Anda di halaman 1dari 12

Wilayah Negara dalam Hukum Internasional

Seperti telah diuraikan sebelumnya, hukum internasional adalah merupakan


keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi
batas negara. Dengan demikian, hukum internasional tidak dapat dipisahkan dari adanya
negara-negara. Sebaliknya, suatu negara hanya dapat berfungsi berdasarkan kedaulatan yang
dimilikinnya, yang secara internal di wujudkan dalam bentuk supremasi dari lembaga-
lembaga pemerintahan dan secara eksternal dalam bentuk supremasi negara sebagai subjek
hukum internasional. Konsep dasar dari ruang berlakunya kedaultan sebagai kekuasaan
tertinggi negara dibatasi oleh wilayah negara itu, sehingga negara memiliki kekuasaan
tertinggi di dalam batas wilayahnya. Menurut Opphenheim tanpa adanya wilayah dengan
batas-batas tertentu suatu negara tidak dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional.
Pengertian negara disini tidak dapat dipisahkan dari konsep dasar negara sebagai suatu
kesatuan geografis disertai dengan kedaulatan dan yuridiksinya masing-masing. Dengan
demikian, wilayah negara menjadi konsep yang paling mendasar (fundamentalis) dalam
hukum internasional, untuk menunjukan adanya kekuasaan tertinggi dan ekslusif negara
dalam batas-batas wilayahnya.

Peranan penting dari wilayah negara dalam hukum internasional tercermin dalam
prinsip penghormatan terhadap integritas kewilayahan (territorial integrity) yang dimuat
dalam berbagai intrumen internasional, misalnya dalam bentuk larangan untuk melkukan
intervensi terhdap masalah-masalah internal dari suatu negara. Meskipun demikian, sebagai
akibat dari perkembangan teknologi dan ekonomi dewasa kini, dalam hubungan antar negara
tampak adanya kecenderungan untuk mengurangi peran eksklusif dari wilyah negara,
khususnya dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan hak untuk
menentukan nasib sendiri (self determination). Namun, hingga saat ini kedaulatan teritorial
tetap merupakan suatu konsep penting dalam hukum internasional dan telah melahirkan
berbagai ketentuan hukum tentang perolehan dan hilangnya wilayah negara.

Dalam hukum internasional perolehan dan hilangnya wilayah negara akan


menimbulkan dampak terhadap kedaulatan negara atas wilayah itu. Oleh karena itu, hukum
internasional tidak hanya sekedar mengatur perolehan atau hilangnya wilayah negara itu,
tetapi yang lebih penting adalah dampak hukum terhadap kedaulatan negara dan penduduk
yang tinggal di wilayah tersebut. Kedaulatan negara atas wilayahnya memiliki dua aspek baik
positif maupun negatif.
Dalam keputusan terhadap kasus Island of Palmas yang melibatkan sengketa antara Belanda
dan Amerika Serikat, Hakim Huber menyatakan, antara lain, bahwa:

Sovereighty in relation to portion of the surface of the globe is the


legal condition necessary for the inclusion of such portion in the
territory of any particular state.

Pernyataan diatas menunjukan aspekpositif wilayah negara dalam bentuk adanya


kekuasaan tertinggi atau kewenangan eksklusif dari negara di wilayahnya. Sebaliknya di luar
wilayahnya suatu negara tidak lagi memiliki kekuasaan demikian karena kekuasaan itu
berakhir dan kekuasaan suatu negara lain dimulai. Aspek negatif dari wilayah negara
ditunjukan dengan adanya kewajiban negara untuk melindungi hak negara-negara lain di
wilayahnya.

Esensi dari kedaulatan territorial terletak pada kondisi faktual maupun legal sehingga
suatu wilayah dapat di anggap berada dibawah kedaulatan suatu negara tertentu. Dengan
demikian, dalam suatu sengketa antara dua negara yang berkaitan dengan kepemilikan
terhadap suatu wilayah, yang akan dijadikan bahan pertimbangan oleh Mahkamah adalah
argumentasi hukum dari salah satu pihak yang di anggap paling kuat.

Namun dalam sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, karena kedua
belah pihak dianggap tidak memiliki argumentasi hukum yang kuat, Mahkamah harus
mencari dasar lain untuk menetapkan pihak mana yang di anggap memiliki kedaulatan, yaitu
pendudukan yang efektif (effektive occupation) disertai dengan bukti-bukti pelaksanaanya.
Hal ini tampak dalam pendapat salah seorang Hakim Anggota yang berasal dari Jepang,
Shingeru Oda, yang menggap bahwa:

The present case is a rather weak one in that neither Party had
made a strong showing in support of its claim to title to the island on
any basis. While Malaysia has made a more persuasive case on the
basis of effectivities, its argument are still not very strong in
absolute term. The Court, however, has been requested to choose
between the two parties in adjudging whether sovereignty over [the
two island] belongs to ... Indonesia or Malaysia ... and, given that
choice, the Court has come to reasonable decision.
Dalam praktiknya sengeketa kewilayahan secara garis besarnya dapat disebabkan oleh
dua hal yaitu dalam bentuk klaim terhadap seluruh wilayah dari suatu negara, seperti misalnya
dalam sengketa Arab-Israel; atau dapat juga dalam bentuk klaim terhadap suatu bagian dari
wilayah negara yang berbatasan, seperti misalnya dalam sengketa antara Indonesia-Malaysia
mengenai Pulau Sipadan dan Ligitan di atas.

Tuntutan terhadap wilayah atau bagian wilayah dari suatu negara dapa didasarkan
pada berbagai macam hal mulai dari bentuk klasik seperti okupasi atau preskripsi, sampai
kepada bentuk paling muktahir seperti misalnya hak untuk menentukan nasib sendiri (self
determination), dengan dukungan berbagai faktor yang bersifat politis maupun hukum seperti
misalnya kelanjutan geografis (geographical contiguity) tuntutan sejarah atau faktor ekonomi.

Disamping itu, hukum internasional juga mengenal adanya wilayah yang tidak berada
dibawah kedaulatan negara maupun yang dikenal sebagai terra nullius. Ada juga wilayah yang
tidak dapat ditundukan pada kedaulatan negara manapun yang disebut res comunis seperti
misalnya laut lepas, kawasam dasar laut samudra dalam (international sea-bed area) dan
ruang angkasa (outer space). Wilayah demikian tidak dapat dimiliki oleh negara tertentu dan
dapat digunakan oleh siapa saja atau negara manapun. Konsep kewilayahan seperti ini telah
melahirkan asas warisan bersama ummat manusia (common heritage of mankind) yang kini
melekat pada ruang angkasa dan daerah dasar laut samudra dalam.

Setiap negara memiliki kemungkinan untuk menambah atau memperluas wilayahnya.


Dilihat dari praktik negara ada beberapa cara bagi suatu negara untuk dapat memperluas
wilayahnya yaitu melalui akresi, cessi,okupasi, preskripsi, dan perolehan wilayah secara
paksa yang biasanya berupa aneksasi.

1) Akresi
Akresi adalah penambahan wilayah yang disebabkan oleh proses alamiah. Sebagai
contoh adalah terbentuknya pulau yang di sebabkan oleh endapan lumpur di muara sungai;
atau mengeringnya bagian sungai disebabkan oleh terjadinya perubahan aliran sungai.
Penambahan wilayah dalam bentuk pulau baru dapat juga disebabkan oleh letusan gunung api
di laut. Dalam hal ini apabila pulau baru tersebut berada di perairan wilayah suatu negara
maka otomatis akan menjadi bagian dari wilayah negara tersebut.

2) Cessi
Salah satu cara yang banyak digunakan untuk memperoleh tambahan wilayah adalah
dengan cessi. Dasar pemikiran yang melandasi cessi adalah bahwa penyerahan suatu wilayah
atau bagian wilayah adalah hak yang melekat pada kedaulatan negara. Cessi merupakan cara
penyerahan wilayah secara damai yang biasanya dilakukan melalui suatu perjanjian
perdamaian yang mengakhiri perang. Namun, pada zaman kolonial pratik cessi banyak di
pakai oleh penguasa setempat seperti misalnya yang dilakukan oleh beberapa kesultanan di
Asia Tenggara kepada para pendatang Eropa; atau sebaliknya dilakukan oleh penguasa
kolonial kepada kelompok adat setempat.

Berbeda dengan akresi dalam cessi ada pemindahan kedaulatan atas bagian wilayah
tertentu dari satu negara/penguasa kepada negara/penguasa yang lain. Negara/penguasa yang
menerima bagian wilayah tersebut memiliki hak yang sama dengan negara/penguasa pemberi
dan tidak lebih dari itu. Dengan demikian, apabila negara pemberi pernah memberikan hak
kepada negara ketiga, hak negara ketiga tersebut harus juga dihormati oleh negara penerima.
Dalam kasus island of palmas para arbiter tidak dapat menerima klain Amerika yang
didasarkan pada perjanjian dengan spanyol pada tahun 1898 mengenai cessi terhadap
beberapa pulau, karena dianggap bahwa spayol tidak memilki hak itu.

Meskipun cessi biasanya dilaksanakan setelah berakhirnya suatu suasana permusuhan,


cessi juga dapat dilaksanakan dengan cara dan dalam keadaan yang berbeda. Contohnya
adalah pembelian Alaska pada tahun 1816 oleh Amerika Serikat dari Russia, atau ketika
Denmark menjual beberapa daerahnya di West Indies kepada Amerika Serikat pada tahun
1916.

3) Okupasi

Okupasi menunjukan adanya penguasaan terhadap suatu wilayah yang tidak berada
dibawah kedaulatan negara manapun, yang dapat berupa suatu terra nullius yang baru
ditemukan. Penguasaan tersebut harus dilakukan oleh negara dan bukan oleh orang-
perorangan, secara efektif dan harus terbukti adanya kehendak untuk menjadikan wilayah
tersebut sebagai bagian dari kedaulatan negara. Hal itu harus ditunjukan misalnya dengan
suatu tindakan simbolis yang menunjukan adanya penguasaan terhadap wilayah tersebut,
misalnya dengan pemancangan bendera atau melalui suatu proklamasi. Penemuan saja tidak
cukup kuat untuk menunjukan kedaulatan negara, karena hal ini di anggap hanya memiliki
dampak sebagai suatu pengumuman. Agar penemuan tersebut memiliki arti yuridis harus
dilengkapi dengan penguasaan secara efektif untuk jangka tertentu.
4) Preskripsi

Berbeda dengan okupasi, preskripsi adalah pelaksanaan kedaulatan oleh negara secara
de facto dan damai untuk kurun waktu tertentu, bukan terhadap terra nullius melainkan
terhadap wilayah yang sebenarnya berada dibawah kedaulatan negara lain. Kesulitan untuk
dapat menerima preskripsi sebagai asas hukum internasional dalam perolehan wilayah adalah
bahwa tidak banyak praktik negara untuk itu. Dengan demikian, tidak jelas preseden yang
menunjukan beberapa lama waktu yang diperlukan untuk menunjukan adanya pelaksanaan
kedaulatan secara de facto dan damai, dan apakah pelaksanaannya harus dilakukan tanpa
terputus. Hal ini penting untuk menunjukan bahwa munculnya protes dari negara yang
memiliki kedaulatan terdahulu akan menghilangkan klaim berdasarkan preskripsi.

5) Aneksasi

Dalam hal perolehan wilayah secara paksa yang penting adalah sejauh mana tindakan
demikian dapat dianggap sah dan diakui oleh negara-negara lain serta dapat dilaksanakan
dalam sistem yang berlaku dalam masyarakat internasional. Meskipun perolehan wilayah
secara tidak sah pada dasarnya tidak dapat dijadikan alasan untuk memperoleh hak, dalam
perkembangannya hukum internasional kadang-kadang dapat menerima tindakan demikian
asalkan dapat pengakuan dari negara-negara lain. Penaklukan (concuest) sebagai tindakan
suatu negara yang mengalahkan negara lain dengan menduduki seluruh atau sebagian
wilayahnya, bukan merupakan dasar untuk memperoleh hak terhadap wilayah yang diduduki
tersebut. Walaupun demikian, menurut hukum internasional negara penakluk dapat
memperoleh hak terhadap wilayah tersebut dalam bentuk okupasi belligeren (belligerent
occupation).

Aneksasi adalah cara perolehan wilayah secara paksa berdasarkan pada kondisi
sebagai berikut:

1. Wilayah yang dianeksasi telah dikuasai oleh negara menganeksasinya;


2. Pada waktu suatu negara mengumumkan kehendaknya untuk menganeksasi suatu
wilayah, wilayah tersebut telah benar-benar berada dibawah penguasaan negara
tersebut.
Perolehan wilayah dengan cara pertama tidak cukup untuk melahirkan hak atau
kedaulatan bagi negara yang melakukannya, melainkan harus diikuti dengan pernyataan resmi
tentang maksud atau kehendak demikian yang biasanya dilasanakan dengan pengiriman Nota
kepada semua negara yang berkepentingan. Jadi hak terhadap wilayah tidak otomatis beralih
dari negara yang kalah kepada negara pemenang secara resmi menyatakan tidak akan
menganeksasi wilayah tersebut. Perolehan wilayah yang dilaksanakan dengan cara
bertentangan dengan piagam PBB sudah semestinya tidak dapat dijadikan dasar perolehan hak
terhadap suatu wilayah.
6) Perolehan Wilayah oleh Negara Baru

Bagi negara-negara yang baru merdeka perolehan kedaulatan atas wilayah merupakan
suatu hal yang dianggap sebagai sui generis. Menurtut Strake, kenyataan bahwa eksistensi
suatu negara memerlukan adanya wilayah mengakibatkan perolehan hak atas wilayah harus
menunggu pengakuan negara. Meskipun demikian, kesulitan ini dapat diatasi dengan
menganggap penduduk dari suatu wilayah tertentu, selama di anggap telah cukup mencapai
kedewasaan politik, dapat pula dianggap telah memperoleh kedaulatan terhadap wilayah
tersebut sambil menunggu terbentuknya negara.

Sikap seperti ini sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam Declaration of
Principles of International Law Concerning Friendly Relation and Cooperation Among States
in Accordance with The United Nations, yang diadopsi oleh majelis Umum PBB pada tahun
1970, khususnya yang menyebutkan bahwa wilayah dari suatu negara jajahan atau wilayah
yang belum memiliki a status separate adn distinct the teritory of the state administering
it.

1. Wilayah dan Yurisdiksi Negara di Laut


Pengaturan tentang kedaulatan dan yurisdiksi Negara dilaut secara komprehensif
mulai dilakuka oleh empat konvensi-kovensi Jenewa tahun 1958 yang mengatur tentang laut
territorial dan zon tambahan, perikanan dan konservasi sumberdaya hayati di laut lepas,
landas kontinen dan laut lepas.tuntutan untuk melakukan peninjauan kembali terhadap
konvensi-konvensi muncul seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi penambangan
didasar laut . disamping itu pesatnya teknologi perkapalan juga erupakan salah satu faktor
penting yang menyebabkan Konvensi-konvensi itu dianggap sudah tidak memadai lagi.
(1) Status Hukum tentang Pelbagai Zona Maritim
Konvensi Hukum Laut 1982 mengakui hak Negara-negara untuk melakukan klaim
atas pelbagai macam zona maritim dengan status hukum yang berbeda-beda, yang dibagi
sebagai berikut:
1. Berada di bawah kedaulatan penuh Negara meliputi laut pedalaman, laut
territorial dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.
2. Negara mempunyai yurisdiksi khusus dan terbatas yaitu zona tambahan
3. Negara mempunyai yurikdiski eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya
alamnya, yaitu zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen
4. Berada dibawah suatu pengaturan internasional khusus, yaitu daerah dasar laut
samudra dalam, atau lebih dikenal dengan Kawasan (international sea-bed area
atau Area); dan
5. Tidak berada di bawah kedaulatan maupun yurisdiksi Negara mamapun, yaitu laut
lepas.
(2) Perairan Pedalaman
Batasan yang diberikan oleh Konvensi tentang perairan pedalaman adalah perairan
yang terletak pada sisi darat dari garis pangkal yang dipakai untuk menetapkan laut territorial
suatu Negara. Denagnd demikian, batas terluar dari perairan pedalaman bagi suatu Negara
pantai biasa adalah garis pangkal, yang dapat berupa garis pangkal biasa atau garis pangkal
lurus, atau kombinasi dari keduanya.
Perbedaan prinsip antara perairan pedalaman dengan laut territorial adalah bahwa
diperairan pedalaman kedaulatan Negara berlaku mutlak tanpa adanya pembatasan oleh
hukum internasional dalam bentuk kewajiban-kewajiban untuk memebrika jaminan
pelaksanaan hak lintas damai bagi kapal-kapal asing.
(3) Laut territorial
Konvensi menetapan bahwa kedaulatan suatu Negara pantai, selain wilayah daratan
dan perairan pedalamannya, dan dalam suatu Negara kepulauan, perairan kepulauannya,
meliputi juga suatu jalur laut yang berbatasan dengannya yang disebut laut territorial. Batas
laut territorial adalah garis yang jarak setiap titiknya dari titik yang terdekat pada garis
pangkal, sama dengan laut territorial.
Oleh Konvensi 1982 setiap Negara diberi kebebasan untuk menetapkan lebar laut
teritorialnya hingga suatu batas yang tidak melebihi 12mil laut, diukur dari garis pangkalnya.
Dengan adanya perubahan lebar laut dari 3 mil menjadi 12 mil, sebagian besar dari selat yang
biasa digunakan untuk pelayaran internasional berubah statusnya menjadi bagian laut
territorial.
(4) Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional
Salah satu ketentuan baru yang dihasilkan oleh Konferensi Hukum Laut Ketiga adalah
pengakuan masyarakat internasional tentang oengatura khusus bagi selat yang digunakan
untuk pelayaran internasional .
Bab III Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur tentang selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional. Menurut Pasal 37 yang dapat dianggap sebagai selat yang digunakan
untuk pelayaran internasional adalah perairan yang menghubungkan suatu bagian laut lepas
atau zona ekonomi eksklusif. Sedangakan Pasal 38 menetapkan bahwa untuk selat-selat yang
memenuhi ketentuan demikian, akan berlaku rezim pelayaran yang disebut lintas transit
(transit passage).
Dalam Bab III Konvensi ini juga diatur hal-hal yang berkaitan dengan keselamatan
pelayaran, termasuk penetapan alur-alur laut serta skema pemisah lalu lintas kecuali untuk
selat-selat yang termasuk kedalam pengaturan Pasal 35 (c) tentang selat-selat yang selama ini
berada diwilayah pengaturan perjanjian internasional.
(5) Jalur/Zona Tambahan
Diluar laut teritorialnya, dalam suatu jalur/zona yang berbatasan dengannya yang
disebut jalur/zona tambahan, Negara pantai dapat melakukan pengawasan yang diperlukan
untuk mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangannya dibidang bea cukai, fiskal,
imigrasi dan saniter.
(6) Negara kepulauan
Sebelum dimulainya Konferensi Hukum Laut Ketiga gambaran tentang masalah
kepulauan tidak hanya menunjukan kegagalan masyarakat internasional untuk menciptakan
pengaturan hukumnya. Bahkan menunjukkan adanya perbedaan pendapatyang sangat kuat
disamping penolakan untuk memasukkan masalah tersebut kedalam agenda konferensi
hukum laut.
Dalam perdebatan selanjutnya tampaknya konsep Negara kepulauan tersebut
mendapat dukungan yang cukup baik dari berbagai Negara peserta, tetapi disertai dengan
catatan bahwa prinsip kebebasan pelayaran dan penerbangan tetap dipertahankan terutama
pada bagian-bagian laut yang akan berubah status menjadi perairan kepulauan.
Beberapa Negara yang wilayahnya berdekatan dengan Negara-negara kepulauan juga
turut mengemukakan pendapatnya. Misalnya, Thailand mengharapkan agar kepentingan
Negara-negara tetangga mendapatkan perhatian, khususnya hak untuk mengeksploitasi
sumberdaya alam di bagian-bagian laut yang sebelumnya merupakan laut lepas, serta hal
lintas damai dibagian-bagian lain dari perairan kepulauan selain dari alur-alur laut kepulauan.
Negara kepulauan, yang merupakan Negara yang seluruh wilayahnya terdiri dari satu
atau lebih kepulauan, termasuk pulau-pulau lain, yang erta hubungannya satu sama lain,
termasuk perairan diantaranya serta wujud alamiah lainnya, memiliki kedaulatan diperairan
kepulauan yaitu perairan yang terletak disisi dalam dari garis-garis pangkal lurus kepulauan.
Berbeda dengan perairan pedalaman, meskipun sama-sama terletak disebelah dalam
dari garis pangkal darimana lebar laut territorial diukur, kedaulatan Negara kepulauan di
perairan kepulauannya dibatasi dengan kewajiban untuk memberikan akomodasi bagi
pelayaran internasional dalam bentuk hak lintas damaidan hak lintas alur laut kepulauan.
Salah satu langkah implementasi yang dilakukan oleh Indonesia adalah dengan
mengeluarkan Undang-undang No.6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Undang-undang
ini merupakan pengganti dari UU No. 4/Prp. Tahun 1960 tentang Peraran Indonesia.
Undang-undang ini menjamin berbagai macam hak lintas untuk kapal-kapal asing
yaitu:
Hak lintas damai melalui laut territorial dan perairan kepulauan Indonesia .
Hak lintas alur-alur laut kepulauan melalui perairan kepulauan Indonesia, serta
Hak lintas transit melalui selat yang digunakan untuk pelayaran internasional yang
terletak antara satu bagian laut lepas atau ZEE Indonesia dengan bagian laut dari laut
lepas atau ZEE Indonesia.
(7) Zona Ekonomi Eksklusif
Konsep ini merupakan suatu konsep baru yang tidak dikenal dalam hukum
internasionalselama ini.
Setiap Negara panti memiliki hak-hak berdaulat (sovereign rights) untuk eksplorasi
dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam, baik hayati maupun non-
hayati, yang terkandung didalam zona ekonomi eksklusif (ZEE), yang terletak diluar dan
berbatasan dengan laut territorial. Lebar ZEE tersebut tidak boleh melebihi 200 mil-laut
diukur dari garis-garis pangkal yang sama yang digunakan utuk mengukur lebar laut
territorial.
Tentang seluruh kegiatan riset ilmiah kelautan di ZEE dan dilandas kontinen harus
berdasarkan izin dari Negara pantai. Setiap Negara pantai wajib untuk memberikan
persetujuan terhadap kegiatan riset yang dilakukan oleh Negara-negara lain apabila ditujukan
untuk tujuan damai dan telah memenuhi kriteria-kriteria tertentu.

(8) Landas kontinen


Pada daerah dasar laut dan tanah dibawahnya (seabed and subsoil) dari daerah
permukaan laut yang terletak diluar laut teritorialnya, sepanjang kelanjutan alamiah dari
wilayah daratannya hingga pinggiran lar tepi kontinen (continental margin) atau pada batas
lain yang ditentukan sesuai dengan ketentuan Konvensi, yang dinamakan landas kontinen,
negara pantai mempunyai hak-hak berdaulat untuk melakukan kegiatan-kegiatan eksplorasi
dan eksploitasi dari kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
(9) Negara-negara yang tidak berpantai dan Negara-negara yang secara geografis tidak
beruntung
Negara-negara yang tdak berpantai dan Negara-negara yang secara geografis tidak
beuntung (land locked and geographically disadvantaged States) memiliki hak untuk
berperan atas dasar keadilan dalam kegiatan eksploitasi dan eksplorasi bagian yang pantas
dari kelebihan (surplus) sumberdaya hayati di zona ekonomi eksklusif Negara pantai yang
berada di kawasan (region) atau sub-kawasan (sub-region) yang sama .
Negara-negara tidak berpantai memiliki hak akses ke dan dari laut dan kebebasan
untuk transit melalui wilayah dari Negara transit.
(10) Laut lepas
Di laut lepas, setiap negara, baik Negara pantai atau Negara tidak berpantai (land
locked) dapat menikmati kebebasan-kebebasan dilaut lepas (freedom of the high seas), yang
meliputi antara lain kebebasan-kebebasan untuk berlayar, melakukan penerbangan,
memasang kabel dan pipa dibawah laut, membangun pulau buatan dan instalasi lainnya,
menangkap ikan, dan melakukan riset ilmiah kelautan.
(11) Kawasan
Kawasan (the international sea-bed area), atau lebih dkenal sebagai the Area
merupakan dasar laut dan dasar samudra dalam beserta tanah dibawahnya yang terletak diluar
yurisdiksi nasional, yang secara geologis tidak termasuk kedalam pengertian tepian kontinen.
Secara yuridis, kawasan merupakan daerah dasar laut dan tanah dibawahnya yang terletak di
luar batas terluar landas kontinen suatu Negara.
Melalui suatu cara yang dikenal sebagai parallel system, penerbangan di Kawasan ini
berada dibawah pengawasan Otorita. Menurut system ini disetiap Negara peserta, badan
hukum atau warga negaranya, dapat mengajukan permohonan untuk melakkan penerbangan
melalui Otorita, dengan menyertakan dua wilayah penerbangan dengan wilayah yang sama.
Otorita sendiri dapat melakukan penerbangan pada salah satu dari wilayah penerbangan
tersebut melalui suatu perusahaan yang disebut The Enterprise.

(12) Pulau
Batas terluar dari laut teriotorial, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen dari
suatu pulau ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku untuk wilayah daratan. Akan
tetapi, batu karang yang tidak dapat menunjang kehidupan manusia atau tidak memiliki
kehidupan yang ekonomi yang menadiri tidak berhak untuk mendapat zona ekonomi
eksklusif atau landas kontinen.
(13) Laut tertutup dan setengan tertutup
Negara-negara yang berbatasan dengan dengan laut tertutup atau setengah tertutup
dianjurkan untuk bekerja sama dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya hayati,
menetapkan kebijaksanaan serta melaksanakan kegiatan-kegiatan riset dan lingkungan.
(14) Lingkungan laut
Setiap Negara wajib untuk melakukan pegawasan dan pencegahan pencemaran
lingkungan laut, dan bertanggung jawab untuk setiap kerusakan yang disebabkan oleh
pelanggran terhadap kewajibannya secara internasional untuk menangani pencemaran
demikian.
2. Penyelesaian sengketa
Negara-negara peserta Konvensi wajib untuk menyelesaikan sengketa tentang
interpretasi dan implementasi (penerapan) Konvens secara damai. Setiap sengketa dapat
diajukan kehadapan Mahkamah Hukum Laut Internasional (International Tribunal for the
Law of the Sea/ITLOS) yang didirikan berdasarkan Konvensi ini; atau ke Mahkamah
Internasional (International Court of Justice/IJC); atau melalui badan arbitrase.
Sengketa-sengketa juga dapat diselesaikan melalui konsiliasi, dan dalam beberapa hal
tertenu wajib menggunakan penyelesaian melalui konsiliasi.
Mahkamah Hukum Laut Internasional memiliki yurisdiksi eksklusif untuk sengketa
yang berkaitan dengan penambangan dasar laut samudra dalam (sea-bed mining).
3. Persetujuan Implementasi Bab XI Konvensi Hukul Laut 1982
Persetujuan implementasi Bab XI Konvensi Hukum Laut 1982 (Agreement relating
to the implementation of Part XI of the United Nations Convention on the Law of the Sea of
10 December 1982) diterima pada tanggal 28 Juli 1994 dan mulai berlaku sejak tanggal 28
Juli 1996. Pasal 2 persetujuan ini mengatur tetang hubungan antara persetujuan ini dengan
ketentuan-ketentuan Bab XI Konvensi Hukum Laut 1982, yang menetapkan bahwa kedua
dokumen tersebut harus diinterpretasikan dan diimplementasikan (diterapkan) sebagai suatu
dokumen yang integral.
Persetujuan tersebut disertai dengan suatu Annex, dibagi kedalam 9 bagian yang
mengatur tentang pelbagai masalah yang telah diidentifikasikan sebagai problem areas
selama konsultasi informal berjalan.
4. Persetujuan tentang Konvensi dan Pengelolaan Jenis-jenis ikan yang terdapat di dua ZEE
(straddling) dan yang bermigrasi jauh (highly migratory)
Persetujuan tentang jenis-jenis ikan yang berada di zona ekonomi eksklusif dari dua
Negara dan yang bermigrasi jauh (United Nations Agreement for the Implementation of the
Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982
relating to the Conservation and Management of Stradling Fish Stocks and Highly Migratory
Fish Stocks) menetapkan asas-asas untuk konservasi dan pengelolaan jenis-jenis ikan
tersebut.
Perjanjian ini ditujukan agar tujuan tersebut dapat dicapai dengan menyediakan suatu
kerangka kerjasama dalam konservasi dan pengelolaan suberdaya ikan tersebut. Perjanjian ini
juga mengakui kepentingan khusus Negara-negara berkembang dalam kaitannya dengan
konservasi dan pengelolaan, termasuk juga pengembangan dan keikutsertaan dalam
pemanfaatan jenis-jenis ikan tersebut.
5. Ruang Udara dan Ruang Angkasa
Sebagaimana dketahui menurut hukum internasinal wilayah Negara terdiri dari tiga
matra yaitu darat, laut dan udara. Kalau wilayah laut merupakan perluasan dari wilayah
daratan, wilayah udara suatu Negara mengikuti mengikuti batas-batas wilayah Negara di
darat dan laut.
Secara teoritis dengan adaya kedaulatan Negara diruang udara diatas wilayahnya,
setiap Negara dapat melakukan larangan bagi Negara-negara lain untuk terbang diatas
wilayahnya, kecuali kalau telah diperjanjikan sebelumnya.
Sama halnya dengan status hukum dari laut lepas, hukum internasional mengakui
status hukum ruang angkasa sebagai res communis, sehingga tidak ada satu bagiabpn dari
ruang angkasa dapat dijadikan menjadi bagian wilayah kedaulatan Negara.
Lebih lanjut pengaturan ruang angkasa ditetapkan melalui penandatanganan Treaty on
Principles Governing the Activiies of States in the Exploration and Use of Outerspace,
including the Moon and Other Celestial Bodies pada tahun 1967. Perjanjian internasional ini
menguatkan

Anda mungkin juga menyukai