Anda di halaman 1dari 10

49

BAB 6. BIOSTRATIGRAFI BERDASARKAN


FOSIL MIKRO FORAMINIFERA

Penyusunan biostratigrafi berdasarkan fosil makro, mengandalkan pada ketelitian pengamatan di lapangan.
Contoh batuan yang diambil harus masih insitu, kedudukan stratigrafi dan lokasi contoh batuan diketahui dengan
pasti dan diplot pada peta eksplorasi. Kedudukan atronomis (garis Lintang dan garis Bujur), serta ketinggian
lokasi dapat ditentukan dengan bantuan alat GPS. Bila karena sesuatu hal (misalnya nomor sample terlepas dari
kantong contoh, catatan yang berkaitan dengan fosil tersebut hilang) contoh batuan tidak diketahui posisinya, fosil
tersebut akan kehilangan nilai ilmiahnya. Anda hanya akan berhadapan dengan sisa kehidupan dan tidak dapat
berbicara apa-apa. Bagaimana dengan fosil mikro ?

6.1. MACAM CONTOH BATUAN


Penyusunan biostratigrafi dengan fosil mikro (baik untuk jenis Foraminifera atau fosil mikro jenis lainnya, misal
Ostracoda, Radiolaria, Diatomea), contoh batuan yang diproses untuk mendapatkan data diperoleh dengan cara:
(1). Mengambil contoh batuan di lapangan dari singkapan batuan terpilih.
Yakinkan bahwa anda berhadapan dengan batuan sedimen yang potensial mengandung fosil. Untuk itu
anda diminta cermat betul dalam membaca singkapan batuan. Pada saat mengambil contoh batuan
sebagai bahan untuk menyusun biostratigrafi, jangan sampai ada ikutan kontaminasi/guguran lapisan
yang ada diatasnya. Jalur pengambilan contoh batuan seperti pada saat anda melakukan stratigrafi
terukur di lapangan. Jarak antara sampel yang satu dengan sampel yang lain, disarankan paling jauh 10
feet. Namun demikian, ketentuan ini tidak mati, artinya boleh kurang atau lebih, dengan
mempertimbangkan jenis lithologi yang mungkin ada fosilnya. Sebagai contoh, pada jarak 10 feet, ternyata
didapatkan batupasir kasar, sedang pada 9 feet ditemukan batulempung, maka batulempung yang dipilih
meskipun jarak dengan sampel sebelumnya kurang dari 10 feet.
o Bagaimana, apabila tiap perlapisan diambil satu contoh ?, sedang batuan sedimen tersebut
mempunyai tebal lapisan 20 meter ?.
o Bagaimana pula bila tiap perlapisan, sedang ketebalan masing-masing perlapisan hanya 10 cm.
Tampaknya, jarak 10 feet ini yang masuk akal, karena panjang batang bor yang paling pendek
adalah 10 feet.
o Bagaimana pula bila tiap perlapisan, sedang ketebalan masing-masing perlapisan mencapai 50
meter ?
o Mungkinkah pada batuan beku akan didapatkan fosil ?.
o Mungkinkah pada batuan metamorf, anda akan mendapatkan fosil ?.
o Mungkinkah pada batuan jenis breksi, konglomerate, batupasir berbutir kasar akan didapatkan
fosil ?

Gambar 6.1. Contoh batuan diambil dari singkapan


50

Gambar 6.2. Singkapan batuan yang mungkin dijumpai fosil mikro

Gambar 6.3. Singkapan batuan sedimen yang kemungkinan besar


tidak didapatkan fosil mikro (mengapa ?)

Gambar 6.4. Singkapan batuan yang tidak mungkin didapatkan


fosil mikro [pelapukan batuan beku (gbr.kiri),
batuan metamorf (gbr.kanan)]

Gambar 6.5. Singkapan batuan yang tidak mungkin didapatkan fosil


mikro [daerah volkanik (gbr.kiri), lapisan batuan
lapuk lanjut (gbr.kanan)].

(2). Memanfaatkan contoh batuan dalam bentuk core (inti pemboran).


Untuk menyusun biostratigrafi, contoh batuan hendaknya dipilih/diambil secara sistimatis. Coring pada
umumnya dilakukan pada saat tahap pemboran eksplorasi. Core tersebut ditempatkan dalam corebox, dan
disimpan di gudang tempat penyimpanan sampel eksplorasi. Kedalaman masing-masing core diketahui
dengan pasti. Dengan demikian kedudukan stratigrafi sampel dalam bentuk core, seperti halnya sampel
51

yang diambil pada singkapan dapat diketahui dengan pasti. Pada core juga tidak ada percampuran
dengan dinding lubang pemboran, atau runtuhan (caving) dari lapisan batuan diatasnya. Sangat
disarankan, pada saat mengambil sample batuan dari core ambil pada bagian tengah core, hindarkan
mengambil pada bagian tepinya. Suatu yang ideal apabila anda dapat memperoleh core secara menerus,
namun hal ini jarang dilakukan. Pada umumnya coring dilakukan dengan interval 10 feet (1 meter kurang
lebih = 3 feet). Walaupun demikian, pengambilan contoh ini tidak kaku, boleh kurang atau lebih
disesuaikan dengan jenis lithologi yang kemungkinan besar mengandung fosil.

Gambar 6.6. Pengambilan sampel pada saat pengeboran

Gambar 6.7. Contoh batuan dalam bentuk core hasil pemboran

(3). Memanfaatkan contoh batuan dalam bentuk cutting.


Cutting adalah serpihan/pecahan batuan yang terikut naik bersama dengan lumpur pemboran. Dalam hal
anda memanfaatkan serpihan/cutting kedalaman contoh cutting yang diambil secara pasti tidak diketahui
dengan tepat. Sangat mungkin akan terjadi percampuran antara cutting (yang sesungguhnya) dengan
batuan dari runtuhan (caving) dinding lubang bor. Dalam hal yang demikian ada metode khusus yang
perlu diterapkan untuk menyusun biostratgrafi. Dalam kasus ini teknik mencari batas zonasi berbeda bila
dibandingkan dengan sampel model 1 atau model 2. Pada model 1 dan model 2 kedudukan sampel dengan
pasti dapat diketahui.

Gambar 6.8. Aliran cutting (gbr.kiri), bentuk cutting yang


tercampur lumpur pemboran (gbr.kanan)

6.2. STANDART OPERATING PROCEDURE.


Dalam menyusun biostratigrafi, Standart Operating Procedure (SOP) kerja sudah dibakukan. Pembakuan ini wajib
dipatuhi karena bertujuan untuk menghindarkan terjadi kesalahan. SOP tersebut adalah sebagai berikut:
52

1. Persiapkan semua contoh batuan yang akan diproses, susun sesuai dengan urutan stratigrafi. Catat
nomor kode batuan yang akan dianalisa.
2. Contoh batuan yang sudah dipersiapkan, diambil sebagian dengan volume tertentu atau dengan
berat tertentu. Volume atau berat sampel yang akan diperiksa harus sama. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui vertilitas (kelimpahan fosil) batuan.
3. Contoh batuan yang dipilih, diproses untuk mendapatkan wash residu
4. Proses wash residu lebih lanjut dan pisahkan antara fosil dengan mineral
5. Diskripsi semua fosil yang telah dipisahkan hingga tingkatan species. Manfaatkan figure type fosil
yang ditemukan untuk menentukan nama dalam taksonomi. Biostratigrafi suatu cekungan
sedimentasi merupakan rahasia perusahaan. Oleh sebab di beberapa perusahaan eksplorasi
minyak bumi, penyusunan biostratigrafi memakai dengan nama species nomor, bukan nama species
seperti dalam taksonomi. Sebagai contoh: nama species nomor adalah Globorotalia 3, nama ini
menggantikan nama dalam taksonomi Globorotalia tumida. Oleh sebab itu sangat dianjurkan
masing-masing laboratorium eksplorasi minyak bumi membuat/menyusun fosil holotype sendiri.
6. Hitung jumlah individu untuk masing-masing species.
7. Susun dalam bentuk tabel nama fosil dan kelimpahannya. Disarankan dalam membuat tabel nama
fosil, disamping dipertimbangkan urutan stratigrafi contoh batuan, juga kemunculan awal (First
Appearance = FA) dari species yang bersangkutan perlu diperhatikan. Untuk mempermudah
membaca jumlah individu fosil yang semula ditentukan dengan jumlah nilai absolute (dengan
angka) , dimodifikasi menjadi jumlah relatif. Misal: jumlah individu < dari 5, ditulis sangat jarang
(very rare = vr); jumlah 6-10, ditulis jarang (rare = r); jumlah 11- 15, ditulis umum (common = c);
jumlah 16-20, ditulis sangat umum (very common = vc); dan jumlah > 20 ditulis melimpah
(abundance = a). Dengan cara demikian, anda akan terhindarkan membaca bilangan 1 sampai
lebih dari 20
8. Susun biostratigrafi dengan konsep:
a. Bila contoh batuan diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan (yaitu pada saat
membuat stratigrafi terukur, baik stratigrafi lintasan tunggal atau stratigrafi lintasan
berjenjang). Tatacara menentukan batas biostratigrafi/zonasi dengan memperhatikan
kemunculan awal (First Appearance = FA species). Hal ini dipertimbangkan karena
sampel yang dianalisa diyakini tidak terjadi kontaminasi fosil dari batuan yang lain.
Disamping itu, kedudukan contoh batuan dapat diketahui dengan pasti. Biostratigrafi Blow
(1969) dan Bolli (1957), Banner and Blow (1965), Bolli dan Premoli Silva (1973), untuk
endapan tropical Neogene, disusun dengan memanfaatkan Foraminifera planktonic.
Srinivisan dan Kennet (1981), menyusun biostratigrafi Tersier untuk daerah temperate
(ikim dingin = sub tropik) berdasarkan Foraminifera planktonic.
b. Bila contoh batuan diperoleh dari lapangan merupakan core (inti pemboran), tatacara
penyusunan biostratigrafi memperhatikan kemunculan awal (First Appearance = FA)
species. Hal ini dipertimbangkan, diyakini sampel tidak terjadi kontaminasi. Fosil dari
contoh batuan lain tidak akan tercampur. Disamping itu, kedudukan (kedalaman) contoh
batuan dapat diketahui dengan pasti.
c. Bila contoh batuan yang diperoleh merupakan serpihan pemboran (cutting), tatacara
penentuan batas biostratigrafi/zonasi memperhatikan kemunculan akhir (Last Appearance
= LA). Hal ini dipertimbangkan karena contoh batuan yang dianalisis telah terkontaminasi
oleh serpihan batuan yang lain. Kontaminasi pada cutting tidak dapat dihindari dan pasti
terjadi. Disamping itu kedudukan ( nilai kedalaman) contoh yang dianalisis tidak
diketahui dengan pasti.
Biostratigrafi yang disusun oleh Billman, Hottinger dan Oesterle (1980) mempergunakan
konsep Last Appearance = LA), memanfaatkan cutting hasil pemboran eksplorasi di
Cekungan Kutai, Kalimantan Timur. Biostratigrafi Billman, Hottinger dan Oesterle ini
53

merupakan penemuan baru, dan sekaligus membuktikan bahwa Foraminifera benthonic


kecil dapat dipergunakan untuk menyusun biostratigrafi.
Catatan
Sebelum tahun 1980, hampir semua paleontologist sepakat bahwa hanya jenis
Foraminifera planktonic saja yang dapat dimanfaatkan untuk menyusun biostratigrafi.
Penemuan ini sekaligus membuktikan bahwa ilmu paleontologi terus berkembang sesuai
dengan ketersediaan data. Konsep yang sudah beberapa puluh tahun dipertahankan dan
diyakini kebenarannya menjadi berubah sesuai dengan penemuan data yang baru.
Bila tahapan penyusunan biostratigrafi telah selesai dilakukan, langkah selanjutnya paleontologist
melakukan interpretasi sesuai dengan tujuan penelitian geologi yang telah ditentukan sebelumnya.

Catatan
Untuk model (1).
Apabila sampel batuan diperoleh dari singkapan batuan.
1. Persiapkan peta geologi daerah yang akan diteliti
2. Tentukan Formasi batuan yang akan diteliti / disusun biostratigrafinya
3. Lakukan orientasi lapangan, dengan panduan peta geologi yang ada.
4. Cari dan tentukan singkapan lithologi yang baik dengan bantuan alat GPS, catat kedudukan
astronomi (lintang dan bujur, serta ketinggian tempat)
5. Tentukan kedudukan stratigrafi lithologi dengan berpedoman pada strike dan dip perlapisan
batuan yang dilihat dilapangan.
Apabila tidak memiliki peta geologi daerah yang bersangkutan, lalu bagaimana ?
Langkah pertama buat peta geologi terlebih dahulu
Kemudian tentukan Formasi batuan yang akan diteliti/disusun biostratigrafinya

Apabila dilapangan tidak didapatkan singkapan batuan, karena permukaan topografinya tertutup oleh
pelapukan batuan atau endapan alluvial, maka sampel batuan terpaksa diperoleh dengan cara melakukan
pemboran dangkal (baik dengan bor tangan (auger holling atau bor Bangka)
Timbul pertanyaan mendasar,
o berapa meter interval pengambilan sampel batuan ?
o Secara ideal, tiap perlapisan batuan diambil contohnya.
Timbul pertanyaan,
o bagaimana bila perlapisan batuan tipis (misal mempunyai ketebalan satu sentimeter, sedang tebal
Formasi batuan keseluruhan 500 meter, bilamana akan selesai dan berapa banyak contoh batuan
yang harus diambil ?
o Tiap lapisan batuan, diwakili contoh bagian bawah, bagian tengah dan bagian atas. Bila
ini dilakukan biostratigrafi yang disusun sangat kasar dan tidak mempunyai nilai ilmiah
sama sekali.
Timbul pertanyaan:
o Bagaimana bila didapatkan perlapisan batuan yang cukup tebal (misal, mempunyai ketebalan 20
meter, atau anda berhadapan dengan batuan yang massif yang tidak terlihat perlapisannya.
o Bagaimana tingkat ketelitian biostratigrafi yang diperoleh ?
Lakukan treatment sampel dengan mengikuti standart kerja (SOP) yang telah ditentukan.
Catatan
Mempertimbangkan panjang pipa pemboran yang paling pendek (pada saat coring) adalah 10 feet (=3
meter), disarankan pengambilan sampel batuan berinterval 3 meter, dengan memperhatikan pula macam
lithologi yang diperkirakan mengandung fosil. Misal, bila pada interval 3 meter, didapatkan lapisan
batupasir kasar, sedang stratigrafis di atas atau dibawahnya didapatkan lapisan napal yang banyak
54

mengandung fosil, maka interval 3 meter, merupakan suatu interval pendekatan, diartikan dapat lebih atau
dapat kurang.

Untuk model (2).


Apabila sampel batuan, diperoleh sebagai core pemboran.
1. Tentukan kedudukan dan ketinggian lokasi pemboran dengan bantuan alat GPS
2. Apabila dimungkinkan setiap interval 3 meter dilakukan coring, namun bila hal ini dilakukan maka
akan memperlambat pelaksanaan pemboran eksplorasi. Pada umumnya permintaan seperti ini jarang
yang dapat dipenuhi. Perlu diingat dalam pemboran paleontologist sebagai penyerta.
3. Ambil sebagai core, usahakan agar sampel yang diambil tidak terkontaminasi dari lapisan batuan
pada saat coring sebelumnya.
Lakukan treatment sampel sesuai dengan standart kerja yang telah ditentukan

Untuk model (3)


Apabila sampel batuan diperoleh sebagai cutting
1. Tentukan kedudukan dan ketinggian lokasi pemboran dengan bantuan GPS
2. Apabila dimungkinkan setiap interval 1 meter, dilakukan pembersihan cutting. Cutting akan
keluar bersama dengan lumpur pemboran, tangkap dan bersihkan. Tentukan kedalaman
pemboran (dapat ditanyakan kepada master bor)
3. Ambil sebagian dari cutting yang sudah dipisahkan dari lumpur pemboran. Perlu diingat bahwa
cutting yang diperoleh dipastikan telah terkontaminasi (tercampur) dengan cutting pemboran
sebelumnya, yang terbawa oleh lumpur pemboran, dan hal ini tidak dapat dihindarkan
4. Lakukan treatment sampel sesuai dengan standart kerja yang telah ditentukan.
Tatacara treatment sampel untuk mendapatkan fosil Foraminifera, sampai pada cara determinasi
specimen, mengikuti tata kerja yang telah ditentukan.

6.3. BIOSTRATIGRAFI STANDART


Banyak biostratigrafi yang telah berhasil disusun oleh paleontologist. Sebagai contoh disuguhkan
biostratigrafi yang disusun oleh:
o (1). Blow (1969) berdasarkan Foraminifera planktonik untuk daerah tropis,
o (2). Srinivasan & Kennett (1981) berdasarkan Foraminifera planktonik untuk daerah temperate
o (3). Billman, Hottinger dan Oesterle (1980) berdasarkan Foraminifera benthonik khususnya
species Rotaliidae.
Biostratigrafi-biostratigrafi ini sampai sekarang masih dipakai sebagai acuan. Perhatikan tabel
berikut dan perhatikan kosep F.A dan L.A.

1. Tropical Neogene Biostratigrafi zonation (Blow,1969)


ZONATION (Ma) DATUM

PLEISTOCENE N 22 Gr. truncatulinoides F.A.


LATE N 21 F.A.
3.1 Gr. tosaensis
PLIOCENE N 19-20
EARLY
N 19 4.8 Sa. Dehiscens F.A.
LATE N 18 5.0 Gr. tumida tumida F.A.
8 6.2 Pu. primalis F.A.
N 17
A 7.7 Gr. plesiatumida F.A.
N 16 10.0 N. acostaensis F.A.
55

N 15 11.2 Gr. slakensis L.A.

MIOCENE
N 14 12.0 Gg. Nepenthes F.A.
N 13 12.4 Gr. lobata/robusta L.A.
MIDDLE N 12 13.9 Gr. fohsi fohsi F.A.
N 11 14.7 Gr. praetoshi F.A.
N 10 15.3 Gr. peripheroocuta L.A.
N9 16.0 Orbutina spp. F.A.
N8 17.2 Gs. sicanus F.A.
N7 18.0 Gs. dissimilis L.A.
N6 18.6 Gt. Insueta F.A.
EARLY
N5 20.5 Gr. kugieri L.A.
8 22.2 Gq. Dehiscens F.A
N4
A 25.0 Globigarinoides spp. F.A
LATE OLIGOCENE P 22

2. Subtropical (temperate) Biostratigrafi zonation (Srinivasan & Kennett, 1981)

ZONATION
PLEISTOCENE Gr. Gr. tasaensis L.A.
truncatulinoides
Gr. trunc.-tosoensis Gr. truncatulinoides F.A.
Gr. tosaensis Gr. tosaensis F.A.
LATE
PLIOCENE Gr. infiata Gr. infiata
MID Gr. crassaformis Gr. crassaformis F.A.
EARLY Gr. puncticulato Gr. puncticulato F.A.
MIOC E N E

Gr. conomiazea Gr. conomiazea F.A.


LATE Gg. Nepenthes Gr. continuosa L.A.
N. continuasa Gr. mayori L.A.
Gr. mayori Gr. peripharoacuta L.A.
Gr.
MIDDLE peripheroronda- Gr. peripharoacuta F.A.
peripheroacuta
O. suturalis O. suturalis F.A.
EARLY Pr. glomerosa Pr.glomerosa curva F.A.
Gr. miozea Cs. dissimilis L.A.
Cs. dissimilis Gr. kugiari L.A.
Gs. trilobus Gs. trilobus F.A.
Gr. incoqnito Gr. incoqnito F.A.
Gq. dehiscens Gq. dehiscens F.A.
LATE OLIGOCENE Gr. kugiori
56

Globigerina Globigerinoides Globorotalia

Globoquadrina Orbulina Candeina


Gambar 6.9 . Beberapa contoh Foraminifera plangtonik

3. Biostratigrafi Rotaliid Neogene Billman, Hottinger dan Oesterle, 1980


Miocene
Pilocene Pleistocene-Holocene
Early Middle Late
Asreroro
catillifor

Pseudor

Pseudor

Ammoni
globosa

Calcari
otalia

otalia

a pila
yabel

Rotalid zones
talia
mis

na

Planktonic
N N N N N N N N N N N N N N N N N
Foraminifera
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Zones

Amonia
umbonata
(LeRoy)

Amonia pila
n.sp

Amonia ikebei
(Inoue &
Nakaseko)

Asterorotalia
gaimardii
57

(dorb.)

Asterorotalia
gaimardii
inermis n.ssp

Asterorotalia
yabel (I-
shizaki)

Asterorotalia
milleti
nom.nov.

Asterorotalia
trispinosa
(Thalman)

Cavarotalis
anneclens
(Parker &
jones)

Pseudorotalia
schroetenana
(Parker & jo-
nes)

Pseudorotalia
schroeteriana
angusta n.ssp.

Pseudorotalia
indopacifia
(Thalmann)

Pseudorotalia
alveiformis
(Thalmann)

Pseudorotalia
alveiformis
(Thalmann)

Pseudorotalia
globosa (Yabe
& Asano)

Pseudorotalia
catilliformis
(thalmann)

Pseudorotalia
papuanensis
Belford
58

Rotalia sp Rotalia sp Rotalia sp


Gambar 6.10. Beberapa contoh genus Rotalia

Timbul pertanyaan, mengapa dipilih fosil Rotaliidae ?.


Mungkinkah disusun biostratigrafi berdasarkan atas group Bolivinidae maupun Uvigerinidae ?

Catatan kerja

Anda mungkin juga menyukai