6.1 Pendahuluan
Batugamping di daerah penelitian terdiri atas beberapa fasies yang berbeda dan kehadiran
rekahan pada fasies batugamping yang berbeda di lapangan menjadi salah satu hal yang akan
dibahas pada penelitian ini. Rekahan merupakan permukaan yang memotong batuan sehingga
batuan tersebut kehilangan gaya kohesi pada bidang tersebut (Twiss dan Moores, 1992). Nelson
(1985) mengartikan rekahan adalah bidang diskontinuitas pada batuan yang kehilangan kohesi
akibat deformasi atau diagenesa dan terbentuk secara alamiah. Pada rekahan, khususnya spasi
dari rekahan sangat dipengaruhi oleh komposisi batuan, ukuran butir batuan, porositas batuan,
ketebalan lapisan, dan posisi struktur (Nelson, 1985).
72
A. Extension (Mode I)
Gambar 6.1 Perbedaan dari berbagai tipe umum rekahan berdasarkan pergerakan relatifnya; A.
Ekstension atau mode I, B. Rekahan gerus mode II, C. Rekahan gerus mode III (Twiss dan
Moores,1992).
Tipe rekahan lainnya adalah stylolite, yakni rekahan yang terjadi akibat adanya pressure
dissolution, membentuk bidang yang tegak lurus terhadap tegasan utamanya dengan
morfologinya berbentuk sinusoidal yang tajam (Gambar 6.2). Stylolite dan rekahan merupakan
fitur sekunder selama deformasi atau diagenesis fisik dari batuan (Nelson, 1985).
Gambar 6.2 Diagram skematik yang menunjukkan hubungan geometric dari stylolite, tension gashes,
rekahan unloading, dan paleo-state dari stress (Nelson, 1985).
73
Menurut Aguilera (1995) stylolite merupakan rekahan yang dimulai pada konsentrasi
stress planar di dalam tubuh batuan. Jadi stylolite dapat terjadi karena diagenesis maupun karena
deformasi. Stylolite yang terjadi karena diagenesis umumnya disebabkan pembebanan,
sedangkan stylolite yang terjadi akibat deformasi contohnya dapat terjadi pada batuan yang
terlipat. Jika kedua hal penyebab stylolite tersebut terjadi maka akan ditemukan stylolite yang
saling memotong. Menurut Park dan Schot (1968) dalam Nelson (1985), stylolite adalah
penampakan umum pada batugamping, batudolomit, dan batupasir yang terbentuk akibat
diagenesis. Stylolite dapat dikenali dari bidang diskontinuitas yang tak beraturan antara dua unit
batuan, membentuk geometri kolom atau piramid dan berakibat dua unit batuan tersebut akan
saling mengunci (interlocking) sepanjang permukaan stylolite.
Permukaan stylolite dicirikan dengan keberadaan material yang relatif tidak mudah larut
(insoluble residu) dari suatu batuan. Stylolite pada umumnya dianggap terbentuk sebagai akibat
dari pressure dissolution yang terjadi karena adanya perbedaan tingkat kelarutan dari material
penyusun batuan akibat dari differential stress yang bekerja. Material akan melarut pada bagian
permukaan yang terkena tekanan tinggi dan akan mengendap pada tempat dengan tekanan lebih
rendah atau terbuang dari sistem.
74
Gambar 6.3 Pola rekahan gerus yang dipengaruhi oleh sesar (Twiss dan Moores, 1992)
Gambar 6.4 Pola rekahan gerus yang berhubungan dengan lipatan (Twiss dan Moores, 1992)
75
hancuran yang sangat halus yang terjadi di antara dinding dari rekahan sebagai hasil dari
pergerakan atau penggerusan yang dapat mengakibatkan permeabelitas akan berkurang secara
drastis.
Morfologi rekahan vuggy merupakan jenis rekahan sebagai hasil dari perkolasi air asam
yang melewati rekahan, apabial terus berlangsung akan dapat membentuk karst. Pada morfologi
rekahan ini akan dihasilkan porositas dan permeabilitas yang cukup signifikan.
Selain ketiga morfologi diatas, terdapat jenis morfologi rekahan terisi oleh mineral.
Rekahan ini tersemenkan oleh mineralisasi sekunder, material yang mengisi umumnya kuarsa
dan kalsit. Mineralisasi sekunder ini sebagian dapat memberikan efek positif untuk mencegah
atau mengurangi penutupan rekahan.
Perlu dilakukan pengumpulan seluruh data orientasi dari rekahan yang cukup
representatif dalam setiap singkapan sehingga dapat membantu kita untuk mengidentifikasi
kelompok rekahan dan untuk menginterpretasi gaya tektonik yang menghasilkan rekahan
tersebut. Data tersebut kemudian kelompokan dan dihubungkan antara yang satu dengan yang
lainnya. Orientasi data rekahan dikumpulkan dan dibandingkan dengan menggunakan stereonet.
Orientasi dari rekahan yang beragam mungkin berhubungan dengan satu kejadian fracturing, hal
tersebut sangat penting untuk memahami hubungan antara rekahan dan setiap orientasi rekahan
yang diukur di permukaan, yang kemudian dapat memberikan analisis statistik untuk di
interpretasi lebih lanjut.
Rekahan terjadi tidak secara acak, tetapi mengikuti suatu pola tertentu, sehingga dengan
data yang memadai akan dapat ditemukan suatu hubungan antara rekahan dengan gaya
penyebabnya. Salah satu analisis mengenai rekahan ini disebut sebagai analisis fraktal.
Menurut Mandelbrot (1983) dan Turcotte (1997), rumus atau persamaan matematis yang
digunakan dalam menganalisa fraktal disebut sebagai Power Law, yakni :
N = k (S)-c
Keterangan: N = Jumlah kumulatif rekahan
k = Konstanta
S = Spasi Rekahan
c = Dimensi Fraktal, merupakan kemiringan (slope) garis kurva
6.6 Batasan dan Tujuan Studi Rekahan pada Batugamping di Daerah Penelitian
Pembahasan sistem rekahan ini dibatasi pada studi mengenai hubungan intensitas rekahan
terhadap tekstur batugamping (fasies). Lokasi pengambilan data juga akan diperhatikan untuk
mengetahui intensitas rekahan pada fasies yang sama dengan kondisi tektonik yang relatif
berbeda.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktor litologi berupa perbedaan
fasies terhadap intensitas rekahan yang berkembang pada batugamping. Pengumpulan data
rekahan diambil dari fasies batugamping, yaitu: fasies mudstone, fasies wackestone, fasies
foraminifera packstone, fasies foraminifera grainstone, dan fasies coral coral boundstone.
78
6.7 Data
6.7.1
dengan metode scanline sampling (Gambar 6.5). Dalam metode ini pencatatan atribut rekahan
dilakukan sepanjang garis pengamatan, yang dibatasi oleh ketinggian yang sesuai dengan tinggi
pengamat dari garis pengamatan. Rekahan yang dicatat dan diobservasi adalah seluruh rekahan
yang memotong garis pengamatan. Salah satu ujung dari garis pengamatan menjadi datum dalam
pengukuran jarak rekahan. Hal-hal yang perlu dicatat dalam pengamatan adalah nomor identitas
rekahan (no. ID), jarak dari datum, kedudukan rekahan (jurus/kemiringan), aperture, panjang,
pergeseran, tipe/set, bentuk, dan material pengisi rekahan.
Gambar 6.5 Sketsa pencatatan rekahan dan hal-hal yang dicatat selama observasi rekahan. B-B adalah
scanline. A adalah tebal dan atau bukaan rekahan, S adalah spasi rekahan, dan L adalah panjang rekahan
(Sapiie, 1998)
79
6.7.2
yaitu: fasies foraminifera packstone, fasies wackestone, fasies foraminifera grainstone, fasies
mudstone, dan fasies coral coral boundstone. Lokasi pengukuran scanline di daerah penelitian
dapat dilihat pada gambar 6.6 dan gambar 6.7.
Lokasi pengambilan data scanline tersebut adalah:
a. Lokasi 1 (E-192)
Koordinat awal
: N 248 E / 14
Fasies batugamping
: Foraminifera Packstone
b. Lokasi 2 (E-186)
Koordinat awal
: N 287 E/14
Fasies batugamping
: Wackestone
c. Lokasi 3 (E-182)
Koordinat awal
: N 135 E/10
Fasies batugamping
: Foraminifera Grainstone
80
: N 390 E/16
Fasies batugamping
: Mudstone
e. Lokasi 5 (E-318)
Koordinat awal
: masif
Fasies batugamping
f. Lokasi 6 (E-317)
Koordinat awal
: masif
Fasies batugamping
81
82
Foto 6.1 Lokasi scanline 1 pada fasies foraminifera packstone di Quarry C, tali pengukuran terbentang
dari utara ke selatan
83
84
Foto 6.5 Lokasi scanline 5 pada fasies coral coral boundstone 1 di Quarry A
85
Foto 6.6 Lokasi scanline 6 pada fasies coral coral boundstone 2 di Quarry B
Data Lapangan
Data rekahan hasil pengukuran terlampir (Lampiran D).
6.7.3
akibatnya adalah sangat sulit untuk menemukan kondisi batuan yang layak untuk diambil data
rekahan. Kondisi tersebut mengharuskan pengamatan yang lebih teliti terhadap data rekahan,
karena terdapat rekahan yang alami dan tidak alami (induced fractures), untuk itu perlu
dilakukan pemilahan data agar kedua rekahan tersebut dapat dipisahkan.
Rekahan tidak alami atau induced fractures pada daerah penelitian umumnya berupa
rekahan akibat aktivitas penambangan, seperti peledakan (Foto 6.7). Pemisahan rekahan yang
alami dan tidak alami dilakukan berdasarkan pola maupun kemenerusan rekahan yang ada.
Pemisahan juga dilakukan pada tahap pemilahan data dengan memilah data rekahan berdasarkan
86
orientasi rekahan. Rekahan tanpa orientasi dominan dapat diasumsikan sebagai induced fracture,
untuk kemudian dipisahkan dan tidak diikutsertakan dalam pengolahan data.
Foto 6.7 a) Foto aktivitas peledakan di Quarry A dan b) sketsa model rekahan akibat penambangan yang
termasuk kedalam induced fracture system (Nelson, 1985)
Langkah selanjutnya adalah pemilahan data berdasarkan jenis rekahan. Jenis rekahan
ditentukan saat pengamatan lapangan dengan melihat geometri maupun jenis pergerakan yang
ada. Pada pengamatan yang dilakukan di enam lokasi diperoleh tiga jenis rekahan, yaitu rekahan
gerus (shear fractures), rekahan terbuka (extensional fractures), dan stylolites.
Setelah dipilah berdasarkan jenis rekahan, dilakukan pemilahan berdasarkan orientasi
rekahan, meliputi jurus dan kemiringan rekahan. Rekahan-rekahan yang sejenis dan memiliki
orientasi yang relatif sama dikelompokkan menjadi satu set rekahan tertentu. Pemilahan orientasi
tersebut diperoleh melalui pemilahan data dengan menggunakan stereonet (Lampiran D), secara
rinci tertera pada tabel 6.1. Pemilahan rekahan menghasilkan set-set (kumpulan) rekahan sebagai
berikut:
1. Lokasi 1: empat set rekahan,
2. Lokasi 2: tiga set rekahan,
3. Lokasi 3: lima set rekahan,
4. Lokasi 4: tiga set rekahan,
87
Jenis Rekahaan
Kode
Strike
Dip
N.E
()
Fasies
Extensional
Lokasi 1
Fracture
EFA 1
144
63
Packstone
EFB 2
105
62
Packstone
EFB 3
85
68
Packstone
EFB 4
61
85
Packstone
EFA 2
111
75
wackestone
EFB 2
83
80
wackestone
EFC 2
234
73
wackestone
EFA 3
73
52
grainstone
EFB 3
51
86
grainstone
EFC 3
353
71
grainstone
EFD 3
275
77
grainstone
EFA 4
138
79
mudstone
EFB 4
97
70
mudstone
EFC 4
297
79
mudstone
EFD 4
264
79
mudstone
EFA 5
140
66
coral boundstone
EFB 5
113
66
coral boundstone
EFC 5
300
68
coral boundstone
STE 2
80
47
coral boundstone
EFA 6
23
67
coral boundstone
EFB 6
331
68
coral boundstone
Extensional
Lokasi 2
Fracture
Extensional
Lokasi 3
Fracture
Extensional
Lokasi 4
Fracture
Extensional
Lokasi 5
Fracture
Stylolite
Extensional
Lokasi 6
Fracture
88
6.8
pada intensitas rekahan di setiap fasies batugamping yang berbeda. Hubungan antara rekahan
dan struktur geologi terdekat dapat diketahui dari intensitas rekahan yang diperoleh pada
batugamping dengan fasies yang sama namun berbeda dalam lokasi pengamatan (kondisi
tektonik yang berbeda). Perhitungan intensitas rekahan pada setiap fasies di lokasi pengamatan
diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai hubungan rekahan dan perbedaan tekstur
batuan (jenis fasies batugamping).
A. Intensitas Rekahan
Penentuan intensitas rekahan, dilakukan dengan pendekatan yang sederhana, yaitu dengan
membandingkan frekuensi rekahan pada setiap interval jarak yang diukur.
Dalam penentuan intensitas rekahan, dilakukan pendekatan yang sederhana dengan
membandingkan frekuensi rekahan pada setiap interval jarak yang diukur.
Selanjutnya dihitung intensitas rekahan pada setiap tekstur batugamping yang ada dengan
menggunakan rumus di atas. Penghitungan Intensitas dilakukan pada rekahan alami yang ada di
lapangan, hasil pengolahan dituangkan dalam bentuk grafik Intensitas terhadap jarak. Berikut
adalah beberapa grafik antara intensitas rekahan dalam satuan persen terhadap interval jarak
pengukuran setiap seratus centimeter di daerah penelitian.
89
Grafik 6.1 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies
packstone
Grafik 6.2 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies
wackestone
90
Grafik 6.3 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies
grainstone
Grafik 6.4 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies mudstone
91
Grafik 6.5 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies coral
boundstone
Grafik 6.6 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies coral
boundstone 2
92
Grafik 6.7 Grafik perbandingan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada setiap fasies
batugamping
Grafik 6.8 Grafik perbandingan antara intensitas rekahan EF dan jarak interval pengukuran pada setiap
fasies batugamping
93
Grafik 6.9 Grafik perbandingan antara intensitas rekahan SF dan jarak interval pengukuran pada setiap
fasies batugamping
Dari hasil perhitungan serta grafik yang didapat selanjutnya dilakukan perbandingan nilai
intensitas rekahan dari tiap lokasi (Tabel 6.2)
Tabel 6.2 Intensitas rekahan pada fasies batugamping daerah penelitian
Lokasi
1.
Fasies
Foraminifera packstone
Intensitas rata-
Persen Intensitas
rata (1/cm)
(%)
EF, SF
0,048
4,8
Jenis Rekahan
Wackestone
EF, SF
0,043
4,3
Foraminifera graistone
EF, SF
0,0785
7.85
Mudstone
EF, SF
0,0395
3,95
EF
0.0145
1,45
EF
0,0135
13,5
B. Interpretasi
Nilai intensitas rekahan terbesar diperoleh dari rekahan yang terdapat pada batugamping
fasies coral boundstone 2 (13,5%). Intensitas rekahan terbanyak berikutnya secara berurutan
94
95