Anda di halaman 1dari 10

TUGAS TOKSIKOLOGI

Toksikologi adalah pemahaman mengenai pengaruh-pengaruh bahan kimia


yang merugikan bagi organisme hidup. Pengaruh yang merugikan ini timbul
sebagai akibat terjadinya interaksi di antara toksikan (bahan yang memiliki
kemampuan untuk menimbulkan kerusakan pada organisme hidup) dengan sistem
biologi dari organisme.
Zat toksik dapat dikelompokkan atas dasar organ yang diserangnya.
Klasifikasi ini digunakan oleh para ahli superspesialis organ target tersebut.
Dalam klasifikasi ini, racun dinyatakan sebagai racun yang:
1. Hepatotoksik (toksik terhadap hati)
Hati merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh, terletak dalam
rongga perut sebelah kanan, tepatnya di bawah diafragma. Berdasarkan
fungsinya, hati juga termasuk sebagai alat ekskresi. Hal ini dikarenakan hati
membantu fungsi ginjal dengan cara memecah beberapa senyawa yang
bersifat racun dan menghasilkan amonia, urea, dan asam urat dengan
memanfaatkan nitrogen dari asam amino. Proses pemecahan senyawa racun
oleh hati disebut proses detoksifikasi.
Bahan kimia yang dapat mempengaruhi hati disebut hepatotoksik.
Kebanyakan bahan kimia menggalami metabolisme dalam hati dan oleh
karenanya maka banyak bahan kimia yang berpotensi merusak sel-sel hati.
Efek bahan kimia jangka pendek terhadap hati dapat menyebabkan inflamasi
sel-sel (hepatitis kimia), nekrosis (kematian sel), dan penyakit kuning.
Sedangkan efek jangka panjang berupa sirosis hati dari kanker hati.
Menyebabkan perlemakan hati, Nekrosis hati (kematian sel), gangguan enzim
hati SGOT, SGPT. Contoh senyawa hepatotoksik: CCl4, kloroform, dioksin,
DDT, dan obat-obat antipiretik seperti acetaminophen.
Contoh Kasus:
Antipiretik adalah golongan obat dengan target untuk menurunkan
temperatur. Salah satu obat yang termasuk dalam golongan ini adalah
Acetaminophen. Kerusakan hati akibat acetaminophen terjadi akibat suatu
metabolitnya NAPQI (N-acetyl-pbenzoquinoneimine) yang sangat reaktif.
Pada keadaan normal produk reaktif ini dengan cepat berikatan dengan kadar
gluthation di hati, sehingga menjadi bahan yang tidak toksik. Akan tetapi
pada keadaan kelebihan dosis, atau pemakaian terus menerus yang
menyebabkan produksi NAPQI terus bertambah, dan tidak sebanding dengan
kadar gluthathion, maka NAPQI berikatan membentuk makromolekul dengan
sel hati yang mengakibatkan neksrosis sel hati. Kadar covalent binding yang
menentukan kadar pengikatan dengan makromolekul dalam menyebabkan sel
cedera.
Acetaminophen hepatotoxicity baik secara accidental atau
intentional, merupakan penyebab utama acute liver failure. Di United States,
diperkirakan sebanyak 56.000 kunjungan di ruangan emergency setiap
tahunnya, 2.600 rawat inap dan sekitar 500 kematian akibat acetaminophen
hepatotoxicity. Penelitian Andabaka (2011) mendapatkan bahwa
acetaminophen digunakan pada 29,8% kasus infeksi saluran nafas atas
dengan tanpa konsultasi ke dokter. Sebuah laporan kasus pada anak post
operasi, yang diberikan acetaminophen intravena, dan 12 jam kemudian
ditemukan gejala mual, muntah, anorexia, confused, dan agitasi. Hasil
pemeriksaan fungsi hepar, terdapat peningkatan kadar serum transaminase 10
kali dari normal. Setelah pengecekan ulang, ternyata anak mendapat
acetaminophen 5 kali pada dosis 42 mg/kgbb (total 2,5 gram/30 menit atau
168 mg/kgbb/24 jam). Pada acetaminophen hepatotoxicity terjadi akumulasi
protein sehingga menyebabkan nekrosis centrilobular pada hati. Dosis toksik
acetaminophen secara umum terjadi pada dosis > 150 mg/kgbb pada anak
dibawah 12 tahun. Walaupun dosis tinggi acetaminophen berikatan erat
dengan peningkatan resiko liver failure, namun penggunaan jangka panjang
atau chronic use pada dosis standard ditemukan juga beresiko terhadap
acetaminophen hepatotoxicity. Dilaporkan terdapat 2 kasus acute liver failure
setelah pemberian acetaminophen hari ke-tiga dan kesepuluh. American
academy of pediatric (AAP) menetapkan chronic use setelah mendapat
beberapa kali dosis dalam 2 hari, juga ditemukan terjadi acetaminophen
hepatotoxicity pada 51% kasus pada pemberian hari ke-tiga sampai hari ke-
tujuh.
(Jurnalis dkk., 2015)

2. Hematotoksik (toksik terhadap darah)

Darah merupakan salah satu komponen sistem transport yang sangat


vital keberadaannya. Darah terdiri daripada beberapa jenis korpuskula yang
membentuk 45% bagian dari darah, angka ini dinyatakan dalam nilai
hermatokrit atau volume sel darah merah yang dipadatkan yang berkisar
antara 40 sampai 47. Bagian 55% yang lain berupa cairan kekuningan yang
membentuk medium cairan darah yang disebut plasma darah. Fungsi vital
darah di dalam tubuh antara lain sebagai pengangkut zat-zat kimia seperti
hormon, pengangkut zat buangan hasil metabolisme tubuh, dan pengangkut
oksigen dan karbondioksida. Selain itu, komponen darah seperti trombosit
dan plasma darah memiliki peran penting sebagai pertahanan pertama dari
serangan penyakit yang masuk ke dalam tubuh. Kondisi darah suatu
organisme dapat digunakan untuk mengetahui kondisi kesehatan yang sedang
dialami oleh organisme tersebut.

Sejumlah bahan kimia seperti arsin, benzen dapat rnerusak sel-sel


darah merah yang menyebabkan anemia hemolitik. Bahan kimia lain dapat
merusak sumsum tulang dan organ lain tempat pembuatan sel-sel darah atau
dapat menimbulkan kanker darah.
Pb menghambat pembentukan Hb anemia
CO HbCO hipoksia
Bisa ular
Contoh Kasus:
Umumnya ular beracun, racunnya bersifat menggumpalkan dan
menyebar dalam pembuluh darah mengakibatkan disseminated intravascular
coagulation (DIC), layuh (paralysis), dan turunnya tekanan pada sistem
kardiovaskuler (cardiovascular depressio). Penampakan yang lain ialah
gangguan penghantaran (konduksi), trombositopenia, gagal ginjal dan
perdarahan di dalam tengkorak (intra kranial).
Penurunan isi dalam pembuluh darah (volume intravaskuler)
mungkin cukup besar peredarannya (sirkulasi), sehingga menyebabkan
renjatan (shock). Bisa ular dapat menyebabkan aksi kuncup jantung (sitolitik)
yang berakibat kematian (nekrosis) jaringan setempat (lokal) dan infeksi
sampingan (sekunder), yang menyebabkan kematian penderita. Di samping
itu aksi nerotoksik menyebabkan kelayuhan (paralysis) dan terhentinya
pernapasan, serta pengaruh kardiotoksik menyebabkan denyut jantung
berhenti juga berpengaruh kepada terjadinya miotoksik dan nerotoksisk
Ophitoxaemia mengakibatkan perubahan kegiatan penggumpalan (aktivitas
koagulasi), sehingga mengakibatkan perdarahan hebat dan kematian
WHO memperkirakan terdapat 20.000 kasus dan 1.000 kematian
akibat ophitoxaemia di Nepal. Faktor asal inang bergantung pekerjaan korban
dan gaya hidup atau kawasan tempat tinggalnya di daerah terbelakang yang
berpengaruh jelek. Kesakitan dan kematian gigitan ular bergantung pada
macam spesies, keadaan dapat mematikan (fatal) dan dosis kematian dari
jumlah racun yang masuk tubuh. Perkiraan rata-rata racun berdosis kematian
(fatal dose), lyophilised venom (beku kering) untuk kobra adalah 60 mg,
Russels viper 20 mg dan 13 mg sciled viper.
(Prihatini dkk., 2007)

3. Nefrotoksik (toksik terhadap ginjal)


Ginjal merupakan salah satu organ tubuh yang sangat penting bagi
manusia oleh karena organ ini bekerja sebagai alat ekskresi utama untuk zat-
zat yang tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh. Dalam melaksanakan fungsi
ekskresi ini maka ginjal mendapat tugas yang berat mengngat hampir 25 %
dari seluruh aliran darah mengalir ke kedua ginjal.
Besarnya aliran darah yang menuju ke ginjal ini menyebabkan
keterpaparan ginjal terhadap bahan/zat-zat yang beredar dalam sirkulasi
cukup tinggi. Akibatnya bahan-bahan yang bersifat toksik akan mudah
menyebabkan kerusakan jaringan ginjal dalam bentuk perubahan struktur dan
fungsi ginjal. Keadaan inilah yang disebut sebagai nefropati toksik dan dapat
mengenai glomerulus, tubulus, jaringan vaskuler, maupun jaringan interstitial
ginjal.
Bahan kimia yang dapat merusak ginjal disebut nefrotoksin. Efek
bahan kimia terhadap ginjal meliputi gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik
dan kanker ginjal atau kanker kandung kemih.
Contoh Kasus:
Itai-itai disease yang terjadi di Jepang pertama kali ditemui pada area
yang sangat tercemar di lembah sungai Jinzu, terletak di Prefektur Toyama,
Jepang. Penyakit ini sendiri menunjukkan gejala nephropathy dan
osteomalacia. Kedua penyakit ini merupakan penyakit yang timbul akibat
adanya kandungan kadmium dalam tubuh. Dinas kesehatan setempat atau
Public Welfare Office of Toyama (Dinas Kesejahteraan Masyarakat Toyama)
mengidentifikasi area yang terpolusi Cd bahwa sejak tahun 1967, 97% dari
132 penduduk yang meninggal dunia adalah korban itai-itai disease.
Kasus keracunan kadmium ini terjadi di saat Jepang sedang gencar
memproduksi senjata untuk kebutuhan militer. Penambangan yang dilakukan
Mitsui Mining and Smelting Co., Ltd secara tidak langsung membuat
penderitaan penduduk di sungai Jinzu menjadi efek yang berkepanjangan.
Karena efek yang akut, para pasien itai-itai disease merasakan rasa sakit luar
biasa akibat keracunan kadmium selama akhir sisa umurnya. Banyak pula
kasus meninggalnya pasien yang terkena penyakit ini setelah mengkonsumsi
air sungai Jinzu serta memakan beras yang diirigasi oleh sungai tersebut.
(Istarani dan Ellina, 2014)

4. Neurotoksik (toksik terhadap saraf)


Neuron adalah jenis tertentu dari sel yang khusus untuk menyimpan
dan mengirimkan informasi. Neuron ditemukan dalam otak, batang otak dan
sumsum tulang belakang serta sel-sel saraf yang mengirimkan informasi ke
otot dan mengirim kembali informasi sensorik (misalnya rangsangan
sentuhan). Neuron melepaskan bahan kimia yang disebut neurotransmiter ke
dalam celah kecil yang disebut sinaps. Neuron lainnya menerima bahan kimia
ini dan aktivitas mereka mungkin diubah. Neuron sangat bervariasi dalam
ukuran, bentuk dan jenis neurotransmiter yang dirilis. Sebagian besar neuron
memiliki tiga komponen: badan sel, akson dan dendrit. Ada sekitar 10 miliar
dan 100 miliar neuron di otak; setiap neuron dapat terhubung dengan sekitar
1000 lainnya. Mekanisme dasar dari belajar diyakini berupa perubahan pada
sambungan atau kekuatan hubungan antar neuron.
Bahan kimia yang dapat menyerang saraf disebut neurotoksin.
Pemaparan terhadap bahan kimia tertentu dapat memperlambat fungsi otak.
Gejala-gejala yang diperoleh adalah mengantuk dari hilangnya kewaspadaan
yang akhirnya diikuti oleh hilangnya kesadaran karena bahan kimia tersebut
menekan sistem saraf pusat. Bahan kimia yang dapat meracuni sistem enzim
yang mennuju ke syaraf adalah pestisida. Akibat dari efek toksik pestisida ini
dapat menimbulkan kejang otot dan paralisis (lurnpuh). Di samping itu ada
bahan kirnia lain yang dapat secara perlahan meracuni syaraf yang menuju
tangan dan kaki serta mengakibatkan mati rasa dan kelelahan.
Contoh :
a. CO HbCO anoksia
b. Alkohol
Contoh Kasus:
Keracunan alkohol dapat mengakibatkan gangguan sistem saraf
pusat yang berat, gangguan abdomen dan ginjal bahkan kematian. Semua
jenis senyawa alkohol dapat menyebabkan depresi susunan saraf pusat dan
kejang. Pada keracunan etanol onset sekitar 30 menit, napas berbau etanol
dan dapat terjadi asidosis respiratorik atau ketoasidosis, sedang pada
keracunan isopropanol onset cepat, napas berbau aseton dan asidosis
metabolik yang terjadi ringan.
Seorang laki-laki 25 tahun dibawa ke rumah sakit dengan penurunan
kesadaran. Dilaporkan kurang lebih 20 jam sebelumnya. Keadaan pasien pada
waktu di unit gawat darurat (UGD) pernapasan cepat dalam, napas tidak
berbau, saturasi 89% dengan oksigen 15 liter per menit Non Rebreathing
Mask (NRM), ronki pada ke dua lapangan paru; tekanan darah 92/45mmHg,
laju nadi 109 kali/menit, suhu 38,5 C kesadaran koma, pupil 4/4mm, refleks
cahaya +/+. Abdomen supel, bising usus normal, reflex Babinski negatif.
Tidak ada Jejas atau cedera di kepala dan ditempat lain. Tidak ada kejang.
Menurut keluarganya, pasien ini mempunyai kebiasaan minum
minuman beralkohol dan bila pulang ke rumah sering didapati mabuk. Pagi
hari sebelum masuk rumah sakit pasien muntah-muntah dan malam hari
mulai tidak sadar kemudian dibawa ke RSI.
(Wibisono, 2012)

5. Pneumotoksik (toksik terhadap paru-paru)


Pada umumnya zat toksik masuk lewat pernafasan atau kulit dan
kemudian beredar keseluruh tubuh atau menuju organ-organ tubuh tertentu.
Zat-zat tersebut dapat langsung mengganggu organ-organ tubuh tertentu
seperti hati, paru-paru, dan lain-lain.
Sebagian bahan kimia dapat mensensitisasi atau menimbulkan reaksi
alergik dalam saluran nafas yang selanjutnya dapat menimbulkan bunyi
sewaktu menarik nafas, dan nafas pendek. Kondisi jangka panjang (kronis)
akan terjadi penimbunan debu bahan kimia pada jaringan paru-paru sehingga
akan terjadi fibrosis atau pneumokoniosis. Efek jangka panjang terutama
disebabkan iritasi (menyebabkan bronkhitis atau pneumonitis). Dalam luka
bakar, bahan kimia dalam paru-paru yang dapat menyebabkan udema
pulmoner (paru-paru berisi air), dan dapat berakibat fatal.
Contoh: amonia, H2S, CO
Contoh kasus:
Karbon monoksida (CO) adalah gas yang tidak berwarna dan tidak
berbau yang dihasilkan dari proses pembakaran yang tidak sempurna dari
material yang berbahan dasar karbon seperti kayu, batu bara, bahan bakar
minyak dan zat-zat organik lainnya. Keracunan karbonmonoksida dapat
menyebabkan turunnya kapasitas transportasi oksigen dalam darah oleh
hemoglobin dan penggunaan oksigen di tingkat seluler. Karbonmonoksida
mempengaruhi berbagai organ di dalam tubuh, organ yang paling terganggu
adalah yang mengkonsumsi oksigen dalam jumlah besar, seperti otak dan
jantung.
Gas CO adalah penyebab utama dari kematian akibat keracunan di
Amerika Serikat dan lebih dari separo penyebab keracunan fatal lainnya di
seluruh dunia. Terhitung sekitar 40.000 kunjungan pasien pertahun di unit
gawat darurat di Amerika Serikat yang berhubungan dengan kasus intoksikasi
gas CO dengan angka kematian sekitar 500-600 pertahun yang terjadi pada
1990an. Sekitar 25.000 kasus keracunan gas CO pertahun dilaporkan terjadi
di Inggris. Dengan angka kematian sekitar 50 orang pertahun dan 200 orang
menderita cacat berat akibat keracunan gas CO. Di Singapura kasus
intoksikasi gas CO termasuk jarang. Di Rumah sakit Tan Tock Seng
Singapura pernah dilaporkan 12 kasus intoksikasi gas CO dalam 4 tahun
(1999-2003).
Seorang wanita berusia 34 tahun ditemukan tidak sadarkan diri jam
sembilan pagi di dalam rumah. Dua orang lainnya juga ditemukan di dalam
rurnah sudah meninggal dunia. Korban diduga keracunan gas
karbonmonoksida, karena mesin generator di dalam rumah menyala dan
didapatkan tidak ada ventilasi yang cukup dalam ruangan. Pasien adalah
seorang dokter kecantikan yang membuka salon kecantikan di rumah. Pasien
dibawa ke unit gawat darurat rumah sakit terdekat dengan keadaan umum
tidak sadar (no respon), GCS 1-1-1, jalan nafas bebas, frekuensi pernafasan
43 x/menit, frekuensi nadi 129 x/menit, tekanan darah 50/palpasi mmHg,
saturasi oksigen 100%. Dilakukan pemberian oksigen dengan masker bening
6 lt/menit, resusitasi cairan dua jalur dengan RL 2000 ml, dipasang pipa
lambung keluar cairan kuning kehijauan 200 ml, dipasang kateter urin keluar
500 ml coklat kemerahan.
(Soekamto dan David, 2013)

DAFTAR PUSTAKA
Istarani, F. Dan Ellina S.P. 2014. Studi Dampak Arsen (As) dan Kadmium (Cd)
terhadap Penurunan Kualitas Lingkungan. Jurnal Teknik Pomits. Vol. 3 (1)

Jurnalis, Y.D., Yorva S., dan Marlia M. 2015. Kelainan Hati Akibat Penggunaan
Antipiretik. Jurnal Kesehatan Andalas. Vol. 4 (3)

Prihatini, Trisnaningsih, Muchdor, dan U.N. Rachman. 2007. Penyebaran


Gumpalan dalam Pembuluh Darah (Disseminated Intravascular
Coagulation) Akibat Racun Gigitan Ular. Indonesian Journal of Clinical
Pathology and Medical Laboratory. Vol. 14 (1)

Soekamto, T.H. dan David P. 2013. Intoksikasi Karbon Monoksida. Jurnal


Kesehatan Masyarakat. Vol. 1 (2)

Wibisono, A.S. 2012. Keracunan Alkohol Beracun. Jurnal Kesehatan Andalas.


Vol. 2 (2)

Anda mungkin juga menyukai