Anda di halaman 1dari 15

Pendahuluan

Salah satu produk perbankan syariah yang saat ini sedang dikembangkan adalah produk
dengan akad kafalah (jaminan). Perbankan sebagai lembaga penjamin terhadap nasabah akan
memperoleh pendapatan berupa fee (ujrah) dari nasabah atas jasa yang diberikan bank
tersebut. Secara etimologi berarti penjaminan. Kafalah mempunyai padanan kata yang
banyak, yaitu dhamanah, hamalah, dan zaamah.

Menurut istilah kafalah berarti akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak (kafil)
kepada pihak lain (makful anhu) dimana pemberi jaminan bertanggung jawab atas
pembayaran suatu hutang yang menjadi hak penerima jaminan (makful lahu).
Istilah kafalah dalam praktek perbankan sekarang ini adalah merupakan jaminan yang
diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga dalam rangka memenuhi kewajiban
yang ditanggung (makful anhu) apabila pihak yang ditanggung cidera janji atau wanprestasi.
Secara teknis dapat dikatakan bahwa pihak bank dalam hal ini memberikan jaminan kepada
nasabahnya sehubungan dengan kontrak kerja/perjanjian yang telah disepakati antara nasabah
dengan pihak ketiga. Pada hakikatnya pemberian kafalah ini akan memberikan kepastian dan
keamanan bagi pihak ketiga untuk melaksanakan isi perjanjian/kontrak yang telah disepakati
tanpa khawatir apabila terjadi sesuatu dengan nasabah sehingga nasabah cidera janji untuk
memenuhi prestasinya.[1]
Menurut Syafii Antonio (1999), kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh
penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang
ditanggung. Sedangkan menurut Bank Indonesia (1999), kafalah adalah akad pemberian
jaminan yang diberikan satu pihak kepada pihak lain dimana pemberi jaminan bertanggung
jawab atas pembayaran kembali suatu hutang yang menjadi hak penerima jaminan.[2]
Menurut madzhab Hanafi, kafalah berarti memasukkan tanggung jawab seseorang ke
dalam tanggung jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum, dengan kata lain menjadikan
seseorang ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain yang berkaitan dengan
masalah nyawa, utang atau barang. Meskipun demikian penjamin yang ikut bertanggung
jawab tersebut tidak dianggap berutang, dan utang pihak yang dijamin tidak gugur dengan
jaminan pihak penjamin.
Sedangkan menurut madzhab Maliki, Syafii dan Hambali, kafalah adalah menjadikan
seseorang (penjamin) ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam
pelunasan/pembayaran utang, dan dengan demikian keduanya dipandang berutang. Perlu
diperhatikan bahwa dengan ikut berutangnya pihak penjamin, sedangkan kewajiban terutang

1
tidak gugur, tidak berarti nilai utang bertambah, dan pihak berpiutang diuntungkan. Tidak
demikian, karena ia hanya berhak menagih sesuai jumlah utang, dari salah seorang diantara
mereka.
Ulama yang berpendapat ikut berutangnya pihak penjamin berdalil (berargumentasi)
dengan hal berikut:
1. Diperbolehkannya pihak yang berpiutang menghibahkan piutangnya kepada
penjamin, sedang hibah piutang tidak sah kecuali langsung kepada terutang.
2. Diperbolehkan juga bagi yang berpiutang untuk membeli sesuatu dari penjamin dan
menjadikan piutangnya sebagai nilai tukar, sementara jual-beli seperti ini tidak sah
kecuali kalau si penjual adalah pihak terutang itu sendiri

Sedang ulama madzhab Hanafi (penjamin tidak ikut berutang) berdalil sebagai berikut:
1. Meskipun syara membolehkan utang ditanggung oleh dua orang atau lebih, tetapi
baru bisa dikatakan utang apabila berlaku hak tagih secara pasti. Sedangkan penjamin
(kafil) pada asalnya bukan untuk ditagih, hanya menjamin bahwa terutang akan
melunasi utangnya pada saat jatuh tempo.
2. Adapun sahnya hibah dan jual-beli tersebut adalah suatu pengecualian agar pemilik
bisa lebih leluasa mempergunakan haknya secara sah.
3. Kafalah juga berlaku untuk jiwa, al-kafalah bi al-nafsi. Dalam hal ini tidak bisa
diberlakukan istilah utang. Kafalah bi al-nafsi: menjadikan diri sebagai jaminan
kehadiran terdakwa dalam suatu perkara. Juga berlaku untuk kafalah benda selain
uang.
Landasan Hukum Syariah
LANDASAN HUKUM SYARIAH

Dasar hukum kafalah dapat sipelajari dari Al-Quran, Al-Hadist dan Ijma. Dalam Al-
Quran terdapat pada bagian yang mengisahkan Nabi Yusuf, yaitu Al-Quran Surat Yusuf : 72
yang artinya:

Penyeru-penyeru itu berseru,Kami kehilangan piala Raja, barangsiapa yang dapat


mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin
terhadapnya. (Q.S. Yusuf : 72).

Kata zaim yang artinya penjamin dalam Surat Yusuf tersebut adalah gharim, orang yang
bertanggung jawab atas pembayaran. Sedangkan Ibnu Abbas menafsirkan kata zaiim berarti
sama dengan kata kafiil.Dalam Al-Qur-an Surat Al-Maidah (5) : 2 Allah berfirman yang
artinya:

2
Tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah
tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran.(QS. Al-Maidah : 2).
Memberikan jaminan kepada orang lain merupakan perwujudan tolong menolong.

Landasan syariah dalam jaminan kafalah pada ayat di atas dipertegas dalam hadits Rasulullah
sebagai berikut:

Telah dihadapkan kepada Rasulullah saw (mayat seorang laki-laki untuk dishalatkan).
Rasulullah saw bertanya,Apakah ia mempunyai warisan? Para sahabat
menjawab,Tidak. Rasulullah bertanya lagi,Apakah ia mempunyai hutang? Sahabat
menjawab,Ya, sejumlah tiga dinar. Rasulullah pun menyuruh para sahabat untuk
menshalatkannya (tetapi beliau sendiri tidak). Lalu Abu Qatadah berkata, Saya menjamin
hutangnya, ya Rasulullah. Maka Rasulullah pun menshalatkan mayat tersebut. (H.R.
Bukhari no. 2127, kitab Al-Hawalah).
Zaaiim Gaarimun, artinya: orang yang menjamin berarti dia adalah berutang (sebab
jaminannya tersebut) (HR. Abu Daud, Turmudzi dan memposisikannya sebagai hadits
hasan. Dan Ibnu Hibban menjadikannya hadits shahih).[4]
Juga dalam sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:
Allah menolong hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya.
Sedangkan dalam Al-Ijma, Para ulama sepakat dengan bolehnya kafalah karena sangat
dibutuhkan dalam muamalah masyarakat. Dan agar pihak yang berpiutang tidak dirugikan
dengan ketidakmampuan orang yang berutang.[5] Hanya saja, mereka berbeda pendapat
dalam beberapa hal. Perlu diketahui, kafalah yang dilakukan dengan niat yang ikhlas
mempunyai nilai ibadah yang berbuah pahala.
RUKUN KAFALAH

Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, rukun Kafalah adalah : ijab dari
penjamin dan qabul dari pihak berpiutang.[6] Manurut Abu Yusuf dan ulama fiqih pada
umumnya: hanya ijab dari penjamin. Dengan demikian sahlah akad kafalah, meski tanpa
persetujuan pihak yang berpiutang karena dalam hadits Abu Qatadah tidak meminta
persetujuan pihak yang berpiutang terlebih dahulu, dan tidak juga diterangkan bahwa ia (yang
berpiutang) menyetujuinya. Alasan lain adalah, kafalah menurut akar bahasa berarti
menggabungkan. Menurut istilah adalah menjamin berlakunya hak menuntut/tuntutan, dan
secara logika kedua hal tersebut tidak membutuhkan persetujuan yang berpiutang.
Rukun Kafalah menurut sebagian besar ulama adalah:[7]

3
1. Penjamin (dhomin/kafiil), yaitu orang yang tidak cacat muamalahnya secara hukum,
maka anak-anak dan orang idiot tidak sah.
2. Barang yang dijamin/utang (madhum), yaitu sesuatu yang boleh diganti dengan
sejenisnya secara hukum, yaitu utang atau benda selain uang yang merupakan harta,
jadi tidak boleh nyawa atau anggota badan dalam qishash dan hudud.
3. Pihak yang dijamin (makful anhu/madhum anhu), yaitu orang yang dituntut/yang
berutang baik hidup atau sudah mati.
4. Sighah akad, yaitu ijab dari penjamin atau ijab-qabul dari akad transaksi
5. Menurut madzhab Syafii ada lima, yang kelima adalah pemilik utang (makful
lahu/madhmun lahu), yaitu orang yang berpiutang atau orang yang berhak menerima
pembayaran utang.
AKAD KAFALAH

Menurut madzhab Hanafi dan Syafii akad tersebut bisa jadi sharih/terang-
terangan,kinayah (sindiran). Dengan kata lain semua lafadz yang menurut kebisaaan
mengandung makna perjanjian kafalah.
1. Akad Sharih artinya terang-terangan, menggunakan kata jamin atau sinonimnya.
Contoh, saya menjamin utangnya, saya menanggung utangnya, utangnya saya jamin,
utangnya saya tanggung, kalau ia tidak mampu saya yang membayarnya.
2. Akad Kinayah artinya tidak menggunakan kata jamin atau semisalnya, tetapi bisa
dipahami dari kata-katanya, ia sebagai penjamin. Seperti, biarkan dia, jangan lagi usik
dia dengan utang itu, tagihlah saya, percayalah pada saya, jika niatnya menjamin,
maka harus ia tepati, jika tidak maka batal. Jika ia berkata,hak fulan ada pada saya,
ini bis dipahami sebagai titipan (wadiah), bisa juga sebagai kewajiban (utang),
kecuali ia menambahkan kata-kata yang menguatkan salah satunya.
SYARAT-SYARAT KAFALAH

Dalam kafalah ada beberapa syarat yang berkenaan


dengan Kafiil (penjamin), Ashil/Makful anhu (yang berutang), Makful Lahu (yang
memberikan utang/berpiutang) dan Makful Bih (harta/batang yang dijamin).
A Syarat-Syarat Penjamin (Kafiil).
FATWA DSN (Dewan Syariah Nasional)
1. Kemampuan akal dan dewasa (baligh)
2. Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha)
dengan tanggungan kafalah tersebut.
FIQH KLASIK
1. Kafil diminta makful anhu dan ia meridjoi permintaan tersebut

4
2. Ketika menjamin utang makful anhu, si kafil menyatakan jaminan itu atas nama
makful anhu
3. Kafil tidak mempunyai utang kepada makful anhu
4. Kafil mampu melunasi (membayar) kewajiban utang tersebut
5. Tanggung jawab kafil tetap eksis, selama makful ;anhu memiliki utang kepada makful
lahu. Jika makful anhu sudah terbebas dari utang, barulah kafil bebas tanggung jawab
6. Kafil boleh dari satu
7. Jika dalam kafalah bil mal (jaminan berupa harta(, lalu makful anhu meninggal, maka
kafil bertanggung jawab
B Syarat-syarat Orang yang Terutang (Makful Anhu/Ashiil)[8]
Ada dua syarat bagi Makful Anhu (Ashiil):
1. Sanggup untuk menyerahkan tanggungannya (utang), adakalanya dengan dirinya atau
penggantinya. Dan syarat ini khusus menurut Abu Hanifah, maka tidak sah kafalah
utang dari mayat yang bangkrut dan tidak meninggalkan sesuatu untuk melunasi
utangnya, karena dia adalah utang yang gugur, maka tidak sah menjaminnya, seperti
jatuhnya tanggungan dengan kebebasan dan karena tanggungan mayit hilang karena
mati. Menurut dua sahabat Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad as
Syaibani, dan jumhur fuqaha:[9] sah menjamin ytang dari mayat yang bangkrut
dengan dalil hadits Abi Qatadah yang telah disebutkan sebeblumnya. Dan Nabi SAW
sangat mendorong sahabat-sahabatnya untuk menjamin utang si mayit, di hadits Abi
Qatadah dengan sabdanya,tidak adakah salah seorang diantara kamu yang bisa
menjaminnya?, dan karena utang si mayit adalah utang yang tetap ada, maka sah
menjaminnya seperti kalau dia mundur melunasi utangnya karena tidak sanggup. Dan
dalil atas adanya utang-utang ini sesungguhnya kalau tabarru seseorang dalam
melunasinya maka boleh bagi pemilik utang menerimanya. Begitu juga kalau
dijaminnya ketika masih hidup, kemudian mati, tidaklah lepas tanggungan penjamin,
dari apa yang menunjukkan bahwa dia tidak lepas dari tanggungan orang yang
dijaminnya.
2. Yang terutang adalah orang yang dikenal oleh penjamin. Maka apabila penjamin
berkata,saya menjamin salah seorang dari manusia, tidak sah kafalahnya, karena
manusia tidak mengenalnya, dan pensyaratan syarat ini adalah untuk mengenal yang
berutang (makful anhu). Apakah ia dalam kelapangan atau termasuk orang-orang
yang bersegera mengqadha utangnya, atau berhak membuat pengakuan atau tidak.
Dan tidak disyaratkan hadirnya orang yang berutang, maka boleh kafalah terhadap

5
orang yang tidak hadir atau orang yang masih dalam tahanan, karena dalam keadaan
seperti ini sangat dibutuhkan adanya kafalah.[10] Menurut madzhab Syafii: tidak
disyaratkan untuk mengetahui orang yang akan dijamin diqiyaskan dengan ridhanya,
yang mana ridhanya juga tidak merupakan syarat dalam kafalah. Karena mengerjakan
pekerjaan yang terpuji merupakan suatu kebajikan, baik pekerjaan itu untuk orang
yang berhak (pantas menerimanya) atau tidak.[11]
C Syarat-syarat Orang yang Berpiutang (Makful Lahu)[12]
1. Diketahui identitas dirinya, tidak boleh memberikan jaminan terhadap orang yang
tidak diketahui identitasnya, karena hal tersebut tidak mencerminkan tujuan utama
dari kafalah (jaminan), yaitu memberikan rasa saling mempercayai diantara pihak-
pihak yang terkait. Hal ini sesuai dengan pendapat yang terkuat dalam madzhab
Syafii, karena orang-orang yang berpiutang bisaanya memiliki cara-cara tersendiri
dalam menagih hutangnya, ada yang kasar dan ada pula yang lemah lembut.[13]
Sedangkan madzhab Maliki dan Hambali membolehkan jaminan terhadap orang yang
tidak diketahui identitasnya, misalnya saya jamin utang si Zaid terhadap siapa saja.
Pendapat ini berdasarkan firman Allah dalam surat Yusuf:72,sahutnya, kami
kehilangan sukatan raja, bagi orang yang mendapatkannya (akan menerima gandum)
seberat beban seekor unta, dan saya menjaminnya. Karena orang yang
mengumumkannya itu bukan raja, malinkan pembantu Nabi Yusuf as. Orang tersebut
membebankan pembayaran gandum terhadap Nabi Yusuf as bagi yang bisa
menemukan sukatan dan sekaligus ia yang menjamin bahwa Nabi Yusuf pasti akan
membayarnya.[14]
2. Orang yang berpiutang hadir di tempat akad. Menurut pendapat Abu Hanifah dan
Muhammad, ini merupakan syarat untuk diterimanya akad kafalah. Kalau ada
seseorang
3. Berakal sehat
4. Makful lahu mempunyai hak (misalnya: piutang atau tanggung jawab) kepada makful
anhu

Syarat-syarat Barang yang Akan Dijadikan Barang Jaminan (Makful Bih) menurut fatwa
DSN (Dewan Syariah Nasional)
1. Merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang, baik berupa uang, benda,
maupun pekerjaan
2. Bisa dilaksanakan oleh penjamin

6
3. Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali
setelah dibayar atau dibebaska
4. Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya
5. Tidak bertentangan dengan syariah (yang tidak diharamkan)
JENIS-JENIS KAFALAH

Menurut ulama, (wahbah az-Zuhayliy dan Sayyid Sabiq, ditinjau dari segi obyeknya jafalah
hanya 2 macam, yaitu:
1. Kafalah bin Nafs (kafalah bil Wajhi)
Merupakan akad jaminan dari kafil untuk menghadirkan diri seseorang pada waktu tertentu di
tempat tertentu. Kafalah ini bukan merupakan kajian ekonomi Islam. Sebagai contohnya
adalah seperti perkataan seseorang, Aku menjamin untuk menghadirkan si Fulan dalam
pengadilan tersebut atau dalam acara tersebut.
Jika kafil tidak bisa menghadirkan, padahal ia masih hidup, maka kafil wajib membayar
sejumlah denda sesuai dengan dalil Az-Zaim Gharimun (penjamin itu berhutang. Kecuali
dalam akad itu disebutkan bahwa kafil tidak akan membayar jika makful anhu tidak dating.
B. Kafalah bil Mal
Merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan hutang. Sebagai contohnya adalah:
1. Kasus hadits Nabi Saw riwayat Bukhari di mana Qatadah menjamin hutang seorang
sahabat.
2. Surat jaminan (bank garansi) yang diberikan bank kepada nasabahnya untuk
keperluan:
Pembayaran atas pembelian barang
Pembayaran hutang kepada pihak ketiga/mitra kerja nasabah untuk mengerjakan suatu
proyek
Pembayaran suatu jual beli dengan batas waktu yang telah diperjanjikan.
3. Seorang nasabah (jamaah masjid) mendapat pembiayaan syariah dengan jaminan
seorang tokoh masyarakat (agama). Walaupun bank secara fisik tidak memegang
rihan (barang jaminan) apapun, tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat
mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan atau
wanprestasi.
Yang termasuk bagian dari kafalah bil Mal adalah:
a. Kafalah bit Taslim, yaitu merupakan jaminan yang diberikan dalam rangka menjamin
penyerahan atas barang yang disewa pada saat berakhirnya masa sewa. Sebagai
contoh; bank mengeluarkan surat jaminan untuk nasabahnya tentang pengembalian
(penyerahan) barang sewa yang disewa nasabah kepada perusahaan leasing.

7
b. Kafalah Munjazah, yaitu merupakan jaminan yang diberikan secara mutlak tanpa
adanya pembatasan waktu tertentu. Sebagai contoh, Aku menjamin hutang anda
sekarang atau Aku menjamin menanggulangi pendanaan proyek anda. Atau juga
Bank menjamin nasabahnya kepada pihak ketiga bahwa nasabahnya pasti
melaksanakan kewajibannya dalam mengerjakan suatu proyek.
c. Kafalah muqayyadah/muallaqah, yaitu merupakan jaminan atau kafalah yang dibatasi
waktunya, sebulan, setahun dan sebagainya. Sebagai contoh, bank menjamin
nasabahnya kepada pihak ketiga selama 3 bulan. Kafalah ini disebut juga kafalah
dengan tawqit.
.
APLIKASI KAFALAH DALAM TRANSAKSI PERBANKAN

Dalam mekanisme system perbankan prinsip-prinsip kafalah dapat diaplikasikan dalam


bentuk pemberian jaminan bank dengan terlebih dahulu diawali dengan pembukaan fasilitas
yang ditentukan oleh bank atas dasar hasil analisa dan evaluasi dari nasabah yang akan
diberikan fasilitas tersebut. Fasilitas kafalah yang diberikan akan terlihat pada perkiraan
administratif baik berupa komitmen maupun kontinjen.
Fasilitas yang dapat diberikan sehubungan dengan penerapan prinsip kafalah tersebut
adalah fasilitas bank garansi dan fasilitas letter of credit. Fungsi kafalah adalah pemberian
jaminan oleh bank bagi pihak-pihakyang terkait untuk menjalankan bisnis mereka secara
lebih amandan terjamin, sehingga adanya kepastian dalam berusaha/bertransaksi, karena
dengan jaminan ini bank berarti akan mengambil alih risiko/kewajiban nasabah, apabila
nasabah wanprestasi/lalai dalam memenuhi kewajibannya.
Pihak bank sebagai lembaga yang memberikan jaminan ini, juga akan memperoleh
manfaat berupa peningkatan pendapatan atas upah yang mereka terima sebagai imbalan atas
jasa yang diberikan, sehingga akan memberikan kontribusi terhadap perolehan pendapatan
mereka.
Mekanisme dan Sistem Operasi Kafalah oleh Bank Syariah

SKEMA KAFALAH

8
Transaksi yang dapat dikelompokkan dalam akad-akad kafalah adalah:
a. Bank garansi dengan segala variasinya; dan
b. Letter of credit dengan segala jenis dan variasinya.
c. Kartu kredit
Bank Garansi[16]
Bank garansi adalah surat jaminan yang diterbitkan oleh bank untuk menjamin pihak
ketiga atas permintaan nasabah sehubungan dengan transaksi ataupun kontrak yang telah
mereka sepakati sebelumnya. Pemberian jaminan ini pada umumnya disyaratkan oleh pihak
ketiga terhadap mitra kerjanya, yang bertujuan untuk mendapatkan kepastian
dilaksanakannya isi kontrak sesuai dengan yang telah disepakati. Apabila terjadi cidera janji
oleh mitra kerjanya, berdasarkan surat jaminan bank (bank garansi) maka pihak ketiga tadi
dapat mengajukan klaim kepada bank penerbit garansi tersebut, asal saja semua syarat-syarat
untuk pengajuan klaim telah terpenuhi. Bank garansi berfungsi sebagai covering risk jika
salah satu pihak lali/cidera janji memenuhi kewajibannya di mana pihak bank mengambil-
alih risiko tersebut.
Janis-jenis bank garansi dalam aplikasi perbankan dapat berupa :
a. Bid Bond. Adalah jaminan yang diterbitkan oleh bank atas permintaan nasabahnya
untuk kepentingan pihak ketiga (pemilik proyek) yang menjadi mitra kerja nasabah,
sehubungan dengan kontrak kerja atau kewajiban nasabah untuk melaksanakan
sesuatu yang tercantum dalam kontrak. Bid Bond ini merupakan persyaratan awal

9
yang ditetapkan oleh pemilik proyek kepada para kontraktor yang akan ikut serta
dalam tender.
b. Performance Bond. Adalah jaminan yang diterbitkan oleh bank atas permintaan
nasabahnya untuk kepentingan pihak ketiga (pemilik proyek) yang menjadi mitra
kerja nasabah, sehubungan dengan kekhawatiran pemilik proyek terhadap kontraktor
apabila cidera janji mengerjakan dan menyelesaikan proyek sesuai kontrak kerja.
Bisaanya, performance bond diminta oleh pemilik proyek kepada pemenang tender,
dalam rangka mengikat mereka agar serius dan sungguh-sungguh mengerjakan
proyek sampai selesai.
c. Advance Payment Bond. Adalah jaminan yang diterbitkan oleh bank atas permintaan
nasabahnya untuk kepentingan pihak ketiga (pemilik proyek) yang menjadi mitra
kerja nasabah, sehubungan dengan pembayaran dimuka atau pembayaran termin oleh
pemilik proyek kepada kontraktor dalam mengerjakan proyek yang telah mereka
sepakati dalam kontrak kerja.
d. Retention Bond/Maintenance Bond. Adalah jaminan yang diterbitkan oleh bank atas
permintaan nasabahnya untuk kepentingan pihak ketiga (pemilik proyek) yang
menjadi mitra kerja nasabah, sehubungan dengan tanggung jawab nasabah atas
pemeliharaan hasil pekerjaan/proyek sampai batas waktu yang telah diperjanjikan
dalam kontrak kerja.
e. Custom Bond. Adalah jaminan yang diterbitkan oleh bank atas permintaan
nasabahnya, sehubungan dengan penangguhan pembayarannya (apabila memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan).
f. Shipping Bond. Adalah jaminan yang diterbitkan oleh bank atas permintaan
nasabahnya, sehubungan dengan pengeluaran barang-barang impor dari
pelabuhan/maskapai pelayaran, sebelum datangnya dokumen impor yang asli dari
bank yang melakukan negosiasi.
Garansi yang diberikan oleh bank dibukukan ke dalam perkiraan administrative
(kontijensi), yang berarti bahwa dengan garansi yang diberikan tidak akan mempengaruhi
neraca pada saat itu. Hal ini baru akan mempunyai pengaruh terhadap neraca bank apabila
nasabah cidera janji atau tidak melaksanakan kontrak sesuai dengan yang telah disepakati,
maka berdasarkan klaim yang diterima bank dan syarat-syarat klaim terpenuhi, bank wajib
membayar klaim tersebut tanpa harus menunggu nasabah menyediakan dana terlebih dahulu.
Masa Berlaku Bank Garansi
Pada umumnya masa berlaku bank garansi sampai dengan tanggal jatuh tempo,
apabila pada tanggal jatuh tempo dan tidak diperpanjang, maka secara otomatis bank garansi

10
tersebut sudah tidak berlaku lagi (expired). Jika kewajiban atau pekerjaan telah selesai
dilaksanakan sesuai dengan isi kontrak kerja, dan pihak pemilik proyek telah memberikan
pernyataan bahwa mereka telah setuju dan menerima hasil pekerjaan, maka secara otomatis
bank garansi sudah tidak berlaku lagi. Untuk itu bisaanya pihak bank meminta nasabah untuk
mengembalikan bank garansi tersebut.
Secara umum bank garansi akan berakhir apabila:
1. Kewajiban telah terpenuhi atau pekerjaan telah diselesaikan
2. Bank garansi telah jatuh tempo
3. Pihak ketiga telah mengembalikan bank garansi
4. Pihak ketiga melepaskan hak klaimnya.
Perpanjangan Bank Garansi
Bank garansi dapat diperpanjang jika menurut pertimbangan pemilik proyek agar
menjamin keamanannya, mereka merasa perlu untuk memperpanjang bank garansi, maka
nasabah akan mengajukan permohonan perpanjangan kafalah tersebut kepada bank dengan
melampirkan kontrak baru antara nasabah dan pemilik proyek.
Masa Klaim Bank Garansi
Pihak yang dijamin (pihak ketiga) akan mengajukan klaim kepada bank yang
menerbitkan garansi (bank garansi) sekiranya nasabah bank melakukan wanprestasi atau
tidak melaksanakan pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja. Pengajuan klaim
dapat dilakukan paling lambat 30 hari setelah tanggal jatuh tempo apabila di dalam bank
garansi tersebut tidak tercantum klausula mengenai batas waktu maksimal pengajuan klaim,
tetapi apabila di dalam bank garansi tersebut dicantumkan batas waktu yang sesuai dengan
yang tercantum di dalam bank garansi.
Pengajuan klaim ini harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen pendukung yang
membuktikan telah terjadinya cidera janji serta dokumen lain yang disyaratkan dalam bank
garansi tersebut.
Letter of Credit[17]
Pada umumnya instrumen letter of credit yang diterbitkan oleh bank akan membantu
memperlancar transaksi perdagangan (ekspor impor) antar negara karena letter of credit
berperan sebagai jembatan penghubung, pengambil-alihan risiko bagi masing-masing pihak
terkait sehingga mereka merasa lebih aman untuk melakukan transaksi.
Apabila pihak eksportir melakukan pengiriman barang-barng mereka kepada importir
terlebih dahulu sebelum importir melakukan pembayaran atas harga barang yang dikirim
tersebut, akan timbul kekhawatiran dari pihak eksportir kalau importir tidak melaksanakan
pembayaran sedangkan barang-barang sudah terlanjur dikirim ke negara importir, sehingga

11
eksportir akan menanggung risiko kemungkinan tidak diterimanya pembayaran. Sebaliknya
apabila importir melakukan pembayaran/mengirim uang terlebih dahulu kepada eksportir
sebelum barang dikirim oleh eksportir kepada importir, justru saat ini importir yang khawatir
dan mempunyai risiko kalau pihak eksportir tidak mengirimkan barang-barang sesuai dengan
pesanan, sedangkan pembayarannya telah dilakukan terlebih dahulu.
Kondisi ragu-ragu dan saling curiga antara eksportir dan importir akan berlangsung
terus karena masing-masing pihak tidak akan mau melakukan transaksi yang berisiko tinggi
tanpa adanya suatu jaminan dan kepastian akan pembayaran maupun peneriamaan barang
sesuai dengan kesepakatan mereka, sehingga akhirnya akan berdampak terhadap kelancaran
dan pertumbuhan transaksi perdagangan secara keseluruhan.
Untuk menjembatani permasalahan ini diperlukan suatu instrumen yang dikeluarkan
oleh institusi yang independen dan dapat diterima oleh masing-masing pihak terkait agar
mereka dapat menjalankan transaksi secara aman tanpa keraguan. Instrumen tersebut
adalah letter of credit, merupakan dokumen bank yang intinya berupa janji atau komitmen
bank kepada pihak penjual/eksportir melalui bank mereka untuk melakukan pembayaran,
pembelian atau akseptasi dokumen-dokumen yang mereka kirim, dengan syarat apabila
semua klausula-klausula yang disyaratkan dalam dokumen tadi telah dipenuhi oleh
penjual/eksportir.
Dalam hal ini bank sebagai penerbit letter of credit akan menerbitkan letter of credit
atas dasar permohonan dari pembeli (importir) melalui sales contract yang telah mereka
sepakati (antara importir dan eksportir) sehingga pihak bank dalam hal ini bukan dalam posisi
mewakili importir, tetapi memberikan jaminan terhadap kelangsungan bisnis importir, karena
dengan adanya letter of credit ini pihak eksportir akan merasa aman untuk mengirimkan
barang-barangnya terlebih dahulu sedangkan pembayaran dari importir akan diterima nanti
setelah dokumen-dokumen yang diterima mereka, diperiksa dan sesuai dengan yang
disepakati. Pembayarn baru akan dilakukan apabila semua dokumen-dokumen yang
dipersyaratkan dalam letter of credit tersebut telah dipenuhi oleh eksportir.
Kartu Kredit
Bank menjamin nasabah (pemegang kartu) untuk belanja tanpa uang cash kepada pihak
ketiga (merchant, supermarket, hypermarket). Dan karena penjaminan itu, maka bank selaku
kafil dapat mengenakan ujrah (fee) kepada nasabah.

AKUNTANSI KAFALAH

12
PSAK nomor 59 paragraf 150 menjelaskan bahwa kafalah dapat digunakan untuk pemberian
jasa bank, antara lain garansi bank, stanby L/C impor, akseptasi, endosemen, dan aval.
Teknis Perbankan/Lembaga Keuangan Syariaah. Secara teknis dalam transaksi kafalah pihak
bank memberikan jaminan kepada nasabahnya sehubungan dengan kontrak kerja/perjanjian
yang telah disepakati antara nasabah dengan pihak ketiga. Pada hakikatnya pemberian
kafalah ini akan memberikan kepastian dan keamanan bagi pihak ketiga untuk melaksanakan
perjanjian atau kontrak yang telah disepakati tanpa khawatir apabila terjadi sesuatu dengan
nasabah cidera janji untuk memebuhi prestasinya. Pengakuan dan Pengukuran. PSAK nomor
59 paragraf 151 menjelaskan pengakuan dan pengukuran transaksi kafalah sebagai kegiatan
bank syariah berbasis imbalan sebagai berikut: pendapatan dan beban yang berkaitan dengan
jangka waktu diakui selama jangka waktu tersebut. pendapatan dan beban yang tidak
berkaitan dengan jangka waktu diakui pada saat terjadinya transaksi dalam periode yang
bersangkutan

PENUTUP

Pada hakikatnya pemberian kafalah ini akan memberikan kepastian dan keamanan bagi
pihak ketiga untuk melaksanakan isi perjanjian/kontrak yang telah disepakati tanpa khawatir
apabila terjadi sesuatu dengan nasabah sehingga nasabah cidera janji untuk memenuhi
prestasinya.
Prinsip dasar dan sangat penting untuk dipahami adalah bahwa Letter of Credit (L/C)
berfungsi sebagai jaminan (kafalah) bukan wakalah, karena perannya dalam memberikan

13
kepastian pembayaran, menghilangkan keraguan eksportir dan sekaligus menjembatani kedua
belah pihak dalam merealisir transaksi mereka. Seandainya transaksi L/C dikategorikan
wakalah, berarti dengan L/C tersebut, tidak ada kewajiban bank untuk melakukan
pembayaran, jika importir belum melunasi kewajibannya, sekalipun dokumen yang diterima
telah sesuai dengan yang disyaratkan dalam L/C.
Masih diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang kafalah ini untuk lebih
meningkatkan perkembangan ekonomi Islam atau ekonomi syariah pada umumnya dan
perbankan syariah pada khususnya sehingga nantinya akan lebih menarik dan mampu
bersaing dengan perkembangan perbankan konvensional.

DAFTAR PUSTAKA
1. Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000
2. Hendi, Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
3. Zuhaili, Wahbah Dr., Fiqh Muamalah Perbankan Syariah, Kapita Selekta
4. Antonio, Syafii, Bank Syariah: Wacana Ulama & Cendekiawan, Jakarta 1999
5. _________, Bank Syariah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan,
2001
6. Zulkifli, Sunarto, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Jakarta, Zikrul Hakim, 2003
7. Karim, Adiwarman Ir., Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan,Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2002
8. Qardhawi, Yusuf. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. Jakarta: Robbani Press, 2004.
9. Edwin N, Mustafa dkk. Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana, 2006, Edisi
Pertama, Cetakan ke-1.
10. Hamidi, M. Luthfi. Jejak-jejak Ekonomi Syariah. Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2003.
11. Izzan, Ahmad dan Tanjung, Syahri. Referensi Ekonomi Syariah : Ayat-ayat Al-Quran yang
Berdimensi Ekonomi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.
12. Ali Sakti. Analitis Teoritis Ekonomi Islam : Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern. Cetakan
Pertama, Maret 2007, PARADIGMA & AQSA Publishing.

[1] Institut Bankir Indonesia. Tim Pengembangan, Bank Syariah: Konsep, Produk dan Implementasi
Operasional, Jakarta: Djambatan, 2001, hal. 239.
[2] Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, hal. 31
[3] Raddul Mukhtar ala Ad Dur Al Mukhtar. 4/261
[4] Diriwayatkan dari 3 orang sahabat: Abu Umunah Al Bahily, Anas bin Malik dan Abdullah bin
Abbas. Lihat Jamiu At-Turmudzi:2/295.
[5] Subulu As Salam: 3/62, Al Mabsuth: 19/160 dst, Mugni Al Muhtaj: 2/198, Al-Mugni: 4/534
[6] Fathu Al Qadir:5/390, Al Badai:6/2, Ad Dur Al Mukhtar, ibid, Majma Adh Dhamanat:275
[7] Al Qawanin Al Fiqhiyah, 325, Mugni Al Muhtaj:2/198, Gayatu Al Muntaha:2/104
[8] Al Badai, 6, Ad-dur Al-Mukhtar:4/262, 278, Fathu Al Qadir:5/419
[9] Bidayatu Al Mujtahid:2/244, Asy Syarhu Al Kabir:3/331, Al Muhadzdzah:1/339

14
[10] Bidayatu al Mujtahid:2/294, Al Badai:6/6, Mugni Al Muhtaj:3/204
[11] Mugni Al Muhtaj:2/200
[12] Al Badai:6/6, Fathu Al Qadir:5/417, Al Mabsuth:20/9 dan Ad Dur Al Mukhtar:4/290
[13] Mugni Al Muhtaj:2/200
[14] Ahkamul Quran, Ibnu Arabi:3/1085, Al Mugni:5/535
[15] Bank Syariah: Konsep, produk dan Implementasi Operasional, Institut Bankir Indonesia, hal.241
[16] Bank Syariah: Konsep, produk dan Implementasi Operasional, Institut Bankir Indonesia, hal.242
[7] Bank Syariah: Konsep, produk dan Implementasi Operasional, Institut Bankir Indonesia, hal.247

15

Anda mungkin juga menyukai