BAB 1
PENDAHULUAN
2.1 Pengertian
Laparatomi yaitu insisi pembedahan melalui pinggang (kurang
begitu tepat), tapi lebih umum pembedahan perut (Harjono. M, 1996).
Pembedahan yang dilakukan pada usus akibat terjadinya perlekatan usus
dan biasanya terjadi pada usus halus. (Arif Mansjoer, 2000). Ramali
Ahmad (2000) mengatakan bahwa laparatomy yaitu pembedahan perut,
membuka selaput perut dengan operasi. Sedangkan menurut Sanusi
(1999), laparatomi adalah insisi pembedahan melalui dinding perut atau
abdomen.
2.2 Jenis Laparotomi
2.2.1 Menurut Tekhnik Pembedahan
1. Insisi pada garis tengah abdomen (mid-line incision)
a. Paparan bidang pembedahan yang baik
b. Dapat diperluas ke cephalad ( ke arah kranial )
c. Penyembuhan dan kosmetik tidak sebaik insisi tranversal
d. Dipilih cara ini bila insisi tranversal diperkirakan tidak dapat memberikan
paparan bidang pembedahan yang memadai
e. Dipilih pada kasus gawat-darurat
Gambar : A. Pemotongan pada linea alba dengan scalpel pada insisi garis tengah ; B.
Insisi diperdalam sehingga memotong lemak subkutis, anteror dan posterior sheath dari
m.rectus serta peritoneum ; C. Membuka peritoneum dengan scalpel secara hati-hati dan
terlihat usus kecil yang menonjol dibalik insisi peritoneum ; D. Insisi peritoneum
diperluas ke cephalad dengan gunting Mayo kearah umbilicus
2. Insisi pada garis tranversal abdomen (Pfannenstiel incision)
4. Paramedian, yaitu sedikit ke tepi dari garis tengah ( 2,5 cm), panjang
(12,5 cm).
5. Transverse upper abdomen incision, yaitu insisi di bagian atas,
misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
2.6 Komplikasi
1. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi.
Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding
pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru,
hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi,
ambulatif dini.
2. Infeksi.
Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi. Organisme
yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens,
organisme; gram positif. Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk
menghindari infeksi luka yang paling penting adalah perawatan luka
dengan memperhatikan aseptik dan antiseptik.
3. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau
eviserasi.
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah
keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi
atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu
pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding abdomen sebagai
akibat dari batuk dan muntah.
4. Ventilasi paru tidak adekuat
5. Gangguan kardiovaskuler : hipertensi, aritmia jantung
6. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
7. Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Anamnesis
Gangguan yang mengenai abdomen dan sistem gastrointestinalbisa
menimbulkan gejala yang sangat beragam:
a. Nyeri abdomen
b. Muntah
c. Hematenesis (muntah darah)
d. Sulit menelan (disfagia)
e. Ganguan cerna atau dispepsia
f. Diare
g. Perubahan kebiasaan buang air besar
h. Bengkak atau benjolan pada perut
i. Penurunan berat badan atau gejala akibat malabsorpsi
j. Melena (tinja hitam seperti ter akibat darah dari saluran cerna bagian
atas) atau darah per ektum.
Riwayat Keluarga
Adakah kondisi turunan yang mempengaruhi sistem gastrointestinal?
2. Pemeriksaan Fisik
Urutan teknik pemeriksaan pada abdomen ialah inspeksi, auskultasi,
palpasi, dan perkusi. Auskultasi dilakukan sebelum kita melakukan palpasi
dan perkusi dengan tujuan agar hasil pemeriksaan auskultasi lebih akurat
karena kita belum melakukan manipulasi terhadap abdomen.
INSPEKSI
Dilakukan pada pasien dengan posisi tidur terlentang dan diamati
dengan seksama dinding abdomen. Yang perlu diperhatikan adalah:
a. Keadaan kulit; warnanya (ikterus, pucat, coklat, kehitaman),
elastisitasnya (menurun pada orang tua dan dehidrasi), kering
(dehidrasi), lembab (asites), dan adanya bekas-bekas garukan
(penyakit ginjal kronik, ikterus obstruktif), jaringan parut (tentukan
lokasinya), striae (gravidarum/ cushing syndrome), pelebaran
pembuluh darah vena (obstruksi vena kava inferior & kolateral
pada hipertensi portal).
b. Besar dan bentuk abdomen; rata, menonjol, atau scaphoid
(cekung).
c. Simetrisitas; perhatikan adanya benjolan local (hernia,
hepatomegali, splenomegali, kista ovarii, hidronefrosis).
d. Gerakan dinding abdomen pada peritonitis terbatas.
e. Pembesaran organ atau tumor, dilihat lokasinya dapat
diperkirakan organ apa atau tumor apa.
f. Peristaltik; gerakan peristaltik usus meningkat pada obstruksi ileus,
tampak pada dinding abdomen dan bentuk usus juga tampak
(darm-contour).
g. Pulsasi; pembesaran ventrikel kanan dan aneurisma aorta sering
memberikan gambaran pulsasi di daerah epigastrium dan
umbilical.
Perhatikan juga gerakan pasien:
a. Pasien sering merubah posisi adanya obstruksi usus.
b. Pasien sering menghindari gerakan iritasi peritoneum
generalisata.
c. Pasien sering melipat lutut ke atas agar tegangan abdomen
berkurang/ relaksasi peritonitis.
d. Pasien melipat lutut sampai ke dada, berayun-ayun maju mundur
pada saat nyeri pankreatitis parah.
AUSKULTASI
Kegunaan auskultasi ialah untuk mendengarkan suara peristaltic usus
dan bising pembuluh darah. Dilakukan selama 2-3 menit.
c. Mendengarkan suara peristaltic usus.
Diafragma stetoskop diletakkan pada dinding abdomen, lalu
dipindahkan ke seluruh bagian abdomen. Suara peristaltic usus terjadi
akibat adanya gerakan cairan dan udara dalam usus. Frekuensi normal
berkisar 5-34 kali/ menit.
Bila terdapat obstruksi usus, peristaltic meningkat disertai rasa sakit
(borborigmi). Bila obstruksi makin berat, abdomen tampak membesar dan
tegang, peristaltic lebih tinggi seperti dentingan keeping uang logam
(metallic-sound).
Bila terjadi peritonitis, peristaltic usus akan melemah, frekuensinya
lambat, bahkan sampai hilang.
d. Mendengarkan suara pembuluh darah.
Bising dapat terdengar pada fase sistolik dan diastolic, atau kedua
fase. Misalnya pada aneurisma aorta, terdengar bising sistolik (systolic
bruit). Pada hipertensi portal, terdengar adanya bising vena (venous hum)
di daerah epigastrium.
PALPASI
Beberapa pedoman untuk melakukan palpasi, ialah:
a. Pasien diusahakan tenang dan santai dalam posisi berbaring
terlentang.Sebaiknya pemeriksaan dilakukan tidak buru-buru.
b. Palpasi dilakukan dengan menggunakan palmar jari dan telapak tangan.
Sedangkan untuk menentukan batas tepi organ, digunakan ujung jari.
Diusahakan agar tidak melakukan penekanan yang mendadak, agar tidak
timbul tahanan pada dinding abdomen.
c. Palpasi dimulai dari daerah superficial, lalu ke bagian dalam. Bila ada
daerah yang dikeluhkan nyeri, sebaiknya bagian ini diperiksa paling akhir.
d. Bila dinding abdomen tegang, untuk mempermudah palpasi maka pasien
diminta untuk menekuk lututnya. Bedakan spasme volunteer & spasme
sejati; dengan menekan daerah muskulus rectus, minta pasien menarik
napas dalam, jika muskulus rectus relaksasi, maka itu adalah spasme
volunteer. Namun jika otot kaku tegang selama siklus pernapasan, itu
adalah spasme sejati.
e. Palpasi bimanual; palpasi dilakukan dengan kedua telapak tangan,
dimana tangan kiri berada di bagian pinggang kanan atau kiri pasien
sedangkan tangan kanan di bagian depan dinding abdomen.
f. Pemeriksaan ballottement; cara palpasi organ abdomen dimana terdapat
asites.
Caranya dengan melakukan tekanan yang mendadak pada dinding
abdomen & dengan cepat tangan ditarik kembali. Cairan asites akan
berpindah untuk sementara, sehingga organ atau massa tumor yang
membesar dalam rongga abdomen dapat teraba saat memantul.
Teknik ballottement juga dipakai untuk memeriksa ginjal, dimana
gerakan penekanan pada organ oleh satu tangan akan dirasakan
pantulannya pada tangan lainnya.
g. Setiap ada perabaan massa, dicari ukuran/ besarnya, bentuknya,
lokasinya, konsistensinya, tepinya, permukaannya, fiksasi/ mobilitasnya,
nyeri spontan/ tekan, dan warna kulit di atasnya. Sebaiknya digambarkan
skematisnya.
Palpasi hati; dilakukan dengan satu tangan atau bimanual pada
kuadran kanan atas. Dilakukan palpasi dari bawah ke atas pada garis
pertengahan antara mid-line & SIAS. Bila perlu pasien diminta untuk
menarik napas dalam, sehingga hati dapat teraba. Pembesaran hati
dinyatakan dengan berapa sentimeter di bawah lengkung costa dan
berapa sentimeter di bawah prosesus xiphoideus. Sebaiknya digambar.
Anatomic Location of Organs by Quadrant
MIDLINE
Aorta
Uterus (if enlarged)
Bladder (if distended)
PERKUSI
Perkusi berguna untuk mendapatkan orientasi keadaan abdomen
secara keseluruhan, menentukan besarnya hati, limpa, ada tidaknya
asites, adanya massa padat atau massa berisi cairan (kista), adanya
udara yang meningkat dalam lambung dan usus, serta adanya udara
bebas dalam rongga abdomen. Suara perkusi abdomen yang normal
adalah timpani (organ berongga yang berisi udara), kecuali di daerah
hati (redup; organ yang padat).
a. Orientasi abdomen secara umum.
Dilakukan perkusi ringan pada seluruh dinding abdomen secara
sistematis untuk mengetahui distribusi daerah timpani dan daerah redup
(dullness). Pada perforasi usus, pekak hati akan menghilang.
b. Cairan bebas dalam rongga abdomen
Adanya cairan bebas dalam rongga abdomen (asites) akan
menimbulkan suara perkusi timpani di bagian atas dan dullness dibagian
samping atau suara dullness dominant. Karena cairan itu bebas dalam
rongga abdomen, maka bila pasien dimiringkan akan terjadi perpindahan
cairan ke sisi terendah. Cara pemeriksaan asites:
c. Pemeriksaan gelombang cairan (undulating fluid wave).
Teknik ini dipakai bila cairan asites cukup banyak. Prinsipnya adalah
ketukan pada satu sisi dinding abdomen akan menimbulkan gelombang
cairan yang akan diteruskan ke sisi yang lain.
Pasien tidur terlentang, pemeriksa meletakkan telapak tangan kiri
pada satu sisi abdomen dan tangan kanan melakukan ketukan berulang-
ulang pada dinding abdomen sisi yang lain. Tangan kiri kan merasakan
adanya tekanan gelombang.
d. Pemeriksaan pekak alih (shifting dullness).
Prinsipnya cairan bebas akan berpindah ke bagian abdomen
terendah. Pasien tidur terlentang, lakukan perkusi dan tandai peralihan
suara timpani ke redup pada kedua sisi. Lalu pasien diminta tidur miring
pada satu sisi, lakukan perkusi lagi, tandai tempat peralihan suara timpani
ke redup maka akan tampak adanya peralihan suara redup.
i. Pantau suhu
R/: Demam rendah umum terjadi selam 24 -48 jam pertama dan dapat
menambah kehilangan cairan
j. Pertahankan patensi penghisapan NGT.
R/: Meningkatkan dekompresi usus untuk menurunkan distensi atau
kekuatan pada garis jahitan dan menurunkan mual atau muntah , yang
dapat menyrtai anastesi, manipulasi usus, atau kondisi yang sebelumnya
ada, missal kanker.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan insisi pembedahan,
perubahan sensasi.
Kriteria hasil :
a. Pasien akan menunjukan perwatan optimal kulit dan luka secara rutin
b. Menunjukan intgritas kulit dan membrane mukosa adekuat ( temperature
jaringan, elastisitas, hidrasi, pigmentasi, dan warna)
c. Mencapai pemulihan luka tepat waktu tanpa ada komplikasi.
Intervensi Rasional
a. Monitor karakteristik luka meliputi lokasi, ada/tidaknya dan karakter
eksudat, ada/tidaknya jaringan nekrotik, ada/tidaknya tanda-tanda infeksi
(nyeri, bengkak, kemerahan, peningkatan sushu, penurunan fungsi).
R/: Permulaan pengkajian yang merupakan langkah awal utnuk
memberikan perawatan individual. Penemuan abnormal dapat menjadi
data untuk masalah dan dapat digunakan untuk pedoman perencanaan
perawatan
b. Bersihkan dan ganti balutan (wound care) luka dengan teknik steril.
R/: Pencegahan komplikasi luka terhadap kontaminasi silang dan
membantu penyembuhan luka.
c. Minimalisir penekanan pada bagian luka.
R/: Pencegahan kerusakan kulit merupakan salah satu penanganan mudah
masalah sebelum kerusakan kulit berkembang
d. Pantau tanda-tanda vital dengan sering, perhatikan demam, takipneu,
takikardi dan gemetar. Periksa luka dengan sering terhadap bengkak insisi
berlebihan, inlamasi drainage.
R/: Pasien dengan kondisi post pembedahan beresiko tinggi mengalami
komplikasi. Evaluasi segera dapat menjadi ukuran pencegahan dan
penanganan dini.
e. Waspadai factor resiko lanjut, misal : keganasan, seperti limfasarkoma
dan mieloma multiple, terapi radiasi dan sisi operasi.
R/: Indikatif dari pembentukan hematoma atau terjadinya infeksi yang
menunjang perlambatan pemulihan luka dan meningkatkan resiko
pemisahan luka.
f. Berikan antibiotic sesuai indikasi
R/: Menurunkan imunokompentesi, ini mempengaruhi pemulihan luka
pada infeksi. Meningkatkan vaskulitis dan fibrosis pada jaringan
penyambung, mempengaruhi
5. Risiko infeksi berhubungan dengan adanya tempat masuknya
mikroorganisme sekunder akibat pembedahan.
Kriteria hasil:
a. Klien tidak mengakami infeksi
b. Luka cepat sembuh tanpa komplikasi
Intervensi
a. monitor tanda-tanda vital
R/: mengetahui tanda awal terjadinya infeksi
b. lakukan tehnik perawatan luka dengan tehnik septik dan aseptik
R/: perawatan luka dengan tekhnik aseptic dapat mencegah
berkembangbiaknya mikroorganisme penyebab infeksi
c. observasi penyatuan luka, karakter drainage, adanya inflmasi
R/: mengetahui secara dini tanda infeksi atau memperburuknya kondisi
luka.
d. berikan nutrisi yang adekuat
R/: dengan nutrisi yang baik dapat meningkatkan daya tahan tubuh
e. kolaborasi dalam pemberian antibiotika
R/: antibiotika menurunkan jumlah mikroorganisme dan juga dapat
membunuh mikroorganisme dengan penggunaan secara teratur.
BAB 5
ANALISA KASUS SEMU
I. Pengkajian
1. Identitas
Nama : Ny. K Tgl MRS : 11 Oktober 2011
Umur : 24 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak bekerja ( Ibu Rumah tangga )
Pendidikan : SMA ( tamat )
Nama Suami : Tn. As
Umur : 28 tahun
Pendidikan : SMU ( tamat )
Pekerjaan : Karyawan Pabrik
Alamat : Gadung No.100, Surabaya
2. Riwayat Keperawatan
2.1 Riwayat Penyakit sebelumnya :
Klien mengatakan :
- Sering mengalami tekanan darah rendah
- Waktu SMA pernah sakit typhus dan sakit kuning, dengan berobat jalan
sembuh
2.2 Riwayat Penyakit Sekarang :
Nyeri luka operasi daerah perut kanan bawah. Nyeri bertambah hebat
terutama bila bergerak, oleh karena itu klien sangat berhati-hati saat bergerak.
Nyeri seperti ditusuk-tusuk hilang timbul tiap 10 menit.
3. Pemeriksaan Fisik :
- Keadaan umum :
Klien terbaring terlentang dengan posisi tangan kiri memegang perut saat
bergerak, merintih kesakitan dan ekspresi wajah gelisah.
- Tanda Vital :
Suhu axilla 36,1 C Nadi 88 x/menit, Tensi 120/70 mmHg, RR 22 x/menit
4. Pengkajian Sistem :
4.1 Sistem Pernafasan :
Hidung bersih, pernafasan spontan, bentuk dada bulat datar tidak
ditemukan tarikan otot bantu pernafasan saat bernafas, suara nafas
vesikuler, tidak ditemukan suara nafas tambahan.
Analisa Data
2. DS : - trauma Kerusakan
DO : pembedahan integritas kulit
terdapat luka operasi
abdomen bagian kanan
bawah dengan panjang 15
cm
luka bersih dengan jahitan
Luka tertutup oleh kasa steril
rembesan darah minimal
luka kering
tidak bengkak
jahitan belum menutup
sempurna.
Menghilangkan nyeri,
4. Kolaborasi dalam mempermudah
pemerian analgesik kerjasamna dengan
sesuai indikasi
intervensi terapi lain.
2. Tujuan: setelah 1. Observasi insisi Mempengaruhi Ns.
dilakukan tindakan secara periodic, pilihan intervensi A
keperawatan catat
selama 3x24 jam penyambungan tepi
diharapkan luka, pembentukan
integritas kulit klien hematoma dan Menurunkan
tetap terjaga. penyembuhan, kemungkinan
perdarahan/drainas dehisens dan hernia
Kriteria hasil: e. insisi lanjut.
Menunjukkan Meningkatkan
penyembuhan luka 2. Sokong insisi bila penyembuhan.
sesuai waktu tanpa mengubah posisi, Akumulasi drainase
komplikasi batuk, napas dalam seroanguinosa pada
Menunjukkan dan ambulasi lapisan subkutan
perilaku untuk meningkatkan
menurunkan 3. Berikan perawatan tegangan jahitan,
tegangan jahitan insisi hati-hati untuk sehingga dapat
mempertahankan memperlambat
balutan kering dan penyembuhan luka
steril dan memberikan
medium
pertumbuhsn bakteri
Kelembaban atau
ekskoriasi
meningkatkan
pertumbuhan bakteri
yang menimbulkan
infeksi pasca operasi.
4. Berikan perawatan Menurunkan tekanan
kulit; berikan kulit dan
perhatian khusus meningkatkan
pada lipatan kulit sirkulasi
5. Kolaborasi dalam
pemberian terapi
kinetic sesuai
indikasi
P: Lanjutkan
intervensi No.
1,2,3,4,5
2 Selasa,2 Mengobservasi Ns.A SelasS: - Ns.A
9-11- insisi secara a, 29-O: luka bersih
2011 periodic, mencatat 11- dengan
07.00 penyambungan 2011 jahitan, Luka
tepi luka, 14.00 tertutup oleh
08.15 pembentukan kasa steril,
hematoma dan rembesan
11.00 penyembuhan, darah
perdarahan/drainas minimal, luka
11.15 e. kering, tidak
bengkak, jahit
Menyokong insisi an belum
12.30 bila mengubah menutup
posisi, batuk, napas sempurna.
dalam dan A: masalah
ambulasi teratasi
sebagian
Memberikan P: lanjutkan
perawatan insisi intervensi no.
hati-hati untuk 1,2,3,4,5
mempertahankan
balutan kering dan
steril
Memberikan
perawatan kulit;
berikan perhatian
khusus pada
lipatan kulit
Berkolaborasi
dalam pemberian
terapi kinetic
sesuai indikasi
BAB 4
PENUTUP
4.1 Simpulan
Laparatomi yaitu insisi pembedahan melalui pinggang (kurang
begitu tepat), tapi lebih umum pembedahan perut (harjono. M,
1996). Jenis laparatomi menurut tekhnik pembedahan yakni insisi pada
garis tengah abdomen (mid-line incision), Insisi pada garis tranversal
abdomen (pfannenstiel incision), insisi cherney, paramedian dan
transverse upper abdomen incision.
Sedangkan menurut indikasi, jenis-jenis laparatomi meliputi
Adrenalektomi, apendiktomi, gasterektomi, histerektomi, kolektomi,
nefrektomi, pankreatomi, seksiosesaria, siksetomi dan selfigo
oofarektomi.
4.2 Saran
Bedah laparatomi merupakan tindakan operasi pada daerah
abdomen (Spencer) yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan
kandungan.Oleh karena itu sebagai perawat hendaknya mengetahui
tentang tekhnik dan perawatan pada klien dengan laparatomi.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and suddart. 1988. Textbook of Medical Surgical Nursing. Sixth Edition.
Philadelpia: J.B. Lippincott Campany
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Fitzpatrick, JK. 1997. Abdominal Surgical Approaches in Danakas GT Pietrantoni
M (ed) The Care Of The Gynecologic / Obstetric Patient. St Louis, Missouri,
Mosby.
Long, Barbara C. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Bandung: Yayasan IAPK
Pajajaran Bandung
Soeparman, dkk. 1987. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI