Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA KLIEN DENGAN

DIAGNOSA KEPERAWATAN CVA TROMBOTIK

DI RUANG IGD DI RS UNAIR SURABAYA

Disusun Oleh:

SANDRA SETYANINGSIH

P27220014163

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA

JURUSAN KEPERAWATAN

D III KEPERAWATAN

2017
A. Pengertian
Junaidi (2011) menjelaskan bahwa Stroke adalah penyakit fungsional
otak fokal maupun global akut dengan gejala dan tanda sesuai dengan
otak yang terkena, sembuh dengan cacat atau kematian, akibat
gangguan aliran darah ke otak karena perdarahan ataupun non
perdarahan. Lebih lanjut pengertian stroke menurut (Brashers, 2008)
adalah sebagai berikut stroke dapat diidentifikasi sebagai gangguan
neurologis fokal yang terjadi mendadak akibat proses patologis dalam
pembuluh darah.
Menurut Corwin (2009), Stroke non hemoragik adalah terjadinya
penyumbatan arteri akibat thrombus (bekuan darah di arteri serebri) atau
embolus (bekuan darah yang berjalan ke otak dari tempat lain di tubuh).
Sedangkan menurut Batticaca (2008) Stroke iskemik atau stroke non
hemoragik adalah infark atau kematian jaringan yang serangannya terjadi
pada usia 20-60 tahun dan biasanya timbul setelah beraktifitas fisik atau
karena psikologis (mental) yang disebabkan karena thrombosis maupun
emboli pada pembuluh darah di otak.

B. Klasifikasi
Menurut Muttaqin (2008), klasifikasi stroke dibagi menjadi dua, yaitu
berdasarkan patologi dari serangan dan perjalanan penyakit atau
stadiumnya. Berikut ini klasifikasi stroke dapat dibedakan menurut
patologi dari serangan stroke:
1. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik merupakan perdarahan serebral dan mungkin
perdarahan subaraknoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah
otak pada area otak tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukan
aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat.
Kesadaran klien umumnya menurun. Perdarahan otak dibagi 2, yaitu:
a. Perdarahan Intra Serebri (PIS)
Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama terjadi
karena hipertensi mengakibatkan darah masuk kedalam jaringan
otak, membentuk masa yang menekan jaringan otak dan
menimbulkan edema otak. Peningkatan TIK yang terjadi cepat,
dapat mengakibatkan kematian mendadak karena herniasi otak.
Perdarahan intraserebral yang disebabkan karena hipertensi
sering dijumpai di daerah putamen, thalamus, pons dan
serebelum.
b. Perdarahan Subaraknoid (PSA)
Pecahnya arteri dan keluarnya ke ruang subarachnoid
mengakibatkan terjadinya peningkatan TIK yang mendadak,
meregangkan struktur peka nyeri, sehingga timbul nyeri kepala
hebat. Sering pula dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda
rangsangan selaput otak lainnya. Peningkatan TIK mendadak juga
mengakibatkan perdarahan subhialoid pada retina dan penurunan
kesadaran. Perdarahan subakhnoid dapat mengakibatkan
vasopasme pembuluh darah serebri. Vasospasme ini dapat
mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan
kesadaran) maupun local (hemiparese, gangguan hemisensorik,
afasia, dan lainnya).
2. Stroke Non Hemoragi
Stroke Non Hemoragik merupakan cedera otak yang berkaitan
dengan obstruksi aliran darah ke otak, dapat berupa emboli dan
thrombosis serebri, biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat,
baru bangun tidur, atau di pagi hari. Pada stroke non hemoragik tidak
ditemukan adanya perdarahan namun terjadi iskemia yang
menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder
kesadran umumnya baik.
Menurut Ariani (2012) Stroke Non Hemoragik dapat dibagi menjadi
4 kategori yaitu:
a. Serangan Iskemik Sepintas ( Transient Ischemic Attack-TIA)
TIA merupakan tampilan peristiwa berupa episode-episode
serangan sesaat dari suatu disfungsi serebral fokal akibat
gangguan vaskuler, dengan seangan 2-15 menit sampai paling
lama 24 jam.
b. Deficit Neurologis Iskemik Sepintas (Reversible Ischemic
Neurology DefistRIND)
Gejala dan tanda gangguan neurologis yang berlangsung lebih
lama dari 24 jam dan kemudian pulih kembali (dalam jangka waktu
kurang dari tiga minggu).
c. In Evolutional Atau Progressing Stroke
Gejala gangguan neurologis yang progresif dalam waktu 6 jam
lebih.
d. Stroke Komplet/Permanen Stroke
Gejala gangguan neurologis dengan lesi-lesi yang stabil selama
periode waktu 18-24 jam, tanpa adanya progesivitas lanjut.

C. Etiologi
Price Sylvia Anderson pada (2005) menyatakan terdapat 4 (empat)
subtipe dasar pada stroke iskemik yaitu:
1. Stroke Lakunar
Stroke lakunar terjadi karena penyakit pembuluh-halus hipertensif
dan menyebabkan sindrome stroke yang biasanya muncul dalam
beberapa jam atau kadang-kadang lebih lama. Trombosis yang terjadi
pada pembuluh darah ini menyebabkan daerah-daerah infark yang
kecil, lunak dan disebut lakuna.
Terdapat 4 (empat) sindrome lakunar yang sering dijumpai:
a. Hemiparesis motorik murni akibat infark di kapsula interna
posterior
b. Hemiparesis motorik murni akibat infark pars anterior kapsula
interna
c. Stroke sensorik murni akibat infark thalamus
d. Hemiparesis ataksik atau disartria serta gerakan tangan atau
lengan yang canggung akibat infark pons basal.
2. Stroke Trombotik Pembuluh Besar
Stroke ini sering berkaitan dengan lesi aterosklerotik yang
menyebabkan penyempitan atau stenosis di arteria karotis interna
atau, yang lebih jarang, di pangkal arteria serebri media atau di taut
arteria vertebralis dan basilaris.

3. Stroke Embolik
Asal stroke embolik dapat suatu arter distal atau jantung (stroke
kardioembolik). Stroke yang terjadi akibat embolus biasanya
menimbulkan defisit neurologik mendadak dengan efek maksimum
sejak awitan penyakit. Trombus embolik ini sering tersangkut di
bagian pembuluh yang mengalami stenosis. Stroke kardioembolik,
yaitu jenis stroke embolik tersering, didiagnosis apabila diketahui
adanya kausa jantung seperti fibrilasi atrium atau apabila pasien baru
mengalami infark miokardium yang mendahului terjadinya sumbatan
mendadak pembuluh besar otak.
4. Stroke Kriptogenik
Walaupun kardioembolisme menimbulkan gambaran klinis yang
dramatis dan hampir patognomonik, namun sebagian pasien
mengalami oklusi mendadak pembuluh intrakranium besar tanpa
penyebab yang jelas. Kelainan ini disebut stroke kriptogenik karena
sumbernya tersembunyi, bahkan setelah dilakukan pemeriksaan
diagnostik dan evaluasi klinis yang ekstensif.

D. Patofisiologi
Muttaqin (2008) menjelaskan bahwa parofisoiologi stroke adalah sebagai
berikut, Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu
di otak. Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan
besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap
area yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah
keotak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan local
(thrombus, emboli, perdarahan dan spasme vaskuler) atau karena
gangguan umum (hipoksia, karena gangguan paru dan jantung).
Aterosklerosis sering sebagai faktor penyebab infark pada otak.
Thrombus dapat berasal dari plak aterosklerotik, atau darah dapat beku
pada area yang stenosis, tempat aliran darah mengalami perlambatan
atau terjadi turbulensi.
Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai
emboli dalam aliran darah. Thrombus mengakibatkan iskemia jaringan
otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema
dan kongesti disekitar area. Area edema ini menyebabkan disfungsi yang
lebih besar daripada infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam
beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan
berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena itu
thrombosis biasanya, tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan massif.
Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema
dan nekrosis diikuti thrombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas
pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis,
atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat
menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan
menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisma pecah dan rupture.
Peradarahan pada otak disebabkan oleh rupture aterosklerotik dan
hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas
akan lebih sering menyebabkan kematian dibandingkan keseluruhan
penyakit serebro vaskuler, karena perdarahan yang luas terjadi destruksi
massa otak, peningkatan tekanan intracranial dan yang lebih berat dapat
menyebabkan herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen
magnum. Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak,
hemisfer otak, dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi
perdarahan ke btang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi
pada sepertiga kasus perdarahan otak di nucleus kaudatus, thalamus dan
pons. Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia
serebral. Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat
reversible untuk waktu 4-6 menit. Perubahan irreversibel jika anoksia
lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan
yang bervariasi salah satunya henti jantunng. Selain kerusakan parenkim
otak, akibat volume perdarahan yang relative banyak akan
mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial dan penurunan tekanan
perfusi otak serta gangguan drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif
darah yang keluar dan kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan
perfusi, menyebabkan saraf di area yang terkena darah dan sekitarnya
tertekan lagi. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Jika
volume darah lebih dari 60 cc maka resiko kematian sebesar 93% pada
perdarahan dalam dan 71% pada perdarahan lobar, sedangkan jika
terjadi perdarahan serebral dengan volume antara 30-60 cc diperkirakan
kemungkinann kematian sebesar 75% namun volume darah 5 cc dan
terdapat di pons sudah berakibat fatal.

E. Pathway
Terlampir

F. Manifestasi Klinis
Dewanto (2009) juga menjelaskan tanda dan gejala stroke iskemik
sebagai berikut:

1. Gangguan perdarahan darah arteri serebri anterior menyebabkan


hemiparesis dan hemihipestesi kontralateral yang terutama
melibatkan tungkai.
2. Gangguan peredaran darah arteri serebri media menyebabkan
hemiparesis dan hemihipestesi kontralateral yang terutama mengenai
lengan disertai gangguan fungsi luhur berupa afasia (bila mengenai
area otak dominan) atau hemispatial neglect (bila mengenai area otak
nondominan).
3. Gangguan peredaram darah arteri serebri posterior menimbulkan
hemianopsi homonim atau kuadrantanopsi kontralateral tanpa disertai
gangguan motorik maupun sensorik. Gangguan daya ingat terjadi bila
terjadi infark pada lobus temporalis medial. Aleksia tanpa agrafia
timbul bila infark terjadi pada konteks visual dominan dan splenium
korpus kalosum. Agnosia dan prosopagnosia (ketidakmampuan
mengenali wajah) timbul akibat infark pada korteks temporooksipitalis
inferior.
4. Gangguan peredaran darah batang otak menyebabkan gangguan
saraf kranial seperti disartri, diplopi dan vertigo; gangguan serebelar,
seperti taksia atau hilang keseimbangan; atau penurunan kesadaran.
5. Infark lakunar merupakan infark kecil dengan klinis gangguan murni
motorik atau sensorik tanpa disertai gangguan fungsi luhur.

G. Pemeriksaan Penunjang
Muttaqin (2008) menjelaskan bahwa pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pada pasien stroke ada 2 macam pemeriksaan adalah sebagai
berikut:
1. Pemeriksaan Diagnostik
a. Angiografi serebral
Menentukan penyebab stroke scr spesifik seperti perdarahan atau
adanya rupture dan untuk mencari sumber perdarahan seperti
aneurisma atau malformasi vaskuler.
b. CT scan
Penindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi
hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia dan
posisinya secara pasti.
c. MRI (Magnetic Imaging Resonance)
Menggunakan gelombang megnetik untuk menentukan posisi dan
besar/ luas terjadinya perdarahan otak. Hasil pemeriksaan
biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat
dari hemoragik.
d. USG Doppler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah
system karotis).
e. EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan
dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunya impuls
listrik dalam jaringan otak.
2. Pemeriksaan Labolatorium
a. Lumbal pungsi
Pemeriksaan likuor yang merah biasanya di jumpai pada
perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil
biasanya warna likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-
hari pertama.
b. Pemeriksaan darah rutin
c. Pemeriksaan kimia darah
Pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula darah dapat
mencapai 250 mg di dalam serum dan kemudian berangsur-
angsur turun kembali.
d. Pemeriksaan darah lengkap
Untuk mencari kelaian pada darah itu sendiri

H. Komplikasi
Menurun Nurarif (2013) komplikasi stroke antara lain :
1. Komplikasi dini (0-48 jam pertama)
a. Edema serebri: defisit neurologis cenderung memberat, dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, herniasi, dan
akhirnya menimbulkan kematian.
b. Infark miokard: penyebab kematian mendadak pada stroke
stadium awal.
2. Komplikasi jangka pendek (1-14 hari)
a. Pneumonia: akibat immobilisasi lama.
b. Infark miokard.
c. Emboli paru: cenderung terjadi 7-14 hari pasca stroke, sering kali
pada saat penderita mulai mobilisasi.
d. Stroke rekuren: dapat terjadi setiap saat.
3. Komplikasi jangka panjang
Infark miokard, gangguan vaskuler lain: penyakit vaskuler perifer.

I. Penatalaksanaan
1. Pengobatan Konservatif
a. Vasodilator meningkatkan aliran darah serebri (ADS)
secara percobaan, tetapi maknanya pada tubuh manusia belum
dapat dibuktikan.
b. Dapat diberikan bistamin, aminophilia,
asetazolamid,papaverin intra-arterial.
c. Modifikasi antitrombosit dapat diresepkan karena trombosit
memainkan peran yang sangat penting dalam pembentukan
thrombus dan embolisasi. Antiagregasi trobosis seperti aspirin
digunakan untuk menggambarkan reaksi pelepasan agregasi
thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi alteroma.
d. Antikoagulan dapat diresepkan untuk mencegah terjadinya
atau memberatnya thrombosis atau embolisasi dari tempat lain
dalam sistem kardiovaskuler.
2. Pengobatan Pembedahan
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebri dengan:
a. Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu
dengan membuka arteri karotis dileher.
b. Revaskulerisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan
manfaatnya paling dirasakan oleh klien TIA.
c. Evaluasi bekuan darah dapat dilakukan pada stroke akut.
d. Ligasi arteri karotis komunis dileher khususnya pada aneurisma.

J. Asuhan Keperawatan
Muttaqin (2008), menjelaskan pengkajian pada pasien stroke meliputi :
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, dan
diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan
adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak
dapat berkomunikasi dan penurunan tingkat kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Keluhan perubahan
perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat
terjadi letargi, tidak responsif, dan koma.
4. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat
penyakit sekarang dan merupakan data dasar ntuk mengkaji lebih
jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.

5. Riwayat penyakit keluarga


Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes
melitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
6. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengakajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas
mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
Menurut Kartikawati (2013) pengkajian kritis pada pasien stroke
sebagai berikut:
1. Pengkajian primer
a. Airway (jalan nafas)
Periksa adakah sumbatan jalan nafas atau tidak untuk
memastikan kepatenan jalan. Jika ada benda asing (darah,
muntahan, secret, ataupun benda asing). Kemudian periksa
vokalisasi, ada tidaknya aliran udara, dan periksa adanya suara
nafas abnormal. Jika ada gangguan jalan nafas, pasang
orofaringeal airway/nasofaringeal airway untuk mempertahankan
kepatenan jalan nafas. Serta pertahankan dan lindungi tulang
servikal.
b. Breathing (pernafasan)
Periksa ada tidaknya pernafasan efektif dengan 3M (melihat, naik
turunnya dinding dada, mengauskultasi suara nafas, dan
merasakan hembusan nafas), kaji warna kulit, identifikasi adanya
pola pernafasan abnormal. Periksa penggunaan otot bantu
pernafasan, gerakan dinding dada yang asimetris, periksa pola
nafas (takipnea, bradipnea), periksa adanya cuping hidung. Jika
ada gangguan nafas segera atur posisi pasien untuk
memaksimalkan ekspansi dinding dada dan berikan oksigenasi
dengan nasal kanul atau Bag Valve Mask. Beri ETT (Endotrcaheal
Tube).
c. Circulation ( sirkulasi)
Periksa kualitas dan karakter denyut nadi, periksa adanya
gangguan irama jantung/abnormalitas jantung dengan atau tanpa
EKG. Kemudian periksa pengisian kapiler, warna kulit, suhu tubuh,
serta adanya diaphoresis. Jika ada gangguan sirkulasi, lakukan
tindakan defibrilasi sesuai indikasi, lakukan tindakan penanganan
pada pasien yang mengalami disritmia. Bila perdarahan lakukan
tindakan penghentian perdarahan dan pasang jalur IV ( intra
vena), kemudian ganti volume/cairan yang hilang dengan cairan
kristaloid isotonic atau darah sesuai indikasi.
d. Disability (disabilitas)
Disability dalam kegawatdaruratan adalah neurologis pasien. Kaji
tingkat kesadaran, gerakan ekstermitas. Tentukan respon Alert,
Verbal, Pain, Unresponsive. Kaji pupil dan respon pupil terhadap
cahaya.
e. Exposure ( penampilan fisik keseluruhan)
Exposure meliputi kaji adanya tanda-tanda trauma yang ada pada
tubuh pasien.
2. Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder mengenai riwayat singkat pasien dirawat dirumah
sakit. Pengkajian ini dapat dilanjutkan ketika pasien sudah dalam
keadaan stabil.Metode yang digunakan dalam pengkajian sekunder
yang meliputi (Widodo, 2013):
a. Sign and Symptoms (tanda dan gejala utama yang dirasakan dan
diobservasi).
b. Allergies (ada tidaknya riwayat alergi yang dimiliki klien.
c. Medication (terapi terakhir yang sudah diberikan kepada klien dan
apakah terapi tersebut mengurangi permasalahan klien atau tidak)
d. Past Medical History (riwayat medis sebelum klien dirawat saat ini)
e. Last Oral Intake (terakhir kali pasien makan dan minum dan jenis
detail dari makanan atau minuman yang baru saja dimakan atau
diminum)
f. Events Prociding Incident (hal-hal yang memungkinkan atau
peristiwa yang mengawali terjadinya serangan atau penyakit klien
saat ini)
7. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Umumnya mengalami penurunan kesadaran, kadang mengalami
gangguan bicara yaitu sulit dimengerti, kadang tidak bisa bicara
dan tanda-tanda vital : tekanan darah meningkat, dan denyut nadi
bervariasi.
b. B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi
sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan
peningkatan frekuensi pernapasan. Auskultasi bunyi napas
tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi
sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering di
dapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran,
koma.
c. B2 (Blood)
Pengkajian dalam sistem kardiovaskular di dapatkan renjatan
(syok hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan
darah biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi
masif (tekanan darah > 200 mmHg).
d. B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada
lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang
perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder
atau aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik
sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan
fokus dan lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
1) Pengkajian Tingkat Kesadaran
Kualitas klien merupakan parameter yang paling mendasar
dan parameter yang paling penting membutuhkan pengkajian.
Tingkat keterjagaan klien dan respons terhadap lingkungan
adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem
pernafasan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat
peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan.
2) Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual,
kemampuan bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.
3) Pengkajian Saraf Kranial
a) Saraf I. Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan
pada fungsi penciuman.
b) Saraf II. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras
sensori primer di antara mata dan korteks virtual.
c) Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan
paralisis, pada satu sisi otot-otot okularis didapatkan
penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral di sisi
yang sakit.
d) Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan
paralisis saraf trigeminus, penurunan kemampuan
koordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan rahang
bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi otot
prerigoideus internus dan eksternus.
e) Saraf VII. Perseosi pengecapan dalam batas normal,
wajah asimetris dan otot wajah tertarik ke bagian sisi yang
sehat.
f) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
g) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan
kesulitan membuka mulut.
h) Saraf XI. Tidak ada trofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.
i) Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi
dan fasikulasi, serta indra pengecapan normal.
4) Pengkajian Sistem Motorik
Stroke adalah penyakit saraf motorik atas (UMN) dan
mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan
motorik.
a) Inspeksi Umum. Didapatkan hemiplegia (paralisis pada
salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang
berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu
tubuh adalah tanda yang lain.
b) Fasikulasi. Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
c) Tonus Otot. Didapatkan meningkat.
d) Kekuatan Otot. Pada penilaian dengan menggunakan
tingkat kekuatan otot pada sisi sakit didapatkan tingkat 0.
e) Keseimbangan dan Koordinasi. Didapatkan mengalami
gangguan karena hemiparese dan hemiplegia.
5) Pengkajian Refleks
a) Pemeriksaan Refleks Profunda. Pengetukan pada tendon,
ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons
normal.
b) Pemeriksaan Refleks Patologis. Pada fase akut refleks
fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah
beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali
didahului dengan refleks patologis.
6) Pengkajian Sistem Sensorik. Dapat terjadi hemihipestesi.
Pada persepsi terdapat ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena
gangguan jaras sensori primer di antara mata dan korteks
visual.
e. B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine
sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung
kemih karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang
kontrol sfingter urine eksternal hilang atau berkurang. Selama
periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril.
Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis luas.
f. B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah
disebabkan oleh peningkatan produksi asam lambung sehingga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya
terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya
inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis luas.
g. B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan
kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau
paralise/hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah
pada pola aktivitas dan istirahat.
8. Pemeriksaan Penunjang
Muttaqin (2008) menjelaskan bahwa pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pada pasien stroke ada 2 macam pemeriksaan adalah
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Diagnostik
1) Angiografi serebral
Menentukan penyebab stroke scr spesifik seperti perdarahan
atau adanya rupture dan untuk mencari sumber perdarahan
seperti aneurisma atau malformasi vaskuler.
2) CT scan
Penindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema,
posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau
iskemia dan posisinya secara pasti.
3) MRI (Magnetic Imaging Resonance)
Menggunakan gelombang megnetik untuk menentukan posisi
dan besar/ luas terjadinya perdarahan otak. Hasil pemeriksaan
biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan infark
akibat dari hemoragik.
4) USG Doppler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah
system karotis).
5) EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul
dan dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunya
impuls listrik dalam jaringan otak.
b. Pemeriksaan Labolatorium
1) Lumbal pungsi
2) Pemeriksaan likuor yang merah biasanya di jumpai pada
perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil
biasanya warna likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu
hari-hari pertama.
3) Pemeriksaan darah rutin
4) Pemeriksaan kimia darah
Pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula darah dapat
mencapai 250 mg di dalam serum dan kemudian berangsur-
angsur turun kembali.
5) Pemeriksaan darah lengkap
Untuk mencari kelaian pada darah itu sendiri

9. Diagnosa Keperawatan
Menurut Muttaqin tahun (2008) diagnosa keperawatan pasien stroke
non hemoragik adalah:
a. Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan adanya
meningkatnya volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan
edema serebral.
b. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan
perdarahan intraserebral, oklusi otak, vasopasme dan edema
otak.
c. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan
akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun, penurunan
mobilitas fisik sekunder, dan perubahan tingkat kesadaran.
d. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan
hemiparese/hemiplagia, kelemahan neuromuskular pada
ekstremitas.
e. Risiko tinggi terhadap terjadinya cedera yang berhubungan
dengan penurunan luas lapang pandang, penurunan sensasi rasa
(panas, dingin).
f. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan
neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan
kontrol otot/koordinasi ditandai oleh kelemahan untuk ADL, seperti
makan, mandi, mengatur suhu air, melipat atau memakai pakaian.
g. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan efek dari
kerusakan pada area bicara di hemisfer otak, kehilangan kontrol
tonus otot fasial atau oral, dan kelemahan secara umum.

10. Intervensi Keperawatan


Rencana keperawatan yang diberikan menurut Muttaqin tahun (2008)
meliputi:
a. Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan adanya
meningkatnya volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan
edema serebral.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak
terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria Hasil:
1) Klien tidak gelisah
2) Klien tidak mengeluh nyeri kepala
3) Mual-mual dan muntah
4) GCS : 4, 5, 6
5) Tidak terdapat papiledema
6) TTV dalam batas normal
Intervensi:
1) Monitor tanda-tanda vital tiap 4 jam
Rasional: suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral
terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan
darah sistemik, penurunan dara outoregulator kebanyakan
merupakan tanda penurun difusi lokal vaskularisasi darah
serebral. Dengan peningkatan tekanan darah (diatolik) maka
dibarengi dengan peningkatan tekanan darah intrakranial.
Adanya peningkatan tensi, bradikardia, distrimia, dispnea
merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
2) Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan
dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang tinggi
pada kepala.
Rasional: perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan
penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah
otak (menghambat drainase pada vena serebral), untuk itu
dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
3) Observasi tingkat kesadaran dengan GCS.
Rasional: perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan
TIK dan berguna menentukan lokasi dan perkembangan
penyakit.
4) Kolaborasi pemberian O2 sesuai indikasi.
Rasional: mengurangi hipoksemia, dimana dapat
meningkatkan vasodilatasi serebral dan volume darah serta
menaikkan TIK.
5) Berikan cairan intravena sesuai dengan yang diindikasikan
Rasional: pemberian cairan mungkin diinginkan untuk
mengurangi edema serebral, peningkatan minimum pada
pembuluh darah, tekanan darah, dan TIK.
6) Berikan obat diuretik osmotik, contohnya manitol, furosid.
Rasional: diuretik mungkin digunakan pada pase akut untuk
mengalirkan air dari brain cells, mengurangi edema serebral,
dan TIK.
b. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan
perdarahan intraserebral, oklusi otak, vasopasme dan edema
otak.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan maka perfusi
jaringan otak dapat tercapi secara optimal.
Kriteria hasil:
1) Klien tidak gelisah
2) Tidak ada keluhan nyeri kepala
3) Mual
4) Kejang
5) GCS : 4, 5, 6
6) Pupil isokor
7) Refleks cahaya (+)
8) TTV normal
Intervensi:
1) Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS
Rasional: dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.
2) Monitor TTV dan hati-hati pada hiprtensi sistolik.
Rasional: pada keadaan normal autoregulasi
mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik berubah
secara fluktasi. Kegagalan autoreguler akan menyebabkan
kerusakan vaskuler serebral yang dapat dimanifestasikan
dengan peningkatan sistolik dan diikuti oleh penurunan
tekanan diastolik. Sedangkan peningkatan suhu dapat
menggambarkan perjalanan infeksi.
3) Monitor input dan output.
Rasional: hipertensi dapat menyebabkan peningkatan IWL dan
meningkatkan risiko dehidrasi terutama pada pasien yang
tidak sadar, nausea yang menurunkan intake per oral.
4) Baringkan klien (bed rest) total dengan posisi tidur terlentang
tanpa bantal.
Rasional: perubahan pada tekanan intrakranial akan dapat
menyebabkan risiko untuk terjadinya herniasi ota.
5) Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan
berlebihan.
Rasional: batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan
intrakranial dan potensial terjadi perdarahan ulang.
6) Berikan cairan perinfus dengan perhatian ketat.
Rasional: meminimalkan fluktuasi pada beban vaskuler dan
tekanan intrakranial, retriksi cairan dan cairan dapat
menurunkan edema serebral.
7) Berikan terapi antibiotika.
Rasional: menurunkan metabolik sel/konsumsi dan kejang.
c. Bersihan jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan jalan
napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan
ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan
keletihan.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan perawatan maka klien mampu
meningkatkan dan mempertahankan keefektifan jalan napas agar
tetap bersih dan mencegah aspirasi.
Kriteria hasil:
1) Bunyi napas terdengar bersih
2) Ronki tidak terdengar
3) Trackeal tube bebas sumbatan
4) Menunjukkan batuk yang efektif
5) Tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran pernapasan
6) Frekuensi napas: 16-20 kali/menit
Intervensi:
1) Kaji keadaan jalan napas.
Rasional: obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi
sekret, sisa cairan mukus, perdarahan, brokospasme,
dan/atau posisi dari trakeostomi/selang endotrakeal yang
berubah.
2) Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara napas pada
kedua paru (bilateral).
Rasional: pergerakan dada yang simetris dengan suara napas
yang keluar dari paru-paru menandakan jalan napas tidak
terganggu. Saluran napas bagian bawah tersumbat dapat
terjadi pada pnemonia/atelaktasis akan menimbulkan
perubahan suara napas seperti ronki atau mengi.
3) Lakukan pengisapan lendir jika diperlukan, batasi durasi
pengisapan dengan 15 detik atau lebih. Gunakan kateter
pengisap yang sesuai, cairan fisiologis steril. Berikan oksigen
100% sebelum dilakukan pengisapan dengan ambubag
(hiperventilasi).
Rasional: pengisapan lendir tidak selama dilakukan terus-
menerus, dan durasinya pun dapat dikurangi untuk mencegah
bahaya hipoksia. Diameter kateter pengisap tidak boleh lebih
dari 50% diameter jalan napas untuk mencegah. Dengan
membuat hiperventilasi melalui pemberian oksigen 100%
dapat mencegah terjadinya atelaktasis dan megurangi
terjadinya hipoksia.
4) Atur/ubah secara teratur (tiap 2 jam)
Rasional: mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen
paru-paru, mengurangi risiko atelaktasis.
5) Biarkan minum hangat jika keadaan memungkinkan
Rasional: membantu pengenceran sekret, mempermudah
pengeluaran sekret.
6) Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi, seperti postural
drainage, perkusi/penepukan.
Rasional: mengatur ventilasi segmen paru-paru dan
pengeluaran sekret.
7) Kolaborasi pemberian obat-obat bronkodilator sesuai indikasi,
seperti aminophilin, meta-proterenol sulfat (alupent),
adoetharine hydrochloride (bronkosol).
Rasional: mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena
relaksasi otot/bronchospasme.
d. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan
neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan
kontrol otot/koordinasi.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan maka terjadi
peningkatan perilaku dalam perawatan diri.
Kriteria hasil:
1) Klien dapat menunjukkan perubahan gaya hidup untuk
kebutuhan merawat diri.
2) Klien mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai
dengan tingkat kemampuan.
3) Mengidentifikasi personal/masyarakat yang dapat membantu.
Intervensi:
1) Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam skala 0-4 untuk
melakukan ADL.
Rasional: membantu dalam mengantisipasi dan
merencanakan pertemuan kebutuhan individu.
2) Tempatkan perabotan ke dinding, jauhkan dari jalan.
Rasional: menjaga keamanan klien bergerak di sekitar tempat
tidur dan menurunkan risiko tertimpa perabotan.
3) Kaji kemampuan komunikasi untuk BAK. Kemampuan
menggunakan urinal, pispot. Antarkan ke kamar mandi bila
kondisi memungkinkan.
Rasional: ketidakmampuan berkomunikasi dengan perawat
dapat menimbulkan masalah pengosongan kandung kemih
oleh karena masalah neurogenik.
4) Identifikasi kebiasaan BAB. Anjurkan minum dan
meningkatkan aktivitas.
Rasional: meningkatkan latihan dan membantu mencegah
konstipasi.
5) Kolaborasi dengan dokter terapi okupasi.
Rasional: untuk mengembangkan terapi dan melengkapi
kebutuhan khusus.
e. Gangguan komunikasi verbal atu tulis yang berhubungan dengan
gangguan sirkulasi serebral, gangguan neuromuskular, kehilangan
kontrol tonus otot fasial atau oral dan kelemahan secara umum.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan maka klien dapat
menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, maupun
mengekspresikan perasaannya, maupun mengunakan bahasa
isyarat.
Kriteria hasil:
1) Terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien dapat
dipenuhi
2) Klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal
maupun isyarat.
Intervensi:
1) Kaji tipe disfungsi, misalnya klien tidak mengerti tentang kata-
kata atau masalah berbicara atau tidak mengerti bahasa
sendiri.
Rasional: membantu menentukan kerusakan area pada otak
dan menentukan kesulitan klien dengan sebagian atau seluruh
proses komunikasi, klien mungkin mempunyai masalah dalam
mengartikan kata-kata.
2) Beri peringatan bahwa klien di ruang ini mengalami gangguan
berbicara, sediakan bel khusus bila perlu.
Rasional: untuk kenyamanan berhubungan dengan
ketidakmampuan berkomunikasi.
3) Antisipasi dan bantu kebutuhan klien.
Rasional: membantu menurunkan frustasi karena
ketergantungan atau ketidakmampuan berkomunikasi.
4) Kolaborasi dengan ahli ke ahli terapi bicara.
Rasional: mengkaji kemampuan verbal individual dan sensori
motorik dan fungsi kognitif untuk mengidentifikasi defisit dan
kebutuhan terapi.
DAFTAR PUSTAKA

Brashers, V. L. (2008). aplikasi klinis patofisiologi. jakarta: EGC.

Black, M.Black, Hawks,Jane Hokanson.(2009).Keperawatan Medikal Bedah.


Jakarta : Salemba Medika

Corwin, J. Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC

Dewanto, Goerge. 2009. Panduan praktis diagnosis & tata laksana penyakit
saraf. Jakarta : EGC.

Kartikawati ,N.D.(2013).Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat.


Jakarta : Salemba Medika

Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Muttaqin, A. (2010). Pengkajian Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinik .


Jakarta : Salemba Medika.

Nurarif, A.H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis


NANDA NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 2. Yogyakarta : Media Action
Publishing.

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisologi : Konsep Klinis Proses-proses


Penyakit. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai