Peranan penting dari wilayah negara dalam hukum internasional tercermin dalam
prinsip penghormatan terhadap integritas kewilayahan (territorial integrity) yang dimuat
dalam berbagai intrumen internasional, misalnya dalam bentuk larangan untuk melkukan
intervensi terhdap masalah-masalah internal dari suatu negara. Meskipun demikian, sebagai
akibat dari perkembangan teknologi dan ekonomi dewasa kini, dalam hubungan antar negara
tampak adanya kecenderungan untuk mengurangi peran eksklusif dari wilyah negara,
khususnya dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan hak untuk
menentukan nasib sendiri (self determination). Namun, hingga saat ini kedaulatan teritorial
tetap merupakan suatu konsep penting dalam hukum internasional dan telah melahirkan
berbagai ketentuan hukum tentang perolehan dan hilangnya wilayah negara.
Esensi dari kedaulatan territorial terletak pada kondisi faktual maupun legal sehingga
suatu wilayah dapat di anggap berada dibawah kedaulatan suatu negara tertentu. Dengan
demikian, dalam suatu sengketa antara dua negara yang berkaitan dengan kepemilikan
terhadap suatu wilayah, yang akan dijadikan bahan pertimbangan oleh Mahkamah adalah
argumentasi hukum dari salah satu pihak yang di anggap paling kuat.
Namun dalam sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, karena kedua
belah pihak dianggap tidak memiliki argumentasi hukum yang kuat, Mahkamah harus
mencari dasar lain untuk menetapkan pihak mana yang di anggap memiliki kedaulatan, yaitu
pendudukan yang efektif (effektive occupation) disertai dengan bukti-bukti pelaksanaanya.
Hal ini tampak dalam pendapat salah seorang Hakim Anggota yang berasal dari Jepang,
Shingeru Oda, yang menggap bahwa:
The present case is a rather weak one in that neither Party had
made a strong showing in support of its claim to title to the island on
any basis. While Malaysia has made a more persuasive case on the
basis of effectivities, its argument are still not very strong in
absolute term. The Court, however, has been requested to choose
between the two parties in adjudging whether sovereignty over [the
two island] belongs to ... Indonesia or Malaysia ... and, given that
choice, the Court has come to reasonable decision.
Dalam praktiknya sengeketa kewilayahan secara garis besarnya dapat disebabkan oleh
dua hal yaitu dalam bentuk klaim terhadap seluruh wilayah dari suatu negara, seperti misalnya
dalam sengketa Arab-Israel; atau dapat juga dalam bentuk klaim terhadap suatu bagian dari
wilayah negara yang berbatasan, seperti misalnya dalam sengketa antara Indonesia-Malaysia
mengenai Pulau Sipadan dan Ligitan di atas.
Tuntutan terhadap wilayah atau bagian wilayah dari suatu negara dapa didasarkan
pada berbagai macam hal mulai dari bentuk klasik seperti okupasi atau preskripsi, sampai
kepada bentuk paling muktahir seperti misalnya hak untuk menentukan nasib sendiri (self
determination), dengan dukungan berbagai faktor yang bersifat politis maupun hukum seperti
misalnya kelanjutan geografis (geographical contiguity) tuntutan sejarah atau faktor ekonomi.
Disamping itu, hukum internasional juga mengenal adanya wilayah yang tidak berada
dibawah kedaulatan negara maupun yang dikenal sebagai terra nullius. Ada juga wilayah yang
tidak dapat ditundukan pada kedaulatan negara manapun yang disebut res comunis seperti
misalnya laut lepas, kawasam dasar laut samudra dalam (international sea-bed area) dan
ruang angkasa (outer space). Wilayah demikian tidak dapat dimiliki oleh negara tertentu dan
dapat digunakan oleh siapa saja atau negara manapun. Konsep kewilayahan seperti ini telah
melahirkan asas warisan bersama ummat manusia (common heritage of mankind) yang kini
melekat pada ruang angkasa dan daerah dasar laut samudra dalam.
1) Akresi
Akresi adalah penambahan wilayah yang disebabkan oleh proses alamiah. Sebagai
contoh adalah terbentuknya pulau yang di sebabkan oleh endapan lumpur di muara sungai;
atau mengeringnya bagian sungai disebabkan oleh terjadinya perubahan aliran sungai.
Penambahan wilayah dalam bentuk pulau baru dapat juga disebabkan oleh letusan gunung api
di laut. Dalam hal ini apabila pulau baru tersebut berada di perairan wilayah suatu negara
maka otomatis akan menjadi bagian dari wilayah negara tersebut.
2) Cessi
Salah satu cara yang banyak digunakan untuk memperoleh tambahan wilayah adalah
dengan cessi. Dasar pemikiran yang melandasi cessi adalah bahwa penyerahan suatu wilayah
atau bagian wilayah adalah hak yang melekat pada kedaulatan negara. Cessi merupakan cara
penyerahan wilayah secara damai yang biasanya dilakukan melalui suatu perjanjian
perdamaian yang mengakhiri perang. Namun, pada zaman kolonial pratik cessi banyak di
pakai oleh penguasa setempat seperti misalnya yang dilakukan oleh beberapa kesultanan di
Asia Tenggara kepada para pendatang Eropa; atau sebaliknya dilakukan oleh penguasa
kolonial kepada kelompok adat setempat.
Berbeda dengan akresi dalam cessi ada pemindahan kedaulatan atas bagian wilayah
tertentu dari satu negara/penguasa kepada negara/penguasa yang lain. Negara/penguasa yang
menerima bagian wilayah tersebut memiliki hak yang sama dengan negara/penguasa pemberi
dan tidak lebih dari itu. Dengan demikian, apabila negara pemberi pernah memberikan hak
kepada negara ketiga, hak negara ketiga tersebut harus juga dihormati oleh negara penerima.
Dalam kasus island of palmas para arbiter tidak dapat menerima klain Amerika yang
didasarkan pada perjanjian dengan spanyol pada tahun 1898 mengenai cessi terhadap
beberapa pulau, karena dianggap bahwa spayol tidak memilki hak itu.
3) Okupasi
Okupasi menunjukan adanya penguasaan terhadap suatu wilayah yang tidak berada
dibawah kedaulatan negara manapun, yang dapat berupa suatu terra nullius yang baru
ditemukan. Penguasaan tersebut harus dilakukan oleh negara dan bukan oleh orang-
perorangan, secara efektif dan harus terbukti adanya kehendak untuk menjadikan wilayah
tersebut sebagai bagian dari kedaulatan negara. Hal itu harus ditunjukan misalnya dengan
suatu tindakan simbolis yang menunjukan adanya penguasaan terhadap wilayah tersebut,
misalnya dengan pemancangan bendera atau melalui suatu proklamasi. Penemuan saja tidak
cukup kuat untuk menunjukan kedaulatan negara, karena hal ini di anggap hanya memiliki
dampak sebagai suatu pengumuman. Agar penemuan tersebut memiliki arti yuridis harus
dilengkapi dengan penguasaan secara efektif untuk jangka tertentu.
4) Preskripsi
Berbeda dengan okupasi, preskripsi adalah pelaksanaan kedaulatan oleh negara secara
de facto dan damai untuk kurun waktu tertentu, bukan terhadap terra nullius melainkan
terhadap wilayah yang sebenarnya berada dibawah kedaulatan negara lain. Kesulitan untuk
dapat menerima preskripsi sebagai asas hukum internasional dalam perolehan wilayah adalah
bahwa tidak banyak praktik negara untuk itu. Dengan demikian, tidak jelas preseden yang
menunjukan beberapa lama waktu yang diperlukan untuk menunjukan adanya pelaksanaan
kedaulatan secara de facto dan damai, dan apakah pelaksanaannya harus dilakukan tanpa
terputus. Hal ini penting untuk menunjukan bahwa munculnya protes dari negara yang
memiliki kedaulatan terdahulu akan menghilangkan klaim berdasarkan preskripsi.
5) Aneksasi
Dalam hal perolehan wilayah secara paksa yang penting adalah sejauh mana tindakan
demikian dapat dianggap sah dan diakui oleh negara-negara lain serta dapat dilaksanakan
dalam sistem yang berlaku dalam masyarakat internasional. Meskipun perolehan wilayah
secara tidak sah pada dasarnya tidak dapat dijadikan alasan untuk memperoleh hak, dalam
perkembangannya hukum internasional kadang-kadang dapat menerima tindakan demikian
asalkan dapat pengakuan dari negara-negara lain. Penaklukan (concuest) sebagai tindakan
suatu negara yang mengalahkan negara lain dengan menduduki seluruh atau sebagian
wilayahnya, bukan merupakan dasar untuk memperoleh hak terhadap wilayah yang diduduki
tersebut. Walaupun demikian, menurut hukum internasional negara penakluk dapat
memperoleh hak terhadap wilayah tersebut dalam bentuk okupasi belligeren (belligerent
occupation).
Aneksasi adalah cara perolehan wilayah secara paksa berdasarkan pada kondisi
sebagai berikut:
Bagi negara-negara yang baru merdeka perolehan kedaulatan atas wilayah merupakan
suatu hal yang dianggap sebagai sui generis. Menurtut Strake, kenyataan bahwa eksistensi
suatu negara memerlukan adanya wilayah mengakibatkan perolehan hak atas wilayah harus
menunggu pengakuan negara. Meskipun demikian, kesulitan ini dapat diatasi dengan
menganggap penduduk dari suatu wilayah tertentu, selama di anggap telah cukup mencapai
kedewasaan politik, dapat pula dianggap telah memperoleh kedaulatan terhadap wilayah
tersebut sambil menunggu terbentuknya negara.
Sikap seperti ini sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam Declaration of
Principles of International Law Concerning Friendly Relation and Cooperation Among States
in Accordance with The United Nations, yang diadopsi oleh majelis Umum PBB pada tahun
1970, khususnya yang menyebutkan bahwa wilayah dari suatu negara jajahan atau wilayah
yang belum memiliki a status separate adn distinct the teritory of the state administering
it.
(12) Pulau
Batas terluar dari laut teriotorial, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen dari
suatu pulau ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku untuk wilayah daratan. Akan
tetapi, batu karang yang tidak dapat menunjang kehidupan manusia atau tidak memiliki
kehidupan yang ekonomi yang menadiri tidak berhak untuk mendapat zona ekonomi
eksklusif atau landas kontinen.
(13) Laut tertutup dan setengan tertutup
Negara-negara yang berbatasan dengan dengan laut tertutup atau setengah tertutup
dianjurkan untuk bekerja sama dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya hayati,
menetapkan kebijaksanaan serta melaksanakan kegiatan-kegiatan riset dan lingkungan.
(14) Lingkungan laut
Setiap Negara wajib untuk melakukan pegawasan dan pencegahan pencemaran
lingkungan laut, dan bertanggung jawab untuk setiap kerusakan yang disebabkan oleh
pelanggran terhadap kewajibannya secara internasional untuk menangani pencemaran
demikian.
2. Penyelesaian sengketa
Negara-negara peserta Konvensi wajib untuk menyelesaikan sengketa tentang
interpretasi dan implementasi (penerapan) Konvens secara damai. Setiap sengketa dapat
diajukan kehadapan Mahkamah Hukum Laut Internasional (International Tribunal for the
Law of the Sea/ITLOS) yang didirikan berdasarkan Konvensi ini; atau ke Mahkamah
Internasional (International Court of Justice/IJC); atau melalui badan arbitrase.
Sengketa-sengketa juga dapat diselesaikan melalui konsiliasi, dan dalam beberapa hal
tertenu wajib menggunakan penyelesaian melalui konsiliasi.
Mahkamah Hukum Laut Internasional memiliki yurisdiksi eksklusif untuk sengketa
yang berkaitan dengan penambangan dasar laut samudra dalam (sea-bed mining).
3. Persetujuan Implementasi Bab XI Konvensi Hukul Laut 1982
Persetujuan implementasi Bab XI Konvensi Hukum Laut 1982 (Agreement relating
to the implementation of Part XI of the United Nations Convention on the Law of the Sea of
10 December 1982) diterima pada tanggal 28 Juli 1994 dan mulai berlaku sejak tanggal 28
Juli 1996. Pasal 2 persetujuan ini mengatur tetang hubungan antara persetujuan ini dengan
ketentuan-ketentuan Bab XI Konvensi Hukum Laut 1982, yang menetapkan bahwa kedua
dokumen tersebut harus diinterpretasikan dan diimplementasikan (diterapkan) sebagai suatu
dokumen yang integral.
Persetujuan tersebut disertai dengan suatu Annex, dibagi kedalam 9 bagian yang
mengatur tentang pelbagai masalah yang telah diidentifikasikan sebagai problem areas
selama konsultasi informal berjalan.
4. Persetujuan tentang Konvensi dan Pengelolaan Jenis-jenis ikan yang terdapat di dua ZEE
(straddling) dan yang bermigrasi jauh (highly migratory)
Persetujuan tentang jenis-jenis ikan yang berada di zona ekonomi eksklusif dari dua
Negara dan yang bermigrasi jauh (United Nations Agreement for the Implementation of the
Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982
relating to the Conservation and Management of Stradling Fish Stocks and Highly Migratory
Fish Stocks) menetapkan asas-asas untuk konservasi dan pengelolaan jenis-jenis ikan
tersebut.
Perjanjian ini ditujukan agar tujuan tersebut dapat dicapai dengan menyediakan suatu
kerangka kerjasama dalam konservasi dan pengelolaan suberdaya ikan tersebut. Perjanjian ini
juga mengakui kepentingan khusus Negara-negara berkembang dalam kaitannya dengan
konservasi dan pengelolaan, termasuk juga pengembangan dan keikutsertaan dalam
pemanfaatan jenis-jenis ikan tersebut.
5. Ruang Udara dan Ruang Angkasa
Sebagaimana dketahui menurut hukum internasinal wilayah Negara terdiri dari tiga
matra yaitu darat, laut dan udara. Kalau wilayah laut merupakan perluasan dari wilayah
daratan, wilayah udara suatu Negara mengikuti mengikuti batas-batas wilayah Negara di
darat dan laut.
Secara teoritis dengan adaya kedaulatan Negara diruang udara diatas wilayahnya,
setiap Negara dapat melakukan larangan bagi Negara-negara lain untuk terbang diatas
wilayahnya, kecuali kalau telah diperjanjikan sebelumnya.
Sama halnya dengan status hukum dari laut lepas, hukum internasional mengakui
status hukum ruang angkasa sebagai res communis, sehingga tidak ada satu bagiabpn dari
ruang angkasa dapat dijadikan menjadi bagian wilayah kedaulatan Negara.
Lebih lanjut pengaturan ruang angkasa ditetapkan melalui penandatanganan Treaty on
Principles Governing the Activiies of States in the Exploration and Use of Outerspace,
including the Moon and Other Celestial Bodies pada tahun 1967. Perjanjian internasional ini
menguatkan