpengaruh terhadap proses

kehamilan pertama, pada kesehatan janin dan proses persalinan. World

Health Organisation (WHO) memberikan rekomendasi sebagaimana

disampaikan Seno (2008) seorang ahli kebidanan dan kandungan dari

RSUPN Cipto Mangunkusumo, Sampai sekarang, rekomendasi WHO

untuk usia yang dianggap paling aman menjalani kehamilan dan

persalinan adalah 20 hingga 30 tahun. Kehamilan di usia kurang dari 20

tahun dapat menimbulkan masalah karena kondisi fisik belum 100%

siap (Agil, 2007).


Beberapa resiko yang bisa terjadi pada kehamilan di usia kurang

dari 20 tahun adalah kecenderungan naiknya tekanan darah dan

pertumbuhan janin terhambat. Bisa jadi secara mental pun wanita

belum siap. Ini menyebabkan kesadaran untuk memeriksakan diri dan


kandungannya menjadi rendah. Di luar urusan kehamilan dan

persalinan, risiko kanker leher rahim pun meningkat akibat hubungan

seks dan melahirkan sebelum usia 20 tahun ini. Berbeda dengan wanita

usia 20-30 tahun yang dianggap ideal untuk menjalani kehamilan dan

persalinan. Di rentang usia ini kondisi fisik wanita dalam keadaan

prima. Rahim sudah mampu memberi perlindungan atau kondisi yang

maksimal untuk kehamilan. Umumnya secara mental pun siap, yang

berdampak pada perilaku merawat dan menjaga kehamilannya secara

hati-hati (Agil, 2007).


Pendapat Seno (2008), usia 30-35 tahun sebenarnya merupakan

masa transisi Kehamilan pada usia ini masih bisa diterima asal kondisi

tubuh dan kesehatan wanita yang bersangkutan termasuk gizinya, dalam

keadaan baik. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, proses kehamilan

dan persalinan berkaitan dengan kondisi dan fungsi organ-organ wanita.

Artinya, sejalan dengan bertambahnya usia, tidak sedikit fungsi organ

yang menurun. Semakin bertambah usia, semakin sulit hamil karena sel

telur yang siap dibuahi semakin sedikit. Selain itu, kualitas sel telur

juga semakin menurun. Itu sebabnya, pada kehamilan pertama di usia

lanjut, resiko perkembangan janin tidak normal dan timbulnya penyakit

kelainan bawaan juga tinggi, begitu juga kondisi-kondisi lain yang

mungkin mengganggu proses kehamilan dan persalinan seperti

kelahiran preterm ataupun ketuban pecah dini (Agil, 2007).

3. Patofisiologi
Banyak teori, mulai dari defek kromosom, kelainan kolagen, sampai

infeksi. Pada sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi

(sampai 65%). High virulence : bacteroides. Low virulence : lactobacillus.

Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblas, jaringan

retikuler korion dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen

dikontrol oleh sistem aktifitas dan inhibisi interleukin-1 (IL-1) dan

prostaglandin. Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas

IL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga

terjadi depolimerisasi kolagen pada selaput korion / amnion, menyebabkan

selaput ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan.

4. Tanda dan Gejala

Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui

vagina. Aroma air ketuban berbau manis dan tidak seperti bau amoniak,

mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat

dan bergaris warna darah. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena

terus diproduksi sampai kelahiran. Tetapi bila ibu duduk atau berdiri,

kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya "mengganjal" atau

"menyumbat" kebocoran untuk sementara.

Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin

bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi.

5. Diagnosa
Menegakkan diagnosa KPD secara tepat sangat penting. Karena

diagnosa yang positif palsu berarti melakukan intervensi seperti

melahirkakn bayi terlalu awal atau melakukan seksio yang sebetulnya

tidak ada indikasinya. Sebaliknya diagnosa yang negatif palsu berarti akan

membiarkan ibu dan janin mempunyai resiko infeksi yang akan

mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu

diperlukan diagnosa yang cepat dan tepat. Diagnosa KPD ditegakkan

dengan cara :

a. Anamnesa

Penderita merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang

banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir atau ngepyok. Cairan berbau

khas, dan perlu juga diperhatikan warna, keluanya cairan tersebut

tersebut his belum teratur atau belum ada, dan belum ada pengeluaran

lendir darah.

b. Inspeksi

Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari

vagina, bila ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak,

pemeriksaan ini akan lebih jelas.

c. Pemeriksaan dengan spekulum.

Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak keluar cairan

dari orifisium uteri eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar,
fundus uteri ditekan, penderita diminta batuk, megejan atau megadakan

manuvover valsava, atau bagian terendah digoyangkan, akan tampak

keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada fornik anterior.

d. Pemeriksaan dalam

Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada

lagi. Mengenai pemeriksaan dalam vagina dengan tocher perlu

dipertimbangkan, pada kehamilan yang kurang bulan yang belum dalam

persalinan tidak perlu diadakan pemeriksaan dalam. Karena pada waktu

pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan mengakumulasi segmen bawah

rahim dengan flora vagina yang normal. Mikroorganisme tersebut bisa

dengan cepat menjadi patogen. Pemeriksaan dalam vagina hanya

diulakaukan kalau KPD yang sudah dalam persalinan atau yang

dilakukan induksi persalinan dan dibatasi sedikit mungkin.

e. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboraturium

Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna,

konsentrasi, bau dan pH nya. Cairan yang keluar dari vagina ini

kecuali air ketuban mungkin juga urine atau sekret vagina. Sekret

vagina ibu hamil pH : 4-5, dengan kertas nitrazin tidak berubah

warna, tetap kuning.

2) Tes Lakmus (tes Nitrazin), jika krtas lakmus merah berubah

menjadi biru menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). pH air


ketuban 7 7,5, darah dan infeksi vagina dapat mengahsilakan

tes yang positif palsu.


3) Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada

gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik

menunjukkan gambaran daun pakis.


4) Pemeriksaan ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan

ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah

cairan ketuban yang sedikit. Namun sering terjadi kesalahn pada

penderita oligohidromnion.

Walaupun pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam dan

caranya, namun pada umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan

anamnesa dan pemeriksaan sedehana.

6. Komplikasi KPD

Komplikasi paling sering terjadi pada KPD sebelum usia kehamilan

37 minggu adalah sindrom distress pernapasan, yang terjadi pada 10-40%

bayi baru lahir. Risiko infeksi meningkat pada kejadian KPD. Semua ibu

hamil dengan KPD prematur sebaiknya dievaluasi untuk kemungkinan

terjadinya korioamnionitis (radang pada korion dan amnion). Selain itu

kejadian prolaps atau keluarnya tali pusar dapat terjadi pada KPD.

Oligohidramnion, bahkan sering partus kering (dry labor) karena air

ketuban habis.
Risiko kecacatan dan kematian janin meningkat pada KPD preterm.

Hipoplasia paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada KPD

preterm. Kejadiannya mencapai hampir 100% apabila KPD preterm ini

terjadi pada usia kehamilan kurang dari 23 minggu.

7. Penatalaksanaan

Ketuban pecah dini ternasuk dalam kehamilan beresiko tinggi.

Kesalahan dalam mengelola KPD akan membawa akibat meningkatnya

angka morbiditas dan mortalitas ibu maupun bayinya.

Penatalaksaan KPD masih dilema bagi sebagian besar ahli kebidanan,

selama masih beberapa masalah yang masih belum terjawab. Kasus KPD

yang cukup bulan, kalau segera mengakhiri kehamilan akan menaikkan

insidensi bedah sesar, dan kalau menunggu persalinan spontan akan

menaikkan insidensi chorioamnionitis. Kasus KPD yang kurang bulan

kalau menempuh cara-cara aktif harus dipastikan bahwa tidak akan terjadi

RDS, dan kalau menempuh cara konservatif dengan maksud untuk

memberi waktu pematangan paru, harus bisa memantau keadaan janin dan

infeksi yang akan memperjelek prognosis janin.

Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan. Kalau umur

kehamilan tidak diketahui secara pasti segera dilakukan pemeriksaann

ultrasonografi (USG) untuk mengetahui umur kehamilan dan letak janin.

Resiko yang lebih sering pada KPD dengan janin kurang bulan adalah

RDS dibandingkan dengan sepsis. Oleh karena itu pada kehamilan kurang
bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu yang optimal untuk

persalinan. Pada umur kehamilan 34 minggu atau lebih biasanya paru-paru

sudah matang, chorioamnionitis yang diikuti dengan sepsi pada janin

merupakan sebab utama meningginya morbiditas dan mortalitas janin.

Pada kehamilan cukup bulan, infeksi janin langsung berhubungan dengan

lama pecahnya selaput ketuban atau lamanya perode laten.

Kebanyakan penulis sepakat mengambil 2 faktor yang harus

dipertimbangkan dalam mengambil sikap atau tindakan terhadap penderita

KPD yaitu umur kehamilan dan ada tidaknmya tanda-tanda infeksi pada

ibu.

a. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm (> 37 Minggu)


Beberapa penelitian menyebutkan lama periode laten dan durasi

KPD keduanya mempunyai hubungan yang bermakna dengan

peningkatan kejadian infeksi dan komplikasi lain dari KPD. Jarak

antara pecahnya ketuban dan permulaan dari persalinan disebut

periode latent = L.P = lag period. Makin muda umur kehamilan

makin memanjang L.P-nya.


Pada hakekatnya kulit ketuban yang pecah akan menginduksi

persalinan dengan sendirinya. Sekitar 70-80 % kehamilan genap bulan

akan melahirkan dalam waktu 24 jam setelah kulit ketuban pecah, bila

dalam 24 jam setelah kulit ketuban pecah belum ada tanda-tanda

persalinan maka dilakukan induksi persalinan, dan bila gagal

dilakukan bedah caesar.


Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada

ibu. Walaupun antibiotik tidak berfaeadah terhadap janin dalam uterus


namun pencegahan terhadap chorioamninitis lebih penting dari pada

pengobatanya sehingga pemberian antibiotik profilaksis perlu

dilakukan. Waktu pemberian antibiotik hendaknya diberikan segera

setelah diagnosis KPD ditegakan dengan pertimbangan : tujuan

profilaksis, lebih dari 6 jam kemungkinan infeksi telah terjadi, proses

persalinan umumnya berlangsung lebih dari 6 jam.


Beberapa penulis meyarankan bersikap aktif (induksi persalinan)

segera diberikan atau ditunggu sampai 6-8 jam dengan alasan

penderita akan menjadi inpartu dengan sendirinya. Dengan

mempersingkat periode laten durasi KPD dapat diperpendek sehingga

resiko infeksi dan trauma obstetrik karena partus tindakan dapat

dikurangi.
Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat

ketat terhadap keadaan janin, ibu dan jalannya proses persalinan

berhubungan dengan komplikasinya. Pengawasan yang kurang baik

dapat menimbulkan komplikasi yang fatal bagi bayi dan ibunya (his

terlalu kuat) atau proses persalinan menjadi semakin kepanjangan (his

kurang kuat). Induksi dilakukan dengan mempehatikan bishop score

jika > 5 induksi dapat dilakukan, sebaliknya < 5, dilakukan

pematangan servik, jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio

sesaria.
b. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm (< 37 minggu)
Pada kasus-kasus KPD dengan umur kehamilan yang kurang

bulan tidak dijumpai tanda-tanda infeksi pengelolaanya bersifat

koservatif disertai pemberian antibiotik yang adekuat sebagai

profilaksi.
Penderita perlu dirawat di rumah sakit, ditidurkan dalam posisi

trendelenberg, tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam untuk

mencegah terjadinya infeksi dan kehamilan diusahakan bisa mencapai

37 minggu, obat-obatan uteronelaksen atau tocolitic agent diberikan

juga tujuan menunda proses persalinan.


Tujuan dari pengelolaan konservatif dengan pemberian

kortikosteroid pada pnderita KPD kehamilan kurang bulan adalah agar

tercapainya pematangan paru, jika selama menunggu atau melakukan

pengelolaan konservatif tersebut muncul tanda-tanda infeksi, maka

segera dilakukan induksi persalinan tanpa memandang umur

kehamilan
Induksi persalinan sebagai usaha agar persalinan mulai

berlangsung dengan jalan merangsang timbulnya his ternyata dapat

menimbulkan komplikasi-komplikasi yang kadang-kadang tidak

ringan. Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi gawat janin sampai

mati, tetani uteri, ruptura uteri, emboli air ketuban, dan juga mungkin

terjadi intoksikasi.
Kegagalan dari induksi persalinan biasanya diselesaikan dengan

tindakan bedan sesar. Seperti halnya pada pengelolaan KPD yang

cukup bulan, tidakan bedah sesar hendaknya dikerjakan bukan

semata-mata karena infeksi intrauterin tetapi seyogyanya ada indikasi

obstetrik yang lain, misalnya kelainan letak, gawat janin, partus tak

maju,dan lain-lain.
Selain komplikasi-kompilkasi yang dapat terjadi akibat tindakan

aktif. Ternyata pengelolaan konservatif juga dapat menyebabakan

komplikasi yang berbahaya, maka perlu dilakukan pengawasan yang


ketat. Sehingga dikatan pengolahan konservatif adalah menunggu

dengan penuh kewaspadaan terhadap kemungkinan infeksi intrauterin.


Sikap konservatif meliputi pemeriksaan leokosit darah tepi setiap

hari, pemeriksaan tanda-tanda vital terutama temperatur setiap 4 jam,

pengawasan denyut jamtung janin, pemberian antibiotik mulai saat

diagnosis ditegakkan dan selanjutnya stiap 6 jam.


Pemberian kortikosteroid antenatal pada preterm KPD telah

dilaporkan secara pasti dapat menurunkan kejadian RDS.The National

Institutes of Health (NIH) telah merekomendasikan penggunaan

kortikosteroid pada preterm KPD pada kehamilan 30-32 minggu yang

tidak ada infeksi intramanion. Sedian terdiri atas betametason 2 dosis

masing-masing 12 mg IM tiap 24 jam atau dexametason 4 dosis

masing-masing 6 mg tiap 12 jam.


8. Terapi
Apabila terjadi pecah ketuban, maka segeralah pergi ke rumah sakit.

Risiko kelahiran bayi prematur adalah risiko terbesar kedua setelah infeksi

akibat ketuban pecah dini. Pemeriksaan mengenai kematangan dari paru

janin sebaiknya dilakukan terutama pada usia kehamilan 32-34 minggu.

Hasil akhir dari kemampuan janin untuk hidup sangat menentukan langkah

yang akan diambil. Kontraksi akan terjadi dalam waktu 24 jam setelah

ketuban pecah apabila kehamilan sudah memasuki fase akhir. Semakin

dini ketuban pecah terjadi maka semakin lama jarak antara ketuban pecah

dengan kontraksi. Jika tanggal persalinan sebenarnya belum tiba, dokter

biasanya akan menginduksi persalinan dengan pemberian oksitosin

(perangsang kontraksi) dalam 6 hingga 24 jam setelah pecahnya ketuban.

Tetapi jika memang sudah masuk tanggal persalinan dokter tak akan
menunggu selama itu untuk memberi induksi pada ibu, karena menunda

induksi bisa meningkatkan resiko infeksi (Anonim, 2011).


Penggunaan steroid untuk pematangan paru janin masih merupakan

kontroversi dalam KPD. Penelitan terbaru menemukan keuntungan serta

tidak adanya risiko peningkatan terjadinya infeksi pada ibu dan janin.

Steroid berguna untuk mematangkan paru janin, mengurangi risiko

sindrom distress pernapasan pada janin, serta perdarahan pada otak.

Penggunaan antibiotik pada kasus KPD memiliki 2 alasan. Yang pertama

adalah penggunaan antibiotic untuk mencegah infeksi setelah kejadian

KPD preterm. Dan yang kedua adalah berdasarkan hipotesis bahwa KPD

dapat disebabkan oleh infeksi dan sebaliknya KPD preterm dapat

menyebabkan infeksi. Keuntungan didapatkan pada wanita hamil dengan

KPD yang mendapatkan antibiotik yaitu, proses kelahiran diperlambat

hingga 7 hari, berkurangnya kejadian korioamnionitis serta sepsis neonatal

(infeksi pada bayi baru lahir) (Saifuddin, 2006).

Anda mungkin juga menyukai