Serangan asma adalah episode perburukan progresif gejala-gejala batuk, sesak napas, mengi,
rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi gejala tersebut. Serangan asma biasanya
mencerminkan kegagalan tatalaksana asma jangka panjang atau adanya pajanan terhadap
pencetus. Derajat serangan asma dapat bervariasi, mulai dari serangan tingan hingga
serangan berat yang dapat mengancam nyawa.
Serangan asma akuc merupakan kegawatdaruratan medis yang lazim dijumpai di
ruang gawat darurat. Perlu ditekankan bahwa serangan asma berat dapat dicegah atau
setidaknya dapat dikurangi. dengan melakukan identifikasi dini dan terapi intensif.
Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi jalan napas secara luas yang
ditimbulkan oleh kombinasi spasme otot poios bronkus, edema mukosa akibat infiamasi
saiuran napas, dan sumbatan mukus. Sumbatan yang terjadi tidak seragam/merata di seluruh
paru. Atelektasis segmental atau subsegmental dapat terjadi. Sumbatan jalan napas
menyebabkan peningkatan tahanan jalan napas, terperangkapnya udara dan distensi paru
berlebihan (hiperinflasi). Perubahan tahanan jalan napas yang tidak merata di seluruh
jaringan bronkus, menyebabkan ventilasi dan perfusi tidak padu-padan (ventilation-perfitsion
mismatch).
Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru sehingga terjadi
peningkatan kerja napas. Tekanan intrapulmonal akan meningkat supaya ekspirasi melalui
saluran napas yang menyempit dapat terjadi. Peningkatan tekanan intrapulmonal ini akan
semakin mempersempit dan menyebabkan penutupan dini saluran napas, sehingga
meningkatkan risiko terjadinya pneumotoraks.-Peninkatan tekanan intratorakal dapat
mempengaruhi aliran balik vena dan mengurangi curah jantung, serta bermanifestasi sebagai
pulsus paradoksus.
Ventilasi perfusi yang tidak padu-padan, hipoventiiasi alveolar, dan peningkatan kerja
menimbulkan perubahan pada gas darah. Pada awal serangan, untuk
ekompensasi hipoksia, ferjadi hiperventtlasi sehingga kadar PaCO2 turun dan timbul alkalosis
respiratorikk. Selanjutnya, pada obstruksi jalan napas yang berat, akan terjadi kelelahan otot
napas dan hipoventiiasi alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan asidosis
respiratorikk. Oleh karena itu, jika dijumpai kadar PaCO; yang cenderung naik iwalaupun
nilainya masih dafam rentang normal), dokter harus mewaspadai adanya tanda kelelahan dan
ancaman gagal napas. Selain itu, dapat terjadi pula asidosis metabolic akibat hipoksia
jaringan dan produksi laktat oleh otot napas. Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan
vasokonstriksi pulmonal, tetapi komplikasi korpulmonal jarang terjadi. Hipoksia dan
vasokonstriksi dapat merusak sel alveolus sehingga produksi surfaktan berkurang atau tidak
ada sama sekali dan berakibat meningkatkan risiko terjadinya atelektasis. Gambar 3.5.1
rnenjelaskan tentang patofisiologi serangan asma.
Pencetus
I
bronkokonstriksi, edema mukosa, sekresi mukus berlebihan
T
Obstruksi jalan napas
'
Ven ^tasis > ' tilasi tidak 1
Atel
^ \ seragam Hiperinflasi paru
el
I 1
j I
entilasi-perfusi Gangguan
Penu unan surfaktan
dak padu-padan compance
n Hip
f PaCO; -4^" 1
A1 Asidosis
Pulmonal^^
Peningkatan kerja
| PaC02
napas
Gambar 3.5.1 Patofisiologi asma
Sumben Michael Sly. Asthma. Dalam; Behrman RE, Kliegman RM, Atvin AM,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatric-Msike-15, Philadelphi. Saunders, 1996.
Klasifikasi derajat beratnya penyakit asma dibuat berdasarkan frekuensi serangan dan obat
yang digunakan sehari-hari. Selain itu, asma dapat dinilai berdasarkan derajat serangan,
yaitu terbagi menjadi serangan ringan, sedang, dan berat. Di sini perlu dibedakan antara
derajat penyakit asma (aspek kronik) dan derajat serangan asma (aspek akut). Seorang
pasien asma persisten (asma berat) dapat hanya mengalami serangan ringan. Sebaliknya,
seorang pasien yang tergolong asma episodik jarang bisa saja mengalami serangan asma
berat, bahkan serangan ancaman benti napas yang dapat menimbulkan kematian.
Beratnya derajat serangan menentukan terapi yang akan diberikan. Global Initiative
for Asthma (G1NA) rnembuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan
tanda klinis, uji fungsi pam, serta pemeriksaan laboratorium (Hhat tabel 3.4.2). PNAA
membagi serangan asma Herdasarkan GINA dengan beberapa perubahan,
Tidak selurub butir-butir penilaian pada Tabel 3-4-2 harus ada (lengkap) pada setiap
pasien yang mengalami serangan. Pembagian tersebut bams diartikan sebagai prediksi
dalam penanganan pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan berbagai
keterbatasan yang ada. Derajat serangan bams dianggap lebih berat jika pasien memberi
respons yang kurang baik setelab terapi awal, atau serangan memburuk dengan cepat, atau
pasien berisiko tinggi.
GINA rnembagi tatalaksana serangan asma menjadi dua, yaitu tatalaksana di rumah dan di
Rumah Sakit. Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya) sendin di
rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya telah menjalani terapi dengan
teratur dan mempunyai pendidikan yang cukup. Pada panduan pengobatan di rumah,
disebutkan bahwa terapi awal adaluh inhalasi ji-agonis kerja cepat sebanyak 2 kali dengan
selang waktu 20 menit. Bila belum ada petbaikan, segera mencari pertolongan ke dokter
atau sarana kesehatan.
3.5.5.1 Tatalaksana di klinik atau Unit Gawat Darurat
Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan ke Unit Gawat Darurat (UGD) langsung
dinilai derajat serangannya menurut klasifikasi di atas sesuai dengan fasilitas yang tersedia.
Pada pedoman GINA, ditekankan bahwa pemeriksaan uji fungsi paru (spirometer atau peak
flow meter) merupakan bagian integral dalam penilaian tatalaksana serangan asma, bukan
hanya evaluasi klinis. Namun, di Indonesia penggunaan alat tersebut belum memasyarakat.
Tatalaksana awal terhadap pasien adalah pernberian pVagonis kerja cepat dengan
penambahan garam fisiologis secara nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali
dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga, dapat ditambahkan obat antikolinergik.
Tatalaksana awal ini sekaligus dapat berfungsi sebagai penapis, yaitu untuk penentuan
derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan
cepat dan jelas.
Jika menurut penilaian awal pasien datang jelas dalam keadaan serangan berat,
langsung diberikan nebulisasi |3-agonis dikornbinasi dengan antikolinergik. Pasien dengan
serangan berat yang disertai dehidrasi dan asidosis metabolik, mungkin akan mengalami
takifilaksis atau refrakter, yaitu respons yang kurang baik terhadap nebulisasi [i-agonis.
Pasien seperti ini cukup dinebulisasi saiu kali, kemudian secepatnya dirawat agar dapat
diberikan obat intravena serta diatasi rnasalah dehidrasi dan asidosisnya.
Pemberian oksigen scjak dari UGD dilanjutkan. Setelah di UGD menjalani nebulisasi 2 kali
dalam 1 jam dengan respons parsial, di RRS diteruskan pemberian nebulisasi fl-agonis +
antikolinergik bila perlu setiap 2 jam. Kemudian, diberikan steroid sistemik oral
(metilprednisolon, prednison, atau triamsinolon). Pemberian kortikosteroid dilanjutkan
sampai 3-5 hari. jika dalarn 8-12 jam keadaan klinis tetap baik, pasien dipulangkan dan
dibekali obat seperti pasien serangan ringan yang dipulangkan dari klinik/lGD. Bila dalam
12 jam responsnya tecap tidak baik, pasien dialih rawat ke ruang rawat inap dengan
tatalaksana serangan asrna berat.
3.5.6.1 Bronkodilator
sel mast. Reseptor 6, tcrutama terdapat di jantung sedangkan resepror B, berada di jalan
napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik,
serta hepar dan pankreas. Golongan obat ini terdiri dari epinefrin/adreiialin dan b2 agonis
selektif.
Epingfrin/Adrenalin
Concoh obat yang merupakan beta adrenergik kerja petidek adalah epinefrin/adrenalin.
Pada umumnya, epinefrin tidak direkomendasikan lagi untuk mengobati serangan
asma, kecuali jika tidak ada obat Bragonis selektif. Epinefrin terutama diberikan jika
ada reaksi anafilaksis atau angioedema. Obat ini dapat diberikan secara subkutan
atau inhalasi aerosol. Pemberian subkutan adalah sebagai berikut: larutan epinefrin
1:1000 (1 mg/ml), dengan dosis 0,01 ml/kgBB (maksimum 0,3 ml), dapat diberikan
sebanyak 3 kali, dengan selang waktu 20 menit. Mula kerja adrenalin subkutan adalah
5-15 menit, efek puncaknya 30-120 menit, durasi efeknya 2-3 jam. Inhalasi racemic
ephineprine 2,25% aerosol dapat diberikan dengan nebuliser.
Epinefrin akan menimbulkan stimulasi pada reseptor B, B 2, dan a, sehingga akan
menimbulkan efek samping berupa sakit kepaia, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor,
dan hipertensi. Pemberian epinefrine aerosol kurang menguntungkan karena durasi
efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutarna
pada jantung dan CNS.
Bragonis Selektif
Obar yang sering dipakai adalah salbutamol, cerbutalin, dan fenoterol. Dosis salbutamol
oral adalah 0,1-0,15 mg/kgBB/kali, diberikan setiap 6 jam; dosis cerbutalin oral 0,05-0,1
rng/kgBB/kali, diberikan setiap 6 jam; fenoterol 0,1 mg/kgBB/kati, setiap 6 jam.
Perrberian secara oral akan menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek
puncak dicapai dalam 2-4 jam, dan lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian secara
inhalasi (dengan inhaler /nebuliser) memiliki mula (onset) kerja yang lebih cepat (1
menit), efek puncak dicapai dalam 10 menit, dan lama kerjanya 4-6 jam. Pemberian
subkutan tidak memberi efek bronkodilatasi yang lebih baik daripada nebulisasi,
sehingga cara ini tidak dianjurkan jika ada alat nebulisasi. Dosis salbutamol subkutan
adalah 10-20 mcg/kgBB/kali sedangkan dosis terbutalin subkutan adalah 5-10
mcg/kg/kali.
Pemberian secara noninvasif (inhalasi) lebih disukai daripada pemberian
subkutan/intravena karena dapat mengurangi rasa nyeri dan kegelisahan pasien.
Untuk serangan ringan, dapat diberikan metered dose inhaler (MD1) 2-4 semprotan
(puff) tiap 3-t jam, serangan sedang diberikan 6-10 semprotan tiap 1-2 jam,
sedangkan serangan berat mcmerlukan 10 semprotan. Pemberian dengan MD1 lebih
dari 6 semprotan barns dengan pengawasan dokter atau di rumah sakit. Pemberian
MDI dengan spacer dan masker pada pasien asma akut (tetapi pada kasus yang tidak
mengancam jiwa), dengan dosis 3-4 semprotan, ternyata mempunyai efek
bronkodilatasi yang sama dengan nebuliser. Salbutamol dapat diberikan melaiui
nebuliser dengan dosis 0,1-0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5 mg/kali), dengan
interval 20 menit, atau nebulisasi secara kontinu dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg BB/jam
(dosis maksimum 15 mg/jam). Pasien yang tidak responsif dengan pemberian 2 kali
inhalasi (MDI dan spacer) atau nebuliser dikategorikan sebagai "non-responder" dan pada
inhalasi ke-3, dapat ditambahkan ipratropiurn bromida. Nebulisasi terbutalin dapat
diberikan dengan dosis 2,5 mg atau 1 respules/nebulisasi.
Berdasarkan teori, pemberian obat beta-agonis secara intravena berguna pada serangan
asma berat karena pada keadaan ini, obat beta-agonis inhalasi sulit mencapai jalan napas
di bagian distal obstruksi. Namun, pada beberapa penelitian, tidak terdapat perbedaan
signifikan antara efek bronkodilator intravena dan inhalasi. Pada pemberian intravena,
efek samping takikardi lebih sering terjadi. Pemberian 62-agonis IV dapat
dipertimbangkan jika pasien tidak berespons dengan pemberian nebulisasi B2-agonis,
kortikosteroid IV, dan teofilin + ipratropiurn bromida. Salbutamol IV dapat diberikan
dengan dosis rnulai dari 0,2 mcg/kgBB/menit dan dinaikkan 0,1 meg/kg setiap 15 menit
dengan dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit. Terbutalin IV Japat diberikan dengan dosis 10
mcg/kgBB rnelalui infus selama 10 menit, dilanjutk^n dengan 0,1-4 /ig/kgBB/jam dengan
infus kontinu.
Efek samping B2-agonis antara lain adalah tremor otot skeletal, sakit kepaia, agitasi,
palpitasi, dan takikardi. Selain itu, dapat terjadi ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi
akibat adanya peningkatan perfusi (sirkulasi) ke paru yang ventilasinya kurang (under-
ventilated), Hal ini akan menimbulkan hipokscmia dan dapat terjadi hipokalemia. Oleh
karena itu, sebaiknya dilakukan pemantauan kadar kalium darah dan pemeriksaan
elektrokardiografi.
Efek sarnping obat ini adalah mual, muntah, dan s;.kit kepala. Pada konsentrasi obat
yang lebih tinggi dapat tirnbul kejang, takikardia, dan aritmia. Secara teori, selain sebagai
bronkodilator, keunggulan teofilin pada serangan asma adalah dapat merangsang pusat
respiratorikk dan meaingkatkan kontraktilitas otot-otot respiratorik.
3.5.6.3 Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sistemik mempercepat perbaikan serangan asma dan
pemberiannya merupakan bagian tatalaksana serangan asma, kecuali pada serangan
ringan. Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan sebagai berikut:
- terapi inisial inhalasi B2-agonis kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup
lama;
- serangan asma tetap terjadi meskipun pasien telah mengunakan kortikosteroid
Magnesium sulfat
Pemberian magnesium sulfat dianjurkan sebagai terapi sistemik pada serangan asma berat.
Pemberian obat ini dapat dipertimbangkan pada anak dengan serangan asma berat yang
dirawat di ICU, terutama yang tidak/kurang berespons terhadap pemberian kortikosteroid
sistemik dan nebulisasi berulang dengan Bragoms dan aminofllin.
Beberapa teori menerangkan bahwa efek bronkodilator obat ini terjadi melalui perannya
di dalam regulasi kompleks adenyl cyclase pada reseptor B2, yaitu suatu kofaktor eniim yang
mengatur keluar masuknya Na dan K melalui membran sel. Obat ini juga bekerja sebagai
penghambat kanal kalsium (calcium channel blacker), memiliki efek sedatif, mengurangi
pelepasan asetilkolin pada ujung-ujung saraf, dan menstabilkan sel mast
Dosis magnesium sulfat adalah 25-50 mg/kg BB IV, diberikan selama 1 jam. Kadar
magnesium serum sebaiknya di periksa setiap 6 jam, infus magnesium harus dititrasi untuk
menjaga agar kadar di dalam darab tetap sebesar 3,5-4,5 meq/dl. Efek samping obat ini
adalah kelemahan otot, penurunan refleks tendon dalam (deep tendon reflex), hipotensi,
takikardia, mual, muntah, flushing kulit, dan disritmia jantung. Suatu penelitian pendahuluan
melaporkan bahwa nebulisasi kombinasi salbutamol dan magnesium sulfat isotonik
menunjukkan hasil yang lebih baik daripada kombinasi salbutamol dan salin normal. Namun,
penggunaan magnesium sulfat isotonik secara rutin belum direkomendasikan sampai ada
penelitian lebih lanjut.
Pada penelitian multisenter, pemberian magnesium sulfat 50 mg/kgBB (inisial) dalam
20 menit dilanjutkan dengan 30 mg/kgBB/jam mempunyai efektiritas yang sama dengan
pemberian p-agonis. Pemberian MgSO4 ini dapat meningkatkan FEV, dan mengurangi angka
perawatan di rumah sakit.
Mukolitik
Pemberian mukolitik pada serangan asma ringan dan sedang dapat dilakukan, tetapi harus
hati-hati pada anak dengan refleks batuk yang tidak optimal. Mukolitik inhalasi tidak
mempunyai efek yang signifikan, tetapi harus berhati-hati pada serangan asma berat. Inhalasi
obat mukolitik tidak menunjukkan kegunaan dalam menangani serangan asma, pada serangan
asma berat bahkan bisa memperberat batuk dan menghambat aliran napas.
Antibiotik
Pemberian antibiotik pada asma tidak dianjurkan karena sebagian besar pencetusnya bukan
infeksi bakteri. Pada keadaan tertentu, antibiotika dapat diberikan, yaitu pada infeksi
respiratorik yang dicurigai disebabkan oleh bakteri, seperti adanya tanda-tanda pneumonia,
sputum yang purulen, serta jika diduga ada rinosinusitis yang menyertai asma,
Obat Sedasi
Pemberian obat sedasi pada serangan asma sangat tidak dianjurkan karena dapat
menekan/mendepresi pernapasan.
Antihistamin
Antihistamin jangan diberikan pada serangan asma karena tidak mempunyai efek yang
menguntungkan, bahkan dapat mcmperburuk keadaan karena dapat memperkental sputum.
3.5.7.1 Oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat. Pada bayi atau anak kecil, saturasi
oksigen sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normalnya > 95%). Meskipun pasien
sudah mendapat oksigen beraliran tinggi, jika saturasi oksigen kurang dari 90% dan kondisi
pasien memburuk, sebaiknya dilakukan pemeriksaan analisa gas darah. Saturasi oksigen
sebaiknya dipertahankan sebesar sekitar 95% (pada bayi dan anak kecil). Hal ini dapat
dicapai dengan pemberian oksigen memakai kanula hidung, masker, atau kadang-kadang
head box (terutama pada bayi). Pada nebulisasi B2-agonis, oksigen sebaiknya diberikan
untuk mengatasi efek samping hipoks'.a.
Inhalasi helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai tambahan pada
pemberian oksigen (dengan kanula hidung}, bersama dengan nebulisasi salbutamol dan me
til prednisolon IV, secara bermakna menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan
peakflow, dan mengurangi sesak. Cara ini juga bisa mencegah kebutuhan ventilasi mekanik
pada beberapa pasien. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi. Hal ini
dapat terjadi karena sifat helium yang ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen
menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih rnudab mencapai alveoli. Sayangnya,
pengalaman menggunakan helioks pada anak dengan serangan asma berat tidak selalu
menunjukkan hasil yang menguntungkan. Belum diketahui dengan pasu alasan mengapa
didapatkan hasil yang berbeda-beda, sehingga untuk menetapkan terapi helioks sebagai
pengobatan standar pada serangan asma, masih diperlukan penelitian . lebih lanjut.
3.5.7.3 Terapi Cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat. Hal ini disebabkan oleh kurang
adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water lost, takipnea, serta akibat efek
diuretik teofilin. Pemberian cairan harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari
hidrasi berlebihan (overhydration); pada asma berat, terjadi peningkatan sekresi ADH yang
memudahkan terjadinya retensi cairan serta terdapat tekanan negatif yang tinggi dari tekanan
pleura pada puncak inspirasi (peak inspiraiory pkural pressure) yang memudahkan terjadinya
edema paru. Biasanya, jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.