Anda di halaman 1dari 24

BAB VI

KARAKTERISASI REKAHAN PADA FASIES BATUGAMPING

6.1 Pendahuluan
Batugamping di daerah penelitian terdiri atas beberapa fasies yang berbeda dan kehadiran
rekahan pada fasies batugamping yang berbeda di lapangan menjadi salah satu hal yang akan
dibahas pada penelitian ini. Rekahan merupakan permukaan yang memotong batuan sehingga
batuan tersebut kehilangan gaya kohesi pada bidang tersebut (Twiss dan Moores, 1992). Nelson
(1985) mengartikan rekahan adalah bidang diskontinuitas pada batuan yang kehilangan kohesi
akibat deformasi atau diagenesa dan terbentuk secara alamiah. Pada rekahan, khususnya spasi
dari rekahan sangat dipengaruhi oleh komposisi batuan, ukuran butir batuan, porositas batuan,
ketebalan lapisan, dan posisi struktur (Nelson, 1985).

6.2 Dasar Teori


Berdasarkan etimologis, istilah rekahan berasal dari bahasa latin, yaitu kata fractus, yang
dapat diartikan sebagai patahan. Kata rekahan merupakan istilah umum untuk kegagalan (failure)
dalam material pada kondisi brittle (Koestler et al., 1995).
Rekahan secara umum dibagi menjadi 3 mode (Dennis, 1987 dalam Koestler et al.,1995)
yaitu: Mode I, Mode II, dan Mode III (Gambar 6.1). Mode I merupakan mode rekahan
ekstensional, atau dikenal sebagai mode rekahan bukaan atau regangan, pergerakan pada mode
ini searah dengan sumbu y atau tegak lurus terhadap diding rekahan. Rekahan yang termasuk
kedalam klasifikasi ini adalah kekar (Gambar 6.1 A).
Mode II merupakan rekahan gerus, mode ini menguraikan rekahan gerus dengan
pergerakan searah sumbu x atau pergerakan yang terjadi berupa gerakan geser yang tegak lurus
terhadap tepi dari rekahan (Gambar 6.1 B).
Mode III merupakan rekahan gerus yang menguraikan pergerakan gerusan dari rekahan
searah sumbu z atau paralel terhadap tepi dari rekahan (Gambar 6.1 C).

72

A. Extension (Mode I)

B. Shear (Mode II)

C. Shear (Mode III)

Gambar 6.1 Perbedaan dari berbagai tipe umum rekahan berdasarkan pergerakan relatifnya; A.
Ekstension atau mode I, B. Rekahan gerus mode II, C. Rekahan gerus mode III (Twiss dan
Moores,1992).

Tipe rekahan lainnya adalah stylolite, yakni rekahan yang terjadi akibat adanya pressure
dissolution, membentuk bidang yang tegak lurus terhadap tegasan utamanya dengan
morfologinya berbentuk sinusoidal yang tajam (Gambar 6.2). Stylolite dan rekahan merupakan
fitur sekunder selama deformasi atau diagenesis fisik dari batuan (Nelson, 1985).

Gambar 6.2 Diagram skematik yang menunjukkan hubungan geometric dari stylolite, tension gashes,
rekahan unloading, dan paleo-state dari stress (Nelson, 1985).
73

Menurut Aguilera (1995) stylolite merupakan rekahan yang dimulai pada konsentrasi
stress planar di dalam tubuh batuan. Jadi stylolite dapat terjadi karena diagenesis maupun karena
deformasi. Stylolite yang terjadi karena diagenesis umumnya disebabkan pembebanan,
sedangkan stylolite yang terjadi akibat deformasi contohnya dapat terjadi pada batuan yang
terlipat. Jika kedua hal penyebab stylolite tersebut terjadi maka akan ditemukan stylolite yang
saling memotong. Menurut Park dan Schot (1968) dalam Nelson (1985), stylolite adalah
penampakan umum pada batugamping, batudolomit, dan batupasir yang terbentuk akibat
diagenesis. Stylolite dapat dikenali dari bidang diskontinuitas yang tak beraturan antara dua unit
batuan, membentuk geometri kolom atau piramid dan berakibat dua unit batuan tersebut akan
saling mengunci (interlocking) sepanjang permukaan stylolite.
Permukaan stylolite dicirikan dengan keberadaan material yang relatif tidak mudah larut
(insoluble residu) dari suatu batuan. Stylolite pada umumnya dianggap terbentuk sebagai akibat
dari pressure dissolution yang terjadi karena adanya perbedaan tingkat kelarutan dari material
penyusun batuan akibat dari differential stress yang bekerja. Material akan melarut pada bagian
permukaan yang terkena tekanan tinggi dan akan mengendap pada tempat dengan tekanan lebih
rendah atau terbuang dari sistem.

6.3 Sistem Rekahan


Sistem rekahan pada umumnya berhubungan dengan struktur dan proses tektonik, oleh
Nelson (1985), Twiss dan Moores (1992), rekahan yang berasosiasi dengan tektonik dapat
dibedakan menjadi dua sistem rekahan, yaitu: rekahan yang berhubungan dengan sesar dan
rekahan yang berhubungan dengan lipatan.
Pada sistem rekahan yang berhubungan dengan sesar (fault-related fracture system), pada
umumnya rekahan yang hadir adalah dua set shear fracture (Gambar 6.3). Set pertama akan
sejajar dengan sesar yang ada, sedangkan set yang kedua akan membentuk sudut sekitar 600 dan
disebut conjugate shear fracture. Rekahan lain yang dapat hadir adalah satu set extension
fracture yang sejajar dengan tegasan utama, terletak pada pertengahan sudut antara dua set shear
fracture tersebut.

74

Gambar 6.3 Pola rekahan gerus yang dipengaruhi oleh sesar (Twiss dan Moores, 1992)

Sistem rekahan yang berhubungan dengan lipatan (fold-related fracture system),


menunjukkan rekahan dengan pola yang kompleks (Gambar 6.4). Pada gambar fold-related
fracture system (Gambar 6.4), orientasi dari rekahan dinyatakan dalam sistem koordinat
ortogonal yang berhubungan dengan geometri lipatan. Sumbu a terletak pada bidang lapisan dan
tegak lurus terhadap sumbu lipatan, sumbu b paralel terhadap sumbu lipatan dan umumnya
terletak pada bidang perlapisan, sedangkan sumbu c tegak lurus terhadap bidang perlapisan.

Gambar 6.4 Pola rekahan gerus yang berhubungan dengan lipatan (Twiss dan Moores, 1992)

75

6.4 Jenis Rekahan


6.4.1 Rekahan Berdasarkan Penyebab Alami
Rekahan yang dipelajari pada penelitian ini adalah rekahan yang terbentuk secara alami.
Nelson (1985) membagi rekahan berdasarkan penyebab alamiahnya menjadi: rekahan tektonik,
rekahan regional, rekahan kontraksional, dan rekahan yang berhubungan dengan permukaan.
Rekahan tektonik merupakan suatu sistem rekahan yang umumnya berasosiasi dengan
proses tektonik yang berlangsung secara lokal. Rekahan ini secara spesifik sangat dipengaruhi
oleh sesar (fault-related fracture system) dan lipatan (fold-related fracture system). Rekahan
regional adalah sistem rekahan yang berkembang pada daerah yang luas dengan perubahan
orientasi yang kecil, rekahan ini umumnya tidak menunjukkan pergeseran (offset), dan selalu
tegak lurus terhadap bidang perlapisan umum.
Rekahan kontraksional umumnya berjenis tension atau ektension yang berasosiasi dengan
pengurangan volume dari batuan akibat desiction, syneresis, gradient thermal, dan perubahan
fase mineral, sedangkan rekahan yang berhubungan dengan permukaan adalah sistem rekahan
yang terbentuk akibat pelepasan stress dan strain yang tersimpan pada batuan, misalnya proses
unloading atau proses ketikan terjadi pelapukan.

6.4.2 Rekahan Berdasarkan Morfologi Rekahan


Rekahan berdasarkan penyebab alamiahnya membentuk beberapa morfologi yang khas,
oleh Nelson (1985) morfologi tersebut dibedakan menjadi: rekahan terbuka, rekahan
terdeformasi, rekahan vuggy, dan rekahan terisi mineral.
Morfologi rekahan terbuka dicirikan oleh rekahan yang tak tersemenkan dan tidak
mengandung berbagai macam mineralisasi sekunder. Rekahan terbuka pada umumnya memeiliki
porositas yang sangat kecil, dan cenderung meningkatkan permeabilitas paralel terhadap bidang
rekahan,.
Morfologi rekahan terdeformasi misalnya, rekahan gores-garis (slickenside). dan rekahan
gouge-filled . Rekahan gores garis merupakan hasil dari gelinciran friksional sepanjang rekahan
atau bidang sesar. Morfologi rekahan gores garis menghasilkan striasi pada permukaan yang
dapat meningkatkan permeabilitas paralel terhadap rekahan namun secara drastis mengurangi
permeabilitas yang tegak lurus terhadap rekahan. Morfologi gouge-filled berasal dari material
76

hancuran yang sangat halus yang terjadi di antara dinding dari rekahan sebagai hasil dari
pergerakan atau penggerusan yang dapat mengakibatkan permeabelitas akan berkurang secara
drastis.
Morfologi rekahan vuggy merupakan jenis rekahan sebagai hasil dari perkolasi air asam
yang melewati rekahan, apabial terus berlangsung akan dapat membentuk karst. Pada morfologi
rekahan ini akan dihasilkan porositas dan permeabilitas yang cukup signifikan.
Selain ketiga morfologi diatas, terdapat jenis morfologi rekahan terisi oleh mineral.
Rekahan ini tersemenkan oleh mineralisasi sekunder, material yang mengisi umumnya kuarsa
dan kalsit. Mineralisasi sekunder ini sebagian dapat memberikan efek positif untuk mencegah
atau mengurangi penutupan rekahan.

6.5 Geometri Sistem Rekahan Dalam Tiga Dimensi


Geometri sistem rekahan yang diperlukan untuk penelitian rekahan antara lain: bentuk
dan skala dari rekahan, spasi rekahan dan hubungan rekahan terhadap litilogi dan ketebalan
lapisan, pola spasial dan distribusi dari sistem rekahan, serta orientasi dari rekahan.
Bentuk rekahan umumnya bergantung pada tipe batuan dan struktur batuan itu sendiri.
Sedangkan skala rekahan dapat berukuran mikroskopik atau makroskopik. Beberapa rekahan
makroskopis dapat berukuran sentimeter, meter, atau bahkan mencapai ukuran kilometer,
sedangkan rekahan mikroskopik misalnya rekahan mikro (microfractures). Sedangkan Spasi
rekahan dapat diartikan rata-rata jarak tegaklurus antara rekahan atau jumlah rata-rata dari
rekahan yang ditemukan dalam suatu jarak standar normal terhadap rekahan.dalam sebuah
kelompok sistematis dan dapat diukur. Spasi rata-rata rekahan cenderung konsisten, dan hal
tersebut tergantung pada jenis batuan dan pada ketebalan dari suatu lapisan tempat rekahan
tersebut berkembang.
Pola dan distribusi dari rekahan dapat diketahui dengan mengeplot lokasi pada peta dan
mengamati orientasi dari rekahan. Dalam area yang cukup luas dan baik dapat dilihat hubungan
dari rekahan yang ada antara yang satu dengan yang lainnya. Berdasarkan pengolahan data jurus
dan kemiringan rekahan yang telah dikumpulkan, kemudian dapat dilihat hubungannya terhadap
struktur lokal yang bekerja di daerah tersebut.
77

Perlu dilakukan pengumpulan seluruh data orientasi dari rekahan yang cukup
representatif dalam setiap singkapan sehingga dapat membantu kita untuk mengidentifikasi
kelompok rekahan dan untuk menginterpretasi gaya tektonik yang menghasilkan rekahan
tersebut. Data tersebut kemudian kelompokan dan dihubungkan antara yang satu dengan yang
lainnya. Orientasi data rekahan dikumpulkan dan dibandingkan dengan menggunakan stereonet.
Orientasi dari rekahan yang beragam mungkin berhubungan dengan satu kejadian fracturing, hal
tersebut sangat penting untuk memahami hubungan antara rekahan dan setiap orientasi rekahan
yang diukur di permukaan, yang kemudian dapat memberikan analisis statistik untuk di
interpretasi lebih lanjut.
Rekahan terjadi tidak secara acak, tetapi mengikuti suatu pola tertentu, sehingga dengan
data yang memadai akan dapat ditemukan suatu hubungan antara rekahan dengan gaya
penyebabnya. Salah satu analisis mengenai rekahan ini disebut sebagai analisis fraktal.
Menurut Mandelbrot (1983) dan Turcotte (1997), rumus atau persamaan matematis yang
digunakan dalam menganalisa fraktal disebut sebagai Power Law, yakni :
N = k (S)-c
Keterangan: N = Jumlah kumulatif rekahan
k = Konstanta
S = Spasi Rekahan
c = Dimensi Fraktal, merupakan kemiringan (slope) garis kurva

6.6 Batasan dan Tujuan Studi Rekahan pada Batugamping di Daerah Penelitian
Pembahasan sistem rekahan ini dibatasi pada studi mengenai hubungan intensitas rekahan
terhadap tekstur batugamping (fasies). Lokasi pengambilan data juga akan diperhatikan untuk
mengetahui intensitas rekahan pada fasies yang sama dengan kondisi tektonik yang relatif
berbeda.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktor litologi berupa perbedaan
fasies terhadap intensitas rekahan yang berkembang pada batugamping. Pengumpulan data
rekahan diambil dari fasies batugamping, yaitu: fasies mudstone, fasies wackestone, fasies
foraminifera packstone, fasies foraminifera grainstone, dan fasies coral coral boundstone.

78

6.7 Data
6.7.1

Metode Pengambilan Data


Pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara sistematis

dengan metode scanline sampling (Gambar 6.5). Dalam metode ini pencatatan atribut rekahan
dilakukan sepanjang garis pengamatan, yang dibatasi oleh ketinggian yang sesuai dengan tinggi
pengamat dari garis pengamatan. Rekahan yang dicatat dan diobservasi adalah seluruh rekahan
yang memotong garis pengamatan. Salah satu ujung dari garis pengamatan menjadi datum dalam
pengukuran jarak rekahan. Hal-hal yang perlu dicatat dalam pengamatan adalah nomor identitas
rekahan (no. ID), jarak dari datum, kedudukan rekahan (jurus/kemiringan), aperture, panjang,
pergeseran, tipe/set, bentuk, dan material pengisi rekahan.

Gambar 6.5 Sketsa pencatatan rekahan dan hal-hal yang dicatat selama observasi rekahan. B-B adalah
scanline. A adalah tebal dan atau bukaan rekahan, S adalah spasi rekahan, dan L adalah panjang rekahan
(Sapiie, 1998)

79

6.7.2

Lokasi Pengambilan Data


Pengambilan data dilakukan pada setiap jenis fasies yang terdapat di daerah penelitian,

yaitu: fasies foraminifera packstone, fasies wackestone, fasies foraminifera grainstone, fasies
mudstone, dan fasies coral coral boundstone. Lokasi pengukuran scanline di daerah penelitian
dapat dilihat pada gambar 6.6 dan gambar 6.7.
Lokasi pengambilan data scanline tersebut adalah:
a. Lokasi 1 (E-192)
Koordinat awal

: 0643'04,4" LS dan 10823'37,6" BT

Kedudukan garis pengukuran : 30, N 164 E, dengan panjang 21 meter


Kedudukan lapisan

: N 248 E / 14

Fasies batugamping

: Foraminifera Packstone

b. Lokasi 2 (E-186)
Koordinat awal

: 0643'04,5" LS dan 10823'39" BT

Kedudukan garis pengukuran : 30, N 162E, dengan panjang 21 meter


Kedudukan lapisan

: N 287 E/14

Fasies batugamping

: Wackestone

c. Lokasi 3 (E-182)
Koordinat awal

: 0643'13,2" LS dan 10823'44,5" BT

Kedudukan garis pengukuran : 8, N 125 E, dengan panjang 21 meter


Kedudukan lapisan

: N 135 E/10

Fasies batugamping

: Foraminifera Grainstone

80

d. Lokasi 4 (E- 189)


Koordinat awal

: 0643'02,4" LS dan 10823'45,3" BT

Kedudukan garis pengukuran : 4, N 10 E, dengan panjang 21 m


Kedudukan lapisan

: N 390 E/16

Fasies batugamping

: Mudstone

e. Lokasi 5 (E-318)
Koordinat awal

: 0643'32,8" LS dan 10824'08,9" BT

Kedudukan garis pengukuran : 40, N 215 E, dengan panjang 70 meter


Kedudukan lapisan

: masif

Fasies batugamping

: Coral Coral boundstone1

f. Lokasi 6 (E-317)
Koordinat awal

: 0643'21,6" LS dan 10823'18,6" BT

Kedudukan garis pengukuran : 30, N 182 E, dengan panjang 5 m


Kedudukan lapisan

: masif

Fasies batugamping

: Coral Coral boundstone 2

81

Gambar 6.6 Lokasi pengambilan data scanline di daerah penelitian

82

Gambar 6.7 Lokasi pengambilan data scanline dilihat dari penampang GH

Foto 6.1 Lokasi scanline 1 pada fasies foraminifera packstone di Quarry C, tali pengukuran terbentang
dari utara ke selatan

83

Foto 6.2 Lokasi scanline 2 pada fasies wackestone di Quarry C

Foto 6.3 Lokasi scanline 3 pada fasies foraminifera grainstone di Quarry C

84

Foto 6.4 Lokasi scanline 4 pada fasies mudstone di Quarry E

Foto 6.5 Lokasi scanline 5 pada fasies coral coral boundstone 1 di Quarry A

85

Foto 6.6 Lokasi scanline 6 pada fasies coral coral boundstone 2 di Quarry B

Data Lapangan
Data rekahan hasil pengukuran terlampir (Lampiran D).

6.7.3

Pemilahan dan Pengolahan Data


Di daerah penelitian, aktivitas manusia seperti peledakan, sangat intensif dilakukan,

akibatnya adalah sangat sulit untuk menemukan kondisi batuan yang layak untuk diambil data
rekahan. Kondisi tersebut mengharuskan pengamatan yang lebih teliti terhadap data rekahan,
karena terdapat rekahan yang alami dan tidak alami (induced fractures), untuk itu perlu
dilakukan pemilahan data agar kedua rekahan tersebut dapat dipisahkan.
Rekahan tidak alami atau induced fractures pada daerah penelitian umumnya berupa
rekahan akibat aktivitas penambangan, seperti peledakan (Foto 6.7). Pemisahan rekahan yang
alami dan tidak alami dilakukan berdasarkan pola maupun kemenerusan rekahan yang ada.
Pemisahan juga dilakukan pada tahap pemilahan data dengan memilah data rekahan berdasarkan
86

orientasi rekahan. Rekahan tanpa orientasi dominan dapat diasumsikan sebagai induced fracture,
untuk kemudian dipisahkan dan tidak diikutsertakan dalam pengolahan data.

Foto 6.7 a) Foto aktivitas peledakan di Quarry A dan b) sketsa model rekahan akibat penambangan yang
termasuk kedalam induced fracture system (Nelson, 1985)

Langkah selanjutnya adalah pemilahan data berdasarkan jenis rekahan. Jenis rekahan
ditentukan saat pengamatan lapangan dengan melihat geometri maupun jenis pergerakan yang
ada. Pada pengamatan yang dilakukan di enam lokasi diperoleh tiga jenis rekahan, yaitu rekahan
gerus (shear fractures), rekahan terbuka (extensional fractures), dan stylolites.
Setelah dipilah berdasarkan jenis rekahan, dilakukan pemilahan berdasarkan orientasi
rekahan, meliputi jurus dan kemiringan rekahan. Rekahan-rekahan yang sejenis dan memiliki
orientasi yang relatif sama dikelompokkan menjadi satu set rekahan tertentu. Pemilahan orientasi
tersebut diperoleh melalui pemilahan data dengan menggunakan stereonet (Lampiran D), secara
rinci tertera pada tabel 6.1. Pemilahan rekahan menghasilkan set-set (kumpulan) rekahan sebagai
berikut:
1. Lokasi 1: empat set rekahan,
2. Lokasi 2: tiga set rekahan,
3. Lokasi 3: lima set rekahan,
4. Lokasi 4: tiga set rekahan,
87

5. Lokasi 5: tiga set rekahan,


6. Lokasi 6: dua set rekahan.
Tabel 6.1 Tabel set, orientasi umum, dan interpretasi genesa rekahan
Orientasi
Umum
Lokasi

Jenis Rekahaan

Kode

Strike

Dip

N.E

()

Fasies

Extensional
Lokasi 1

Fracture

EFA 1

144

63

Packstone

EFB 2

105

62

Packstone

EFB 3

85

68

Packstone

EFB 4

61

85

Packstone

EFA 2

111

75

wackestone

EFB 2

83

80

wackestone

EFC 2

234

73

wackestone

EFA 3

73

52

grainstone

EFB 3

51

86

grainstone

EFC 3

353

71

grainstone

EFD 3

275

77

grainstone

EFA 4

138

79

mudstone

EFB 4

97

70

mudstone

EFC 4

297

79

mudstone

EFD 4

264

79

mudstone

EFA 5

140

66

coral boundstone

EFB 5

113

66

coral boundstone

EFC 5

300

68

coral boundstone

STE 2

80

47

coral boundstone

EFA 6

23

67

coral boundstone

EFB 6

331

68

coral boundstone

Extensional
Lokasi 2

Fracture

Extensional
Lokasi 3

Fracture

Extensional
Lokasi 4

Fracture

Extensional
Lokasi 5

Fracture

Stylolite
Extensional
Lokasi 6

Fracture

88

6.8

Hubungan Sistem Rekahan dengan Fasies Batugamping dan Struktur Geologi


Terdekat di Daerah Penelitian
Hubungan sistem rekahan terhadap tekstur batugamping pda penelitian ini hanya terbatas

pada intensitas rekahan di setiap fasies batugamping yang berbeda. Hubungan antara rekahan
dan struktur geologi terdekat dapat diketahui dari intensitas rekahan yang diperoleh pada
batugamping dengan fasies yang sama namun berbeda dalam lokasi pengamatan (kondisi
tektonik yang berbeda). Perhitungan intensitas rekahan pada setiap fasies di lokasi pengamatan
diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai hubungan rekahan dan perbedaan tekstur
batuan (jenis fasies batugamping).

A. Intensitas Rekahan
Penentuan intensitas rekahan, dilakukan dengan pendekatan yang sederhana, yaitu dengan
membandingkan frekuensi rekahan pada setiap interval jarak yang diukur.
Dalam penentuan intensitas rekahan, dilakukan pendekatan yang sederhana dengan
membandingkan frekuensi rekahan pada setiap interval jarak yang diukur.

Selanjutnya dihitung intensitas rekahan pada setiap tekstur batugamping yang ada dengan
menggunakan rumus di atas. Penghitungan Intensitas dilakukan pada rekahan alami yang ada di
lapangan, hasil pengolahan dituangkan dalam bentuk grafik Intensitas terhadap jarak. Berikut
adalah beberapa grafik antara intensitas rekahan dalam satuan persen terhadap interval jarak
pengukuran setiap seratus centimeter di daerah penelitian.

89

Grafik 6.1 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies
packstone

Grafik 6.2 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies
wackestone

90

Grafik 6.3 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies
grainstone

Grafik 6.4 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies mudstone

91

Grafik 6.5 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies coral
boundstone

Grafik 6.6 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies coral
boundstone 2

92

Grafik 6.7 Grafik perbandingan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada setiap fasies
batugamping

Grafik 6.8 Grafik perbandingan antara intensitas rekahan EF dan jarak interval pengukuran pada setiap
fasies batugamping

93

Grafik 6.9 Grafik perbandingan antara intensitas rekahan SF dan jarak interval pengukuran pada setiap
fasies batugamping

Dari hasil perhitungan serta grafik yang didapat selanjutnya dilakukan perbandingan nilai
intensitas rekahan dari tiap lokasi (Tabel 6.2)
Tabel 6.2 Intensitas rekahan pada fasies batugamping daerah penelitian

Lokasi

1.

Fasies

Foraminifera packstone

Intensitas rata-

Persen Intensitas

rata (1/cm)

(%)

EF, SF

0,048

4,8

Jenis Rekahan

Wackestone

EF, SF

0,043

4,3

Foraminifera graistone

EF, SF

0,0785

7.85

Mudstone

EF, SF

0,0395

3,95

Corals coral boundstone 1

EF

0.0145

1,45

Corals coral boundstone 2

EF

0,0135

13,5

Keterangan : EF (Extensional Fracture) dan SF (Shear Fracture)

B. Interpretasi
Nilai intensitas rekahan terbesar diperoleh dari rekahan yang terdapat pada batugamping
fasies coral boundstone 2 (13,5%). Intensitas rekahan terbanyak berikutnya secara berurutan
94

diperoleh dari batugamping fasies foraminifera grainstone (7,85%), fasies foraminifera


packstone (4,8%), fasies wackestone (4,3%), fasies mudstone (3,95%), dan fasies coral
boundstone 1 (1,45).
Berdasarkan hasil perbandingan nilai intensitas rekahan pada tiap fasies dan lokasi dapat
ditarik kesimpulan:
1. Intensitas rekahan dipengaruhi oleh faktor litologi (jenis fasies), dalam penelitian
ditunjukan oleh hasil intensitas yang berbeda pada setiap fasies batugamping.
2. Kondisi tektonik berkaitan dengan kontrol struktur sesar dan intrusi yang terdapat
dilapangan turut mempengaruhi intensitas rekahan yang terbentuk, dalam penelitian ini
dibuktikan dengan intensitas rekahan yang diperoleh dari dua fasies yang sama dengan
lokasi yang berbeda atau kondisi tektonik berbeda (Gambar 6.5) yaitu fasies coral
boundstone. Pada fasies coral boundstone 2 (Lokasi 6) intensitas rekahan lebih besar
dibandingkan dengan intensitas rekahan yang diperoleh dari fasies coral boundstone 1
(Lokasi 5). Fakta ini turut diperkuat oleh teori yang dikemukakan oleh Price (1966)
dalam Nelson (1985) bahwa intensitas rekahan akan tinggi pada daerah dengan energi
strain yang besar.
3. Pengukuran scanline yang dilakukan pada setiap fasies, kecuali pada fasies coral
boundstone, memiliki kondisi tektonik (struktur sesar) yang relatif sama. Intensitas yang
sangat besar pada fasies coral boundstone 2 diperkirakan terjadi akibat lokasi pengukuran
yang berdekatan dengan zona sesar dan intrusi (Gambar 6.5) serta apabila melihat
intensitas yang terdapat pada fasies coral boundstone 1 yang kecil, maka intensitas
rekahan terbesar kemungkinan bukan pada fasies coral boundstone.
4. Berdasarkan hasil penguraian pada fasies coral boundstone dan pertimbangan lokasi
pengukuran scanline, maka dapat disimpulkan bahwa intensitas rekahan terbesar
diperoleh dari fasies foraminifera graistone (7,85 %), hal ini mungkin disebabkan oleh
tekstur fasies foraminifera grainstone yang memiliki lebih banyak butiran dibandingkan
dengan matrik dan semennya, sehingga relatif tidak resisten dibandingkan dengan fasies
lain.

95

Anda mungkin juga menyukai