Anda di halaman 1dari 39

PEMBERIAN KOMPRES HANGAT TERHADAP PENURUNAN NYERI

PAYUDARA PADA PASIEN NIFAS DAN PENURUNAN SKALA NYERI


PADA PENDERITA PHLEBITIS DI RSIA SAYANG IBU TAHUN 2016

KARYA TULIS ILMIAH

EKA FITRI YANTI

RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK SAYANG IBU BATUSANGKAR


TAHUN 2016
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

1.Nyeri Payudara Pada Masa Nifas


Masa nifas pada persalinan normal dimulai beberapa jam sesudah lahirnya

plasenta sampai dengan 6 minggu berikutnya. Masa nifas (peurperium) adalah masa

pulih kembali, mulai dari persalinan selesai hingga alat-alat kandungan kembali

seperti prahamil. Lama masa nifas ini yaitu 6-8 minggu (Bahiyatun, 2009).

Menurut Ambarwati dan Wulandari (2010), masa nifas (puerperium) dimulai

setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan

sebelum hamil. Batas waktu nifas yang paling singkat (minimum) tidak ada batas

waktunya, bahkan bisa jadi dalam waktu yang relatif pendek darah sudah keluar,

sedangkan batas maksimumnya adalah 40 hari.

Berdasarkan laporan dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI, 2007),

diusia lebih dari 25 tahun sepertiga wanita di Dunia (38%) didapati tidak menyusui

bayinya karena terjadi pembengkakan payudara, dan di Indonesia angka cakupan ASI

eksklusif mencapai 32,3% ibu yang memberikan ASI eksklusif pada anak mereka. Survei

Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2008-2009 menunjukkan bahwa 55%

ibu menyusui mengalami mastitis dan putting susu lecet, kemungkinan hal tersebut

disebabkan karena kurangnya masa menyusui serta pengetahuan ibu yang kurang

tentang menyusui (Astuti, 2013).

Terjadi perubahan fisiologi selama masa post partum yang meliputi semua

sistem tubuh salah satu diantaranya yaitu perubahan pada sistem reproduksi.

Disamping involusi, terjadi juga perubahan-perubahan penting lainnya yaitu timbulnya


laktasi (Nengah dan Surinati, 2013). Laktasi adalah keseluruhan proses menyusui

mulai dari ASI diproduksi sampai proses bayi menghisap dan menelan ASI. Dalam

proses menyusui ditemukan beberapa masalah salah satunya adalah pembengkakan

(engorgement) payudara (Ambarwati dan Wulandari, 2010).

Pembengkakan (engorgement) payudara terjadi karena ASI tidak dihisap oleh

bayi secara adekuat, sehingga sisa ASI terkumpul pada sistem duktus yang

mengakibatkan terjadinya pembengkakan dan bendungan ASI (Bahiyatun, 2009).

Statis pada pembuluh darah dan limfe akan mengakibatkan meningkatnya tekanan

intraduktal yang mempengaruhi berbagai segmen pada payudara, sehingga tekanan

seluruh payudara meningkat. Hal tersebut juga bisa terjadi dikarenakan adanya

sumbatan pada saluran susu (Bahiyatun, 2009).

Duktus tersumbat dapat menimbulkan nyeri pada payudara, nyeri biasanya

timbul hanya pada satu payudara dan hanya sedikit rasa hangat dirasakan atau tidak

ada rasa hangat sama sekali. Dalam suatu penelitian 96 dari 100 ibu dilaporkan

mengalami nyeri pada waktu-waktu tertentu. Hal inI terjadi terutama antara hari ke-3

dan ke-7. Pada beberapa wanita, nyeri ini berlangsung selama 6 minggu (Wheeler,

2004) .

Nyeri adalah pengalaman sensorik yang dicetuskan oleh rangsangan yang

merupakan ancaman untuk menghancurkan jaringan (Mander, 2004). Munculnya

nyeri sangat berkaitan erat dengan reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor nyeri

dapat meberikan respons akibat adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi yang

diterima oleh reseptor tersebut ditrasmisikan berupa implus-implus nyeri ke sumsum

tulang belakang oleh dua jenis serabut, yaitu serabut A (delta) dan serabut C. Implus

nyeri menyebrangi tulang belakang pada interneuron dan bersambung ke jalur spinal

asendens yang paling utama, yaitu jalur spinothalamic tract (STT) atau spinothalamus
dan spinoreticular tract (SRT) yang membawa informasi mengenai sifat dan lokasi

nyeri (Uliyah, 2008).

2.PLEBITIS

Menurut Hinchliff (1999) dalam Bolin (2011) tindakan invasif merupakan tindakan

medis keperawatan berupa memasukkan atau melukai jaringan yang dimasukkan melalui

organ tubuh tertentu. American Heart Association (AHA) tahun 2003, orang dewasa

sangat rentan terhadap stress yang berhubungan dengan prosedur tindakan invasif. Contoh

tindakan invasif sederhana yang sering dilakukan pada orang dewasa adalah pemasangan

infus. Tindakan invasif (pemasangan infus) tentu saja akan menimbulkan nyeri dan rasa

sakit. Pemasangan infus biasanya bisa dilakukan berkali kali selama dalam masa

perawatan. Ini disebabkan karena cenderung tidak bisa tenang sehingga infus yang

terpasang bisa macet, aboket bengkok/ patah, atau bahkan infus terlepas. Akibatnya jika

dilakukan pemasangan infus berulang kali akan merasakan nyeri setiap kali penusukan.

Menurut Hindley (2004) dalam Handoyo dkk (2007:1) terapi intravena (IV)

adalah salah satu teknologi yang paling sering digunakan dalam pelayanan kesehatan

di seluruh dunia. Lebih dari 60% pasien yang masuk ke rumah sakit mendapat terapi

melalui IV. Terry (1995) dalam Prastika dkk (2011:2) menyebutkan bahwa phlebitis

adalah peradangan pada dinding vena akibat terapi cairan intravena, kemerahan, teraba

lunak, pembengkakan, dan hangat pada lokasi penusukan.

Alexander dkk (2010) dalam Nurjanah (2011:80) menyatakan bahwa tingkat

keparahan gejala phlebitis ditentukan berdasarkan skala derajat phlebitis mulai dari

skala 0 4 berdasarkan rekomendasi The Infusion Nurses Nociety. Hasil penelitian

yang dilakukan oleh Handoyo,dkk (2006) dalam Triyanto dkk (2007:2) didapatkan

persentase kejadian phlebitis di bangsal bedah RSUD Prof Dr. Margono Soekardjo

Purwokerto adalah 31, 7%. Penelitian tersebut juga menemukan rata - rata 2 - 4 pasien
mengalami phlebitis setiap harinya. Penanganan atau tindakan untuk mengatasi

phlebitis merupakan isu penting di Indonesia khususnya di RSUD Prof Dr. Margono

Soekardjo Purwokerto, karena jika phlebitis tidak diatasi dapat mengakibatkan sepsis

atau infeksi seluruh tubuh yang dapat menyebabkan kematian.

Pada dua kasus diatas Pemberian kompres air hangat dapat membantu

vasodilatasi pembuluh darah dengan meningkatkan sirkulasi darah pada pembuluh

darah yang mengalami phlebitis, sehingga selain mengurangi nyeri juga dapat

mempercepat proses penyembuhan luka phlebitis .

Nyeri payudara pada post partum dapat diatasi dengan melakukan kompres panas

untuk mengurangi rasa sakit (Ambarwati dan Wulandari, 2010). Kompres panas juga akan

menghasilkan efek fisiologis untuk tubuh yaitu efek vasodilatasi, peningkatan

metabolisme sel dan merelaksasikan otot, sehingga nyeri yang dirasa berkurang. Kompres

0 0
panas dengan suhu 40,5 C 43 C merupakan salah satu pilihan tindakan yang

digunakan untuk mengurangi dan bahkan mengatasi rasa nyeri (Potter dan Perry,

2006).

Kompres hangat juga dapat digunakan pada pengobatan nyeri dan

merelaksasikan otot otot yang tegang. Kompres hangat dilakukan dengan

mempergunakan buli buli panas atau kantong air panas secara konduksi dimana

terjadi pemindahan panas dari buli buli ke dalam tubuh sehingga akan menyebabkan

pelebaran pembuluh darah dan akan terjadi penurunan ketegangan otot. Nyeri yang

dirasakan akan berkurang atau hilang. Kompres hangat memiliki beberapa pengaruh

meliputi melebarkan pembuluh darah dan memperbaiki peredaran daerah di dalam

jaringan tersebut, pada otot panas memiliki efek menurunkan ketegangan,

meningkatkan sel darah putih secara total dan fenomena reaksi peradangan serta

adanya dilatasi pembuluh darah yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi darah serta

peningkatan tekanan kapiler. Tekanan oksigen dan karbondioksida di dalam darah akan
meningkat sedangkan derajat keasaman darah akan mengalami penurunan

(Anugraheni dan Wahyuningsih, 2014).

Berdasarkan pengelolaan kasus yang dilakukan oleh penulis di Rumah


Sakit Ibu dan anak sayang ibu di dapatkan data kejadian masalah yang sering di
jumpai yaitu phlebitis dan nyeri payudara pada ibu nifas.Didapatkan data dari hasil
survailens IPCN RSIA Sayang Ibu pada bulan November yaitu kasus phlebitis
sebesar 38,22 % dari 54 pasien rawatan, angka ini cukup besar karena setiap
kejadian > 20 % merupakan suatu masalah. Sedangkan data dari nyeri payudara
pada ibu nifas sebagian ibu nifas mengalami nyeri payudara setelah melahirkan
terutama pada ibu nifas dengan anak pertama .

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan


asuhan yang dituangkan dalam Karya Tulis Ilmiah dengan judul Pemberian
Kompres hangat Terhadap Penurunan Nyeri Payudara Pada Pasien Nifas Dan
Penurunan Skala nyeri pada penderita Phlebitis Di Rsia Sayang Ibu Tahun 2016

B. Rumusan Masalah

Masalah dalam penelitian ini dirumuskan berdasarkan uraian singkat dalam latar
belakang dapat dirumuskan satu masalah yaitu : Pemberian Kompres hangat Terhadap
Penurunan Nyeri Payudara Pada Pasien Nifas Dan Penurunan Skala nyeri pada penderita
Phlebitis Di Rsia Sayang Ibu Tahun 2016

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

a.Mampu dan dapat melakukan pemberian kompres hangat terhadap penurunan rasa
nyeri payudara pada masa nifas

b.Mampu dan dapat melakukan pemberian kompres hangat terhadap penurunan skala
nyeri pada penderita phlebitis

2. Tujuan Khusus

a.Rasa Nyeri Pada Payudara


a.1 Melakukan pengkajian pemberian kompres hangat terhadap penurunan rasa
nyeri payudara pada masa nifas
a.2 Mampu menyusun rencana pemberian kompres hangat terhadap
penurunan rasa nyeri payudara pada masa nifas
a.3 Mampu melakukan implementasi pemberian kompres hangat terhadap

penurunan rasa nyeri payudara pada masa nifas


a.4 Menganalisa dan mengevaluasi hasil pemberian kompres hangat terhadap

penurunan rasa nyeri payudara pada masa nifas

b.Nyeri Phlebitis

b.1 Melakukan pengkajian pemberian kompres hangat terhadap terhadap


penurunan skala nyeri pada penderita phlebitis

b.2 Mampu menyusun rencana pemberian kompres hangat terhadap


penurunan skala nyeri pada penderita phlebitis
b.3 Mampu melakukan implementasi pemberian kompres hangat penurunan

skala nyeri pada penderita phlebitis


b.4 Menganalisa dan mengevaluasi hasil pemberian kompres hangat penurunan

skala nyeri pada penderita phlebitis

D. Manfaat Penulisan

1. Peneliti

Sebagai sumber informasi bagi penulis mengenai Pemberian Kompres

hangat Terhadap Penurunan Nyeri Payudara Pada Pasien Nifas Dan Penurunan

Skala nyeri pada penderita Phlebitis Di Rsia Sayang Ibu Tahun 2016 .
2. Tempat Penelitian dan Instansi Rumah Sakit

Sebagai bahan masukan dan evaluasi yang diperlukan dalam pelaksanaan

praktek pelayanan keperawatan khususnya pada pemberian kompres hangat dengan

hipertensi. Sehingga mampu meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan pada pasien.

BAB II
LANDASAN TEOROI

A.Post Partum
1. Pengertian

Periode post partum ialah masa enam minggu sejak bayi sampai organ-organ

reproduksi kembali ke keadaan normal sebelum hamil (Bobak, 2005). Masa nifas

(peurperium) adalah masa pulih kembali, mulai dari persalinan selesai hingga alat-alat

kandungan kembali seperti prahamil. Lama masa nifas ini yaitu 6-8 minggu

(Bahiyatun, 2009).

Menurut Ambarwati dan Wulandari (2010), masa nifas (puerperium) dimulai

setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan

sebelum hamil. Batas waktu nifas yang paling singkat (minimum) tidak ada batas

waktunya, bahkan bisa jadi dalam waktu yang relatif pendek darah sudah keluar,

sedangkan batas maksimumnya adalah 40 hari.

2. Tahap Masa Post Partum

Tahapan yang terjadi pada masa nifas adalah sebagai berikut :

a.Periode Immediate Post Partum

Masa segera setelah plasenta lahir sampai dengan 24 jam. Pada masa ini sering

terdapat banyak masalah, misalnya pendarahan karena antonia uteri.


b. Periode Early Post Partum

Fase ini berlangsung 24 jam 1 minggu, dan memastikan involusi uteri

dalam keadaan normal, tidak ada perdarahan, lochea tidak berbau busuk dan tidak

demam.

c. Periode Late Post Partum

Fase ini berlangsung 1 minggu 5 minggu. Pada periode ini yang perlu

dilakukan yaitu perawatan dan pemeriksaan sehari-hari serta konseling KB.

(Saleha, 2009)

3.Perubahan Fisiologis Masa Nifas

a.Perubahan Uterus

Terjadi kontraksi uterus yang meningkat setelah bayi keluar. Hal ini

menyebabkan iskemia pada lokasi perlekatan plasenta sehingga jaringan

perlekatan antara plasenta dan dinding uterus, mengalami nekrosis dan lepas.

Uterus akan mengalami pengecilan (involusi) secara berangsur-angsur hingga

kembali seperti sebelum hamil. Tinggi fundus uterus pada bayi lahir yaitu

setinggi pusat, saat uri lahir fundus uteri dua jari bawah pusat (Suherni, 2008).

b.Lochea

Menurut Saleha (2009), lochea adalah cairan sekret yang berasal dari cavum

uteri dan vagina selama nifas. Lochea terbagi menjadi tiga jenis yaitu:

c.Perubahan Payudara

Menurut Waryana (2010), perubahan pada payudara dapat meliputi :

1) Penurunan kadar progesteron secara tepat dengan peningkatan hormon


prolaktin setelah persalinan.

2) Kolostrum sudah ada saat persalinan, produksi ASI terjadi pada hari ke-2
atau hari ke-3 setelah persalinan.
3) Payudara menjadi besar dan keras sebagai tanda mulainya proses laktasi.

d.Perubahan Vagina dan Perineum

Pada minggu ketiga, vagina mengecil dan timbul rugae (lipatan-lipatan

atau kerutan-kerutan) kembali. Pada perineum, terjadi robekan perineum pada

semua persalinan pertama. Robekan perineumumumnya terjadi di garis tengah

dan bisa meluas apabila kepala janin terlalu cepat (Suherni, 2008).Laserasi

spontan pada vagina atau perineum dapat terjadi saat kepala dan bahu

dilahirkan. Tindakan episiotomi adalah mengiris atau menggunting perineum

menurut arah irisan ada tiga: medialis, mediolaeralis dan lateralis dengan

tujuan agar supaya tidak terjadi robekan-robekan perineum yang tidak teratur

dan robekan musculus princter ani (Rukiyah, 2009).

e. Perubahan Sistem Pencernaan

Setelah kelahiran plasenta, terjadi pula penurunan produksi

progesteron, sehingga yang menyebabkan terjadi nyeri ulu hati dan konstipasi,

terutama dalam beberapa hari pertama. Hal ini terjadi karena inaktivitas

motilitas usus akibat kurangnya keseimbangan cairan selama persalinan dan

adanya reflek hambatan defekasi karena adanya rasa nyeri pada perineum

akibat luka episiotomi (Bahiyatun, 2009).

f. Perubahan Sistem perkemihan

Setelah persalinan, terjadi diuresis fisiologis akibat pengurangan volume

darah dan peningkatan produk sisa. Beberapa ibu, khususnya setelah persalinan yang

menggunakan bantuan alat, mengalami kesulitan saat mulai berkemih. Ada pula ibu

yang mungkin mengalami kesulitan menahan lebih lama aliran urinenya saat ada

dorongan berkemih. Banyak ibu meneteskan urinenya saat batuk,


1

tertawa, bersin atau melakukan gerakan yang tiba-tiba. Gejala ini,


dikenal dengan istilah inkontinensia stres (Brayshaw, 2008).

h. Perubahan Sistem Endokrin

1) Hormon Plasenta

Saat plasenta lepas dari dinding uterus, kadar Human

Chorionic Gonadotropin (HCG) dan Human Plasental Lactogen

(HPL) secara berangsur turun dan normal kembali setelah 7 hari

post partum. HCG tidak terdapat dalam urine ibu setelah 2 hari

post partum. HPL tidak lagi terdapat dalam plasma (Bahiyatun,

2009).

2) Hormon Hipofisis

Kadar prolaktin serum yang tinggi pada wanita menyusui

tampaknya berperan dalam menekan ovulasi. Karena kadar follicle

stimulating hormone (FSH) terbukti sama pada wanita menyusui dan

tidak menyusui, disimpulkan ovarium tidak berespon terhadap


stimulasi FSH ketika kadar prolaktin meningkat. Kadar prolaktin meningkat secara

progresif sepanjang masa hamil. Pada wanita menyusui, kadar prolaktin tetap

meningkat sampai minggu keenam setelah melahirkan (Bobak, 2005).

3) Hormon Oksitosin

Oksitosin dikeluarkan dari kelenjar bawah otak bagian belakang (posterior),

bekerja terhadap otot uterus dan jaringan payudara. Pada wanita yang memilih

menyusui bayinya, isapan sang bayi merangsang keluarnya oksitosin lagi dan ini

membantu uterus kembali kebentuk normal dan pengeluaran air susu (Ambarwati dan

Wulandari, 2010).

B. Asuhan Keperawatan Post Partum

Asuhan masa nifas adalah penatalaksanaan asuhan yang diberikan

pada pasien mulai dari saat setelah lahirnya bayi sampai dengan kembalinya

tubuh dalam keadaan seperti sebelum hamil atau mendekati keadaan

sebelum hamil (Saleha, 2009).

1. Pengkajian

a. Anamnesa

Tujuan anamnesa adalah mengumpulkan informasi tentang

riwayat kesehatan dan kehamilan untuk digunakan dalam proses

membuat keputusan klinis guna menentukan diagnosa dan

mengembangkan rencana asuhan yang sesuai (Erawati, 2011).


1
1) Riwayat Kesehatan

Hal yang perlu dikaji dalam riwayat kesehatan adalah :

a) Keluhan yang dirasakan ibu saat ini.

b) Adakah kesulitan atau gangguan dalam pemenuhan

kebutuhan sehari-hari misalnya pola makan, buang air kecil atau buang air besar, kebutuhan

istirahat dan mobilisasi.

c) Riwayat persalinan ini meliputi adakah komplikasi,


laserasi atau episiotomi.

d) Obat atau suplemen yang dikonsumsi saat ini misalnya


tablet zat besi.

e) Perasaan ibu saat ini berkaitan dengan kelahiran bayi,

penerimaan terhadap peran baru sebagai orang tua termasuk suasana hati yang dirasakan ibu

sekarang, kecemasan dan kekhawatiran.

f) Adakah kesulitan dalam pemberian ASI dan perawatan


bayi sehari-hari.

g) Bagaimana rencana menyusui nanti (ASI Eksklusif atau

tidak), rencana merawat bayi dirumah (dilakukan ibu sendiri atau dibantu orang tua atau

mertua).

h) Bagaimana dukungan suami atau keluarga terhadap ibu.

i) Pengetahuan ibu tentang nifas.


1
2) Pemeriksaan Fisik

Tujuan pemeriksaan fisik adalah menilai kesehatan dan

kenyamanan fisik ibu dan bayinya untuk membuat keputusan

klinis guna menentukan diagnosa dan mengembangkan

rencana asuhan yang paling sesuai (Erawati, 2011).

a) Keadaan umum, kesadaran

0 Tanda-tanda vital: tekanan darah, suhu, nadi dan


pernafasan.

b) Payudara: pembesaran, putting susu (menonjol atau

mendatar, adakah nyeri dan lecet pada putting), ASI atau kolostrum

sudah keluar, adakah pembengkakan, radang atau benjolan

abnormal.

c) Abdomen: tinggi fundus uteri, kontraksi uterus.

d) Kandung kemih kosong atau penuh.

e) Genetalia dan perineum: pengeluaran lochea ( jenis, warna,

jumlah, bau), odema, peradangan, keadaan jahitan, nanah, tanda-tanda infeksi pada luka

jahitan, kebersihan perineum dan hemmoroid pada anus.

(Suherni, 2008)

2. Diagnosa

Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis tentang respon


individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan, sebagai
14

dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan


keperawatan sesuai dengan kewenangan perawat (Setiadi, 2012).

Diagnosa keperawatan pertama yang muncul pada post partum

spontan adalah nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik

(tindakan episiotomi). Diagnosa keperawatan kedua, nyeri akut

berhubungan dengan agen cidera biologis (obstructive duct). Diagnosa

keperawatan ketiga, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan

tubuh berhubungan dengan faktor biologis (asupan nutrisi zat besi tidak

adekuat) (Ujiningtyas, 2009).

3. Intervensi

Perencanaan adalah bagian dari fase pengorganisasian dalam

proses keperawatan sebagai pedoman untuk mengarahkan tindakan

keperawatan dalam usaha memenuhi kebutuhan klien. Proses

perencanaan antara lain adalah membuat tujuan dan menetapkan

kriteria hasil, memilih intervensi dan membuat rasionalisasi dari

intervensi yang dipilih (Setiadi, 2012).

North American Nursing Diagnosis Association (NANDA)

mengembangkan rencana keperawatan yang telah diperluas dan

dikaitkan dengan kriteria hasil atau Nursing Outcomes Classification

(NOC) serta intervensi atau Nursing Interventions classification (NIC).

Hasil dari NOC adalah konsep-konsep netral yang merefleksikan

pernyataan atau perilaku klien. Prioritas intervensi dari NIC


15

mengarahkan perawat untuk meninjau ulang aktivitas perawatan


pertama yang dikaitkan dengan intervensi tersebut (Nursalam, 2009).

Tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan pada diagnosa

keperawatanpertama adalah setelah diberikan asuhan keperawan

diharapkan pasien menunjukkan berdasarkan NOC: nyeri akut dapat

teratasi dengan kriteria hasil, skala nyeri berkurang (1-3), Tekanan darah

normal (120/60 mmHg), Nadi normal (60-120 x/menit), respirasi normal

(16-20x/menit). Intervensi sesuai NIC adalah identifikasi rasa

ketidaknyamanan dan penyebabnya, berikan tindakan yang memberikan

kenyamanan, misal kompres hangat pada punggung, payudara, perineum,

bantu memilih posisi optimal untuk mengejan, berikan oksigen dan

tingkatkan pemberian cairan infus (Ujiningtyas, 2009).

Tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan pada diagnosa

keperawatan kedua adalah setelah diberikan asuhan keperawan

diharapkan pasien menunjukkan berdasarkan NOC: skala nyeri 2,

payudara tidak kenceng dan tidak teraba keras dan sekresi ASI lancar.

Intervensi sesuai NIC adalah kaji nyeri P Q R S T, ajarkan teknik

breast care, berikan kompres panas, kolaborasi pemberian analgesik

(Wilkinson, 2007).

Tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan pada diagnosa

keperawatan kedua adalah setelah diberikan asuhan keperawan

diharapkan pasien menunjukkan berdasarkan NOC: skala nyeri 2,

payudara tidak kenceng dan tidak teraba keras dan sekresi ASI lancar.
16

Intervensi sesuai NIC adalah kaji nyeri P Q R S T, ajarkan teknik

breast care, berikan kompres panas, kolaborasi pemberian analgesik

(Wilkinson, 2007).

Tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan pada diagnosa

keperawatan ketiga adalah setelah diberikan asuhan keperawan

diharapkan pasien menunjukkan berdasarkan NOC: konjungtiva tidak

anemis, tidak pucat, HB : 12 g/dl, Ht : 33-45%, tidak lemas. Intervensi

sesuai NIC adalah kaji nutrisi pasien, anjurkan makan sedikit tapi

sering, pendidikan kesehatan nutrisi ibu menyusui, kolaborasi dengan

dokter untuk pemberian tranfusi dan pemberian Fe (Wilkinson, 2007).

C. Nyeri

1. Definisi

Nyeri adalah pengalaman sensori nyeri dan emosional tidak

menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial

yang terlokalisasi pada suatu bagian tubuh. Rasa nyeri merupakan

mekanisme pertahanan tubuh, timbul bila ada jaringan rusak dan hal ini

akan menyebabkan individu bereaksi dengan memindahkan stimulus

nyeri (Judha, 2012). Nyeri adalah pengalaman sensorik yang dicetuskan

oleh rangsangan yang merupakan ancaman untuk menghancurkan

jaringan (Mander, 2004).

Nyeri merupakan perasaan yang tidak menyenagkan yang sering


kali dialami oleh individu. Kebutuhan terbebas dari rasa nyeri merupakan
17

salah satu kebutuhan dasar yang merupakan tujuan diberikannya asuhan


keperawatan kepada seorang pasien (Andarmoyo, 2013).

2. Klasifikasi Nyeri

Nyeri diklasifikasikan menjadi dua, yaitu nyeri akut dan nyeri

kronis. Nyeri akut diakibatkan oleh penyakit, radang atau injuri jaringan.

Nyeri akut umumnya terjadi kurang dari 6 (enam) bulan. Nyeri kronik,

secara luas dipercaya menggambarkan penyakitnya. Nyeri kronik dapat

berlangsung lebih lama (lebih dari enam bulan). Nyeri ini dapat dan

sering menyebabkan masalah yang berat bagi pasien (Judha, 2012).

Munculnya nyeri sangat berkaitan erat dengan reseptor dan adanya

rangsangan. Reseptor nyeri dapat meberikan respons akibat adanya stimulasi

atau rangsangan. Stimulasi yang diterima oleh reseptor tersebut

ditrasmisikan berupa implus-implus nyeri ke sumsum tulang belakang oleh

dua jenis serabut, yaitu serabut A (delta) dan serabut C. Implus nyeri

menyebrangi tulang belakang pada interneuron dan bersambung ke jalur

spinal asendens yang paling utama, yaitu jalur spinothalamic tract (STT)

atau spinothalamus dan spinoreticular tract (SRT) yang membawa informasi

mengenai sifat dan lokasi nyeri (Uliyah, 2008).

3. Alat Ukur Nyeri

Pengukuran intensitas nyeri sangat subyektif dan individual serta

kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda

oleh dua orang yang berbeda. Penilaian intensitas nyeri dapat dilakukan

dengan menggunakan skala sebagai berikut :


18

1. Skala Numerik

Skala penilaian numerik (Numerical rating scale, NRS) lebih

digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini,

klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10.

Numerik

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak Nyeri Sangat Nyeri

Gambar 2.1
Skala Nyeri Numerik
Sumber : Andarmoyo (2013)
2. Skala deskriptif

Skala diskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan

nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor

Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima

kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang

garis. Pendeskripsi ini di ranking dari tidak terasa nyeri sampai nyeri

yang tidak tertahankan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih

sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri.

Deskriptif

Tidak Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri yang


Nyeri Ringa Sedang Berat tidak
tertahanka

Gambar 2.2
Skala Nyeri Deskriptif
Sumber : Andarmoyo (2013)
19

3. Skala analog visual

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) adalah suatu

garis lurus/horisontal sepanjang 10 cm, yang mewakili intensitas nyeri

yang terus-menerus dan pendeskripsis verbal pada setiap ujungnya.

Pasien diminta untuk menunjuk titik pada garis yang menunjukan

letak nyeri terjadi sepanjang garis tersebut. Ujung kiri biasanya

menandakan tidak ada atau tidak nyeri, sedangkan ujung kanan

biasanya menandakan berat atau nyeri yang buruk.

Analog

Tidak Nyeri Nyeri yang tidak


tertahankan

Gambar 2.3
Skala Nyeri Analog Visual
Sumber : Andarmoyo (2013)

D. Nyeri Payudara

Terjadi peningkatan aliran darah ke payudara bersamaan dengan

produksi ASI dalam jumlah banyak. Dalam proses menyusui ditemukan

beberapa masalah salah satunya adalah pembengkakan (engorgement)

payudara (Ambarwati dan Wulandari, 2010). Pembuluh darah payudara

menjadi bengkak terisi darah, sehingga timbul rasa hangat, bengkak dan rasa

sakit (Saleha, 2009).

Masalah ini paling sering ditemui pada ibu pascabersalin.

Tersumbatnya saluran ASI dapat menyebabkan payudara rasa sakit, teraba


20

ada benjolan yang terasa sakit, bengkak dan payudara mengeras. Pada

kondisi ini, saluran ASI tidak mengalami pengosongan dengan baik

sehingga ASI menumpuk (Riksani, 2012).

Statis pada pembuluh darah dan limfe akan mengakibatkan

meningkatnya tekanan intraduktal yang mempengaruhi berbagai segmen

pada payudara, sehingga tekanan seluruh payudara meningkat. Hal tersebut

juga bisa terjadi dikarenakan adanya sumbatan pada saluran susu. Di

payudara sumbatan tersebut bisa terjadi pada satu atau bisa lebih duktus

laktiferus (Bahiyatun, 2009).

Duktus tersumbat dapat menimbulkan nyeri pada payudara, nyeri

biasanya timbul hanya pada satu payudara dan hanya sedikit rasa hangat

dirasakan atau tidak ada rasa hangat sama sekali. Dalam suatu penelitian 96

dari 100 ibu dilaporkan mengalami nyeri pada waktu-waktu tertentu. Hal ini

terjadi terutama antara hari ke-3 dan ke-7. Pada beberapa wanita, nyeri ini

berlangsung selama 6 minggu (Wheeler, 2004) .

E. Kompres Panas

1. Definisi

Kompres panas adalah memberikan rasa hangat pada daerah

tertentu dengan menggunakan cairan atau alat yang menimbulkan hangat

pada bagian tubuh yang memerlukan. Tindakan ini selain untuk

melancarkan sirkulasi darah juga untuk menghilangkan rasa sakit,

merangsang peristaltic usus, pengeluaran getah radang menjadi lancar,


21

serta memberikan ketenangan dan kesenangan pada klien (Istichomah,


2007).

Kompres panas yaitu dimana kompres panas dapat meredakan

iskemia dan melancarkan pembuluh darah sehingga meredakan nyeri

dengan mengurangi ketegangan dan meningkatkan perasaan sejahtera

(Bonde, 2013).

2. Mekanisme Dalam Menurunkan Nyeri.

Pemakaian kompres panas biasanya dilakukan hanya setempat

saja pada bagian tubuh tertentu. Dengan pemberian panas, pembuluh-

pembuluh darah akan melebar sehingga memperbaiki peredaran darah di

dalam jaringan tersebut. Aktivitas sel yang meningkat akan mengurangi

rasa sakit atau nyeri dan akan menunjang proses penyembuhan luka dan

proses peradangan (Andarmoyo, 2013).

Menurut Potter dan Perry (2006) dalam Rasdini (2012), terapi

panas merupakan salah satu modalitas terapi fisik yang menggunakan

sifat fisik panas secara konduksi untuk menstimulasi kulit sehingga

dapat menurunkan persepsi nyeri seseorang. Selain itu, teknik ini juga

mudah dilakukan oleh penderita sehari-hari.

Memberikan kompres panas atau dingin dapat memberi rasa

nyaman sesuai keinginan ibu (Chapman, 2006). Salah satu terapi non-

farmakologis yang berguna menurunkan intesitas nyeri yaitu stimulasi

masase kuntaneus dan kompres panas (Price dan Wilson, 2006).


22

Potter dan Perry (2006) dalam Nengah dan Surinati (2013),

pemberian kompres panas menimbulkan efek hangat serta efek stimulasi

kutaneus berupa sentuhan. Efek ini dapat menyebabkan terlepasnya

endorphin, sehingga memblok transmisi stimulus nyeri. Cara kerjanya

adalah rangsangan panas pada daerah lokal akan merangsang reseptor

bawah kulit dan mengaktifkan transmisi serabut sensori A beta yang

lebih besar dan lebih cepat. Proses ini juga menurunkan transmisi nyeri

melalui serabut C dan delta A berdiameter kecil. Keadaan demikian

menimbulkan gerbang sinap menutup transmisi implus nyeri.

Ketika panas diterima reseptor, impuls akan diteruskan menuju

hipotalamus posterior akan terjadi reaksi reflek penghambatan simpatis

yang akan membuat pembuluh darah berdilatasi (Guyton dan Hall, 2007).

Kompres panas meningkatkan suhu kulit lokal, sirkulasi dan

metabolisme jaringan. Kompres panas mengurangi spasme otot dan

meningkatkan ambang nyeri. Kompres panas juga mengurangi respons

melawan atau menghindar seperti dibuktikan dengan gemetar dan

berdiri bulu roma (Simkin dan Ruth, 2005).

Menurut Kusumastuti (2008) dalam Nengah dan Surinati (2013),

kompres panas dianggap bermanfaat untuk memperbaiki sirkulasi darah,

tertama pada engorgement payudara post partum. Salah satu pengurang

nyeri dengan metode alami adalah metode panas dingin. Memang tak

menghilangkan keseluruhan nyeri namun setidaknya memberikan rasa

nyaman. Botol air panas yang dibungkus handuk dicelupkan ke air dingin
23

mengurangi pegal di punggung dan kram bila di tempel di punggung


(Judha, 2012).

Dalam report information from Donald, M dan Susanne (2014)

menyatakan untuk pembengkakan payudara, bayi perlu minum ASI lebih

sering untuk membantu mengalirkan susu, sedangkan pembengkakan

payudara dapat mereda dengan kompres panas dan shower air panas di

daerah payudara yang nyeri.

3. Prosedur Dalam Kompres Panas

Instrumen yang digunakan adalah tiga buah handuk (dua handuk

kecil untuk kompres panas, satu handuk ukuran sedang untuk menutup

dan mengeringkan payudara yang sudah dikompres), air yang bersuhu

0
41 C dalam waskom, termometer air dan stopwatch (Nengah dan
Surinati , 2013).

Fase kerjanya, sebelum melakukan tidakan menjaga privasi

pasien terlebih dulu. Langkah yang pertama yaitu menyiapkan instrumen

yang akan digunakan, lalu membuka baju bagian atas pasien dan

meletakan handuk ukuran sedang di bahu untuk menutup bagian

payudara. Langkah selanjutnya melakukan kompres panas pada bagin

payudara pasien secara bergantian. Cara mengompres, menggunakan

handuk kecil yang sudah dicelupkan ke waskom yang berisi air panas

lalu di kompreskan pada bagian payudara mulai dari pangkal payudara

menuju putting susu. Setelah itu mengeringkan payudara dengan handuk

dan merapikan pasien (Donald, M dan Susanne, 2014).


B.PHLEBITIS

1. Pengertian

Menurut Potter dan Perry (2006) dalam Nurjanah (2011:80) phlebitis

merupakan peradangan yang terjadi pada pembuluh darah vena yang disebabkan

oleh kateter atau iritasi kimiawi zat aditif dan obat-obatan yang diberikan secara

intravena.

Terry (1995) seperti dikutip Prastika dkk (2011:2) phlebitis adalah

peradangan pada dinding vena akibat terapi cairan intravena, yang ditandai dengan

nyeri, kemerahan, teraba lunak, pembengkakan dan hangat pada lokasi penusukan.

2. Tanda dan gejala

Menurut Hankiens dkk (2006) dalam Nurjanah (2011) tanda dan gejala

phlebitis adalah eritema, nyeri, edema dan peningkatan temperatur kulit pada area

pemasangan infus.

Tanda dan gejala phlebitis menurut Karadag dan Gorgulu (2000) dalam

Asrin dkk (2006:3) umumnya timbul nyeri, kemerahan, bengkak, panas dan vena

terlihat lebih jelas.

3. Faktor Resiko
Faktor faktor yang mempengaruhi peningkatan resiko terjadinya

phlebitis menurut Hanskin dkk (2001) dalam Nurjanah (2011) antara lain :

a. Bahan kanul, ukuran kanul, dan balutan yang digunakan.

b. Insersi kanul oleh petugas yang belum berpengalaman.

c. Area insersi kanul yang tidak tepat secara anatomi.

d. Pemasangan kanul yang berkepanjangan.

e. Penggantian balutan yang tidak rutin.

f. Ketidakcocokan jenis, PH dari mediaksi dan cairan.

g. Faktor karakteristik anak seperti usia dan penyakit yang menyertai

4. Pencegahan

Menurut Weinstein (2001) ada beberapa cara untuk melakukan


pencegahan pada phlebitis antara lain :

a. Menggunakan teknik aseptik yang ketat pada pemasangan dan


manipulasi sistem intravena keseluruhan.

b. Plester hubungkan kanul dengan aman untuk menghindari


gerakan dan iritasi vena berikutnya.

c. Mengencerkan obat-obatan yang mengiritasi jika mungkin; obat-


obatan piggyback terlarut dalam jumlah larutan maksimum.

d. Rotasi sisi intra vena setiap 48 jam untuk membatasi iritasi


dinding vena oleh kanul atau obat-obatan.
5. Tindakan

Menurut Weinstein (2001) berikut langkah langkah tindakan dalam


penanganan phlebitis :

a. Lepaskan alat intravena.

b. Tinggikan ekstremitas.

c. Beritahu dokter.

d. Berikan kompres panas pada ekstremitas sesuai pesanan.

e. Kaji nadi distal terhadap area yang phlebitis.

f. Hindari pemasangan intravena berikutnya di bagian distal vena


yang meradang.

6. Alat Ukur PHLEBITIS

Menurut Campbell (1998) dalam Asrin dkk (2006) skala yang dapat

digunakan untuk menilai phlebitis adalah Baxter Scale dan INS Phlebitis Scale.

Baxter scale yang dimaksud terdiri dari rentang skala 0-5; skala 0 tidak ada

tanda dan gejala plebitis ; skala 1 terdapat nyeri pada tempat insersi ; skala 2

nyeri dan kemerahan; skala 3 nyeri, kemerahan, bengkak dan mungkin

indurasi ; skala 4 nyeri, kemerahan, bengkak, indurasi dan vena membesar

kurang dari 3 inchi di atas tempat insersi ; dan skala 5 nyeri, kemerahan,
bengkak, indurasi, pembesaran vena lebih dari 3 inchi dan trombosis vena.

Menurut White (2001) Intravenous Nurses Society (INS) Phlebitis Scale

dibedakan menjadi 3 skala yaitu skala 0 tidak ada tanda dan gejala ; skala 1

kemerahan dengan atau tanpa nyeri dan odema ; skala 2 kemerahan dengan atau

tanpa nyeri, edema, bentuk berlapis ; skala 3 terdapat semua tanda dan gejala

tersebut di atas.

C. Kompres Hangat

1. Pengertian

Kompres hangat adalah suatu metode dalam penggunaan suhu

hangat setempat yang dapat menimbulkan efek fisiologis (Anugraheni dan

Wahyuningsih, 2013).

Menurut Price (2005) dalam Fauziyah (2013) kompres hangat

adalah memberikan rasa hangat kepada pasien untuk mengurangi nyeri

dengan menggunakan cairan yang berfungsi untuk melebarkan pembuluh

darah dan meningkatkan aliran darah lokal.

2. Tujuan

Menurut Gabriel (1998) dalam Fauziyah (2013), tujuan dari


kompres air hangat adalah sebagai berikut :

a. Melebarkan pembuluh darah dan memperbaiki peredaran daerah


di dalam jaringan tersebut.
b. Pada otot, panas memiliki efek menurunkan ketegangan.

c. Meningkatkan sel darah putih secara total dan fenomena reaksi

peradangan serta adanya dilatasi pembuluh darah yang

mengakibatkan peningkatan sirkulasi darah serta peningkatan

tekanan kapiler. Tekanan O2 dan CO2 di dalam darah akan

meningkat sedangkan pH darah akan mengalami penurunan

3. Persiapan Alat

Menurut Kusyati (2006:210) persiapan alat yang dibutuhkan dalam

melakukan kompres hangat sebagai berikut : Baki berisi :

a. Baskom kecil berisi air biasa/air es.

b. Pengalas (perlak kecil dan alas).

c. Beberapa buah waslap/kain kassa dengan ukuran tertentu.

4. Prosedur Pelaksanaan

Menurut Triyanto (2007:129) pasien yang mengalami phlebitis dinilai


skala phlebitis dengan metode baxter scale. Selanjutnya diberikan tindakan
kompres hangat (350 C) selama 15 menit. Setelah perlakuan selesai, maka
berikutnya mengukur skala phlebitis dengan menggunakan Baxter Scale. Data
sebelum dan sesudah perlakuan dilakukan pengolahan data dengan uji t (paired t
test) menggunakan tingkat kemaknaan = 0,05. Penggunaan uji ini dengan
pertimbangan data yang terkumpul adalah berskala interval, data tersebut
terdistribusi normal, dan memiliki variansi yang sama.

5. Manfaat
Pemberian kompres air hangat dapat membantu vasodilatasi pembuluh

darah dengan meningkatkan sirkulasi darah pada pembuluh darah yang

mengalami phlebitis, sehingga selain mengurangi nyeri juga dapat mempercepat

proses penyembuhan luka phlebitis (Nurjanah, 2011). Penelitian ini mendukung

hasil penelitian Griffiths et al (2001) dalam Nurjanah (2011) yang menyatakan

bahwa penggunaan air dalam perawatan luka dapat membantu proses

penyembuhan luka. Dalam penelitiannya terbukti bahwa air dapat membantu

proses epitelisasi jaringan sehingga mempercepat proses penyembuhan luka

tanpa menimbulkan dampak negatif pada pasien yang mengalami luka.

5. Evaluasi

Menurut Hutahean (2010) dalam Dewi (2013:20) definisi evaluasi adalah tahap

akhir dalam proses keperawatan dan merupakan tindakan intelektual untuk

melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh dignosa

keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai.

Evaluasi dilakukan dengan pendekatan pada SOAP, yaitu S adalah data

subyektif yaitu data yang diutarakan pasien dan pandangannya terhadap data

tersebut (jika pasien afasia, penulisan datanya adalah 0/X), kemudian O adalah

obyektif yaitu data yang didapat dari hasil observasi perawat, termasuk tanda

tanda klinik dan fakta yang berhubungan dengan penyakit pasien (meliputi data

fisiologi dan informasi dari pemeriksaan tenaga kesehatan), A adalah analisa

yaitu analisa ataupun kesimpulan dari data subyektif dan objektif, P adalah

perencanaan yaitu pengembangan rencana segera atau yang akan datang untuk
mencapai status kesehatan pasien yang optimal. Tipe pernyataan tahapan

evaluasi dapat dilakukan secara formatif dan sumatif. Evaluasi formatif adalah

evaluasi yang dilakukan selama proses asuhan keperawatan, sedangkan evaluasi

sumatif adala evaluasi akhir. Pernyataan evaluasi formatif adalah hasil observasi

dan analisa perawar terhadap respon pasien segera pada saat / setelah dilakukan

tindakan keperawatan dan ditulis pada catatan keperawatan.Pernyataan evaluasi

sumatif adalah rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status

kesehatan sesuai waktu pada tujuan dan ditulis pada catatan perkembangan

(Dermawan, 2012:131).
19

Anda mungkin juga menyukai