Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak di negara rnaju.
Sejak dua dekade terakhir, dilaporkan bahwa prevalens asma meningkat pada anak maupun
dewasa. Namun, akhir-akhir ini di Amerika dilaporkan tidak terjadi peningkatan lagi di
beberapa negara bagian. Asma memberi dampak negatif bagi kehidupan pengidapnya,
seperti menyebabkan anak sering tidak masuk sekolah dan membatasi kegiatan olabraga
serta aktivitas seluruh keluarga (MMM, 2001). Prevalens total asma di dunia diperkirakan
7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak). Prevalens tersebut sangat bervariasi. Terdapat
perbedaan prevalens antar negara dan bahkan perbedaan juga didapat antar daerah di dalam
suatu negara.1
Terdapat variasi prevalens, angka perawatan dan mortalitas asma, baik regional
maupun lokal. Angka kejadian asma di berbagai negara sulit dibandingkan, tidak jelas
apakah perbedaan angka tersebut timbul karena adanya perbedaan kriteria diagnosis atau
karena benar-benar terdapat perbedaan. Berbagai penelitian yang ada saat ini menggunakan
definisi penyakit asma yang berbeda, sehingga untuk membandingkan antara penelitian satu
dan lainnya perlu diketahui kriteria yang digunakan oleh peneliti. Untuk mengatasi hal
tersebut, penelitian multisenter telah dilaksanakan di beberapa negara dengan menggunakan
definisi asma yang sarna dan kuesioner standar. Salah satu penelitian multisenter yang
dilaksanakan adalah International Study of Asthma and Allergy in Children (ISAAC).
Dengan menggunakan kuesioner standar, prevalens dan berbagai faktor rtsiko dapat
dibandingkan. 1
Masalah epidemiologi yang lain saat ini adalah morbiditas dan mortalitas asma yang
relatif tinggi. WHO memperkirakan saat ini terdapat 250.000 kematian akibat asma.
Beberapa waktu yang lalu, penyakit asma bukan penyebab kematian yang berarti. Namun,
belakangan ini berbagai negara melaporkan bahwa terjadi peningkatan kematian akibat
penyakit asma, termasuk pada anak. 1
Serangan asma bervariasi mulai dari ringan sampai berat dan mengancam kehidupan.
Berbagai faktor dapat menjadi pencetus timbulnya serangan asma, antara lain adalah
olahraga (exercise), alergen, infeksi, perubahan suhu udara yang mendadak, atau pajanan
terhadap iritan respiratorik seperti asap rokok, dan lain-lain. Selain itu, berbagai faktor turut
mempengaruhi tinggi rendahnya prevalens asma di suatu tempat, misalnyausia, jenis
kelamin, ras, sosio-ekonomi, dan faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut dapat
mempengaruhi prevalens asma, derajat penyakit asma, terjadinya serangan asma, berat
ringannya serangan dan kematian akibat penyakit asma 1.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Definisi
Asma didefinisikan sebagai penyakit episodik yang ditandai oleh adanya
obstruksi aliran udara akibat peningkatan respons trakea dan bronkus terhadap
berbagai stimuli, dengan manifestasi berupa penyempitan saluran napas yang luas,
yang kemudian berubah derajatnya, baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Dengan definisi ini, konsep pengobatan lebih ditujukan untuk mengatasi
bronkospasme yang terjadi. 1
2.2 Prevalensi
Penelitian mengenai prevalens asrna telah banyak dilakukan dan hasilnya telah
dilaporkan oleb berbagai negara. Narnun, urnumnya kriteria penyakit asma yang
digunakan belum sama, sehingga sulit dibandingkan. Untuk mengatasi hal tersebut, telah
dilakukan penelitian prevalens asma di banyak Negara. 1
Berdasarkan laporan CDC tahun 2000 mengenai prevalens asma pada anak usia
<18 tahun sebelum dan setelah tahun 1997 di Amerika Serikat, terlihat adanya
peningkatan prevalens asma sebesar 5% setiap tahun dari.tahun 1980 sampai 1995.
Pada tahun 1980, prevalens asma di Amerika Serikat adalah 36 per 1000 populasi,
pada tahun 1995, 75 per 1000, dan pada tahun 1996, prevalens asma 62 per 1000
populasi anak (17% lebih rendah dari prevalens tahun 1995). Pada tahun 1997, angka
tersebut menurun menjadi 54 per 1000, dan dari tahun 1997 sampai 2000 angka
tersebut stabil. Pada tahun 1980-1996 prevalens asma pada usia 0-4 tahun meningkat
cepat. Angka perawatan asma pada anak meningkat secara perlahan tahun 1980-an,
tetapi pertengahan 1990-an tetap. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa prevalens
pada keiompok kulit hitam lebih tinggi dari kulit putih, dan terjadi peningkatan
prevalens tersebut. Pada tahun 1980 1981 perbedaan prevalensnya 15%, sedangkan
tahun 19951996 mencapai 26%. Perbedaan tersebut juga terjadi pada episode
serangan asma, pada kelompok kulit hitam iebih tinggi. Sclanjutnya didapatkan
kenaikan prevalens asma menurut usia, pada usia > 5 tahun prevalensnya lebih tinggi
daripada anak balita. Begitu pula dengan kejadian serangan asma (MMWR, 2000). 1
Penelitian pada 513.688 anak sekolah pada tahun 1999-2000 di Connecticut
rnenunjukkan bahwa total prevalens asma adalah 8,7%, dengan rincian sebagai
berikut: pada anak setingkat sekolah dasar (SD), prevalensnya 7,8% (dengan kisaran
4-12%), pada anak sekolah menengah pertama (SMP) 10,2%, dan pada anak sekolah
menengah atas (SMA) 9,4%. Prevalens asma pada anak SD di daerah rural, urban,
maupun suburban tidak berbeda. Namun, bila ditinjau dari kelas sosio-ekonomi,
terlihat bahwa pievalens asma lebih tinggi pada kelas sosio-ekonomi rendah (9%),
sedangkan pada anak kelas sosio-ekonomi tinggi, sebesar 5% (EHHI, 2003).
Penelitian asma di Indonesia telah dilakukan di beberapa sentra, tetapi belurn
semuanya menggunakan kuesioner standar. Berikut adalah tabel prevalens asma di
Indonesia. 1
Peneliti (Kota) Tahun Jumlah Umur Prevalens
Sampel (Tahun) (%)
Djajanto (Jakarta) 1991 1200 6- 12 16,4
Rosmayudi O 1993 4865 6- 12 6,6
(Bandung)
1996 - 6- 12 17,4

Dahlan (Jakarta)
1996 1296 13- 15 5,7
Arifin (Palembang)
1997 3118 13- 15 2,6
Rosalina 1
(Bandung) 2002 2678 6- 7 3.0
Kartasasmita 2836 13- 14 5,2
(Bandung)
2.3 Faktor risiko
Berbagai faktor dapat rnempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian asma,
berat ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma. Beberapa faktor tersebut
sudah disepakati oleh para ahli, sedangkan sebagian lain masih dalam nenelitian.
Faktor-faktor tersebut antara lain adalah jenis kelamin, usia, sosio-ekonomi, alergen,
infeksi, atopi, lingkungan, dan lain-lain. 1
2.3.1 Jenis kelamin
Menurut laporan dari bebetapa penelician didapatkan bahwa prevalcns asma
pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak
perempuan. Narnun, dari benua Amerika dilaporkan bahwa belakangan ini tidak
ada perbedaan prevalens asma antara anak laki-laki (51,1 per 1000) dan perempuan
(56,2 per 1000). Menurut laporan MMM (2001), prevalens asma pada anak laki-
laki lebih tinggi daripada anak perempuan, dengan rasio 3:2 pada usia 6-11 tahun
dan meningkat menjadi 8:5 pada usia 12-17 tahun. Pada orang dewasa, rasio ini
berubah menjadi sebanding antara laki-laki dan perempuan pada usia 30 tahun. 1
2.3.2 Usia
Umumnya, pada kebanyakan kasus asma persisten, gejala seperti asma
pertama kali timbli pada usia muda, yaitu pada beberapa tahun pertama kehidupan.
Dari Melbourne (Australia),dilaporkan bahwa 25% anak dengan asma persisten
mendapat serangan mengi pada usia <6 bulaii, dan 75% mcndapat serangan mengi
perrama sebelum usia 3 tahun. Hanya 5% anak dengan asma persisten terbebas
dari gejala asma pada usia 28-35 tahun, 60% tetap menunjukkan gejala seperti saat
anak-anak, dan sisanya masih sering mendapat serangan meskipun lebih ringan
daripada saat masa kanak. 1
2.3.3 Riwayat atopi
Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma persisten dan
beratnya asma. Menurut laporan dari Inggris, pada anak usia 16 tahun dengan
riwayat asma atau mengi, akan terjadi serangan mengi dua kali lipat iebih banyak
jika anak pernah mengalami hay fever, rinitis alergi, atau eksema. Eksema
persisten berhubungan pula dengan gejala asma persisten. Menurut Buffum dan
Settipane, anak dengan eksema dan uji kulit positif rnenderita asma berat.
Terdapat juga Saporan bahwa anak dengan mengi persisten dalam kurun waktu 6
tahun pertama kehidupan mempunyai kadar IgE lebih tinggi daripada anak yang
tidak pernah mengalami mengi, pada usia 9 bulan. Beberapa laporan menunjukkan
bahwa sensitisasi alergi terhadap alergen inhalan, susu, telur, atau kacang pada
tahun pertama kehidupan, merupakan prediktor timbulnya asma. 1
2.3.4 Lingkungan
Adanya alergen di lingkungan hidup anak meningkatkan risiko penyakit
asma. Alergen yang sering mencetuskan penyakit asma antara lain adalah
serpihan kuiit binatang piaraan, tungau debu rumah, jamur, dan kecoa (MMM,
2001). 1
2.3.5 Ras
Menurut laporan dari Amerika Serikat, didapatkan bahwa prevalens asma dan
kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih
(MMWR, 2000; Steyer dkk, 2003). Pada tahun 1993-1994, tata-raw prevalens
adalah 57,8 per 1000 populasi kulit hitam, 50,8 per 1000 populasi kulit putih,
sedangkan untuk ras lain adalah 48,6 per 1000. Tingginya prevalens tersebut
tidakdipengaruhi oleh pendapatan maupun pendidikan. Selain prevalens,
kematian anak akibat asma pada ras kulit hitam juga lehih tinggi, yaitu 3,34 per
1000 berbanding 0,65 per 1000 pada anak kulit putih (Steyer dkk, 2003). 1
2.3.6 Asap rokok
Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada
anak yang tidak terpajan asap rokok. Risiko terhadap asap rokok sudah dimulai
sejak janin daiam kandungan, umumnya berlangsung terns setelah anak
dilahirkan, dan menyebabkan meningkatnya risiko. Pada anak yang terpajan asap
rokok, kejadian eksaserbasi lebih tinggi, anak lebih sering tidak masuk sekolah,
dan umumnya fungsi faal parunya lebih buruk daripada anak yang tidak terpajan
(Steyer et al, 2003). 1
2.3.7 Outdoor air pollution
Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya, nitrat dioksida,
karbon monoksida, atau SO 2, diduga berperan pada penyakit asma,
meningkatkan gejala asma, tetapi belum didapatkan bukti yang disepakati.
Beberapa penelitian di Eropa mendapatkan bahwa lingkungan pertanian dan
peternakan memberi efek proteksi bagi penyakit asma. Pada anak-anak yang
cepat rerpajan dengan lingkungan tersebut, kejadian asma rendah. Prevalens
asma paling rendah pada anak yang di tahun pertama usianya kontak dengan
kandang binatang dan pemerahan susu. Mekanisme efek proteksi tersebut belum
terungkap. Namun, secara teoritis, diduga bahwa adanya pajanan terhadap
endotoksin sebagai komponen bakteri dalam jumlah banyak dan waktu yang
dini mengakibatkan sistem imun anak terangsang melalui jejak Thl. Saat ini,
teori tersebut dikenal sebagai hygiene hypothesis (Guilbert, 2003). 1
2.3.8 Infeksi respiratorik
Beberapa penelittan mendapatkan adanya hubungan terbalik antara atopi
(termasuk asma) dengan infeksi respiratorik. Penelitian di Jerman mendapatkan
adanya penurunan prevalens asma sebanyak 50% pada anak usia 7 tahun yang
saat bayi sering mengalami rinitis. Penelitian di Highlands (New Guinea)
menunjukkan bahwa kelompok anak yang sering terserang infeksi respiratorik
mempunyai prevalens asma yang rendah. Sebenarnya hubungan antara infeksi
respiratorik dengan prevalens asma masih merupakan kontroversi. Namun, hal
ini tidak berlaku pada infeksi respiratory syncytial virus (RSV) di usia dini yang
mengakibatkan infeksi saluran pernapasan bawah. Infeksi RSV merupakan
faktor risiko yang bermakna untuk terjadinya mengi di usia 6 tahun.
Berdas.arkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa infeksi virus beruiang yang
tidak menyebabkan infeksi respiratorik bawah dapat memberikan anak proteksi
terhadap asma (Guilbert, 2003).1
2.4 Perjalanan Alamiah
2.4.1 Anak dengan riwayat non-atopi
TCRS melakukan penelitian hubungan infeksi saluran respitarori
bawah dengan timbulnya wheezing. Berdasarkan penelitian tersebut
dikatakan anak yang rnenderita penyakit saluran respiratori bawah akibat
RSV sebanyak 3-5 episode, cenderung untuk tetap rnenderita wheezing
pada usia 6 tahun. Tetapi, tingginya angka resiko tersebut akan menurun
seizing dengan pertumbuhan usia anak dan bahkan dikatakan hampir tidak
signifikan pada usia 13 tahun. Yang menarik lainnya adalah anak yang
rnenderita penyakit saluran respiratori bawah akibat RSV pada usia dini
dan terus mengalami wheezing sepanjang 3 tahun pertama kehidupannya,
dikatakan tidak lebih atopi bila dibandingkan dengan anak lainnya. Yang
membedakan antara anak kelompok ini dengan yang tidak pernah
rnenderita penyakit saluran respiratori bawah akibat RSV adalah keadaan
fungsi paru yang dilakukan pemeriksaan pada usia 6 dan 11 tahun.
Pemeriksaan paru dilakukan dengan memberikan bronkodilator dan
hasilnya dibandingkan antara keduanya. Hasil pengukuran fungsi paru pada
anak denganriwayat penyakit saluran respiratori bawah akibat RSV
menunjukkan adanya sensitivitas terhadap bronkodilator dan nilai fungsi
paru mereka akan kembali ke nilai normal pasca pembedan bronkodilator.
Hasil ini mengindikasikan bahwa pada kelompok wheezing non-atopi,
terdapat kemungkinan yang lebih besar untuk menderica obstruksi akut
pada saluran respiratori akibat infeksi RSV karena gangguan dalam
pengontrolan tonus saluran respiratori, namun resiko ini akan terus
menurun seiring dengan usia. 1
2.4.2 Anak dengan riwayat atopi
Berdasarkan penelitian dalarn 20 tahun terakhir menunjukkan bahwa
sebagian besar anak yang menderita asma atopi, menunjukkan gejala pada
6 tahun pertama kehidupannya. Anak yang rnasuk dalam golongan
wheezing dengan keadaan atopi ini dapat dibagi menjadi 2 sab-group yaitu
early atopic wheeler, yang terkharateristik sama dengan persistent
wheezing, dan late atopic wheezers, yang terkharateristik sama dengan
wheeling of late onset. 1
Kedua sub-group ini telah tersensitisasi terhadap aeroallergen pada
usia 6 tahun, namun subgroup yang telah menunjukkan gejala sebelum
usia 3 tahunlah yang memiliki fungsi paru yang lebih rendah serta nilai
IgE yang lebih tinggi, diukur pada usia 6 dan 11 tahun. 1

Gambar 1. Puncak prevalensi dari 3 macam fenotip pada anak.


Sumber: Taussig LN, Wright AL, Holberg C], Holonen M, Morgan,
Martmes. Tucwm Children's Respiratory Study; 1980 to Present. J
Allergy clin Immunol 2002; 11:661-75.

Hubungan antara mengi akibat infeksi virus berulang dengan


terjadinya asma di kemudian hari masih belum diketahui dan memerlukan
penelitian lebih lanjut. Pada pemeriksaan, ditemukan bahwa gejala saluran
respiratori bawah yang timbul hampir sama dengan gejala asma pada masa
anak (seringkali juga disertai gejala saluran respiratori atas). Namun, para
dokter seringkali tidak mendiagnosis asma, tetapi memberikanantiinflamasi
dan bronkodilator (overtreatment). Pengobatan ini akan mengurangi
intensitas mengi jika dibandingkan dengan pemberian antibiotika. Oleh
sebab itu, para dokter di satu sisi harus berani menggunakan istiiah "asma"
daripada rnenggunakan istilah lain untuk menjelaskan mengi rekuren yang
berhubungan dengan infeksi virus (recurrent viral-associated wheezing). 1

2.5 Patogenesis
2.5.1 Inflamatori saluran respiratori pada asma
Pada banyak kasus, terutama pada anak dan dewasa muda, asma
dihubungkan dengan manifestasi atopt melalui mekanisme IgE-
dependent. Di dalam populasi, faktor atopi diperkirakan memberi
kontribusi pada 40% pasien asma anak dan dewasa.3

Gambar 2. Diagram ven hubungan antara atopi, HBR dan asma


Sumber: Warner JO. Astma-bsic mechanisms. Dalam: Naspin CK,
Siefler SJ, Tinkehnan fXj, Warner JO. Pediatric Asthma An
International Perspective, United Kingdom, Martin Dunitz, 2001.
Limfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin.
Sedikitnya ada dua jenis T-helper (Th). Meskipun kedua jenis limfosit T
mensekresi IL-3 dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor
(GM-CSF), Thl terutama memproduksi IL-2, IF-y, dan TNF-p, sedangkan
Th2 terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL-4,
IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16. Sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh
Th2 menyebabkan terjadinya hiperreaktivitas, inflamasi, dan obstruksi
bronkus.3
Langkah pertama terbentuknya respons imun adalah aktivasi limfosit T
oleh antigen yang dipresenrasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses
yang melibstkan molekul major histocampatibility complex atau MHC
(MHC kelas II pada sel T CD4 + dan MHC kelas I pada sel T CDS'"). Sel
dendritik merupakan antigen presenting cells (APC) utama pada saluran
respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum
tularig, lalu membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling
berhubungan di dalam epitel saluran respiratori. Kemudian, sel-sel
tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh
GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas,
sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik
pindah menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Di tempat ini,
dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang
sebagai APC yang efektif, Sel dendritik juga mendorong polarisasi sel T
naive-ThO menuju Th2 yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yarg
termasuk dalam klaster kromosom 5q3l-33 (IL-4 genecluster). 3
Ditemukannya eosinofil dan limfosit yang teraktivasi pada biopsi
bronkus pasien asma atopi dan wheezing non-atopi rnengindikasikan bahwa
interaksi sel limfosit T-eosinofil sangaat penting. Hipotesis ini lebih jauh
lagi diperkuat dengan ditemukannya sel yang mengekspresikan IL-5 pada
biopsi btonkus pasien asma atopi. lnterleukin-5 merupakan sitokin yang
pencing dalam regulasi eosinofil. Jumlahnya pada mukosa saluran
respiratori pasien asma berhubungan dengan aktivasi sel limfosit T dan
eosinofil. Interleukin-5 menginduksi diferensiasi akhir dalam proses
pematangan eosinofil. Selain diatur oleh IL-5, pernbentukan sel eosinofil
di sumsum tulang juga diatur oieh GM-CSF. 3
Eosinofil memiliki granul intraselular yang merupakan sumber protein
proinflamasi seperti major basic protein (MBP), eosinophil derived
neurotoxin, peroksidase, dan protein kationik. Kerusakan epitel saluran
respiratori secara langsung, hiperresponsifitas bronkus, serta degranulasi
basofil dan sel mast dapat disebabkan oleh MBP. 3
2.5.2 Inflamasi akut dan kronik
Proses inflamasi pada asma akan menyebabkan reaksi inflamasi
akut dan kronis. Pajanan alergen inhalasi pada pasien yang alergi dapat
menimbulkan respons alergi fase cepat, dan pada beberapa kasus, dapat
diikuti dengan respons fase lambat. 3
2.5.2.1 Reaksi fase awal/cepat (early phase reaction)
Reaksi fase cepat dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif
terhadap alergen IgE-spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada
pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap ttmbulnya asma,
basofil juga ikut berperan. 3
Ikatan antara sel dan IgE mengawali reaksi biokimia serial yang
menghasilkan sekresi mediator-mediator seperti histamin, proteolitik,
enzim glikolitik, heparin, serta mediator newly generated seperti
prostaglandin, leukotrien, adenosin, dan oksigen reaktif. Bersama-sama
dengan mediator yang sudah terbentuk sebelumnya, mediator-mediator
ini menginduksi kontraksi otot polos saluran respiratori dan menstimulasi
saraf aferen, hipersekresi mukus, vasodilatasi, dan kebocoran
mikrovaskular. 3
2.5.2.2 Reaksi fase lambat
Timbul beberapa jam lebih lambat dibandingkan fase awal.
Meliputi pengerahan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil,
neutronl, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran
respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated
mediator. Sel T pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen,
akan mengalami polarisasi ke arah Th2. Selanjutnya dalam 2-4 jam
pertama fase lambat terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi
mediator proinflamasi, seperti IL-2, IL-5, dan GM-CSF untuk pengerahan
dan aktivasi sel-sel inflamasi, Hal ini terus-menerus terjadi, sehingga
reaksi fase iambat semakin lama semakin kuat. 3
Reaksi fase lambat dipikirkan rnerupakan sistem model untuk
mempelajari mekanisme inflamasi pada asma. Selama terjadinya respons
fase lambat dan berlangsungnya pajanan alergen, aktivasi sel-sel pada
saluran respiratori menghasilkan sitokin-sitokin ke dalam sirkulasi dan
merangsang pelepasan se! leukosit proinflamasi, terutama eosinofil dan
se! prekursornya dari sumsum tulang, ke dalam sirkulasi. 3
2.5.3 Inflamasi alergi
Sejak 5 tahun yang lalu, dikenal suatu sitokin yang menyerupai IL-
7 dan diproduksi oieh sel epitel terutama oleh keratinosit pada lesi kulit
dermatitis atopi sebagai akibat aktivasi sel dendritik pada daerah lesi
tersebut. Sirokin tersebut dikenal sebagai thyrnic stromal lymphopoietin
(TSLP) yang dapat mengaktivasi sel dendririk manusia untuk
menginduksi respon imun Th; yang ditandai dengan tinggi produksi kadar
TNF-Q dan rendahnya IL-10 (sesuai dengan kharateristik Th2)- Gen yang
mengatur TSLP terletak di kromosom 5q22 yang ridak jauh dari gen yang
mengkode sitokin Th2 yaitu IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13. Sel otot polos,
fibroblast dan sel Mast berpotensi untuk memproduksi TSLP.
Ditinjau dari profil sitokinnya, maka sel Th2 yang diinduksi oleh
sel dendritik hasil aktivasi TSLP dikelompokkan menjadi sel Th2
inflamatori (yang terlibat pada proses alergi) dan Th, regulatori dengan
produksi sitokinnya masing-masing. Th: dikenal sebagai sel CD4+ yang
memproduksi IL-4JL-5,IL-13 dan IL-10. Th adalah sel CD4+ yang
menghasilkan IFN-Y dan IL-2. TNF-a banyak ditemukan pada saluran
napas pasien asma dan genotip yang berhubungan dengan peningkatan
jumlah TNF-0 dikatakan meningkatkan resiko menderita asma. Dengan
kata lain TNF-Q memiliki peran yang penting dalam perkembangan
asma dan inflarnasi alergi. Dalam rangka untuk meningkatkan jumlah
Th, dan TNF-d, CD4* yang diaktivasi oleh TSLP dapat menurunkan
produksi IL-10 dan IFN-y, 2 sitokin yang yang menurunkan regulas Th2
inflarnasi. Walaupun IL-10 diklasifikasikan sebagai sitokin dari Th,,
namun ditemukan dalam jumlah sedikit pada bilas bronkoalveolar (BAL)
pasien atopi bila dibandingkan dengan orang normal. Th, inflarnasi
merupakan jenis yang terlibat pada penyakit alergi seperti dermatitis atopi
dan asma sementara Thz regulatori terlibat pada proses yang lain seperti
pada infeksi cacing yang dapat menginduksi produksi IL-10 schingga
menurunkan insiden atopi.Berdasarkan studi yang dilakukan dikatakan
bahwa hanya TSLP yang dapat me nginduksi sel djndritik melalui OX40L
dan ekspresi dari OX40L penting dalam pembentukan Th2 uulamasi.
Dengan menghambat OX40L dengan menggunakan antibodi penetral
dapat menghambat pembentukan TNF-d dan meningkatkan produksi IL-
10. Demikian pula sebaliknya, pemberian OX40L rekombinan akan
meningkatkan produksi TNF-Q dan menurunkan IL-10. Kemampuan
induksi OX40L akan hilang bila terdapat IL-12 yang merupakan sitokin
dari Tht. Kemampuan OX40L dalam mengindukgi pembentukan Th2 tidak
bergantung pada IL-4, walapun mereka bekerja secara sinergi. Dengan
demikian sel dendritik yang diaktivasi oleh TSLP akan memproduksi sel
Th2 bila keadaan lingkungan mikro memungkinkan serta tanpa adanya
sitokin dari Tht. Hal inilah yang menunjang teori Hygiene hypothesis,
yaitu infeksi mikroba dapat merangsang diferensiasi sel T kearah Th, dan
menekan produksi Th2. 3
Ekspresi TSLP akan meningkat pada saluran respiratori pasien asma
sesuai dengan derajat beratnya asma. Diduga TSLP berperan dalam
aktivasi sel dendritik dan sel Mast dalam menginisiasi respon imun yang
diturunkan atau alamiah kemudian dilanjutkan dengan aktivasi pada sel
dendritik untuk memulai reson imun didapat atau adaptif. 3
Gambar 3. Patofisiologi TSLP dalam inflarnasi alergi
Sumber: Liu Y. Jun. Thymic stromal lympophoietin and OX40 ligand
pathway in the initiation of dendritic cell-mediated allergic
inflammation. J Allergy Clin Immunol. 2007; 120:238-44.
2.5.4 Remodeling saluran respiratori
Istilah remodeling oleh Jeffery tahun 2003 didefinisikan sebagai
"suatu perubahan dalam ukuran, massa, atau jumlah dari komponen
struktur jaringan yang terjadi selama pertumbuhan ataw sebagai respons
terhadap cedera dan/atau infiamasi. Bisa merupakan suatu hal yang
normal seperti terjadi selama perkembangan paru atau sebagai respon
terhadap cedera akut, atau abnormal apabila berlangsung kronik dan
menyebabkan perubahan struktur atau fungsi seperti yang terjadi pada
asma".3
Airway remodeling (AR)/remodeling saluran respiratori pada
asma adalah istilah kolektif yang menggambarkan adanya perubahan
dalam struktur sel dan jaringan saluran respiratori penyandang asma.
Definisi AR juga berkembang seiring pemahaman yang makin baik
tentang patogenesis asma. Bento dan Hersheman tahun 1998,
mendefinisikan AR sebagai "suatu perubahan struktur saluran respiratori
karena influks sel-sel inflamasi dan mediator yang dilepaskannya
merangsang siklus kerusakan-perbaikan dalam dinding saluran tersebut".
Definisi ini masih mencerminkan AR sebagai akibat dari inflamasi. 3
Pada remodeling saluran respiratori, terjadi scrangkaian proses
yang menyebabkan deposist jaringan penyambung dan mengubah struktur
saluran respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan
maturasi struktur sel. Kombinasi antara kerusakan sel epitel, perbaikan
epitel yang berlanjut, ketidakseimbangan Matrix Metallaproteinase
(MMP) dan Tissue Inhibitor of Metailaproteinase (TIMP), produksi
berlebih faktor perrumbuhan profibrotik/tram/ormmg growth factors
(TGF-p), dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibrobhs
diyakini merupakan proses yang penting dalam remodeling. Selanjutnya,
miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor
perrumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi se!-sel
otot polos saluran respiratori dan meningkatkan ptrmeabilitas
mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan
saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks
proteoglikan pada dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien
yang rneninggal akibat asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan
dengan lamanya penyakit. 3
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel
goblet dan kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma,
terutama yang kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori
pasien asma memperlihatkan perubahan struktur saluran respiratori yang
bervariasi dan dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori.
Selama ini, asma diyakini merupakan obstruksi saluran respiratori yang
bersifat reversibel. Pada sebagian besar pasien, pemberian terapi inhalasi
kortikosteroid dapat menyebabkan reversibilitas menyeluruh pada
pengukuran dengan spirometri. Namun, beberapa pasien asma dapat
mengalami obstruksi saluran respiraturi residual, meskipun pasien tidak
menunjukkan gejala klinis. Hal ini mencerminkan adanya remodeling
saluran respiratori. 3
Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis
hiperreaktivitas saluran respiratori yang non-spesifik, terutama pada
pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1 sampai 2 tahun) atau
yang tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid.
Inflarnasi dan remodeling pada asma dapat dilihat pada Gambar 3.2.8
Gambar 4. Inflamasi dan remodeling pada asma.
Sumber: Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma
Management and Prevention. National Institute of Health. National
Heart, Lung, and Blood Institute, NIH publ. No. 02-3659, 2002.
2.5.4.1 Efek terhadap inflamasi saluran respiratori
Remodeling saluran respiratori dianggap sebagai proses
tersendiri yang terpisah dari proses inflamasi. Proses tersebut juga dapat
berperan dalam perkembangan dan persistensi inrlamasi saluran
respiratori, Komponen ECM seperti fibronektin dapat berinteraksi
dengan sel inflamasi, mempengaruhi aktivasi sel, pelepasan mediator dan
kemokin. Pergerakan (trafficking) sel dendritik, yang merupakan APC
utama saluran respiratori dapat terganggu oleh perubahan dalam ECM
sehingga respons imun bertambah. 3
2.5.4.2 Efek terhadap obstruksi saluran respiratori
Obstruksi saluran respiratori dulu dianggap bersifat reversibel.
Tapi penelitian membuktikan bahwa banyak pasien asma yang
simtornatik maupun asirntomatik memiliki obstruksi saluran respiratori
yang ireversibel. Suatu peneiitian epidemiologik selama 15 tahun
menemukan bahwa nilai FEV1 pada pasien asma menurun 50 ml/tahun.
Ireversibilitas dan penurunan fungsi paru tersebut diduga disebabkan
perubahan struktural saluran respiratori akibat remodeling. Chetta dkk
menemukan bahwa AR sangat crat kaitannya dengan derajat beratnya
asma dan penurunan FEV1. 3

2.5.4.3 Efek terhadap hiperreaktivitas bronkus


Hiperreaktivitas bronkus merupakan abnormalitas fungsional
utanva pada asma. Penebalan dindmg saluran respiratori, otot polos, dan
ECM telah dibuktikan berkaitan dengan BHR. Deposisi kolagen subepitel
akan meningkatkan kekakuan lapisan dalam dinding salutan respiratori,
sehingga mengakibatkan jumlah lipatan mukosa berkurang saat ASM
berkonttaksi. Hal ini menyebabkan penyempitan lumen menjadi lebih
nyata. 3
Secara skematik, konsekuensL klinik airway remodeling dapat
dilihat pada Gambar.

Gambar 5. Konsekuensi klinik airway remodeling.


Sumher. Bousquet ], jeffery PK, Busse WW, Johnson M, Vognola AM.
Asthma from bronchoconstricrion to airways inflammation and
remodeling. Am] Respir Cnt Care Med ZOOC; 161:1720-45.
2.6 Patofisiologi
2.6.1 Obstruksi saluran respiratori
Inflamasi saluran respiratori yang difemukan pada pasien asma
diyakini merupakan hal yang mendasari terjadinya gangguan fungsi pada
penyakit asma yaitu obstruksi saluran respiratori yang mengakibatkan
keterbatasan aliran udara yang bersifat reversibd. Perubahan fungsional
ini dihubungkan dengan gejala khas pada asma (seperti batuk. sesak,
mengi) dan respons saluran napas yang berlebihan terhadap rangsangan
bronkokontriksi. Batuk kemungkinan besar terjadi akibat rangsangan
pada sataf sensorik saluran respiratori oleh mediator inflamasi. Batuk
berulang dapat merupakan satu-satunya gejala asma yang ditemukan pada
anak. Mediator inflamasi dapat juga mempengaruhi persepsi sesak napas
rnelalui pengaruhnya terhadap ;>araf aferen. Rangsangan saraf aferen,
pada keadaan hiperkapnea atau hipoksemia misalnya, akan rnerangsang
timbulnya hiperventilasi alveolar dan kerusakan lainnya akibat serangan
asma akut. Pada keadaan ekstrim lainnya, dengan adanya gangguan
fungsi pada reseptor aferen menyebabkan terjadi penurunan kermmpuan
merasakan adanya penyempitan saluran napas, yang dijutnpai pada pasien
asma kronis berat. Pasien dengan kondisi ini dikenal sebagai perceivers
yang buruk. 4
Penyempitan saluran napas yang terjadi pada pasien asma dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot
polos bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan sel
inflamasi. Mediator tersebut antara lain histamin, triptase, prostaglandin
D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan oleh sel mast; neuropeptidas'e
yang dikeluarkan saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal dari saraf
eferen post ganglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos
saluran napas (yang diperberat juga oleh penebalan saluran napas yang
berhubungan dengan edema akut, infiltrasi sel, dan remodeling) adalah
hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi
matriks pada dinding saluran napas. Namun, keterbatasan aliran udara
pernapasan dapat juga timbul pada keadaan dirnana saluran napas
dipenuhi oleh sekret yang banyak, tebal dan lengket (yang diproduksi oleh
sel Goblet dan kelenjar submukosa), pengendapan protein plasma yang
keluar dari mikrovaskularisasi bronchial dan debris seluler. 4
Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asrna
ditimbulkan oleh penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi
seluruhstruktur pohon trakeobronkial, maksimal sampai bronkus kecil
dengan diameter 2-5 mm. Resistensi saluran napas mengalami
peningkatan danlajuekspirasi maksimal mengalami penurunan, yang
mempengaruhi volume paru secara keseluruhan. Penyempitan saluran
napas pada daerah perifer menyebabkan peningkatan volume residu. Salah
satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran napas adalah
kecenderungan untuk bernapas denganhiperventilasi untuk mendapatkan
volume yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi
toraks. Perubahan ini meningkatkan kerja pernapasan agar retap dapat
mengalirkan udara pernapasan melalui jalur yang sempit dengan
rendahnya compliance pada kedua paru. Inflasi toraks yang berlebihan
mengakibatkan otot diafragma tlan interkostal, secara mekanik,
mengalami kesulitan sehingga kerjanya menjadi tidak optimal (Sebih dari
normal). Peningkatan usaha bernapas dan penurunan kerja otot
menyebabkan timbul kelelahan dan gagal napas. 4
2.6.2 Hiperaktivitas saluran respiratori
Asma hampir selalu berhubungan dengan mudahnya saluran napas
mengalami penyempitan dan atau renspons yang berlebihan terhadap
provokasi stimulus. Adanya penyempitan saluran napas yang berlebihan,
secara klinis merupakan patofiologi yang paling diterima sampai saat ini.
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan
ini sampai saat ini tidak diketahui, namun dapat berhubungan dengan
perubahan otot polos saluran napas yang terjadi sekunder serta
berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai
tarnbahan, inflamasi pada dinding saluran napas, khususnya pada regio
peribronkial, cenderung memperparah penyempitan saluran napas yang
terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut. 4

Gambar 6. Mekanisme hiperresponsif saluran respiratori Sumter CINA 2004

Hiperreaktivitas saluran napas paling sering ditatalaksana secara


klinis dengan obat-obatan aerosol stimulant, seperti histamin atau
metakolin, dengan dosis yang ditingkatkan secara progresif, sampai pada
pemeriksaan ditemukan perubahan fungsi paru. Hasi! akhir atau endpoint
yang paling sering digunakan adalah penurunan dari FEV L dan
hiperreaktivitas saluran napas dapat dilihat dari jurnlah konsentrasi obat
yang dapat memprovokasi sehingga menyebabkan penurunan sebanyak
20% (PCZO atau PD;o, gambar 3.3.2). Saluran respirator! dikatakan
hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada pemberian histamin atau
metakolin dengan konsentrasi kurang dari 8 u,g% didapatkan penurunan
FEV! 20%, yang merupakan kharateristik asma, dan juga dapat dijumpai
pada penyakit yang lainnya seperti COPD, fibrosis kistik Jan rhinitis
alergi. Pada asma terdapat korelasi antara nilai PD ZO ataupun PC2o
terhadap keparahan penyakit. Stimulus yang lain seperti olahraga, udara
dingin, ataupim adenosine, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap
otot polos saluran napas (tidak seperti histamine dan metakolin). Stimulus
tersebut akan rnerangsang sel Mast, ujung serabut saraf dan sel lain yang
terdapat di saluran napas untuk rnengeluarkan mediatornya. 4
2.6.3 Otot polos saluran respiratori
Beberapa pengukuran yang dilakukan terhadap kontraksi isotonik
otot polos saluran napas pasien asma menunjukkan adanya pemendekan
dari panjang otot. Kelainan fungsi kontraksi ini diakibatkan oleh
perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian elastisitas jaringan otot
polos atau pada matriks ekstraselularnya. Peningkatan kontraktilitas otot
pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan
pemendekan otot. Proses ini disertai dengan pertumbuhan otot dan atau
perubahan pada fenotip sel otot polos yang diakibatkan oleh interaksi
dengan inflarnasi saluran napas. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa
perubahan pada stuktur filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot
polos dapat menjadi etiologi hiperreaktivitas saluran napas yang terjadi
secara kronik. 4
Peran dari pergerakan aliran udara pernapasan dapat diketahui
melalui hipotesis perturbed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot
polos saluran napas mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama
tidak direnggangkan hingga sampai pada tahap akhir, yang merupakan
fase terlambat, dan menyebabkan penyempitan saluran napas yinenetap
atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi, yang timbul sekunder
terhadap inflamasi saluran napas, kemudian menyebabkan timbulnya
edema adventisial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil elastis. 4
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel Mast, seperti triptase
dan protein kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatan respons otot
polos untuk berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya
seperti histamine. Penemuan ini membuktikan adanya hubungan antara lat
yang dihasilkan oleh sel Mast dan hiperresponsif saluran napas secara in
vitro. Keadaan inflamasi ini dapat memberikan efek Ice otot polos secara
langsung ataupun sekunder terhadap geometri saluran napas. 4
2.6.4 Hipersekresi mukus
Produksi mukus yang berlebihan merupakan gejala utama pada
penyakit bronkitis kronis, namun gejala tersebut juga merupakan salah
satu kharateristik pasien asma yang tidak pernah memiliki riwayat
merokok ataupun bekerja pada Hngkungan yang berdebu. Survei
membuktikan, sebanyak 30% pasien asma kesehariannya memproduksi
sputum dan 70% sisanya hanya memproduksi pada saat serangan asma
timbul. Sering kali pasien asrna didiagnosis dengan bronkitis akut
rekuren. Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali
ditemukan pada saluran napas pasien asma dan penarnpakan remodeling
saluran napas merupakan kharateristik asma kronis. Obstruksi yang luas
akibat penumpukan mukus saluran napas hampir selafu ditemukan pada
asma yang fatal dan menjadi penyebab obstruksi saluran napas yang
persisten pada serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan
dengan pemberian bronkodilator. 4
Sekresi mukus pada saluran napas pasien asma tidak hanya
berupa peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada
viskoelastisitas. Perbedaan kualitas dan kuantitas dapat timbul baik akibat
infiltrasi sel inflamasi maupun terjadi perubahan patologis sel sekretori,
pembuluh darah epitel saluran napas dan lapisan submukosa. Penebalan
dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi
musin saja tetapi juga terdapatnya penumpukan sel epitel, pengendapan
albumin yang berasal dari mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan
DNA yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis. 4
Hipersekresi mukus pada pasien asma merefleksikan dua
mekanisrne patofisiologi yaitu mekanisrne yang bertanggung jawab
terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan
mekanisrne patofisiologi yang bertanggung jawab hingga terjadi sekresi
sel granulasi. Mediator penting yang dikeluarkan oleh sel Goblet, yang
mengalami metaplasia dan hiperplasia, merupakan bagian dari rantai
inflamasi. Degranulasi sel Goblet yang dicetuskan oleh stimulus
Hngkungan (seperti asap rokok, sulfur dioksida, klorin dan ammonia),
diperkirakan terjadi karena adanya penglepasan neuropeptidase lokal atau
aktivasi jalur refleks kolinergik. Kemungkinan besar, yang lebih penting
adalah degranulasi yang diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan
aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofi) elastase, kimase sel Mast,
leukotrien, histamin, produk neuttoftl non-protease. Tidak ditemukannya
elastase neutrofil pada sputum pasien yang dikeluarkan pada fase
eksaserbasi akut, mencetuskan bahwa hal tersebut merupakan perangsang
sekret yang penting pada serangan asma berat. 4
2.6.5 Keterbatasan aliran udara irreversible
Penebalan saluran napas, yang merupakan karakteristik asma,
terjadi pada bagian kartilago dan membranosa dari saluran napas.
Bersamaan dengan perubahan pada bagian elastik dan hilangnya
hubungan antara saluran napas dengan parenkim disekitarnya,
penebalan dmding saluran napas dapat menjelaskan mekanisme
timbulnya penyempitan saluran napas yang gagal untuk kembali normal
dan terjadi terns"menerus pada subgroup pasien asma. Terdapat
beberapa bukti yang dicemukan bahwa bilangnya fungsi saluran napas
yang merefleksikan remodeling, dapat: rimbul pada asrna sedang.
Namun penelitian terakhir mengatakan bahwa hal tersebut dapat
dicegah dengan memberikan pengobatan sejak awal dengan
menggunakan glukokortikosteroid inhalasi. Lebih jauh lagi, kekakuan
otot polos menyebabkan aliran udara pernapasan Cerhambat hiingga
rnenjadi irreversible. Proporsi jumlah pasien asma sedang yang beresiko
mendenta kelainan ini sampai saat ini belum diketahui. 4
2.6.6 Eksaserbasi
Gejala yang memburuk merupakan kharateristik utama dari asma.
Terdapat banyak faktor yang dapat mencetuskan sehingga terjadi
eksaserbasi, termasuk stimulus yang hanya menyebabkan bronkokontnksi
(seperti udara dingin, kabut, olahraga) dan stimulus yang menyebabkan
inflamasi saluran napas (seperti pemaparan terhadap alergen, pencetus
okupasi, ozon atau virus saluran napas). Olahraga dan hiperventilasi
pernapasan, dengan keadaan udara dingin dan kering, menyebabkan
bronkokontriksi dan pelepasan sel lokal dan mediator inflamasi (seperti
histamin atau leukotrien sistenil) yang dapat menstimulasi kontraksi otot
polos. Stimulus yang hanya menyebabkan bronkokontriksi tidak akan
memperburuk respons bronkial yang diakibatkan oleh stimulus yang lain,
sehingga hanya bersifat sementara saja. 4
Eksaserbasi asma dapat timbul selama beberapa hari. Sebagian
besar berhubungan dengan infeksi saluran napas, yang paling sering
adalah common cold akibat Rhonivirus. Rhinovirus dapat menginduksi
respons inflamasi intrapulmoner. Pada pasien asma, inflamasi terjadi
dengan derajat obstruksi yang bervariasi serta dapat memperberat
hiperreaktivitas brokial. Respons inflamasi ini melibatkan aktivasi dan
masuknya eosinofil dan atau neutrofil, yang dimediasi oleh penglepasan
sitokin atau kemokin sel T ataupun sel epitel bronkial. 4
Paparan alergen juga dapat mencetuskan eksaserbasi pada pasien
asma. Pasien dengan asma onset lambat menunjukkan respons berupa
flare up dari eosinofil akibat inflamasi yang terjadi, yang kemudian diikuti
oleh hiperreaktivitas saluran napas. Pengulangan paparan alergen pada
tingkat sub-bronkokontriksi dapat juga mencetuskan respons yang sama.
Paparan sub-bronkokontriksi scsungguhrvya dapat menginduksi inflamasi
saluran napas yang menetap dan berperan pada proses remodeling seperti
penumpukan kolagen pada lapisan subepitel retikular. 4
Pada pasien asma okupasional, abnormalitas persisten terjadi
setelah pemaparan terhadap pencetus yang berada di tempat kcrja. Setelah
beberapa bulan pasca pemaparan,hiperreaktivitas saluran napas dan
beberapa aspek dari inflamasi saluran napas (eosinofil dan makrofag
permukaan) masih dapat dijurnpai, sementara penampakan klinis yang
lain, termasuk penumpukan kolagen subepitel, terjadi scbaliknya.
Penemuan tersebut menggarnbarkan bahwa terdapat hubungan yang
kompleks pada patofisiologi yang berperan pada proses eksaserbasi dan
asma persisten. Proses ini, lebih jauh lagi, dapat diperberat lagi dengan
adanya interaksi antara berbagai pencetus yang berbeda, sebagai
contohnya, interaksi antara pencetus okupasional dengan polutan udara.
Obat Nonsteroid antt'inflammatory (NSAID) dapat menghambat
siklooksigenase-1, sehingga dapat raengatasi serangan asma pada 10%
pasien. Serangan asma ini dapat berbahaya. Pada survei yang dilakukan
secara retrospektif pada pasien asma dewasa yang mendapatkan
tatalaksana dengan menggunakan ventilasi mekanik untuk serangan asma
berat yang fatal, 24% dari mereka memiHki riwayat intoleransi dengan
aspirin. 4
2.6.7 Asma nokturnal
Asma yang memburuk pada malam hari sesuai dengan siklus
nokturnal, ditemukan secara klinis sebagai kharateristik pada sejurnlah
pasien. Biopsi bronkial pasien asma yang mengalami obstruksi nokturnal
tidak menunjukkan adanya peningkatan jurniah sel T, eosinofil ataupun
sel Mast pada pemeriksaan yang dilakukan pada pukul 04.00. Namun
demikian, biopsi transbronktal telah membuktikan terdapatnuya
akumulasi eosinofil dan makrofag di alveolus dan jaringan peribronkial
pada malam hari. Penemuan berikutnya yang menarik adalah mengenai
peran inflamasi adventisial pada saluran napas perifer, yang berhubungan
dengan beratnya proses penyempitan saluran napas. Hubungan yang
saling mempengaruhi antara saluran napas dengan parenkim paru sangat
penting artinya pada asma nokturnal, yang kemudian diperkuat oleh
penelitian terakhir yang menunjukkan adanya gangguan tersebut pada
pasien asma saat tidur dengan posisi supine dibandingkan saat bangun. 4
2.6.8 Abnormalitas gas darah
Asma hanya mempengaruhi proses pertukaran gas pada saat
serangan berat terjadi. Derajat hipoksemia arteri, secara kasar
berhubungan dengan beratnya obstruksi saluran napas yang terjadi secara
tidak merata (homogen) di seluruh paru. Seringkali, paru tertutup total,
sementara yang lain dapat menyempit atau sebaliknya tidak mengalami
obstruksi sama sekali. Adanya ketidakcocokan antara ventilasi dan perfusi
menyebabkan perbedaan oksigen antara arteri dan alveolus ((A-a)dO;)
melebar dan tekanan oksigen 60-90 mmHg (8,0-9,2 kPa) dapat ditemukan
pada pengukuran saat serangan asma berat berlangsung. Hipokapnea yang
dapat ditemukan pada serangan asma ringan sampai sedang, dapat dilihat
dari usaha bernapas yang iebih. Peningkatan PCOZ arteri mengindikasi
bahwa obstruksi yang terjadi sangatlah berat hingga otot pernapasan tidak
dapat lagi mempertahankan laju ventilasi melalui respirasi paksa, yang
dapat dilihat dari usaha bernapas yang lebih (hipoventilasi alveolar).
Adanya perburukan obstruksi saluran napas atau kelelahan otot ataupun
juga penurunan usaha bernapas (akibat dari konsumsi obat narkotik atau
sedatif misalnya) dapat memperberat penurunan ventilasi alveolar.Adanya
peningkaran PCO2 arteri, dapat menghambat pergerakan otot pemapasan
dan usaha bernapas (Keracunan CO2) sehingga pada akhirnya timbul
keadaan gagal napas dan berujung pada kematian. Oleh sebab itu, adanya
hiperkapnea arteri, yang mengindikasikan adanya serangan asma berat,
membutuhkan manajemen atau tatalaksana yang lebih agresif. 4
2.7 Diagnosis asma pada anak
2.7.1 Klasifikasi asma
Asma adalah penyakit yang berbagai macam variasi,biasanya ditandai
dengan inflamasi kronik saluran pernapasan. Asma mempunyai dua tanda
kunci riwayat dari gejala disaluran pernapasan seperti wheezing, nafas
yang pendek, sesak pada dada dan batuk yang bervariasi dengan waktu
yang berbeda dan intensitas yang berbeda dan terbatasnya aliran udara
ekspiratori. 5
2.7.1.1 Berdasarkan kekerapan
2.7.1.1.1 Intermiten
Asma intermitten dibagi berdasarkan 2 golongan umur
yaitu anak umur 0-4 tahun dan anak umur 5-11 tahum.
Asma intermitten pada anak umur 0-4 tahun adalah asma
dengan gejala yang muncul kurang dari 2 hari per minggu,
serangan pada malam hari tidak ada, tidak mengganggu
aktivitas sehari-hari dan 0-1 kali per tahun terjadi
eksaserbasi yang membutuhkan terapi kortikosteroid
sistemik oral. Pada anak umur 5-11 tahun gejala yang
muncul kurang dari 2 kali per minggu, serangan saat malam
kurang dari 2 kali per bulan, tidak mengganggu aktivitas
normal dan 0-1 kali per tahun terjadi eksasrbasi yang
membutuhkan penanganan kortikosteroid sistemik oral. 5
2.7.1.1.2 Persisten
2.7.1.1.2.1 Ringan
Pada asma persisten ringan dibagi berdasarkan 2
golongan umur yaitu 0-4 tahun dan 5-11 tahun. Asma
persisten ringan pada anak umur 0-4 tahun adalah asma
dengan gejala yang timbul lebih dari 2 kali per minggu
namun tidak setiap hari, serangan pada malam hari 1-2 kali
per bulan, sedikit mengganggu aktivitas normal terjadi
lebih dari 2 kali eksaserbasi dalam 6 bulan yang
membutuhkan kortikosteroid sistemik oral atau lebih dari 4
kali episode wheezing selama 1 tahun terakhir yang
bertahan lebih dari 1 hari dan mempunyai resiko sebagai
asma persisten. Pada anak umur 5-11 tahun asma persisten
ringan adalah asma dengan gejala yang timbul gejala yang
sama pada anak umur 0-4 tahun namun pada pemeriksaan
faal paru ditmukan FEV1 =>80% diprediksi dan
FEV1/FVC>85%.5

2.7.1.1.2.2 Sedang
Asma persisten sedang pada anak umur 0-4 tahun
adalah asma dengan gejala yang muncul setiap hari,
serangan pada malam hari 3-4 kali per bulan dan
membatasi beberapa aktivitas normal dimana terjadi lebih
dari 2 kali eksaserbasi dalam 6 bulan yang membutuhkan
kortikosteroid sistemik oral atau lebih dari 4 kali episode
wheezing selama 1 tahun terakhir yang bertahan lebih dari 1
hari dan mempunyai resiko sebagai asma persisten. Pada
anak umur 5-11 tahun asma persisten sedang terjadi dengan
gejala yang sama dan pada pemeriksaan faal paru didapati
FEV1 >60-80% diprediksi dan FEV1/FVC=75-80% dengan
eksaserbasi yang membutuhkan kortikosteroid sistemik oral
terjadi lebih dari 2 kali dalam 1 tahun. 5
2.7.1.1.2.3 Berat
Asma persisten berat terjadi pada anak umur 0-4
tahun dengan gejala yang timbul lebih dari sekali dalam
sehari, serangan pada malam hari terjadi lebih dari 1 kali
dalam 1 minggu, sangat membatasi aktivitas normal dengan
terjadi lebih dari 2 kali eksaserbasi dalam 6 bulan yang
membutuhkan kortikosteroid sistemik oral atau lebih dari 4
kali episode wheezing selama 1 tahun terakhir yang
bertahan lebih dari 1 hari dan mempunyai resiko sebagai
asma persisten. Pada anak umur 5-11 tahun terjadi gejala
yang sama dengan hasil pemeriksaan faal paru didapatkan
FEV1 <60% diprediksi dan FEV1/FVC <75%.5
2.7.1.2 Berdasarkan Asma terkontrol
2.7.1.2.1 Asma terkontrol
Pada anak umur 0-4 tahun didapati gejala yang
muncul kurang dari 2 hari per minggu, serangan pada
malam hari kurang dari 1 kali per bulan, tidak mengganggu
aktivitas normal, penggunaan Beta2 agonis kerja pendek
untuk mengatasi gejala kurang dari 2 hari per minggu,
eksaserbasi yang membutuhkan kortikosteroid sistemik oral
0-1 kali per tahun. Pada anak umur 5-11 tahun terjadi gejala
yang sama dengan hasil pemeriksaan faal paru didapatkan
FEV1 >80% diprediksi dan FEV1/FVC >80%.5
2.7.1.2.2 Asma terkontrol sebagian
Pada anak umur 0-4 tahun terjadi gejala yang muncul
lebih dari 2 hari per minggu, serangan pada malam hari
lebih dari sekali per bulan, terjadi beberapa keterbatasan
pada aktivitas normal, penggunaan Beta2 agonis kerja
pendek untuk mengatasi gejala lebih dari 2 hari per
minggu, eksaserbasi yang memerlukan kortikosteroid
sistemik oral 2-3 kali pe tahun. Pada anak umur 5-11 tahun
ditemukan gejala yang sama dengan hasil pemeriksaan faal
paru didapatkan FEV1 60-80% diprediksi dan FEV1/FVC
75-80%.5
2.7.1.2.3 Asma sangat tidak terkontrol
Asma tidak terkontrol pada bayi mempunyai gejala
yang timbul setiap hari dengan serangan pada malam hari
yang terjadi lebih dari sekali dalam seminggu, sangat
membatasi aktivitas normal, penggunaan Beta2 agonis kerja
pendek untuk mengatasi gejala beberapa kali dalam sehari,
terjadi eksaserbasi yang membutuhkan kortikosteroid
sistemik oral lebih dari 3 kali per tahun. Pada anak umur 5-
11 tahun ditemukan gejala yang sama dengan hasil
pemeriksaan faal paru didapatkan FEV1 60% diprediksi dan
FEV1/FVC <75%.5
2.7.1.3 Serangan asma

2.7.2 Manifestasi Klinis


2.7.2.1 Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan dengan cermat agar
didapatkan riwayat penyakit yang akuret mengenai gejala sulit
bernapas, mengi, atau dada terasa berat yang bersifat episodik
dan berkaitan dengan musim, serta adanya riwayat asma atau
penyakit atopi pada anggota keluarga. Walaupun informasi
akurat mengenai hal-hal tersebut tidak mutiah didapat, beberapa
pertanyaan berikut ini sangat bergnna dalam pertimbangan
diagnosis asma (consider diagnosis of asthma): 5
Apakah anak mengalami scrangan mengi atau serangan
mengi berulang?
Apakah anak sering terganggu oleh batuk pada maiarn hari?
Apakah anak mengalami mengi atau batuk setelah
berolahraga?
Apakah anak mengalami gejala mengi, dada terasa berat,
atau batuk setelah terpajan alergen atau polutan'
Apakah jikamengalami pilek, anak mernbutuhkan > 10 hari
untuk sembuh?
Apakah gejala klinis membaik setelah pemberian pengobatan
anti-asma?
Setelah menetapkan apakah seorang anak benar-benar
mengalami mengi atau batuk yang hebat, langkah berikutnya
adalah mengidentifikasi pola dan derajat gejala. Pola gejala
harus dibedakan apakah gejala tersebut timbul pada saat infeksi
virus atau eimbul tersendiri di antara batuk pilek biasa. Apabila
mengi dan batuk hebat tersebut terjadi tidak bersamaan dengan
infeksi virus, selanjurnya hams ditentukan frekuensi dan
pencetus gejala. Pencetus yang spesifik dapat berupa aktivitas,
emosi (misalnya menangis atau tertawa), debu, pajanan terhadap
bulu binatang, perubahan suhu lingkungan atau cuaca,
aerosol/aroma yang tajam, asap rokok atau asap dari perapian.
Derajat berat ringannya gejala harus ditentukan untuk
mengarahkan pengobatan yang akan diberikan. 5
Dalam GINA 2006 dinyatakan bahwa anak merupakan
kelompok yang sulit untuk didiagnosis. Hal ini disebabkan
karena mengi episodik dan batuk merupakan gejala yang sering
ditemukan pada penyaki: anak terutama pada usia <3 tahun.
Semakin muda usia anak, semakin banyak diagnosis banding
penyakit untuk menjelaskan mengi berulang/rekuren. Diagnosis
banding untuk bayi adalah fibrosis kistik, aspirasi susu rekuren,
sindrom diskinesia silia primer, defisiensi imun primer, kelainan
jantung kongenital, malformasi kongenital yang menyebabkan
penyempitan aliran udara intratoraks, dan aspirasi benda asing.
Apabila awitan timbul pada masa neonatus, disertai gagal
tumbuh, muntah, dan ditemukan tanda kelainan kardiopulmonal,
maka dipedukan pemeriksaan lanjutan, seperti ujikeringat
(sweat test) untuk menyingkirkan fibrosis kistik, pemeriksaan
fungsi imun, pemeriksaan untuk menilai adanya rerluks, serta
foto toraks. 5
Pada anak dengan gejala batuk rekuren dan mengi, ada
beberapa ha! yang harus ditanyakan untuk memperkirakan
diagnosis banding, yaitu: 5
Apakah anak/orangtua benar-benar dapat menjelaskan apa yang
disebut dengan mengi?
Apakah terdapat gejala saluran napas stas: mendengkur, rinitis,
rinosinusitis?
Apakah gejala timbul sejak hari pertama kehidupan?
Apakah awitan gejala sangat tiba-tiba/mendadak?
Apakah terdapat batuk berdahak yang kronik atau disertai produksi
sputum?
Apakah mengi memburuk atau anak menjadi iritabel
setelah makan dan bertambah buruk jika berbaring, muntah, atau
tersedak?
Apakah terdapat gejala atau gambaran klinis kelainan
hnunodefisiensi sistemik?
Apakah gejala berlangsung kontinu dan tidak berkurang/membaik?
Meskipun tidak semua mengi adalah asma, tetapi asma
merupakan salah satu penyebab mengi. Maka, rnungkin lebih tepat
jika dikatakan bahwa semua mengi adalah asma sarapai dibuktikan
bukan asma. 5

2.7.2.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisis, urnumnya tidak ditemukan
kelainan saat pasien tidak mengalami serangan. Pada sebagian kecil
pasien yang derajat asmanya lebih berat, dapat dijumpai mengi di
luar serangan. 5
Dengan adanya kesulitan ini, diagnosis asma pada bayi
dan anak kecil (di bawah usia 5 tahun) hanya merupakan diagnosis
klinis (penilaian hanya berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisis dan
respons terhadap pengobatan). Sebab, pada kelompok usia ini, tes
fungsi paru atau pemeriksaan untuk mengetahui adanya
hipcrresponsivitas saluran napas tidak mungkin dilakukan dalam
praktek sehari-hari. Tidak jarang, asma pada anak didiagnosis
sebagai bentuk varian bronkitis sehingga mendapatkan pengobatan
yang tidak tepat dan tidak efektif, yaitu berupa pemberian
antibiotika dan obat batuk. 5
Berdasarkan berbagai hal tersebut di atas, bayi dan anak
di bawah 5 tahun dengan batuk rekuren dan/atau mengi
dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu: 5
1. normal
2. salah satu varian spektrum asma
3. penyakit atau keadaan serius yang mernbutuhkan
diagnosis dan terapi yang spesifik.
Pada PNAA 2004, dinyatakan bahwa mengi berulang
dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal menuju
diagnosis. Kernungkinan asma perlu dipikirkan pada anak yang
hanya menunjukkan batuk sebagai satu-satunya gejala dan pada
peraeriksaan fisis tidak ditemukan mengi, sesak, dan lain-lain. Pada
anak yang tampak sehat dengan batuk malam hari yang rekuren,
asma harus dipertimbangkan sebagai probable diagnosis. Beberapa
anak menunjukkan gejala setelah berolahraga. Dengan demikian,
jika terdapat keraguan dalam mendiagnosis asma ringan pada
seorang anak, dapat dilakukan tes dengan berolahraga (berlari cepat
selama 6 menit). 5
2.7.2.3 Eksaserbasi ( serangan ) asma
Eksaserbasi (serangan) asma adalah episode perburukan
gejala-gejala asma secara progresif. Gejala yang dimaksud adalah
sesak napas, batuk, mengi, dada rasa tertekan, atau berbagai
kombinasi gejala tersebut. Pada umumnya, eksaserbasi disertai
distres pernapasan. Serangan asma ditandai oleh penurunan PEF
atau FEV Pengukuran ini merupakan indikator yang lebih dapat
dipercaya daripada penilaian berdasarkan gejala. 5
Sebaliknya, derajar gejala lebih sensitif untuk
menunjukkan awal terjadinya ekaserbasi karena memberatnya
gejala biasanya mendahului perburukan PEF. Derajat serangan
asma bervariasi mulai dari yang ringan sampai yang niengancam
jiwa, perburukan dapat terjadi dalam beberapa menit, jam, atau
hari. Serangan akut biasanya timbul akibat pajanan terhadap
faktor pencetus (paling sering infeksi virus atau aliergen atau
kombinasi keduanya), sedangkan serangan berupa perburukan
yang bertahap mencerminkan kegagalan pcngelolaan jangka
panjang penyakit. 5
Tabel 2.7.2.3 Penilaian derajat serangan asma
Parameter klinis, fungsi paru, Ringan Sedang Berat
Laboratorium
Tanpa Ancaman
ancaman henti ;
Henti napas napas
Sesak ( breathless ) Berjalan Bayi; menangis Berbicara Bayi: - Istirahat
keras tangis pcndek dan Bayi: Cidak
lernah - kesulitan mau
menyusu/ makari minum/mak
an
Posisi Bisa berbaring Lebih suka duduk Duduk
bertopang
Lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kaca
Kesadaran Mungkin writable Biasanya iritable Biasanya Kebingungan
iritable
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Mengi Sedang, sering hanya pada Nyaring, sepanjang Sangat Sulit/tidak
akhir ekspirasi ekspirasi inspirasi nyaring, terdengar
terdengar
tanpa
stetoskop
sepanjang
ekspirasi
Penggunaanotot Biasanya ridak Biasanya ya Ya
dan inspiraii Gerakari
bantubantu respiratorikk paradoks
torako--
abdominal

Retraksi Dangkal, recraksi inrerkostal Sedang, ditambah Dalam, Dangkal/


retraksi dr'imbah hilang
suprasternal napas
cuping
Frekuensi napas Takipnea Takipnea hidung
Takipnea Bradipnea

Pedoman nilai baku laju napas pada anak sadar:


Usia Frekuensi napas normal
< 2 bulan < 60 / menit
2-l2bulan < 50 / menit
1-5 tahun <40 /menit
6-8 tahun < 30 / menit

Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi

2.7.2.4 Pemeriksaan Penunjang


2.7.2.4.1 pemeriksaan fungsi paru
Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk
mengukur fungsi paru, tetapi tidak banyak yang dapat
dilakukan dengan mudah. Pemeriksaan fungsi paru mulai
dari pengukuran sederhana, yaitu peak expiratory flow
rate (PEFR) atau arus puncak ekspirasi (APE), pulse
oxymetry, spirometri, sampai pengukuran yang kompleks
yaitu muscle strength testing, volume pam absolut, serta
kapasitas difusi. Pemeriksaan fungsi paru yang obyektif
dan lengkap dapat bermanfaat dalam evaluasi diagnostik
anak dengan batuk, mengi rekuren, aktivitas terbatas, dan
keadaan lain yang berkaitan dengan sistem respiratorik.
Pemeriksaan fungsi paru ini cerutama bermanfaat apabiia
ada rnanifestasi gejala asma yang tidak khas. 5
Kebanyakan uji fungsi paru mengevaluasi satu
atau lebih aspek fungsi paru, yaitu: 1} volume paru, 2)
fungsi jalan napas, 3) pertukaran gas. Pengukuran
volume paru bermanfaat pada penyakit paru restriktif
seperti kelemahan otot napas, deformitas dinding dada,
atau penyal .t interstitial paru, serta pada beberapa anak
dengan kelainan obstruktif jalan napas. 5
Walaupun pemeriksaan analisis gas darah
merupakan baku emas untuk menilai parameter
pertukaran gas, pulse oximetry masih merupakan
pemeriksaan yang berguna dan efisien. 5
Pada uji fungsi jalan napas, hal yang paling
penting adalah melakukan rnanuver ekspirasi paksa
secara maksimal. Hal ini terutama berguna pada penyakit
dengan obstruksi jalan napas, misalnya asma dan fibrosis
kistik. Pengukuran dengan manuver ini yang dapat
dilakukan pada anak di atas 6 tahun adalah forced
expiratory volume in 1 second (FEV,) dan vital capacity
{VQ dengan alat spirometer serta pengukuran peak
expiratoryflow (PEF) atau arus puncak ekspirasi (APE)
dengan peak-flow meter. Pengukuran variabilitas dan
reversibilitas fungsi paru dalam 24 jam sangat penting
untuk mendiagnosis asma, menilai derajat berat
penyakit asma dan menjadi acuan dalam strategi
pedoman pengelolaan asma. 5
Pengukuran PEF pada asma tidak selalu
berkoreiasi dengan pengukuran fungsi paru lainnya.
Dengan alasan ini, pengukuran PEF harus
dibandingkan dengan nilaj terbaik anak sendiri. Untuk
menilai derajat asma dan respons terapi, PEF harus
diukut secara serial dalam 24 jam. Bahkan jika perlu,
diukur selama beherapa minggu, karena derajat asma
tidak ditentukan oleh nilai baseline melainkan oleh
variabilitas, terutania dalam 24 jam. Variabilitas harian
adalah perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) PEF
dalam 1 hari. Metode yang dianggap merupakan cara
mengukur nilai diurnal PEF terbaik adalah pengukuran
selama paling s^dikit 1 minggu dan hasilnya dinyatakan
sebagai persen nilai terbaik dari selisih nilai PEF pagi
hari teiendah dengan nilai PEF malam hari tertinggi. 5
Pengukuran PEF yang dilakukan secara tidak
teratut,misalnya hanya 23 kali dalam seminggu atau
secara intermiten, tidak dapat menentukan perburukan
fungsi paru lebih awal, tetapi cara ini masih dapat
memberikan informasi mengenai variabilitasnya. Untuk
hal ini, PEF lebih baik diukur pada pagi dan malam hari
pada hari yang sama dan harus dilakukan secara
konsisten sebelum atau setelah pemberian
bronkodilator. Jika didapatkan variabilitas PEF diurnal
>20% (petanda adanya perburukan asma), diagnosis
asma perlu dipertimbangkan. Hal iain yang harus
diingat adalah bahwa pada asma intermiten atau asma
berat (severe intractable disease), variabilitas PEF tidak
selalu ditemukan. 5
Pemeriksaan peak flow meter merupakan hal
yang penting dan perlu diupayakan. Meskipun
pemeriksaan ini digunakan sebagai salah satu parameter
untuk menentukari derajat penyakit asma, namun masih
sedikit dokter yang menggunakannya, misalnya dokter
anak di Thailand hanya 23% yang melakukannya. Di
ncgara berkembang penggunaan peak flow meter dan
spirometri jarang digunakan dalam pengelolaan asma
sehingga sebagian besar diagnosis asma hanya
didasarkan pada riwayat penyakit dan pemeriksaan fisis,
terutama pada asma dalam serangan. 5
Jika pemeriksaan fungsi paru tidak tersedia,
lembar catatan harian dapat digunakan sebagai alternatif
karena metode ini mempunyai korelasi yang baik
dengan fungsi paru. Lembar catatan harian dapat
digunakan dengan atau tanpa pemeriksaan
PEF(Godfrey). 5
Pada pemeriksaan spirometri, adanya perbaikan
FEV[ sebanyak minima! 12% setelah pemberian
bronkodilator inhalasi dengan/tanpa glukokortikoid
mendukung diagnosis asma. 5
Pada Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA)
2004, untuk mendukung diagnosis asma anak dipakai
batasan sebagai berikut: 5
1. variabilitas PEF atau FEV,^ 15%,
2. kenaikan PEF atau FEV, >. 15% setelah pemberian
inhalasi bronkodilator,
3. penurunan PEF atau FEVl >_ 20% setelah
provokasi bronkus. Penilaian variabilitas sebaiknya
dilakukan dengan mengukur selama j> 2 minggu.
2.7.2.4.2 pemeriksaan hiperaktivitas saluran nafas
Uji provokasi bronkus dengan histamin,
metakolin, latihan/olahraga, udara kering dan dingin, atau
dengan salin hipertonik sangat menunjang diagnosis. Pada
pasien yang mempunyai gejala asma tetapi fungsi parunya
tampak normal, penilaian respons saluran napas terhadap
metakolin, histamin, atau olahraga dapat membantu
menegakkan diagnosis asma. Pengukuran ini sensitif
terhadap asrna, tetapi spesifisitasnya rendah. Arfinya, hasil
yang negatif dapat membantu menyingkirkan diagnosis
asma persisten, sedangkan hasil positif tidak selalu berarti
bahwa pasien tersebut memiliki asma. Hal ini disebabkan
karena hiperreaktivitas saluran napas juga terdapat pada
pasien rinitis alergi dan kondisi lain seperti ftbrosis kistik,
bronkiektasis, dan penyakit paru obstruktif menahun. 5
2.7.2.4.3 pengukuran tanda inflamasi slauran nafas non invasif.
Penilaian terhadap inflamasi saluran napas akibat
asma dapat dilakukan dengan cara memeriksa eosinofil
sputum, baik yang spontan rnaupun yang diinduksi
dengan garam hipertonik. Selain itu, pengukuran kadar
NO ekshalasi juga merupakan cara menilai petanda
inflamasi yang noninvasif. Walaupun pada pasien asma
(yang tidak menerima kortikosteroid inhalasi) didapatkan
eosinofilia pada sputum dan peningkatan kadar NO
ekshalasi dibandingkan dengan orang yang tidak
menderita asma, hasil ini tidak spesifik untuk asma dan
belum terdapat penelitian yang menyatakan bahwa hal ini
dapat membantu dalam diagnosis asma5.
2.7.2.4.4 Penilaian status alergi
Penilaian status alergi dengan uji kulit atau
pemeriksaan IgE spesifik dalam serum tidak banyak
membantu diagnosis asma, tetapi pemeriksaan ini dapat
membantu menentukan faktor risiko atau pencetus asma.
Tes alergi untuk kelompok usia <5 tahun dapat digunakan
untuk hal-hal berikut ini: 5
1. menentukan apakah anak atopi,
2. mengarahkan manipulasi lingkungan,
3. memprediksi prognosis anak dengan niengi.
Uji kulit maupun pemeriksaan kadar IgE total
mempunyai nilai negatif palsu yang tinggi, tetapi jika
positif, hasilnya bermakna. Penelitian TCRS
menunjukkan bahwa nilai IgE total yang tinggi pada usia
< 1 tahun (tetapi tidak pada saat lahir) merupakan faktor
yang dapat memprediksi tingginya IgE pada usia 6 tahun
dan 11 tahun dan berhubungan dengan mengi
berkepanjangan, sebaliknya anak dengan mengi pada
tahun pertama kehidupan tetapi memiliki IgE normal,
akan sernbuh dari gejala mengi. Pengukuran IgE total
lebih bermanfaat untuk penelitian daripada untuk
penerapan individual, sedangkan tea atergi yang spe. ifik
mungkin lebih bermanfaat bagi penerapan individual. 5

2.8 Diagnosis Banding


Langkah penting dalam penegakan diagnosis adalah menemukan adanya
keterbatasan aliran udara yang reversibel dan bervariasi, yang ditunjukkan pada
pemeriksaanspirometri. Diagnosis banding yang mungkin adalah GER
rmosmobronkitis, OSAS, fibrosis kistik, primary cilliary dyskinesis, benda asing,
vocal cord Junction
2.8.1 1. Alur diagnosis
Jika gejala dan tanda klinis jelas serta respons terhadap pemberian obat
baik, pemeriksaan lebih lanjut tidak perlu dilakukan. Jika respons terbadap obat
asma tidak baik, sebelum mengganti obat dengan yang lebih poten, harus dinilai
lebih dulu apakah dosis stidah adekuat, cara dan waktu pemberian sudah benar,
serta ketaatan pasien baik. Bila semua aspek tetsebut sudah dilakukan dengan
baik dan benat, diagnosis bukan asma perlu dipikirkan. 5
Berdasarkan alur di atas, diagnosis akhir pada setiap anak dengan gejala
batuk dan/atau mengi dapat betupa sebagai berikut: 5
1. Asma,
2. Asma dengan penyakit lain,
3. Bukan asma
Di Indonesia, tuberkulosis (TB) masih merupakan penyakit yang banyak
dijumpai dan salah satu gejalanya adalah batuk kronik bemlang. Oleh karena itu,
uji tuberkulin perlu dilakukan baik pada kelompok yang patut diduga asma
maupun yang bukan, Dengan cara itu, penyakit TB yang mungkin terdapat
bersamaan dengan asrna dapat didiagnosis dan diterapi. Jika pasien memerlukan
steroid untuk pengobatan asma, TB pasien tidak akan mengalami perburukan
karena telah dilir.dungi dengan obat. 5

2.9 Pencegahan Asma


Prevalens asma pada anak semakin meningkat dari waktu ke waktu,
baik di negara maju maupun di negara berkembang. Peningkatan ini diduga
karena perubahan pola hidup, diet yang tidak sesuai, dan faktor lingkungan
seperti polutan, baik indoor maupun outdoor pollutants. Faktor risiko asma
telah banyak diketahui, sehingga berbagai upaya telah dilakukan untuk
rnengurangi prevalens asma. Upaya diagnosis dan tatalaksana asma semakin
berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi prevalens
asma tetap tinggi, Pencegahan pada asma terbagi menjadi tiga kelompok,
yaitu pencegahan primer, sekunder, dan tersier.6
Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah terjadinya sensitisasi
pada bayi yang belum tersensisitisasi. Pencegahan primer ini dapat dilakukan
prenatal atau pascanatal. Pencegahpn sekunder bertujuan untuk mencegah
terjadinya inrlamasi/asma pada bayi/anak yang sudah tersensitisasi.
Pencegahan tersier bertujuan mencegah terjadinya serangan akut atau
eksaserbasi pada bayi/anak asma. Pada bab ini lebih ditekankan pada
pencegahan primer, Beberapa langkah penanganan asma pada anak adalah
sebagai berikut : 6
1. Pemberian edukasi pada pasien dan keluarganya tentang asma
2. Penilaian dan pemantauan derajat asma
3. Penghindaran terhadap faktor resiko
4. Pembuatan rencana tatalaksana jangka panjang
5. Menataksana eksaserbasi atau serangan
6. Follow-up secara teratur

Telah dikemukakan di atas bahwa menghindari faktor risiko merupakan


salah satu langkah tatalaksana asma, baik pencegahan primer, sekunder, maupun
tersier. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai ketiga pencegahan tersebut,
dengan penekanan pada pencegahan primer. 6

2.9.1 Pencegahan Primer


Pencegahan primer adalah mencegah terjadinya sensitisasi pada
bayi atau anak yang mempunyai risiko untuk menjadi asma di kemudian
hari. Yang dimaksud dengan risiko adalah bayi/anak dengan atopi, baik
pada salah satu ataupun kedua orangtuanya. Langkah pertama adalah
mengenali adanya faktor risiko untuk terjadinya asma di kemudian hari,
yaitu dengan mengenali orang tua dengan atopi. Oleh karena itu, upaya
pencegahan primer sudah dapat dtmulai ketika belum terjadinya "potensi
genetik bersatu", yaitu dengan rekayasa genetik. Akan tetapi, hal ini belum
dapat dilbkukan, sehingga upayanencegahan primer saat ini masih
ditujukan pada janin atau bayi dengan risiko asma. 6
Beberapa upaya pencegahan primer telah ditelusuri dan masih
banyak yang kontroversial.Pencegahan primer dapat dilakukan pada saat
prenatal dan pascanatal. Pada masaprenatal, orangtua dihindari terhadap
lingkungan yang dapat bersifat sebagai faktor risiko. 6
Penghindaran yang dianjurkan adalah terhadap lingkungan,
terutarna indoor pollutants.Yang dimaksud dengan indoor pollutants
adalah asap rokok, debu rumah yang mungkinmengandung banyak tungau
debu rumah, dan lain-lain. 6
Pada masa pascanatal, bayi dihindari dari pemberian air susu ibu
(ASI) yang mengandung makanan yang dapat menyebabkan alergi.
Pemberian ASI saja yang lama Q>4 bulan) dapat mengurangi risiko asma
di kemudian hari. Peat dkk. meneliti pemberian ASI, yaitu seLma kurang
dari 3 bulan dan lebih dari 3 bulan, dan mendapatkan bahwa pemberian
ASi >3 bulan merupakan faktor protektif terhadap terjadinya asma.
Mihrshashi, pada childhood asthma prevention study (CAPS), meneliti
bahwa bayi yang dihindari dari paparan terhadap tungau debu rumah dan
diberikan diet omega-3 selama 18 bulan dapat menurunkan prevalens
asma. Selain hal tersebut, yang saat ini masih kontroversial adalah apakah
pemberian antibiotik pada awal kehidupan, tinggal di daerah pertanian,
tingginya kadar endoktoksin pada tungau debu rurnah, paparan terhadap
binatang peliharaan, serta pemberian sayur merupakan proteksi atau justru
faktor risiko. 6
Sherman melaporkan bahwa pemberian antibiotik pada awal
kehidupan dapat meningkatkan kejadian asma. Hal ini dibantah oleh
Coledon dkk., yang mendapatkan data bahwa pemberian antibiotik pada
awal kehidupan tidak mempengaruhi prevalens asma. Pada anak yang
tinggal di daerah pertanian yang banyak kerbaunya ternyata mempunyai
kejadian asma yang lebih rendah daripada anak yang tidak tinggal di
daerah pertanian. Tingginya kadar endotoksin (toksin dari kuman gram
negatif) justru bersifat dualisme. Pada awal kehidupan,tingginya kadar
endotoksin pada tungau debu rumah akan menurunkan kejadian asma,
sedangkan pada anak yang lebih besar, paparan tersebut justru
meningkatkan prevalens asma. Sayangnya, batas usianya tidak dijelaskan
secara tegas. 6
Mengenai hewan piaraan seperti anjing dan kucing, hal ini masih
diperdebatkan. Ada yang menganggap bahwa bila bayi terpapar dengan
hewan peliharaan (khususnya anjing dan kucing), justru akan
menurunkan prevalens asma, tetapi hal ini masih memerlukan penefitian
lebih lanjut. 6
Pemberian probiotik untuk menurunkan kejadian asrna saat ini
banyak dibicarakan. Diperkirakan caranya adalah melalui supresi Th;
yang berperan terhadap inflamasi dan produksi imunoglobulin A (IgA).
Faktor yang meningkatkan ptevalens asma yang sudah disepakati adalah
infeksi respiratory sincytial virus (RSV). Ada dua kemungkinan
mekanisme terjadinya peningkatan tersebut. Mekanisme pertama,
mungkin saja pada anak tersebut, yang telah mempunyai riwayat atopi,
melakukan reaksi yang berlebihan terhadap infeksi RSV, sehingga
kerusakan pada saluran respiratorik menjadi lebih hebat dan berdampak
di kemudian hari. Mekanisme kedua, infeksi RSV akan rnengakibatkan
kerusakan hebat pada saluran respiratorik, sehingga kerusakan tersebut
berdampak di kemudian hari. 6
Selain pemberian probiotik pada bayi, yang telah banyak
dilakukan adalah pemberian susu hipoalergenik (susu dengan protein
hidrolisat). Von Berg dkk. Menelitidengan cara prospektif, acak, dan
buta ganda, membandingkan antara pemberian susu protein
hidrolisat dan susu formula (susu sapi). Hasil yang diperoleh adalah
penggunaati susu hidrolisat dapat menurunkan prevalens manifestasi
alergi (OR: 0,51; CI 95%: 0,28-0,92), menurunkan insidem
dermatitis atopik (OR: 0,42; CI 95%; 0,22-0,79). Meskipun
demikian, hal ini masih memerlukan penelitian yang lebih lanjut. 6

2.9.2 Pencegahan Sekunder


Pencegahan sekunder adalah mencegah terjadinya
asma/inflamasi pada seorang anak yang sudah tersensitisasi. Secara
klinis hal ini telah dibuktikan dengan menggunakan obat antihistamin.
Pada early treatment of the atopic child (ETAC), pemberian ceurizine
selama 18 bulan pada anak dengan dermatitis atopi yang orangtuanya
atopi, dapat mtncegah terjadinya asma sebanyak 50% bila anak tersebut
hanya alergi terhadap debu rumah dan serbuk sari- Hanya saja, obat ini
secara keseluruhan tetap tidak dapat menurunkan kejadian asma. 6
Selain pemberian obat-obatan tersebut, faktor risiko lain seperti
alergen hams dihindari juga. Penghindaran pada pencegahan sekunder
juga sama seperti pada pencegahan primer, sebab tanpa penghindaran
terhadap alergen maka pencegahan sekunder menjadi tidak bermakna.
Akan tetapi, pencegahan sekunder ini masih memerlukan penelitian yang
lebih lanjut. Penggunaan ICS jangka panjang masih kontroversial. 6

2.9.3 Pencegahan Tersier


Pencegahan tersier adalah mencegah terjadinya serangan pada
seorang anak yang sudah menderita asma. Kit'a rnenyadari bahwa
serangan asma dapat terjadi akibat adanya faktor pencetus. Pencegahan
terhadap hal tersebut merupakan salah satu langkah pencegahan tersier.
Faktor lain yang dapat menyebabkan serangan asma adalah gagalnya
terapi jangka panjang. 6
Mengenai kurangnya paparan terhadap alergen, telah diteliti
bahwa pada seorang anak yang bebas terhadap paparan tungau debu
rumah (tempat tidurnya bersih), angka kejadian wheezing menurun,
penggunaan obat-obatan berkurang, dan PEFR meningkat. Penghindaran
terhadap pencetus ini kelihatannya mudah untuk diucapkan tetapi sangat
sulit untuk dilaksanakan, karena memerlukan kerjasama antara dokter,
pasien, dan keluarganya. Yang dimaksud dengan terapi jangka panjang
adalah pemberian obat pengendali (coraroiler) berupa kortikosteroid,
baik yarj diberikan tersendiri ataupun kombinasi dengan p-agonis kerja
panjang atau antileukotrien. 6

2.10 Tatalaksana Asma


2.10.1 Prinsip umum tata laksana asma
2.10.2 Tatalaksana Asma intermiten
2.10.2.1 Tatalaksana asma intermiten 0-4 tahun
2.10.2.2 Tatalaksana asma intermiten 5-11 tahun
2.10.3 Tatalaksana asma persisten
2.10.3.1 Tatalaksana asma persisten 0-4 tahun
2.10.3.2 Tatalaksana asma persisten 5-11 tahun
2.10.4 Tatalaksana Asma Serangan
BAB III
KESIMPULAN

Asma didefinisikan sebagai penyakit episodik yang ditandai oleh adanya obstruksi
aliran udara akibat peningkatan respons trakea dan bronkus terhadap berbagai stimuli,
dengan manifestasi berupa penyempitan saluran napas yang luas, yang kemudian berubah
derajatnya, baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Proses inflamasi pada asma akan menyebabkan reaksi inflamasi akut dan kronis,
pajanan allergen inhalasi pada pasien yang alergi dapat menimbulkan respons alergi fase
cepat dan fase lambat. Patofisiologi asma adalah terjadinya obstruksi saluran respiratori,
hiperaktivitas saluran respiratori, kelainan fungsi kontraksi otot polos respiratori, hipersekresi
mukus akhirnya dapat terjadi keterbatasan aliran udara yang irreversible dan eksaserbasi.
Asma diklasifikasikan menjadi intermten, persisten ringan, persisten sedang dan
persisten berat. Manifestasi klinis dari asma adalah gejala sulit bernafas, mengi atau dada
terasa berat yang bersifat episodic atau dalam keadaan musim atau riwayat penyakit atopi
sebelumnya.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan fungsi paru,pemeriksaan hiperreaktivitas saluran napas dan
penilaian status alergi. Tatalaksana Asma dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu obat pereda
(reliever) dan obat pengendali (controller).
DAFTAR PUSTAKA

1. Kartasasmita CB.Epidemiologi Asma Pada Anak. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B,


Setyanto DB, Penyunting. Buku Ajar Respirology Anak. Edisi Ke-I, Jakarta : Penerbit
Badan Penerbit IDAI, 2013. hal 71-84.
2. Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Edisi
cetakan ke-1. Jakarta; Penerbit WHO Indonesia dan Departemen Kesehatan RI: 2009.
Hal 99-103.
3. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan patofisiologi Asma Anak. Dalam Rahajoe
NN, Supriyatno B, Setyanto DB, Penyunting. Buku Ajar Respirology Anak. Edisi Ke-
I, Jakarta : Penerbit Badan Penerbit IDAI, 2013. Hal 85-97.
4. MS Makmuri. Patofisiologi Asma. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB,
Penyunting. Buku Ajar Respirology Anak. Edisi Ke-I, Jakarta : Penerbit Badan
Penerbit IDAI, 2013. hal 98-104
5. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, Penyunting. Buku Ajar Respirology Anak. Edisi Ke-I, Jakarta : Penerbit
Badan Penerbit IDAI, 2013. hal 105-119.
6. Rosmayudi O, Supriyatno B. Pencegahan Asma. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, Penyunting. Buku Ajar Respirology Anak. Edisi Ke-I, Jakarta : Penerbit
Badan Penerbit IDAI, 2013. Hal 158-160
7. Clinical Guideline for the Diagnosis, Evaluation and Management of Adults and
Children with Asthma. New York State Department of Health, October 2008.
8. Pocket Guide For Asthma Management and Prevention: A Pocket Guide for
Physicians and Nurse. Global Initiative for Asthma, 2015.
9. Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma pada anak. Dalam Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, Penyunting. Buku Ajar Respirology Anak. Edisi Ke-I,
Jakarta : Penerbit Badan Penerbit IDAI, 2013. hal 134-148.
10. Supriyatno B. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak. Jakarta:
Penerbit Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSUP dr. Cipto Mangunkusumo:
2005.

Anda mungkin juga menyukai