Home
a. Aliran Monoisme
Dengan tokohnya Hanz Kelsen dan Georges Scelle. Menurut aliran ini semua hukum merupakan
satu sistem kesatuan hukum yang mengikat individu-individu dalam suatu negara ataupun
terhadap negara-negara dalam masyarakat internasional. Menurut aliran monoisme antara hukum
internasional dan hukum nasional merupakan satu kesatuan. Hal ini disebabkan:
Walaupun kedua sistem hukum itu mempunyai istilah yang berbeda, tetapi subjek
hukumnya tetap sama, yaitu individu-individu yang terdapat dalam suatu negara.
Sama-sama mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Hukum tidak mungkin untuk
dibantah. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan bagian dari satu kesatuan ilmu
hukum dan karena itu kedua perangkat hukum tersebut sama-sama mempunyai kekuatan
mengikat apakah terhadap individu-individu maupun negara.
b. Aliran Dualisme
Dengan tokohnya Triepel dan Anzilotti, Aliran ini beranggapan bahwa hukum internasional dan
hukum nasional merupakan dua sistem terpisah yang berbeda satu sama lain. Menurut aliran
dualisme perbedaan kedua hukum tersebut disebabkan pada :
a. Perbedaan Sumber Hukum
Hukum nasional bersumber pada hukum kebiasaan dan hukum tertulis suatu negara, sedangkan
hukum internasional berdasarkan pada hukum kebiasaan dan hukum yang dilahirkan atas
kehendak bersama negara-negara dalam masyarakat internasional.
b. Perbedaan Mengenai Subjek
Subjek hukum nasional adalah individu-individu yang terdapat dalam suatu negara, sedangkan
subjek hukum hukum internasional adalah negara-negara anggota masyarakat internasional
c. Perbedaan Mengenai Kekuatan Hukum
Hukum nasional mempunyai kekuatan mengikat yang penuh dan sempurna jika dibandingkan
dengan hukum internasional yang lebih banyak bersifat mengatur hubungan negara-negara
secara horizontal.
Proses Ratifikasi Hukum Internasional Menjadi Hukum Nasional
1. Proses ratifikasi hukum internasional menurut UU no 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional menimbang :
a. Bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum
di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial, Pemerintah Negara Republik Indonesia, sebagai bagian dari
masyarakat internasional, melakukan hubungan dan kerja sama internasional yang diwujudkan
dalam perjanjian internasional;
b. Bahwa ketentuan mengenai pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 sangat ringkas, sehingga perlu
dijabarkan lebih lanjut dalam suatu peraturan perundang-undangan;
c. bahwa Surat Presiden Republik Indonesia No. 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960
tentang "Pembuatan Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain" yang selama ini digunakan
sebagai pedoman untuk membuat dan mengesahkan perjanjian internasional sudah tidak sesuai
lagi dengan semangat reformasi;
d. bahwa pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Republik
Indonesia dan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional, dan subjek hukum
internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara
pada bidang-bidang tertentu, dan oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian
internasional harus dilakukan dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan
instrumen peraturan perundang-undangan yang jelas pula;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Huruf a, b, c dan d perlu
dibentuk Undang-undang tentang Perjanjian Internasional.
Pasal 5 :
1) Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, di
tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional,
terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri.
2) Pemerintah Republik Indonesia dalam mempersiapkan pembuatan perjanjian internasional,
terlebih dahulu harus menetapkan posisi Pemerintah Republik Indonesia yang dituangkan dalam
suatu pedoman delegasi Republik Indonesia.
3) Pedoman delegasi Republik Indonesia, yang perlu mendapat persetujuan Menteri, memuat
hal-hal sebagai berikut :
a) latar belakang permasalahan;
b) analisis permasalahan ditinjau dari aspek politis dan yuridis serta aspek lain yang dapat
mempengaruhi kepentingan nasional Indonesia;
c) posisi Indonesia, saran, dan penyesuaian yang dapat dilakukan untuk mencapai
kesepakatan.
4) Perundingan rancangan suatu perjanjian internasional dilakukan oleh Delegasi Republik
Indonesia yang dipimpin oleh Menteri atau pejabat lain sesuai dengan materi perjanjian dan
lingkup kewenangan masing-masing.
2. Proses ratifikasi perjanjian internasional menurut pasal 11 UUD 1945
a) Pengertian Ratifikasi
Ratifikasi merupakan suatu cara yang sudah melembaga dalam kegiatan hukum (perjanjian)
internasional. Hal ini menunbuhkan keyakinan pada lembaga-lambaga perwakilan-perwakilan
rakyat bahwa wakil yang menandatangani suatu perjanjian tidak melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan kepentingan umum.
b) Proses Ratifikasi
Ratifikasi merupakan proses pengesahan.
Berikut adalah contoh proses ratifikasi hukum (perjanjian internasional) menjadi hukum nasional
:
Persetujuan Indonesia-Belanda mengenai penyerahan Irian Barat yang ditandatangani di
New York (15
Januari 1962) disebut Agreement.
Perjanjian Indonesia-Australia mengenai garis batas wilayah antara Indonesia dengan
Papua Guinea yang ditandatangani di Jakarta 12 Februari 1973 dalam bentuk agreement.
Persetujuan garis batas landas kontinen antara Indonesia-Singapura 25 Mei 1973
3. Proses ratifikasi menurut UUD 1945
Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Untuk menjamin
kelancaran pelaksanaan kerja sama antara eksekutif (Presiden) dan legislatif (Dewan Perwakilan
Rakyat), harus diperhatikan hal-hal berikut :
1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang dapat menimbulkan akibat
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang
9. Lembaga peradilan internasional
Peradilan internasional dilaksanakan oleh Mahkamah Internasional yang merupakan salah satu
organisasi perlengkapan PBB yang berkedudukan di Den Haag (Belanda). Para anggotanya
terdiri atas ahli hokum terkemuka, yakni 15 orang hakim yang dipilih dari 15 negara berdasarkan
kecakapannya dalam hokum. Masajabatan mereka 9 (sembilan) tahun, sedangkan tugasnya
antara lain selain memberi nasehat tentang persoalan hokum kepada Majelis Umum dan Dewan
Keamanan, juga memeriksa perselisihan atau sengketa antara Negara-negara anggota PBB yang
diserahkan kepada mahkamah Internasional.
8. Peradilan Internasional
Peradilan Internanasional, dilaksanakan oleh Mahkamah Internasional yang merupakan salah
satu organ perlengkapan PBB yang berkedudukan di Den Haag (Belanda). Para anggotanya
terdiri terdiri atas ahli hukum terkemuka, yakni 15 orang hakim yang dipilih dari 15 negara
berdasarkan kecakapannya dalam hukum. Masa jabatan mereka 9 (sembilan) tahun, sedangkan
tugasnya antara lain selain memberi nasihat tentang persoalan hukum kepada Majelis Umum dan
Dewan Keamanan, juga memeriksa perselisihan atau sengketa antara negara-negara anggota
PBB yang diserahkan kepada Mahkamah Internasional.
Dalam hukum internasional dikenal juga istilah Adjudication, yaitu suatu teknik hukum untuk
menyelesaikan persengkataan internasional dengan menyerahkan putusan kepada lembaga
peradilan. Adjudikasi berbeda dari arbitrasi, karena adjudikasi mencakup proses kelembagaan
yang dilakukan oleh lembaga peradilan tetap, sementara arbitrasi dilakukan melalui prosedur ad
hoc. Lembaga peradilan internasional pertama yang berkaitan dengan adjudikasi adalah
permanen Court of International Justice (PCJI) yang berfungsi sebagai bagian dari sistem LBB
mulai tahun 1920 hingga 1946. PCJI dilanjutkan dengan kehadiran International Court of
Justice(ICJ), suatu organ pokok PBB.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Internasional_untuk_Bekas_Yugoslavia
Mahkamah memilih ketua dan wakil ketua untuk masa jabatan tiga tahun dan dapat dipilih
kembali. Mahkamah juga mengangkat panitera dan pegawai-pegawai lain yang dianggap perlu.
Adapun bahasa-bahsa resmi yang digunakan menurut pasal 39 Statuta, harus Prancis dan Inggris.
Namun, atas permintaan salah satu dari pihak yang bersengketa, mahkamah dapat mengizinkan
penggunaan bahasa lain.
Di samping itu, ada pula perjanjian-perjanjian umum bilateral dan multilateral, yaitu perjanjian-
perjanjian yang dibuat oleh negara-negara yang khusus bertujuan menyelesaikan secara damai
sengketa-sengketa hukum mereka di masa datang di muka mahkamah. Perlu diingat bahwa
keharusan untuk menerima wewenang wajib mahkamah hanya terbatas pada sengketa-sengketa
hukum.
2) Klausula Opsional
Pasal 36 ayat 2 statuta mengatakan bahwa negara-negara pihak statuta, dapat setiap saat
menyatakan menerima wewenang wajib mahkamah dan tanpa persetujuan khusus
dalamhubungannya dengan negara lain menerima kewajiban yang sama dalam semua sengketa
hukum megenai:
a) penafsiran suatu perjanjian
b) setiap persoalan hukum internasional
c) adanya suatu fakta yang bila terbukti akan merupakan pelanggaran terhadap kewajiban
internasional;
d) jenis atau besarnya ganti rugi yang harus dilaksanakan karena pelanggaran dari suatu
kewajiban internasional.
Sebagai contoh, konvensi 1946 mengenai hak-hak istimewa, dan kekebalan PBB, menyebutkan
bahwa kalau terjadi sengketa antara PBB dan negara-negara anggota mengenai pelaksanaan dan
intrepretasi konvensi, sengketa dapat diajukan ke mahkamah untuk meminta pendapatnya. Selain
itu, pihak-pihak yang bersengketa berjanji untuk bertindak sesuai dengan pendapat mahkamah
tersebut. Mekanisme pendapat yang menjadi wajib ini merupakan jalan keluar bagi organisasi
internasional yang diperbolehkan mengajukan sengketa ke mahkamah dengan keputusan yang
mengikat.
Dengan demikian, pendapat-pendapat mahkamah tidak mempunyai kekuatan hukum dan jika
pihak-pihak yang bersengketa menerimanya, semata-mata disebabkan kekuatan moral pendapat-
pendapat itu sendiri. Pada umumnya, organ-organ yang meminta pendapat dan negara-negara
yang bersangkutan menerima pendapat-pendapat mahkamah dan jarang sekali pendapat
mahkamah itu dilaksanakan.
Sebaliknya, mahkamah dapat menolak permintaan pendapat kalau dianggap terdapat ketidak
normalan dalam permintaan tersebut. Selain itu, mahkamah memeriksa apakah pertanyaan yang
diajukan suatu organisasi internasional betul-betul berada di bawah wewenang organisasi
tersebut, serta apakah organisasi-organisasi mempunyai wewenang khusus. Juga dilihat dari
prakteknya mahkamah menolak memberikan pendapat terhadap soal-soal politik atau soal-soal
yang berada di bawah wewenang nasional suatu negara.
Mengenai kegiatan mahkamah dari tahun 1922-1940, mahkamah tetap internasional telah
mengeluarkan 31 keputusan, 27 advisory opinion, dan 5 ordonasi. Oleh karena itu, kegiatan-
kegiatan mahkamah tetap tidak mengecewakan, sedangkan tentang mahkamah internasional
yang sekarang dari tahun 1946-1993 telah memutuskan 44 perkara dan telah memberikan 21
pendapat (advisory opinion). Mahkamah Internasional dewasa ini bukanlah merupakan satu-
satunya peradilan tetap, tetapi terdapat pula mahkamah-mahkamah lain yang mempunyai
wewenang yang terbatas.
Selanjutnya, sesuai pasal 26 statuta, mahkamah dari waktu kewaktu dapat membentuk satu atau
beberapa kamar yang terdiri atas tiga hakim atau lebih untuk memeriksa kategori tertentu kasus-
kasus seperti perburuhan atau masalah-masalah yang berkaitan dengan transit dan komunikasi.
Kemungkinan ini telah digunakan beberapakali oleh mahkamah. Sengketa internasional dapat
diselesaikan oleh Mahkamah Internasional melalui prosedur berikut :
Sanksi dapat dijatuhkan bila terbukti bahwa suatu pemerintahan atau individu yang bersangkutan
telah melakukan pelanggaran terhadap traktat atau konvensi-konvensi internasional berkaitan
dengan pelanggaran HAM atau kejahatan humaniter. Dalam hal ini, sesungguhnya
pemerintah/individu mempunyai wewenang untuk mencegah terjadinya pelanggaran tersebut,
tetapi tidak dilakukan dan tidak melakukan apa-apa untuk mencegah terjdinya perbuatan
tersebut.
Berikut ini terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan prosedur penyelesaian sengketa
internasional melalui Mahkamah Internasional.
a. Wewenang Mahkamah
Mahkamah dapat mengambil tindakan sementara dalam bentuk ordonasi. Tindakan sementara
ialah tindakan yang diambil mahkamah untuk melindungi hak-hak dan kepentingan pihak-pihak
yang bersengketa sambil menunggu keputusan dasar atau penyelesaian lainnya yang akan
ditentukan mahkamah secra defenitif.
Dalam kasus okupasi Kedutaan Besar Amerika Serikat oleh kelompokmilitan di Teheran tanggal
4 Nopember 1979, mahkamah menetapkan tindakan-tindakan sementara agar menyerahkan
kembali kedutaan besar tersebut dan pembebasan sandera. Demikian juga dalam sengketa antara
Amerika Serikat dan Nikaragua, mahkamah pada 10 Mei 1984 menetapkan tindakan-tindakan
sementara agar hak Nikaragua atas kedaulatan dan kemerdekaan politiknya tidakdiancam oleh
kegiatan-kegiatan militer Amerika Serikat. Selanjutnya, selama berlangsungnya proses,
mahkamah dapat membuat angket, melakukan pemeriksaan-pemeriksaan oleh para ahli,
berkunjung ke tempat sumber sengketa untuk keperluan pengumpulan bukti.
Negara bersengketa yang tidak hadir di mahkamah tidak menghalangi organ tersebut untuk
mengambil keputusan dengan syarat seperti tercantum dalam pasal 53 ayat 2 statuta. Pasal
tersebut menjelaskan bahwa sebelum menjatuhkan keputusan kepada pihak yang tidak hadir ,
mahkamah harus yakin bahwa ia bukan saja mempunyai wewenang, melainkan juga
keputusannya betul-betul didasarkan atas fakta dan hukum. Dengan demikian, pihak yang
dihukum, walaupun tidak hadir pada prinsipnya tidak dapat menolak keputusan yang telah
ditetapkan oleh mahkamah.
Seperti halnya dengan praktik peradilan intern negara-negara Anglo Saxon, pernyataan pendapat
yang terpisah diperbolehkan. Maksud pendapat terpisah ialah jika suatu keputusan tidak
mewakili seluruh atau hanya sebagian dari pendapat bulat para hakim, hakim-hakim yang lain
berhak memberikan pendapat secara terpisah (pasal 57 Statuta). Jadi pendapat terpisah ini
disebut Jissenting Opinion (pendapat seorang hakim yang tidak menyetujui suatu keputusan dan
menyatakan keberatan terhadap motif-motif yang diberikan dalam keputusan tersebut). Dengan
kata lain, pendapat terpisah adalah pendapat hakim yang tidak setuju dengan keputusan yang
diambil oleh kebanyakan hakim. Pengaturan resmi pendapat terpisah akan melemahkan kekuatan
keputusan mahkamah, walaupun di lain pihak akan menyebabkan hakim-hakim mayoritas
berhati-hati dalam memberikan motif keputusan mereka.
Pasal 13 Pakta Liga Bangsa-Bangsa telah menegaskan jika suatu keputusan peradilan tidak
dilaksanakan, dewan dapat mengusulkan tindakan-tindakan yang akan menjamin pelaksanaan
keputusan tersebut. Selain itu Piagam PBB dalam pasal 94 menjelaskan hal-hal berikut.
a. Tiap-tiap negara anggota PBB harus melaksanakan keputusan mahkamah internasional dalam
sengketa.
b. Jika negara yang bersengketa tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh
mahkamah kepadanya, negara pihak lain dapat mengajukan persoalannya kepada Dewan
Keamanan. Kalau perlu, dapat membuat rekomendasi-rekomendasi atau memutuskan tindakan-
tindakan yang akan diambil supaya keputusan tersebut dilaksanakan.
Bonus Info Kewarganegaraan
COMPULSORY JURISDICTION
Merupakan kekusaan peradilan internasional untuk mendengar dan memutuskan kategori
tertentu mengenai suatu kasus tanpa memerlukan kesepakatan terlebih dahulu dari pihak yang
terlibat untuk menerima ketentuan hukum dalam kasus tersebut. Statuta Mahkamah Internasional
dilengkapi dengan kekuasaan hukum yang tercantum dalam aturan tambahan pasal 36 yang
menentukan bahwa pihak yang bersengketa di hadapan statuta harus menyatakan bahwa mereka
mengakui kekuasaan hukum ipso facto tanpa persetujuan khusus, dan pihak negara lainnya
menerima kewajiban serupa. Kekuasaan hukum mahkamah internasional mencakup seluruh
permasalahan hukum dalam ihwal 1) Penafsiran perjanjian, b) Setiap permasalahan hukum
internasional, c) Keadaan yang dianggap melanggar kewajiban internasional, d) Sifat dan
peringkat ganti rugi yang harus dikenakan bagi pelanggaran terhadap kewajiban internasional.
Sumber : Jack C. Plano dan Roy Olton dalam Kamus Hubungan Internasiona
Kesemua subjek ini mempunyai hak dan kewajiban masing-masing, yang dalam pelaksanaannya
harus mengikuti permainan internasional dan mengikuti aturan yang telah disepakati secara
bersama atau secara internasional. Suatu negara yang telah membina hubungan kerja dengan
negara lain, haruslah mempunyai korps diplomatik pada negara yang bersangkutan. Seorang
diplomat harus tunduk pada hukum diplomatik yang telah ditentukan secara internasional.
Berikut ini ada beberapa contoh mengenai peranan hukum internasional (berdasarkan sumber-
sumbernya) dalam menjaga perdamaian dunia.
a. Perjanjian pemanfaatan Benua Antartika secara damai (Antartika Treaty)pada tahun 1959.
b. Perjanjian pemanfaatan nuklir untuk kepentingan perdamaian (Non-Proliferation Treaty)
pada tahun 1968.
c. Perjanjian damai Dayton (Ohio- AS) pada tahun 1995 yang mengharuskan pihak Serbia,
Muslim Bosnia, dan Kroasia untuk mematuhinya.untuk mengatasi perjanjian tersebut, NATO
menempatkan pasukannya guna meneggakkan hukum internasional yang telah disepakati.
6. Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai Berdasarkan Persamaan Derajat
Dalam penyelesaian sengketa internasional, diupayakan melalui cara-cara damai
dan pelarangan akan penggunaan kekerasan. Keharusan untuk menyelesaikan
sengketa secara damai ini, pada mulanya dicantumkan dalam Pasal 1 konvensi
mengenai penyelesaian sengketa-sengketa secara damai yang ditandatangani di
Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, kemudian dikukuhkan oleh pasal 2 ayat 3
Piagam PBB, selanjutnya oleh deklarasi
Mahkamah Internasional ialah organ hukum utama PBB yang berkedudukan di Den Haag
(Belanda). Sejak didirikan tahun 1945, lembaga ini bertugas memutuskan hukum antar negara
dan memberikan pendapat hukum bagi PBB dan lembaga-lembaganya tentang hukum
internasional.
Seluruh anggota PBB secara otomatis menjadi anggota Mahkamah Internasional. Oleh sebab itu,
jika terjadi sengketa maka sudah menjadi ketentuan bagi negara-negara anggota untuk
menggunakan haknya bila merasa dirugikan oleh negara lain. Akan tetapi sebaliknya, jika suatu
keputusan Mahkamah Internasional telah diputuskan maka dengan segala konsekuensi yang ada
harus mau menerimanya. Hal tersebut mengingat bahwa apa yang menjadi keputusan Mahkamah
Internasional merupakan keputusan terakhir walaupun dapat dimintakan banding.
Berikut ini adalah beberapa contoh negara-negara dan orang-perorang yang karena ketaatannya
terhadap ketentuan hukum internasional, maka mau menerima proses penyelesaian sengketa
internasional sebagai wujud penghargaan terhadap keputusan Mahkamah Internasional.
Contoh lain dalam penyelesaian sengketa internasional selain kejahatan perang, yaitu : Timor-
Timur yang akhirnya diselesaikan secara Internasional dengan cara referandum dan sejak tahun
1999, Timor-Timur berdiri sendiri menjadi sebuah negara Republik Timor Lorosae. Demikian
juga perselisihan antara Indonesia dengan Malaysia tentang status pulau Sipadan dan Ligitan.
Karena kedua negara tersebut tidak mampu menyelesaikan dengan hukum nasionalnya, akhirnya
diserahkan kepada Mahkamah Internasional. Pada tahun 2002, keluar keputusan Mahkamah
Internasional yang memenangkan Malaysia sebagai pemilik sah kedua pulau tersebut.
Meskipun bangsa Indonesia sangat menyesalkan hilangnya pulau Sipadan dan Ligitan dari peta
wilayah kedaulatan republik Indonesia, namun demi penghormatan terhadap keputusan
Mahkamah Internasional maka dengan besar hati (legowo) keputusan tersebut dapat dipahami.
Berikut adalah pernyataan resmi dari Menteri Luar Negeri atas nama Pemerintah Republik
Indonesia.