Anda di halaman 1dari 3

Dakwah Umat Islam Indonesia

pada Masa Kemerdekaan dan Demokrasi Liberal


oleh Muhammad Asep Yudistira, 1606892762

Dakwah artinya mengajak atau menyerukan orang untuk mentaati ajaran Islam dengan
berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dakwah ini merupakan kewajiban bagi setiap
muslim, sebagaimana dijelaskan dalam surat ke-16 (An Nahl), ayat ke-125 di atas, yang artinya:
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk (QS.16:125).
Seperti yang dikatakan dalam firman Allah di atas, dakwah diwajibkan bagi seluruh
umat Islam, supaya ajaran Islam dapat disebarluaskan dan membuat masyarakat luas dapat
mendapatkan kebahagiaan ukhrawi sempurna. Maka dari itu, seluruh pendakwah harus benar-
benar berusaha dan optimis dalam berdakwah, seperti yang dilakukan pejuang-pejuang Islam
pada awal masa kemerdekaan dan demokrasi liberal yang akan diceritakan dalam esai ini.
Pada zaman penjajahan, betapapun ada perbedaan antara kaum tradisional dengan
modernis dalam masalah fiqih, namun sikap mereka terhadap kolonialisme Belanda sama.
Hal ini terbukti setelah proklamasi kemerdekaan 1945, mereka bahu-membahu berjihad
mempertahankan kemerdekaan. Tokoh dan pendiri NU, KH. Hasyim Asyari, bahkan
mengeluarkan fatwa yang menyatakan wajib hukumnya memerangi Belanda, dan kalau mati
termasuk syahid. Sementara itu, Sudirman, salah seorang anggota Muhammadiyah dan
mantan komandan tentara Pembela Tanah Air (PETA) Jawa Tengah diangkat menjadi
panglima angkatan bersenjata Indonesia.
Pada awalnya, Kerajaan Jepang berjanji akan membantu Indonesia bebas dari
penjajahan Belanda. Akan tetapi, mereka lalu mengeksploitasi Indonesia untuk kepentingan
mereka terutama dalam Perang Dunia II, lalu usai kekalahan mereka, mereka membentuk
Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan) dan Dokuritsu
Zyunbi Inkai (Panitia Persiapan Kemerdekaan) sebagai wadah persiapan kemerdekaan
Indonesia.
Badan itu menghasilkan Konstitusi (UUD) yang di dalamnya ada peraturan tentang
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Peraturan ini disepakati tanggal 22 Juni 1945 dan dikenal dengan Piagam Jakarta. Akan
tetapi, sayangnya peraturan tersebut dihapus dan diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa
pada tanggal 18 Agustus 1945 atas desakan dan tekanan kaum Nasrani.
Hal ini menyebabkan kedudukan golongan Islam merosot dan dianggap tidak bisa
mewakili jumlah keseluruhan umat Islam yang notabene merupakan mayoritas. Misalnya
saja, dalam KNIP (Komisi Nasional Indonesia Pusat), dari 137 anggotanya, hanya 20 yang
merupakan Muslim, dan dalam kabinet, hanya ada dua menteri yang merupakan Muslim,
padahal populasi Muslim di Indonesia mencapai lebih dari 90 persen.
Dalam usaha untuk menyelesaikan perdebatan ideologi ini, diambillah beberapa
keputusan, salah satunya yaitu pembentukan Kementerian Agama untuk mengurus secara
spesifik masalah keagamaan di Indonesia.
Sesuai dengan surat kedua (Al Baqarah) ayat ke-30:

Arti ayat di atas adalah:


Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui". (QS.2:30).
Ini menunjukkan bahwa manusia-manusia Muslim ditakdirkan untuk memimpin dan
mengelola, dan itulah yang mulai dilakukan oleh kaum Muslim sejak periode ini. Setelah
Wakil Presiden mengeluarkan sebuah maklumat yang memperbolehkan pendirian partai
politik, di sinilah awal keterlibatan kaum muslimin dalam mengelola pemerintahan Indonesia
merdeka.

Maklumat Wakil Presiden tersebut membuat terbentuknya partai politik Masyumi


(Majelis Syuro Muslimin Indonesia) pada bulan November 1945. Tokoh-tokoh Masyumi
pada revolusi fisik telah turut dalam pemerintahan seperti M. Natsir yang menjabat Menteri
Penerangan dan Moh. Roem yang terlibat perundingan dengan Belanda (yang terkenal
dengan perundingan Roem-Rojen). Ideologi dasar yang dipegang Masyumi, ideologi Islam,
bahkan sempat dipertimbangkan untuk menjadi dasar negara Indonesia dan menguatkan
pengaruh Muslim di negara Indonesia.
Pada kurun waktu ini, umat Islam begitu kompak, buktinya adalah dengan
ditandatanganinya Kongres Umat Islam Indonesia pada tanggal 7-8 November di Yogyakarta.
Selain itu, dalam menghadapi pasukan Belanda yang kembali setelah diboncengi NICA, para
kiai dan tokoh Islam mengeluarkan fatwa bahwa mempertahankan kemerdekaan merupakan
fardhu ain, sehingga muncullah barisan Sabilillah dan Hizbullah.
M. Natsir berperan penting dalam mengembalikan bentuk negara Republik Indonesia
Serikat (RIS) menjadi negara kesatuan dengan mosi integralnya. Peran itulah yang kemudian
menjadi sebab dipercayanya M. Natsir oleh Presiden Sukarno untuk menjadi Perdana Menteri
dan membentuk kabinet pada tahun 1950; kabinet pertama yang dipercayakan kepada tokoh
dari partai politik Islam. Peran Kabinet Natsir (1950-1951) yang penting adalah menjadikan
Indonesia sebagai anggota PBB yang ke-60. Di samping itu, Natsir mencoba mengupayakan
jalan damai dalam kasus Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo.
Setelah jatuhnya kabinet Natsir akibat mosi Hadikusumo, dibentuklah kabinet
Sukiman (1951-1952), dokter medis, juga merupakan tokoh partai Masyumi. Sukiman
berhasil mengupayakan jalan damai dalam kasus Darul Islam.
Kabinet berikutnya yang dipimpin tokoh Masyumi adalah Burhanudin Harahap
(1955-1956). Burhanudin berhenti menjadi Perdana Menteri bukan karena mendapatkan mosi
tidak percaya dari anggota parlemen ataupun karena kesalahan dalam keputusan politik,
tetapi justru karena sukses menjalankan program utama kabinet yaitu Pemilihan Umum 1955,
yang dinilai paling berkualitas sepanjang abad ke 20. Dalam pemilu pertama itu, partai-partai
politik Islam menguasai lebih dari 40% kursi parlemen.
Pada masa ini pula muncul Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di
Sumatra Barat, yang dikenal umum sebagai pemberontakan dan sering dikaitkan dengan
Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara. Sebenarnya PRRI adalah sebuah
gerakan yang timbul karena kekecewaan sejumlah tokoh politik terhadap presiden Sukarno
yang semakin menunjukkan kediktatorannya. Sejumlah tokoh partai Masyumi terlibat dalam
kasus tersebut seperti M. Natsir dan Syafrudin Prawiranegara. Pemberontakan PRRI
akhirnya ditumpas Sukarno dan tokoh-tokohnya dipenjarakan.
Pada masa yang bersamaan, tahun 1956-1957, gerakan Darul Islam mencapai puncak
kekuatannya. Hampir sebagian besar wilayah Indonesia berada di dalam pengaruh gerakan
tersebut. Dapat dikatakan kalau siang Indonesia dipimpin Sukarno, sementara di malam hari
Indonesia di pimpin Kartosuwiryo. Berbeda dengan Darul Islam, pemberontakan yang
dilakukan sebagian tokoh Masyumi dalam kasus PRRI walaupun menggunakan kekerasan
namun dimaksudkan untuk melunakkan pemberontakan petinggi militer di daerah terhadap
pemerintah pusat. Pada akhirnya, Sukarno berhasil menumpas gerakan Darul Islam dengan
menangkap Kartosuwiryo dan menjatuhkan hukuman mati terhadapnya.
Pada masa ini, Masyumi masih menjadi koalisi dalam kabinet bertahan yaitu Kabinet
Ali Sostroamidjojo II, namun keluar karena tidak setuju dengan beberapa kebijakannya.
Kemudian Presiden mengambil alih dan mengeluarkan Dekrit Presiden pada tahun 1959 yang
memberlakukan kembali UUD 1945 dan membubarkan konstituante. Ini menyebabkan usaha
partai Islam untuk menegakkan Islam sebagai ideologi negara menemui jalan buntu. Ini yang
mengakhiri era demokrasi liberal, yang berarti dakwah Muslim di era ini di Indonesia pun
juga berakhir tragis.
Meskipun demikian, dakwah umat Islam akan terus berlanjut nantinya, dan
diharapkan untuk terus berlanjut selamanya.

Referensi
1. www.academia.edu
2. www.kemenag.go.id
3. Kaelany. 2010. Islam Agama Universal. Jakarta: Rahma Press.

Anda mungkin juga menyukai