PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak di negara rnaju.
Sejak dua dekade terakhir, dilaporkan bahwa prevalens asma meningkat pada anak maupun
dewasa. Namun, akhir-akhir ini di Amerika dilaporkan tidak terjadi peningkatan lagi di
beberapa negara bagian. Asma memberi dampak negatif bagi kehidupan pengidapnya,
seperti menyebabkan anak sering tidak masuk sekolah dan membatasi kegiatan olabraga
serta aktivitas seluruh keluarga (MMM, 2001). Prevalens total asma di dunia diperkirakan
7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak). Prevalens tersebut sangat bervariasi. Terdapat
perbedaan prevalens antar negara dan bahkan perbedaan juga didapat antar daerah di dalam
suatu negara.1
Terdapat variasi prevalens, angka perawatan dan mortalitas asma, baik regional
maupun lokal. Angka kejadian asma di berbagai negara sulit dibandingkan, tidak jelas
apakah perbedaan angka tersebut timbul karena adanya perbedaan kriteria diagnosis atau
karena benar-benar terdapat perbedaan. Berbagai penelitian yang ada saat ini menggunakan
definisi penyakit asma yang berbeda, sehingga untuk membandingkan antara penelitian satu
dan lainnya perlu diketahui kriteria yang digunakan oleh peneliti. Untuk mengatasi hal
tersebut, penelitian multisenter telah dilaksanakan di beberapa negara dengan menggunakan
definisi asma yang sarna dan kuesioner standar. Salah satu penelitian multisenter yang
dilaksanakan adalah International Study of Asthma and Allergy in Children (ISAAC).
Dengan menggunakan kuesioner standar, prevalens dan berbagai faktor rtsiko dapat
dibandingkan. 1
Masalah epidemiologi yang lain saat ini adalah morbiditas dan mortalitas asma yang
relatif tinggi. WHO memperkirakan saat ini terdapat 250.000 kematian akibat asma.
Beberapa waktu yang lalu, penyakit asma bukan penyebab kematian yang berarti. Namun,
belakangan ini berbagai negara melaporkan bahwa terjadi peningkatan kematian akibat
penyakit asma, termasuk pada anak. 1
Serangan asma bervariasi mulai dari ringan sampai berat dan mengancam kehidupan.
Berbagai faktor dapat menjadi pencetus timbulnya serangan asma, antara lain adalah
olahraga (exercise), alergen, infeksi, perubahan suhu udara yang mendadak, atau pajanan
terhadap iritan respiratorik seperti asap rokok, dan lain-lain. Selain itu, berbagai faktor turut
mempengaruhi tinggi rendahnya prevalens asma di suatu tempat, misalnyausia, jenis
kelamin, ras, sosio-ekonomi, dan faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut dapat
mempengaruhi prevalens asma, derajat penyakit asma, terjadinya serangan asma, berat
ringannya serangan dan kematian akibat penyakit asma 1.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Definisi
Asma didefinisikan sebagai penyakit episodik yang ditandai oleh adanya
obstruksi aliran udara akibat peningkatan respons trakea dan bronkus terhadap
berbagai stimuli, dengan manifestasi berupa penyempitan saluran napas yang luas,
yang kemudian berubah derajatnya, baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Dengan definisi ini, konsep pengobatan lebih ditujukan untuk mengatasi
bronkospasme yang terjadi. 1
2.2 Prevalensi
Penelitian mengenai prevalens asrna telah banyak dilakukan dan hasilnya telah
dilaporkan oleb berbagai negara. Narnun, urnumnya kriteria penyakit asma yang
digunakan belum sama, sehingga sulit dibandingkan. Untuk mengatasi hal tersebut, telah
dilakukan penelitian prevalens asma di banyak Negara. 1
Berdasarkan laporan CDC tahun 2000 mengenai prevalens asma pada anak usia
<18 tahun sebelum dan setelah tahun 1997 di Amerika Serikat, terlihat adanya
peningkatan prevalens asma sebesar 5% setiap tahun dari.tahun 1980 sampai 1995.
Pada tahun 1980, prevalens asma di Amerika Serikat adalah 36 per 1000 populasi,
pada tahun 1995, 75 per 1000, dan pada tahun 1996, prevalens asma 62 per 1000
populasi anak (17% lebih rendah dari prevalens tahun 1995). Pada tahun 1997, angka
tersebut menurun menjadi 54 per 1000, dan dari tahun 1997 sampai 2000 angka
tersebut stabil. Pada tahun 1980-1996 prevalens asma pada usia 0-4 tahun meningkat
cepat. Angka perawatan asma pada anak meningkat secara perlahan tahun 1980-an,
tetapi pertengahan 1990-an tetap. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa prevalens
pada keiompok kulit hitam lebih tinggi dari kulit putih, dan terjadi peningkatan
prevalens tersebut. Pada tahun 1980 1981 perbedaan prevalensnya 15%, sedangkan
tahun 19951996 mencapai 26%. Perbedaan tersebut juga terjadi pada episode
serangan asma, pada kelompok kulit hitam iebih tinggi. Sclanjutnya didapatkan
kenaikan prevalens asma menurut usia, pada usia > 5 tahun prevalensnya lebih tinggi
daripada anak balita. Begitu pula dengan kejadian serangan asma (MMWR, 2000). 1
Penelitian pada 513.688 anak sekolah pada tahun 1999-2000 di Connecticut
rnenunjukkan bahwa total prevalens asma adalah 8,7%, dengan rincian sebagai
berikut: pada anak setingkat sekolah dasar (SD), prevalensnya 7,8% (dengan kisaran
4-12%), pada anak sekolah menengah pertama (SMP) 10,2%, dan pada anak sekolah
menengah atas (SMA) 9,4%. Prevalens asma pada anak SD di daerah rural, urban,
maupun suburban tidak berbeda. Namun, bila ditinjau dari kelas sosio-ekonomi,
terlihat bahwa pievalens asma lebih tinggi pada kelas sosio-ekonomi rendah (9%),
sedangkan pada anak kelas sosio-ekonomi tinggi, sebesar 5% (EHHI, 2003).
Penelitian asma di Indonesia telah dilakukan di beberapa sentra, tetapi belurn
semuanya menggunakan kuesioner standar. Berikut adalah tabel prevalens asma di
Indonesia. 1
Peneliti (Kota) Tahun Jumlah Umur Prevalens
Sampel (Tahun) (%)
Djajanto (Jakarta) 1991 1200 6- 12 16,4
Rosmayudi O 1993 4865 6- 12 6,6
(Bandung)
1996 - 6- 12 17,4
Dahlan (Jakarta)
1996 1296 13- 15 5,7
Arifin (Palembang)
1997 3118 13- 15 2,6
Rosalina 1
(Bandung) 2002 2678 6- 7 3.0
Kartasasmita 2836 13- 14 5,2
(Bandung)
2.3 Faktor risiko
Berbagai faktor dapat rnempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian asma,
berat ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma. Beberapa faktor tersebut
sudah disepakati oleh para ahli, sedangkan sebagian lain masih dalam nenelitian.
Faktor-faktor tersebut antara lain adalah jenis kelamin, usia, sosio-ekonomi, alergen,
infeksi, atopi, lingkungan, dan lain-lain. 1
2.3.1 Jenis kelamin
Menurut laporan dari bebetapa penelician didapatkan bahwa prevalcns asma
pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak
perempuan. Narnun, dari benua Amerika dilaporkan bahwa belakangan ini tidak
ada perbedaan prevalens asma antara anak laki-laki (51,1 per 1000) dan perempuan
(56,2 per 1000). Menurut laporan MMM (2001), prevalens asma pada anak laki-
laki lebih tinggi daripada anak perempuan, dengan rasio 3:2 pada usia 6-11 tahun
dan meningkat menjadi 8:5 pada usia 12-17 tahun. Pada orang dewasa, rasio ini
berubah menjadi sebanding antara laki-laki dan perempuan pada usia 30 tahun. 1
2.3.2 Usia
Umumnya, pada kebanyakan kasus asma persisten, gejala seperti asma
pertama kali timbli pada usia muda, yaitu pada beberapa tahun pertama kehidupan.
Dari Melbourne (Australia),dilaporkan bahwa 25% anak dengan asma persisten
mendapat serangan mengi pada usia <6 bulaii, dan 75% mcndapat serangan mengi
perrama sebelum usia 3 tahun. Hanya 5% anak dengan asma persisten terbebas
dari gejala asma pada usia 28-35 tahun, 60% tetap menunjukkan gejala seperti saat
anak-anak, dan sisanya masih sering mendapat serangan meskipun lebih ringan
daripada saat masa kanak. 1
2.3.3 Riwayat atopi
Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma persisten dan
beratnya asma. Menurut laporan dari Inggris, pada anak usia 16 tahun dengan
riwayat asma atau mengi, akan terjadi serangan mengi dua kali lipat iebih banyak
jika anak pernah mengalami hay fever, rinitis alergi, atau eksema. Eksema
persisten berhubungan pula dengan gejala asma persisten. Menurut Buffum dan
Settipane, anak dengan eksema dan uji kulit positif rnenderita asma berat.
Terdapat juga Saporan bahwa anak dengan mengi persisten dalam kurun waktu 6
tahun pertama kehidupan mempunyai kadar IgE lebih tinggi daripada anak yang
tidak pernah mengalami mengi, pada usia 9 bulan. Beberapa laporan menunjukkan
bahwa sensitisasi alergi terhadap alergen inhalan, susu, telur, atau kacang pada
tahun pertama kehidupan, merupakan prediktor timbulnya asma. 1
2.3.4 Lingkungan
Adanya alergen di lingkungan hidup anak meningkatkan risiko penyakit
asma. Alergen yang sering mencetuskan penyakit asma antara lain adalah
serpihan kuiit binatang piaraan, tungau debu rumah, jamur, dan kecoa (MMM,
2001). 1
2.3.5 Ras
Menurut laporan dari Amerika Serikat, didapatkan bahwa prevalens asma dan
kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih
(MMWR, 2000; Steyer dkk, 2003). Pada tahun 1993-1994, tata-raw prevalens
adalah 57,8 per 1000 populasi kulit hitam, 50,8 per 1000 populasi kulit putih,
sedangkan untuk ras lain adalah 48,6 per 1000. Tingginya prevalens tersebut
tidakdipengaruhi oleh pendapatan maupun pendidikan. Selain prevalens,
kematian anak akibat asma pada ras kulit hitam juga lehih tinggi, yaitu 3,34 per
1000 berbanding 0,65 per 1000 pada anak kulit putih (Steyer dkk, 2003). 1
2.3.6 Asap rokok
Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada
anak yang tidak terpajan asap rokok. Risiko terhadap asap rokok sudah dimulai
sejak janin daiam kandungan, umumnya berlangsung terns setelah anak
dilahirkan, dan menyebabkan meningkatnya risiko. Pada anak yang terpajan asap
rokok, kejadian eksaserbasi lebih tinggi, anak lebih sering tidak masuk sekolah,
dan umumnya fungsi faal parunya lebih buruk daripada anak yang tidak terpajan
(Steyer et al, 2003). 1
2.3.7 Outdoor air pollution
Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya, nitrat dioksida,
karbon monoksida, atau SO 2, diduga berperan pada penyakit asma,
meningkatkan gejala asma, tetapi belum didapatkan bukti yang disepakati.
Beberapa penelitian di Eropa mendapatkan bahwa lingkungan pertanian dan
peternakan memberi efek proteksi bagi penyakit asma. Pada anak-anak yang
cepat rerpajan dengan lingkungan tersebut, kejadian asma rendah. Prevalens
asma paling rendah pada anak yang di tahun pertama usianya kontak dengan
kandang binatang dan pemerahan susu. Mekanisme efek proteksi tersebut belum
terungkap. Namun, secara teoritis, diduga bahwa adanya pajanan terhadap
endotoksin sebagai komponen bakteri dalam jumlah banyak dan waktu yang
dini mengakibatkan sistem imun anak terangsang melalui jejak Thl. Saat ini,
teori tersebut dikenal sebagai hygiene hypothesis (Guilbert, 2003). 1
2.3.8 Infeksi respiratorik
Beberapa penelittan mendapatkan adanya hubungan terbalik antara atopi
(termasuk asma) dengan infeksi respiratorik. Penelitian di Jerman mendapatkan
adanya penurunan prevalens asma sebanyak 50% pada anak usia 7 tahun yang
saat bayi sering mengalami rinitis. Penelitian di Highlands (New Guinea)
menunjukkan bahwa kelompok anak yang sering terserang infeksi respiratorik
mempunyai prevalens asma yang rendah. Sebenarnya hubungan antara infeksi
respiratorik dengan prevalens asma masih merupakan kontroversi. Namun, hal
ini tidak berlaku pada infeksi respiratory syncytial virus (RSV) di usia dini yang
mengakibatkan infeksi saluran pernapasan bawah. Infeksi RSV merupakan
faktor risiko yang bermakna untuk terjadinya mengi di usia 6 tahun.
Berdas.arkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa infeksi virus beruiang yang
tidak menyebabkan infeksi respiratorik bawah dapat memberikan anak proteksi
terhadap asma (Guilbert, 2003).1
2.4 Perjalanan Alamiah
2.4.1 Anak dengan riwayat non-atopi
TCRS melakukan penelitian hubungan infeksi saluran respitarori
bawah dengan timbulnya wheezing. Berdasarkan penelitian tersebut
dikatakan anak yang rnenderita penyakit saluran respiratori bawah akibat
RSV sebanyak 3-5 episode, cenderung untuk tetap rnenderita wheezing
pada usia 6 tahun. Tetapi, tingginya angka resiko tersebut akan menurun
seizing dengan pertumbuhan usia anak dan bahkan dikatakan hampir tidak
signifikan pada usia 13 tahun. Yang menarik lainnya adalah anak yang
rnenderita penyakit saluran respiratori bawah akibat RSV pada usia dini
dan terus mengalami wheezing sepanjang 3 tahun pertama kehidupannya,
dikatakan tidak lebih atopi bila dibandingkan dengan anak lainnya. Yang
membedakan antara anak kelompok ini dengan yang tidak pernah
rnenderita penyakit saluran respiratori bawah akibat RSV adalah keadaan
fungsi paru yang dilakukan pemeriksaan pada usia 6 dan 11 tahun.
Pemeriksaan paru dilakukan dengan memberikan bronkodilator dan
hasilnya dibandingkan antara keduanya. Hasil pengukuran fungsi paru pada
anak denganriwayat penyakit saluran respiratori bawah akibat RSV
menunjukkan adanya sensitivitas terhadap bronkodilator dan nilai fungsi
paru mereka akan kembali ke nilai normal pasca pembedan bronkodilator.
Hasil ini mengindikasikan bahwa pada kelompok wheezing non-atopi,
terdapat kemungkinan yang lebih besar untuk menderica obstruksi akut
pada saluran respiratori akibat infeksi RSV karena gangguan dalam
pengontrolan tonus saluran respiratori, namun resiko ini akan terus
menurun seiring dengan usia. 1
2.4.2 Anak dengan riwayat atopi
Berdasarkan penelitian dalarn 20 tahun terakhir menunjukkan bahwa
sebagian besar anak yang menderita asma atopi, menunjukkan gejala pada
6 tahun pertama kehidupannya. Anak yang rnasuk dalam golongan
wheezing dengan keadaan atopi ini dapat dibagi menjadi 2 sab-group yaitu
early atopic wheeler, yang terkharateristik sama dengan persistent
wheezing, dan late atopic wheezers, yang terkharateristik sama dengan
wheeling of late onset. 1
Kedua sub-group ini telah tersensitisasi terhadap aeroallergen pada
usia 6 tahun, namun subgroup yang telah menunjukkan gejala sebelum
usia 3 tahunlah yang memiliki fungsi paru yang lebih rendah serta nilai
IgE yang lebih tinggi, diukur pada usia 6 dan 11 tahun. 1
2.5 Patogenesis
2.5.1 Inflamatori saluran respiratori pada asma
Pada banyak kasus, terutama pada anak dan dewasa muda, asma
dihubungkan dengan manifestasi atopt melalui mekanisme IgE-
dependent. Di dalam populasi, faktor atopi diperkirakan memberi
kontribusi pada 40% pasien asma anak dan dewasa.3
2.7.1.1.2.2 Sedang
Asma persisten sedang pada anak umur 0-4 tahun
adalah asma dengan gejala yang muncul setiap hari,
serangan pada malam hari 3-4 kali per bulan dan
membatasi beberapa aktivitas normal dimana terjadi lebih
dari 2 kali eksaserbasi dalam 6 bulan yang membutuhkan
kortikosteroid sistemik oral atau lebih dari 4 kali episode
wheezing selama 1 tahun terakhir yang bertahan lebih dari 1
hari dan mempunyai resiko sebagai asma persisten. Pada
anak umur 5-11 tahun asma persisten sedang terjadi dengan
gejala yang sama dan pada pemeriksaan faal paru didapati
FEV1 >60-80% diprediksi dan FEV1/FVC=75-80% dengan
eksaserbasi yang membutuhkan kortikosteroid sistemik oral
terjadi lebih dari 2 kali dalam 1 tahun. 5
2.7.1.1.2.3 Berat
Asma persisten berat terjadi pada anak umur 0-4
tahun dengan gejala yang timbul lebih dari sekali dalam
sehari, serangan pada malam hari terjadi lebih dari 1 kali
dalam 1 minggu, sangat membatasi aktivitas normal dengan
terjadi lebih dari 2 kali eksaserbasi dalam 6 bulan yang
membutuhkan kortikosteroid sistemik oral atau lebih dari 4
kali episode wheezing selama 1 tahun terakhir yang
bertahan lebih dari 1 hari dan mempunyai resiko sebagai
asma persisten. Pada anak umur 5-11 tahun terjadi gejala
yang sama dengan hasil pemeriksaan faal paru didapatkan
FEV1 <60% diprediksi dan FEV1/FVC <75%.5
2.7.1.2 Berdasarkan Asma terkontrol
2.7.1.2.1 Asma terkontrol
Pada anak umur 0-4 tahun didapati gejala yang
muncul kurang dari 2 hari per minggu, serangan pada
malam hari kurang dari 1 kali per bulan, tidak mengganggu
aktivitas normal, penggunaan Beta2 agonis kerja pendek
untuk mengatasi gejala kurang dari 2 hari per minggu,
eksaserbasi yang membutuhkan kortikosteroid sistemik oral
0-1 kali per tahun. Pada anak umur 5-11 tahun terjadi gejala
yang sama dengan hasil pemeriksaan faal paru didapatkan
FEV1 >80% diprediksi dan FEV1/FVC >80%.5
2.7.1.2.2 Asma terkontrol sebagian
Pada anak umur 0-4 tahun terjadi gejala yang muncul
lebih dari 2 hari per minggu, serangan pada malam hari
lebih dari sekali per bulan, terjadi beberapa keterbatasan
pada aktivitas normal, penggunaan Beta2 agonis kerja
pendek untuk mengatasi gejala lebih dari 2 hari per
minggu, eksaserbasi yang memerlukan kortikosteroid
sistemik oral 2-3 kali pe tahun. Pada anak umur 5-11 tahun
ditemukan gejala yang sama dengan hasil pemeriksaan faal
paru didapatkan FEV1 60-80% diprediksi dan FEV1/FVC
75-80%.5
2.7.1.2.3 Asma sangat tidak terkontrol
Asma tidak terkontrol pada bayi mempunyai gejala
yang timbul setiap hari dengan serangan pada malam hari
yang terjadi lebih dari sekali dalam seminggu, sangat
membatasi aktivitas normal, penggunaan Beta2 agonis kerja
pendek untuk mengatasi gejala beberapa kali dalam sehari,
terjadi eksaserbasi yang membutuhkan kortikosteroid
sistemik oral lebih dari 3 kali per tahun. Pada anak umur 5-
11 tahun ditemukan gejala yang sama dengan hasil
pemeriksaan faal paru didapatkan FEV1 60% diprediksi dan
FEV1/FVC <75%.5
2.7.1.3 Serangan asma
Asma didefinisikan sebagai penyakit episodik yang ditandai oleh adanya obstruksi
aliran udara akibat peningkatan respons trakea dan bronkus terhadap berbagai stimuli,
dengan manifestasi berupa penyempitan saluran napas yang luas, yang kemudian berubah
derajatnya, baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Proses inflamasi pada asma akan menyebabkan reaksi inflamasi akut dan kronis,
pajanan allergen inhalasi pada pasien yang alergi dapat menimbulkan respons alergi fase
cepat dan fase lambat. Patofisiologi asma adalah terjadinya obstruksi saluran respiratori,
hiperaktivitas saluran respiratori, kelainan fungsi kontraksi otot polos respiratori, hipersekresi
mukus akhirnya dapat terjadi keterbatasan aliran udara yang irreversible dan eksaserbasi.
Asma diklasifikasikan menjadi intermten, persisten ringan, persisten sedang dan
persisten berat. Manifestasi klinis dari asma adalah gejala sulit bernafas, mengi atau dada
terasa berat yang bersifat episodic atau dalam keadaan musim atau riwayat penyakit atopi
sebelumnya.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan fungsi paru,pemeriksaan hiperreaktivitas saluran napas dan
penilaian status alergi. Tatalaksana Asma dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu obat pereda
(reliever) dan obat pengendali (controller).
DAFTAR PUSTAKA