Anda di halaman 1dari 13

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sel normal merupakan mikrokosmos yang berdenyut tanpa henti, secara tetap mengubah
stuktur dan fungsinya untuk memberi reaksi terhadap tantangan dan tekanan yang selalu
berubah. Bila tekanan atau rangsangan terlalu berat, struktur dan fungsi sel cenderung bertahan
dalam jangkauan yang relatif sempit.
Penyesuaian sel mencapai perubahan yang menetap, mempertahankan kesehatan sel meskipun
tekanan berlanjut. Tetapi bila batas kemampuan adaptasi tersebut melampaui batas maka akan
terjadi jejas sel atau cedera sel bahkan kematian sel. Dalam bereaksi terhadap tekanan yang berat
maka sel akan menyesuaikan diri, kemudian terjadi jejas sel atau cedera sel yang akan dapat
pulih kembali dan jika tidak dapat pulih kembali sel tersebut akan mengalami kematian sel.
Dalam makalah ini akan membahas tentang mekanisme jejas, adaptasi dan kematian sel.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian jejas sel ?
2. Apa penyebab jejas sel ?
3. Bagaimana proses adaptasi pada sel ?
4. Bagaimana proses terjadinya kematian pada sel ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian jejas sel.
2. Mengetahui penyebab jejas sel.
3. Menjelaskan proses adaptasi pada sel.
4. Menjelaskan proses terjadinya kematian pada sel.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Jejas Sel


Jejas sel (cedera sel) terjadi apabila suatu sel tidak lagi dapat beradaptasi terhadap rangsangan.
Hal ini dapat terjadi bila rangsangan tersebut terlalu lama atau terlalu berat. Sel dapat pulih dari
cedera atau mati bergantung pada sel tersebut dan besar serta jenis cedera. Apabila suatu sel
mengalami cedera, maka sel tersebut dapat mengalami perubahan dalam ukuran, bentuk, sintesis
protein, susunan genetik, dan sifat transportasinya.
Berdasarkan tingkat kerusakannya, cedera atau jejas sel dikelompokkan menjadi 2 kategori
utama yaitu jejas reversible (degenerasi sel) dan jejas irreversible (kematian sel). Jejas reversible
adalah suatu keadaan ketika sel dapat kembali ke fungsi dan morfologi semula jika rangsangan
perusak ditiadakan. Sedangkan jejas irreversible adalah suatu keadaan saat kerusakan
berlangsung secara terus-menerus, sehingga sel tidak dapat kembali ke keadaan semula dan sel
itu akan mati. Cedera menyebabkan hilangnya pengaturan volume pada bagian-bagian sel.

B. Penyebab Jejas Sel


Penyebab terjadinya jejas sel (cedera sel) :
1. Hipoksia (pengurangan oksigen) terjadi sebagai akibat dari :
a. Iskemia (kehilangan pasokan darah)
Dapat terjadi bila aliran arteri atau aliran vena dihalangi oleh penyakit vaskuler atau bekuan
didalam lumen.
b. Oksigenisasi tidak mencukupi karena kegagalan kardiorespirasi. Misalnya pneumonia.
c. Hilangnya kapasitas pembawa oksigen darah misalnya anemia, keracunan karbon
monooksida.
Tergantung pada derajat keparahan hipoksi, sel-sel dapat menyesuaikan, terkena jejas atau
mati. Sebagai contoh, bila arteri femoralis menyempit, sel-sel otot skelet tungkai akan mengisut
ukurannya (atrofi). Penyusutan massa sel ini mencapai keseimbangan antara kebutuhan
metabolik dan perbekalan oksigen yang tersedia. Hipoksi yang lebih berat tentunya akan
menyebabkan jejas atau kematian sel.
2. Faktor fisik
a. Trauma
Trauma mekanik dapat menyebabkan sedikit pergeseran tapi nyata, pada organisasi organel
intrasel atau pada keadaa lain yang ekstrem, dapat merusak sel secara keseluruhan.
b. Suhu rendah
Suhu rendah mengakibatkan vasokontriksi dan mengacaukan perbekalan darah untuk sel. Jejas
pada pengaturan vasomotor dapat disertai vasodilatasi, bendungan aliran darah dan kadang-
kadang pembekuan intravaskular. Bila suhu menjadi cukup rendah aliran intrasel akan
mengalami kristalisasi.
c. Suhu Tinggi
Suhu tinggi yag merusak dapat membakar jaringan, tetapi jauh sebelum titik bakar ini dicapai,
suhu yang meningkat berakibat jejas dengan akibat hipermetabolisme. Hipermetabolisme
menyebabkan penimbunan asam metabolit yang merendahkan pH sel sehingga mencapai tingkat
bahaya.
d. Radiasi
Kontak dengan radiasi secara fantastis dapat menyebabkan jejas, baik akibat ionisasi langsung
senyawa kimia yang dikandung dalam sel maupun karena ionisasi air sel yang menghasilkan
radikal panas bebas yang secara sekunder bereaksi dengan komponen intrasel. Tenaga radiasi
juga menyebabkan berbagai mutasi yang dapat menjejas atau membunuh sel.
e. Tenaga Listrik
Tenaga listrik memancarkan panas bila melewati tubuh dan oleh karena itu dapat menyebabkan
luka bakar dan dapat mengganggu jalur konduksi saraf dan berakibat kematian karena aritmi
jantung.
3. Bahan kimia dan obat-obatan
Banyak bahan kimia dan obat-obatan yang berdampak terjadinya perubahan pada beberapa
fungsi vital sel, seperti permeabilitas selaput, homeostasis osmosa atau keutuhan enzim dan
kofaktor. Masing-masing agen biasanya memiliki sasaran khusus dalam tubuh, mengenai
beberapa sel dan tidak menyerang sel lainnya. Misalnya barbiturat menyebabkan perubahan pada
sel hati, karena sel-sel ini yang terlibat dalam degradasi obat tersebut. Atau bila merkuri klorida
tertelan, diserap dari lambung dan dikeluarkan melalui ginjal dan usus besar. Jadi dapat
menimbulkan dampak utama pada alat-alat tubuh ini. Bahan kimia dan obat-obatan lain yang
dapat menyebabkan jejas sel :
a. Obat terapeotik misalnya, asetaminofen (Tylenol).
b. Bahan bukan obat misalnya, timbale dan alkohol.
4. Bahan penginfeksi atau mikroorganisme
Mikroorganisme yang menginfeksi manusia mencakup berbagai virus, ricketsia, bakteri, jamur
dan parasit. Sebagian dari organisme ini menginfeksi manusia melalui akses langsung misalnya
inhalasi, sedangkan yang lain menginfeksi melalui transmisi oleh vektor perantara, misalnya
melalui sengatan atau gigitan serangga. Sel tubuh dapat mengalami kerusakan secara langsung
oleh mikroorganisme, melalui toksis yang dikeluarkannya, atau secara tidak langsung akibat
reaksi imun dan perandangan yang muncul sebagai respon terhadap mikroorganisme.
5. Reaksi imunologik, antigen penyulut dapat eksogen maupun endogen. Antigen endogen
(misal antigen sel) menyebabkan penyakit autoimun.
6. Kekacauan genetik misalnya mutasi dapat menyebabkan mengurangi suatu enzim
kelangsungan.
7. Ketidakseimbangan nutrisi, antara lain :
a. Defisiensi protein-kalori.
b. Avitaminosis.
c. Aterosklerosis, dan obesitas.
8. Penuaan.

C. Proses Adaptasi Sel


Adaptasi sel dibagi menjadi beberapa kategori yaitu :
1. Atrofi
Adalah berkurangnya ukuran suatu sel atau jaringan. Atrofi dapat terjadi akibat sel atau
jaringan tidak digunakan misalnya, otot individu yang mengalami imobilisasi atau pada keadaan
tanpa berat (gravitasi 0). Atrofi juga dapat timbul sebagai akibat penurunan rangsang hormon
atau saraf terhadap sel atau jaringan.

2. Hipertrofi
Adalah bertambahnya ukuran suatu sel atau jaringan. Hipertrofi merupakan suatu respon
adaptif yang terjadi apabila terdapat peningkatan beban kerja suatu sel. Terdapat 3 jenis utama
hipertrofi yaitu :
a. Hipertrofi fisiologis terjadi sebagai akibat dari peningkatan beban kerja suatu sel secara
sehat.
b. Hipertrofi patologis terjadi sebagai respons terhadap suatu keadaan sakit
c. Hipertrofi kompensasi terjadi sewaktu sel tumbuh untuk mengambil alih peran sel lain yang
telah mati.
3. Hiperplasia
Adalah peningkatan jumlah sel yang terjadi pada suatu organ akibat peningkatan mitosis.
Hiperplasia dapat terbagi 3 jenis utama yaitu :
a. Hiperplasia fisiologis terjadi setiap bulan pada sel endometrium uterus selama stadium
folikuler pada siklus mentruasi.
b. Hiperplasia patologis dapat terjadi akibat kerangsangan hormon yang berlebihan.
c. hiperplasia kompensasi terjadi ketika sel jaringan bereproduksi untuk mengganti jumlah sel
yang sebelumnya mengalami penurunan.
4. Metaplasia
Adalah berbahan sel dari satu subtipe ke subtipe lainnya. Metaplasia terjadi sebagai respon
terhadap cidera atau iritasi continue yang menghasilkan peradangan kronis pada jaringan.

5. Displasia
Adalah kerusakan pertumbuhan sel yang menyebabkan lahirnya sel yang berbeda ukuran,
bentuk dan penampakannya dibandingkan sel asalnya.Displasia tampak terjadi pada sel yang
terpajan iritasi dan peradangan kronik.

D. Proses Kematian Sel


Akibat jejas yang paling ekstrim adalah kematian sel ( cellular death ). Kematian sel dapat
mengenai seluruh tubuh ( somatic death ) atau kematian umum dan dapat pula setempat, terbatas
mengenai suatu daerah jaringan teratas atau hanya pada sel-sel tertentu saja. Terdapat dua jenis
utama kematian sel, yaitu apoptosis dan nekrosis. Apoptosis (dari bahasa yunani apo = dari dan
ptosis = jatuh) adalah kematian sel terprogram (programmed cell death), yang normal terjadi
dalam perkembangan sel untuk menjaga keseimbangan pada organisme multiseluler. Sel-sel yang
mati adalah sebagai respons dari beragam stimulus dan selama apoptosis kematian sel-sel
tersebut terjadi secara terkontrol dalam suatu regulasi yang teratur.
1. Apoptosis
Adalah suatu proses yang ditandai dengan terjadinya urutan teratur tahap molekular yang
menyebabkan disintegrasi sel. Apoptosis tidak ditandai dengan adanya pembengkakan atau
peradangan, namun sel yang akan mati menyusut dengan sendirinya dan dimakan oleh oleh sel di
sebelahnya. Apoptosis berperan dalam menjaga jumlah sel relatif konstan dan merupakan suatu
mekanisme yang dapat mengeliminasi sel yang tidak diinginkan, sel yang menua, sel berbahaya,
atau sel pembawa transkripsi DNA yang salah.
Kematian sel terprogram dimulai selama embriogenesis dan terus berlanjut sepanjang waktu
hidup organisme. Rangsang yang menimbulkan apoptosis meliputi isyarat hormon, rangsangan
antigen, peptida imun, dan sinyal membran yang mengidentifikasi sel yang menua atau
bermutasi. Virus yang menginfeksi sel akan seringkali menyebabkan apoptosis, yang pada
akhirnya akan menyebabkan kematian virus dan sel pejamu (host). Hal ini merupakan satu cara
yang dikembangkan oleh organisme hidup untuk melawan infeksi virus.
Perubahan morfologi dari sel apoptosis diantaranya sebagai berikut :
a. Sel mengkerut
b. Kondesasi kromatin
c. Pembentukan gelembung dan apoptotic bodies
d. Fagositosis oleh sel di sekitarnya
2. Nekrosis
Adalah kematian sekelompok sel atau jaringan pada lokasi tertentu dalam tubuh. Nekrosis
biasanya disebabkan karena stimulus yang bersifat patologis. Faktor yang sering menyebabkan
kematian sel nekrotik adalah hipoksia berkepanjangan, infeksi yang menghasilkan toksin dan
radikal bebas, dan kerusakan integritas membran sampai pada pecahnya sel. Respon imun dan
peradangan terutama sering dirangsang oleh nekrosis yang menyebabkan cedera lebih lanjut dan
kematian sel sekitar. Nekrosis sel dapat menyebar di seluruh tubuh tanpa menimbulkan kematian
pada individu. Istilah nekrobiosis digunakan untuk kematian yang sifatnya fisiologik dan terjadi
terus-menerus. Nekrobiosis misalnya terjadi pada sel-sel darah dan epidermis. Indikator Nekrosis
diantaranya hilangnya fungsi organ, peradangan disekitar nekrosis, demam, malaise, lekositosis,
peningkatan enzim serum.

Dua proses penting yang menunjukkan perubahan nekrosis yaitu :


a. Disgestif enzimatik sel baik autolisis (dimana enzim berasal dari sel mati) atau
heterolysis(enzim berasal dari leukosit). Sel mati dicerna dan sering meninggalkan cacat jaringan
yang diisi oleh leukosit imigran dan menimbulkan abse.
b. Denaturasi protein, jejas atau asidosis intrasel menyebabkan denaturasi protein struktur dan
protein enzim sehingga menghambat proteolisis sel sehingga untuk sementara morfologi sel
dipertahankan.
Kematian sel menyebabkan kekacauan struktur yang parah dan akhirnya organa sitoplasma
hilang karena dicerna oleh enzym litik intraseluler (autolysis).
3. Akibat Kematian Sel
Kematian sel dapat mengakibatkan gangren. Gangren dapat diartikan sebagai kematian sel
dalam jumlah besar. Gangren dapat diklasifikasikan sebagai kering dan basah. Gangren kering
sering dijumpai diektremitas, umumnya terjadi akibat hipoksia berkepanjangan. Gangren basah
adalah suatu area kematian jaringan yang cepat perluasan, sering ditemukan di organ dalam dan
berkaitan dengan infasi bakteri kedalam jaringan yang mati tersebut. Gangren ini menimbulkan
bau yang kuat dan biasanya disertai oleh manivestasi sistemik. Gangren basah dapat timbul dari
gangren kering. Gangren ren gas adalah jenis gangren khusus yang terjadi sebagai respon
terhadap infeksi jaringan oleh suatu jenis bakteri anaerob yang disebut clostridium. Gangren gas
cepat meluas kejaringan disekitarnya sebagai akibat dikeluarkannya toksin yang mematikan oleh
bakteri yang membunuh sel-sel disekitarnya. Sel-sel otot sangat rentan terhadap toksin ini dan
apabila terkena akan mengeluarkan gas hidrogen sulfida yang khas. Gangren jenis ini dapat
mematikan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan makalah di atas dapat disimpukan :
1. Jejas sel adalah cedera pad sel karena suatu sel tidak lagi dapat beradaptasi terhadap
rangsangan. Hal ini dapat terjadi bila rangsangan tersebut terlalu lama atau terlalu berat. Sel
dapat pulih dari cedera atau mati bergantung pada sel tersebut dan besar serta jenis cedera.
Apabila suatu sel mengalami cedera, maka sel tersebut dapat mengalami perubahan dalam
ukuran, bentuk, sintesis protein, susunan genetik, dan sifat transportasinya.
2. Penyebab jejas sel antara lain :
a. Hipoksia (pengurangan oksigen)
b. Faktor fisik, termasuk trauma, panas, dingin, radiasi, dan tenaga listrik.
c. Bahan kimia dan obat-obatan
d. Bahan penginfeksi
e. Reaksi imunologik
f. Kekacauan genetik
g. Ketidakseimbangan nutrisi
h. Penuaan.
3. Proses adaptasi sel dapat dikategorikan sebagai berikut :
a. Displasia
b. Metaplasia
c. Hiperplasia
d. Hipertrofi
e. Atrofi
4. Proses kematian sel dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu Nekrosis dan Apoptosis. Akibat dari
kematian sel dalam jumlah besar disebut Gangren.

B. Saran
Hindari hal-hal penyebab yang dapat mengakibatkan jejas sel atau cedera sel agar dapa terhindar
dari kematian sel.

DAFTAR PUSTAKA

Robiins dan Kumar. 1992. Buku Ajar Patologi I. Jakarta : EGC.


Pendahuluan

Manusia sebagai organisme multiseluler dikelilingi oleh lingkungan luar (milieu exterior) dan
sel-selnya pun hidup dalam milieu interior yang berupa darah dan cairan tubuh lainnya. Cairan
dalam tubuh, termasuk darah, meliputi lebih kurang 60% dari total berat badan laki-laki
dewasa. Dalam cairan tubuh terlarut zat-zat makanan dan ion-ion yang diperlukan oleh sel
untuk hidup, berkembang dan menjalankan tugasnya.

Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik sangat dipengaruhi oleh lingkungan di
sekitarnya. Semua pengaturan fisiologis untuk mempertahankan keadaan normal disebut
homeostasis. Homeostasis ini bergantung pada kemampuan tubuh mempertahankan
keseimbangan antara subtansi-subtansi yang ada di milieu interior.

Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan dua parameter penting, yaitu: volume
cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ektrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel
dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel
dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini
dengan mengatur keluaran garam dan urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan
dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.

Ginjal juga turut berperan dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa dengan mengatur
keluaran ion hidrogen dan ion karbonat dalam urine sesuai kebutuhan. Selain ginjal, yang turut
berperan dalam keseimbangan asam-basa adalah paru-paru dengan mengekskresikan ion
hidrogen dan CO2, dan sistem dapar (buffer) kimi dalam cairan tubuh.

Komposisi Cairan Tubuh

Telah disampaikan pada pendahuluan di atas bahwa cairan dalam tubuh meliputi lebih kurang
60% total berat badan laki-laki dewasa. Prosentase cairan tubuh ini bervariasi antara individu,
sesuai dengan jenis kelamin dan umur individu tersebut. Pada wanita dewasa, cairan tubuh
meliputi 50% dari total berat badan. Pada bayi dan anak-anak, prosentase ini relatif lebih besar
dibandingkan orang dewasa dan lansia.

Cairan tubuh menempati kompartmen intrasel dan ekstrasel. 2/3 bagian dari cairan tubuh
berada di dalam sel (cairan intrasel/CIS) dan 1/3 bagian berada di luar sel (cairan
ekstrasel/CES). CES dibagi cairan intravaskuler atau plasma darah yang meliputi 20% CES atau
15% dari total berat badan; dan cairan intersisial yang mencapai 80% CES atau 5% dari total
berat badan. Selain kedua kompatmen tersebut, ada kompartmen lain yang ditempati oleh
cairan tubuh, yaitu cairan transel. Namun volumenya diabaikan karena kecil, yaitu cairan sendi,
cairan otak, cairan perikard, liur pencernaan, dll. Ion Na+ dan Cl- terutama terdapat pada cairan
ektrasel, sedangkan ion K+ di cairan intrasel. Anion protein tidak tampak dalam cairan
intersisial karena jumlahnya paling sedikit dibandingkan dengan intrasel dan plasma.

Perbedaan komposisi cairan tubuh berbagai kompartmen terjadi karena adanya barier yang
memisahkan mereka. Membran sel memisahkan cairan intrasel dengan cairan intersisial,
sedangkan dinding kapiler memisahkan cairan intersisial dengan plasma. Dalam keadaan
normal, terjadi keseimbangan susunan dan volume cairan antar kompartmen. Bila terjadi
perubahan konsentrasi atau tekanan di salah satu kompartmen, maka akan terjadi perpindahan
cairan atau ion antar kompartemen sehingga terjadi keseimbangan kembali.

Perpindahan Substansi Antar Kompartmen

Setiap kompartmen dipisahkan oleh barier atau membran yang membatasi mereka. Setiap zat
yang akan pindah harus dapat menembus barier atau membran tersebut. Bila substansi zat
tersebut dapat melalui membran, maka membran tersebut permeabel terhadap zat tersebut.
Jika tidak dapat menembusnya, maka membran tersebut tidak permeabel untuk substansi
tersebut. Membran disebut semipermeable (permeabel selektif) bila beberapa partikel dapat
melaluinya tetapi partikel lain tidak dapat menembusnya.

Perpindahan substansi melalui membran ada yang secara aktif atau pasif. Transport aktif
membutuhkan energi, sedangkan transport pasif tidak membutuhkan energi.

Difusi

Partikel (ion atau molekul) suatu substansi yang terlarut selalu bergerak dan cenderung
menyebar dari daerah yang konsentrasinya tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah sehingga
konsentrasi substansi partikel tersebut merata. Perpindahan partikel seperti ini disebut difusi.
Beberapa faktor yang mempengaruhi laju difusi ditentukan sesuai dengan hukum Fick (Ficks
law of diffusion). Faktor-faktor tersebut adalah:

1. Peningkatan perbedaan konsentrasi substansi.


2. Peningkatan permeabilitas.

3. Peningkatan luas permukaan difusi.

4. Berat molekul substansi.

5. Jarak yang ditempuh untuk difusi.

Osmosis

Bila suatu substansi larut dalam air, konsentrasi air dalam larutan tersebut lebih rendah
dibandingkan konsentrasi air dalam larutan air murni dengan volume yang sama. Hal ini
karena tempat molekul air telah ditempati oleh molekul substansi tersebut. Jadi bila
konsentrasi zat yang terlarut meningkatkan, konsentrasi air akan menurun.Bila suatu larutan
dipisahkan oleh suatu membran yang semipermeabel dengan larutan yang volumenya sama
namun berbeda konsentrasi zat terlarut, maka terjadi perpindahan air/zat pelarut dari larutan
dengan konsentrasi zat terlarut lebih tinggi. Perpindahan seperti ini disebut dengan osmosis.

Filtrasi

Filtrasi terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara dua ruang yang dibatasi oleh
membran. Cairan akan keluar dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah.
Jumlah cairan yang keluar sebanding dengan besar perbedaan tekanan, luas permukaan
membran dan permeabilitas membran. Tekanan yang mempengaruhi filtrasi ini disebut
tekanan hidrostatik.

Transport aktif

Transport aktif diperlukan untuk mengembalikan partikel yang telah berdifusi secara pasif dari
daerah yang konsentrasinya rendah ke daerah yang konsentrasinya lebih tinggi. Perpindahan
seperti ini membutuhkan energi (ATP) untuk melawan perbedaan konsentrasi. Contoh: Pompa
Na-K.

Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan dua parameter penting, yaitu volume
cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel
dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel
dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini
dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urine sesuai kebutuhan untuk
mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.

1. Pengaturan volume cairan ekstrasel.

Penurunan volume cairan ekstrasel menyebabkan penurunan tekanan darah arteri dengan
menurunkan volume plasma. Sebaliknya, peningkatan volume cairan ekstrasel dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri dengan memperbanyak volume plasma.
Pengontrolan volume cairan ekstrasel penting untuk pengaturan tekanan darah jangka panjang.

Mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran (intake dan output) air. Untuk
mempertahankan volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka harus ada
keseimbangan antara air yang ke luar dan yang masuk ke dalam tubuh. hal ini terjadi
karena adanya pertukaran cairan antar kompartmen dan antara tubuh dengan
lingkungan luarnya. Water turnover dibagi dalam: 1. eksternal fluid exchange,
pertukaran antara tubuh dengan lingkungan luar; dan 2. Internal fluid exchange,
pertukaran cairan antar pelbagai kompartmen, seperti proses filtrasi dan reabsorpsi di
kapiler ginjal.
Memeperhatikan keseimbangan garam. Seperti halnya keseimbangan air, keseimbangan
garam juga perlu dipertahankan sehingga asupan garam sama dengan keluarannya.
Permasalahannya adalah seseorang hampir tidak pernah memeprthatikan jumlah garam
yang ia konsumsi sehingga sesuai dengan kebutuhannya. Tetapi, seseorang
mengkonsumsi garam sesuai dengan seleranya dan cenderung lebih dari kebutuhan.
Kelebihan garam yang dikonsumsi harus diekskresikan dalam urine untuk
mempertahankan keseimbangan garam.

ginjal mengontrol jumlah garam yang dieksresi dengan cara:

1. mengontrol jumlah garam (natrium) yang difiltrasi dengan pengaturan Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG)/ Glomerulus Filtration Rate (GFR).
2. mengontrol jumlah yang direabsorbsi di tubulus ginjal

Jumlah Na+ yang direasorbsi juga bergantung pada sistem yang berperan mengontrol tekanan
darah. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron mengatur reabsorbsi Na + dan retensi Na+ di
tubulus distal dan collecting. Retensi Na+ meningkatkan retensi air sehingga meningkatkan
volume plasma dan menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri.Selain sistem Renin-
Angiotensin-Aldosteron, Atrial Natriuretic Peptide (ANP) atau hormon atriopeptin
menurunkan reabsorbsi natrium dan air. Hormon ini disekresi leh sel atrium jantung jika
mengalami distensi peningkatan volume plasma. Penurunan reabsorbsi natrium dan air di
tubulus ginjal meningkatkan eksresi urine sehingga mengembalikan volume darah kembali
normal.

2. Pengaturan Osmolaritas cairan ekstrasel.

Osmolaritas cairan adalah ukuran konsentrasi partikel solut (zat terlarut) dalam suatu larutan.
semakin tinggi osmolaritas, semakin tinggi konsentrasi solute atau semakin rendah konsentrasi
solutnya lebih rendah (konsentrasi air lebih tinggi) ke area yang konsentrasi solutnya lebih
tinggi (konsentrasi air lebih rendah).

Osmosis hanya terjadi jika terjadi perbedaan konsentrasi solut yang tidak dapat menmbus
membran plasma di intrasel dan ekstrasel. Ion natrium menrupakan solut yang banyak
ditemukan di cairan ekstrasel, dan ion utama yang berperan penting dalam menentukan
aktivitas osmotik cairan ekstrasel. sedangkan di dalam cairan intrasel, ion kalium bertanggung
jawab dalam menentukan aktivitas osmotik cairan intrasel. Distribusi yang tidak merata dari
ion natrium dan kalium ini menyebabkan perubahan kadar kedua ion ini bertanggung jawab
dalam menetukan aktivitas osmotik di kedua kompartmen ini.

pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel oleh tubuh dilakukan dilakukan melalui:

Perubahan osmolaritas di nefron

Di sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan osmolaritas yang pada
akhirnya akan membentuk urine yang sesuai dengan keadaan cairan tubuh secara keseluruhan
di dukstus koligen. Glomerulus menghasilkan cairan yang isosmotik di tubulus proksimal (300
mOsm). Dinding tubulus ansa Henle pars decending sangat permeable terhadap air, sehingga di
bagian ini terjadi reabsorbsi cairan ke kapiler peritubular atau vasa recta. Hal ini menyebabkan
cairan di dalam lumen tubulus menjadi hiperosmotik.

Dinding tubulus ansa henle pars acenden tidak permeable terhadap air dan secara aktif
memindahkan NaCl keluar tubulus. Hal ini menyebabkan reabsobsi garam tanpa osmosis air.
Sehingga cairan yang sampai ke tubulus distal dan duktus koligen menjadi hipoosmotik.
Permeabilitas dinding tubulus distal dan duktus koligen bervariasi bergantung pada ada
tidaknya vasopresin (ADH). Sehingga urine yang dibentuk di duktus koligen dan akhirnya di
keluarkan ke pelvis ginjal dan ureter juga bergantung pada ada tidaknya vasopresis (ADH).

Mekanisme haus dan peranan vasopresin (antidiuretic hormone/ADH)

peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (>280 mOsm) akan merangsang osmoreseptor di


hypotalamus. Rangsangan ini akan dihantarkan ke neuron hypotalamus yang mensintesis
vasopresin. Vasopresin akan dilepaskan oleh hipofisis posterior ke dalam darah dan akan
berikatan dengan reseptornya di duktus koligen. ikatan vasopresin dengan reseptornya di
duktus koligen memicu terbentuknya aquaporin, yaitu kanal air di membrane bagian apeks
duktus koligen. Pembentukkan aquaporin ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi cairan ke
vasa recta. Hal ini menyebabkan urine yang terbentuk di duktus koligen menjadi sedikit dan
hiperosmotik atau pekat, sehingga cairan di dalam tubuh tetap dipertahankan.

selain itu, rangsangan pada osmoreseptor di hypotalamus akibat peningkatan osmolaritas


cairan ekstrasel juga akan dihantarkan ke pusat haus di hypotalamus sehingga terbentuk
perilaku untuk membatasi haus, dan cairan di dalam tubuh kembali normal.

Pengaturan Neuroendokrin dalam Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

Sebagai kesimpulan, pengaturan keseimbangan keseimbangan cairan dan elektrolit diperankan


oleh system saraf dan sistem endokrin. Sistem saraf mendapat informasi adanya perubahan
keseimbangan cairan dan elektrolit melalui baroreseptor di arkus aorta dan sinus karotikus,
osmoreseptor di hypotalamus, dan volume reseptor atau reseptor regang di atrium. Sedangkan
dalam sistem endokrin, hormon-hormon yang berperan saat tubuh mengalami kekurangan
cairan adalah Angiotensin II, Aldosteron, dan Vasopresin/ADH dengan meningkatkan
reabsorbsi natrium dan air. Sementara, jika terjadi peningkatan volume cairan tubuh, maka
hormone atriopeptin (ANP) akan meningkatkan eksresi volume natrium dan air.

perubahan volume dan osmolaritas cairan dapat terjadi pada beberapa keadaan.Faktor lain
yang mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit di antaranya ialah umur, suhu
lingkungan, diet, stres, dan penyakit.

Keseimbangan Asam-Basa

Keseimbangan asam-basa terkait dengan pengaturan konsentrasi ion H bebas dalam cairan
tubuh. pH rata-rata darah adalah 7,4; pH darah arteri 7,45 dan darah vena 7,35. Jika pH <7,35
dikatakan asidosi, dan jika pH darah >7,45 dikatakan alkalosis. Ion H terutama diperoleh dari
aktivitas metabolik dalam tubuh. Ion H secara normal dan kontinyu akan ditambahkan ke
cairan tubuh dari 3 sumber, yaitu:

1. pembentukkan asam karbonat dan sebagian akan berdisosiasi menjadi ion H dan
bikarbonat.
2. katabolisme zat organik

3. disosiasi asam organik pada metabolisme intermedia, misalnya pada metabolisme


lemak terbentuk asam lemak dan asam laktat, sebagian asam ini akan berdisosiasi
melepaskan ion H.

Fluktuasi konsentrasi ion H dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi normal sel, antara lain:

1. perubahan eksitabilitas saraf dan otot; pada asidosis terjadi depresi susunan saraf pusat,
sebaliknya pada alkalosis terjadi hipereksitabilitas.
2. mempengaruhi enzim-enzim dalam tubuh

3. mempengaruhi konsentrasi ion K

bila terjadi perubahan konsentrasi ion H maka tubuh berusaha mempertahankan ion H seperti
nilai semula dengan cara:

1. mengaktifkan sistem dapar kimia


2. mekanisme pengontrolan pH oleh sistem pernafasan

3. mekasnisme pengontrolan pH oleh sistem perkemihan

Ada 4 sistem dapar:

1. Dapar bikarbonat; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel terutama untuk


perubahan yang disebabkan oleh non-bikarbonat
2. Dapar protein; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel dan intrasel

3. Dapar hemoglobin; merupakan sistem dapar di dalam eritrosit untuk perubahan asam
karbonat

4. Dapar fosfat; merupakan sistem dapar di sistem perkemihan dan cairan intrasel.

sistem dapat kimia hanya mengatasi ketidakseimbangan asam-basa sementara. Jika dengan
dapar kimia tidak cukup memperbaiki ketidakseimbangan, maka pengontrolan pH akan
dilanjutkan oleh paru-paru yang berespon secara cepat terhadap perubahan kadar ion H dalam
darah akinat rangsangan pada kemoreseptor dan pusat pernafasan, kemudian
mempertahankan kadarnya sampai ginjal menghilangkan ketidakseimbangan tersebut. Ginjal
mampu meregulasi ketidakseimbangan ion H secara lambat dengan menskresikan ion H dan
menambahkan bikarbonat baru ke dalam darah karena memiliki dapar fosfat dan amonia.

Ketidakseimbangan Asam-Basa

Ada 4 kategori ketidakseimbangan asam-basa, yaitu:

1. Asidosis respiratori, disebabkan oleh retensi CO2 akibat hipoventilasi. Pembentukkan


H2CO3 meningkat, dan disosiasi asam ini akan meningkatkan konsentrasi ion H.
2. Alkalosis metabolik, disebabkan oleh kehilangan CO2 yang berlebihan akibat
hiperventilasi. Pembentukan H2CO3 menurun sehingga pembentukkan ion H menurun.

3. Asidosis metabolik, asidosis yang bukan disebabkan oleh gangguan ventilasi paru, diare
akut, diabetes melitus, olahraga yang terlalu berat dan asidosis uremia akibat gagal
ginjal akan menyebabkan penurunan kadar bikarbonat sehingga kadar ion H bebas
meningkat.

4. Alkalosis metabolik., terjadi penurunan kadar ion H dalam plasma karena defiensi asam
non-karbonat. Akibatnya konsentrasi bikarbonat meningkat. Hal ini terjadi karena
kehilangan ion H karena muntah-muntah dan minum obat-obat alkalis. Hilangnyaion H
akan menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk menetralisir bikarbonat, sehingga
kadar bikarbonat plasma meningkat.

untuk mengkompensasi gangguan keseimbangan asam-basa tersebut, fungsi pernapasan dan


ginjal sangat penting.

KESIMPULAN

Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan 2 parameter penting, yaitu: volume


cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel
dengan mempertahankan keseimbangan garan dan mengontrol osmolaritas ekstrasel dengan
mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan
mengatur keluaran garam dan air dalam urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi
asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut. Ginjal juga turut berperan dalam
mempertahankan keseimbangan asam-basa dengan mengatur keluaran ion hidrogen dan ion
bikarbonat dalam urine sesuai kebutuhan. Selain ginjal, yang turut berperan dalam
keseimbangan asam-basa adalah paru-paru dengan mengeksresikan ion hidrogen dan CO 2 dan
sistem dapar (buffer) kimia dalam cairan tubuh.

Daftar Pustaka

Sherwood, Lauralee. (2004). Human Physiology: From cells to system. 5th ed. California:
Brooks/Cole-Thomson Learning, Inc.
Silverthorn, D.U. (2004). Human Physiology: An Integrated approach. 3th ed. San
Fransisco: Pearson Education.

*disampaikan pada "Pelatihan Perawat Ginjal Intensif" di RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo 14


Juni-13 September 2005

#
staf Pengajar Bagian Dasar Keperawatan & Keperawatan Dasar FIK-UI

Komentar
Anda tidak memiliki izin untuk menambahkan komentar.

Masuk|Aktivitas Situs Terbaru|Laporkan Penyalahgunaan|Cetak Laman|Diberdayakan oleh


Google Sites

Anda mungkin juga menyukai