Anda di halaman 1dari 20

BAB 7

KEBEBASAN DAN
TANGGUNG JAWAB PERS

Kompetensi Dasar
Setelah mempelajari bab tentang kebebasan dan tanggung jawab pers ini,
diharapkan mahasiswa memahami tentang hakekat kebebasan, tanggung jawab
pers, ekses kemerdekaan pers, dan problem kemerdekaan pers.

Pendahuluan
Kebebasan, pada hakikatnya, merupakan salah satu hak asasi manusia
karena kebebasan itu melekat pada diri manusia. Karena itu, kebebasan manusia
tidak dapat dilimpahkan kepada manusia lainnya. Apabila kebebasan yang ada
pada manusia diambil atau diserahkan kepada orang lain, manusia itu disebut
budak belian dan apabila kebebasan itu diambil oleh pemerintah, berarti manusia
itu adalah manusia hukuman atau narapidana. Karena itu, apabila terjadi
pelimpahan kebebasan manusai kepada manusia lain, hal itu bisa dikatakan
sebagai manusia yang tidak sempurna dalam arti etik.

7.1. Hakikat Kebebasan


Kebebasan sendiri bisa dikatakan mempunyai ”seribu makna”,
bergantung pada sudut pandang mana dan untuk kepentingan siapa, serta dalam
tingkatan kesadaran bagaimana ketika kebebasan itu didefinisikan. Kebebasan
berasal dari kata ”bebas”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ,
”bebas” berarti:

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 72


(1) lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dsb, sehingga dapat bergerak,
berbicara, berbuat, dsb. Dengan leluasa);
(2) lepas dari (kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dsb);
(3) tidak dikenakan (pajak, hukuman, dsb);
(4) tidak terikat atau terbatas oleh aturan-aturan;
(5) merdeka (tidak dijajah, diperintah, atau tidak dipengaruhi oleh negara lain atau
kekuasaan asing);
(6) tidak terdapat (didapat) lagi

Sedangkan menurut Adinegoro, bebas diartikan sebagai (Sobur,2001:89):


(1) lepas dari tekanan, gangguan, dsb;
(2) tidak terhalang
(3) boleh bergerak, berbuat dsb, dengan leluasa dan sesuka hati;
(4) merdeka, tidak di bawah perintah;
(5) tidak terikat oleh perjanjian dsb;
(6) tidak dikenakan hukuman, tuntutan, pajak, kewajiban, dsb

Dalam perspektif etika, kebebasan adalah teori tentang penggunaan kebebasan


seara baik, benar, dan tepat.

• Pandangan Para Ahli Tentang Kebebasan


a. Albert Camus (Penerima Nobel 1957): Tak Seorang pun Berhak atas
Kebebasan Mutlak
Menurut Camus, kebebasan bukanlah sebuah hadiah cuma-cuma
melainkan sesuat yang harus diperjuangkan. Dengan ucapan ini, ia ingin
menegaskan bahwa dalam rezim apa pun, apalagi yang paling totaliter dan
represif, orang jangan bermimpi akan memperoleh kebebasan secara cuma-cuma.
Kebebasan tersebut harus diperjuangkan. Sayangnya, lebih sering penguasa

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 73


menindas kebebasan tersebut sehingga cedekiawan, seniman, dan pers yang
diandalkan sebagai kelompok paling depan dalam memperjuankan kebebasan pun
menjadi bungkam. Inilah yang menimbulkan krisis kebebasan pers.

b. John Stuart Mill : Kita Tidak Berhak Membungkam


Pendapat Mill tentang kebebasan, khususnya kebebasan pendapat:
”Jika seluruh umat manusia memiliki pendapat yang sama, dan hanya satu
darinya yang berlainan, manusia yang lainnya itu tidak berhak untuk
membungkam pandangan orang yang satu ini; begitu pula jika orang yang satu
ini memiliki kekuasaan, ia tidak berhak membungkam seluruh umat manusia”
Menurut Mill dalam bukunya On Liberty and Consideration on
Representative Government (Sobur.2001: 295) membungkam pendapat umum
bukan saja salah, melainkan juga bisa menghancurkan karena tindakan ini
mengandung arti dirampasnya kesempatan orang lain untuk berkenalan dengan
buah pikirannya yang mungkin saja benar, ataupun setengah benar, sehingga
membungkam segala pertukaran pikiran yang berarti menganut bahwa kita selalu
benar.
Dengan demikian, bahwa suatu masyarakat baru akan mempunyai wujud
yang bebas secara sempurna jika pada dirinya terkandung kebebasan untuk
menyatakan pendapat.

c. Soedjatmoko (Cendekiawan humanis): Rakyat menjadi Manusia-manusia


Bebas
Soedjatmoko menolak determinisme. Ia percaya bahwa, pada dasarnya
manusia itu bebas dan kebebasan merupakan kebutuhan dasar manusia. Dalam
kenyataannya, manusia itu lahir dan dibesarkan dalam struktur sosial jika struktur
itu kemudian membuat manusia tidak bebas, dengan kekuatan sendiri ia tidak
dapat menguasai atau mengubah struktur itu. Akan tetapi, bersamaan dengan itu,

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 74


ia sadar bahwa kebebasan merupakan kepentingan yang fundamental baginya.
Karena itu, ia memiliki semangat yang besar untuk memperjuangkan kebebasan
sungguhpun dengan risiko bahwa perjuannya tak selamanya berhasil. Ini terjadi
karena manusia memiliki kesanggupan intrinsik untuk hidup bebas.
Gagasan Soedjatmoko mengenai kebebasan pada akhirnya diarahkan agar
manusia bisa memiliki kebebasan eksistensial. Kebebasan eksistensial ini,
Magnis Suseno seperti dikutip Sobur dalam Etika Profesionalisme dengan Nurani
menjelaskan bahwa ”kebebasan eksistensial, pada hakikatnya, terdiri dari
kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Sifatnya positif.” Dengan
perkataan lain kebebasan tersebut tidak menekankan segi bebas dari apa,
melaikan bebas untuk apa.

d. Kees Bertens: Kita Semua Mengalami Kebebasan


”Kalau tidak ada orang yang bertanya apakah kebebasan itu, kita yakin
kita tahu karena kita sendiri mengalaminya. Akan tetapi, pada saat kita ditanya
apakah kebebasan itu, kita menjadi bingung dan tidak bisa menjawab” (Bertens
dalam Sobur. 2001:314)
Bertens membagi kebebasan itu ke dalam dua macam, yaitu ”kebebasan sosial-
politik” dan ”kebebasan individual”.
1. Kebebasan Sosial-Politik
Perbedaan antara kebebasan sosial-politik dan kebebasan individual
menurut Bertens, adalah pada subjeknya. Subjek kebebasan sosial politik
adalah bangsa atau rakyat, sedangkan subjek kebebasan individual adalah
manusia perorangan.
Kebebasan sosial-politik dapat dibedakan ke dalam dua bentuk: (1)
tercapainya kebebasan politik rakyat dengan membatasi kekuasaan absolut
para raja; (2) terdiri atas kemerdekaan yang dicapai oleh negara-negara
muda terhdap negara-negara penjajah.

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 75


2. Kebebasan Individual, membedakan ke dalam enam bentuk kebebasan:
(1) Kesewenang-wenangan; bebas diartikan sebagai terlepas dari
segala kewajiban dan keterikatan. Kebebasan dilihat sebagai izin
atau kesempatan untuk berbuat atau tidak berbuat semau gue.
(2) Kebebasan fisik; bebas diartikan sebagai tiada paksaan atau
rintangan dari luar. Orang menganggap dirinya bebas dalam arti ini
jika bisa bergerak kemana saja ia mau tanpa hambatan apa pun.
(3) Kebebasan yuridis; syarat-syarat yang harus dipenuhi agar manusia
dapat mengembangkan kemungkinan-kemungkinannya dengan
semestinya. Dibedakan dalam bentuk pertama kebebasan yang
didasarkan pada hukum kodrat. Dengan kebebasan-kebebasan ini,
semua kemungkinan manusia untuk bertindak bebas yang terikat
secara erat dengan kodrat manusia sehingga tidak pernah boleh
diambil dari anggota-anggota masyarakat. Kedua, kebebasan yang
didasarkan pada hukum positif
(4) Kebebasan psikologis, yakni kemampuan yang dimiliki manusia
untuk mengembangkan dan mengarahkan hidupnya. Kebebasan ini
berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia adalah mahluk
berasio. Ia bisa berpikir sebelum bertindak.
(5) Kebebasan moral yang erat kaitannya dengan kebebasan
psikologis, tetapi keduanya tidak sama. Terdapat kebebasan moral
bila orang tidak mengalami tekanan atau paksaan moral dalam
menentukan diri.
Kebebasan eksistensial, yakni kebebasan menyeluruh yang menyangkut seluruh
pribadi manusia dan tidak terbatas pada salah satu aspek saja. Kebebasan ini
menyangkut seluruh eksistensi manusia.

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 76


7.2. Tanggung Jawab Pers
Apakah tanggung jawab itu? Dalam Kamus Umum bahasa Indonesia
susunan W.J.S. Poerwadarminta (1984):1014) tanggung jawab diartikan sebagai
”keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau ada sesuatu hal, boleh
dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb).
Bahwa dalam perkara tanggung jawab ini, hanya manusialah yang
memilikinya. Bertanggung jawab menurut Magnis Suseno berarti seseorang harus
bersedia untuk memperlihatkan bahwa perbuatannya tidak hanya enak dan
berguna baginya, melainkan benar, dalam arti, dapat dipertahankan secara
argumentatif, berhadapan dengan klaim-klaim alternatif. (Sobur 2005:317).
Dengan perkataan lain, bertanggung jawab berarti membedakan mana sikap yang
baik dan mana yang tidak baik.
Mengenai tanggung jawab pers, Deddy Mulyana dalam pengantarnya pada
buku Etika Komunikasi mengisahkan ,”Di Amerika Serikat, pernah terjadi
polemik yang ramai gara-gara seorang wartawan televisi dengan kameranya terus
membidik seorang pria yang membakar diri di tempat umum (dengan
menyiramkan minyak bakar ke tubuhnya dan menyulut dengan api), alih-alih
menyelamatkan korban.” Masalah yang dipolemikkan adalah penilaian terhadap
perilaku wartawan itu: ”Apakah ia etis? Apakah ia bertanggung jawab sebagai
wartawan TV?”
”Bila anda sebagai orang Indonesia dihadapkan pada kejadian serupa,” lanjut
Deddy, ”saya yakin Anda akan menyelamatkan orang yang membakar diri itu.
Akan tetapi, belum tentu Anda sepikiran dengan orang Amerika, seperti wartawan
di atas, yang lebih bebas mengumpulkan, mengolah, dan menyampaikan
informasi. Namun, seperi ditunjukkan polemik tadi, di Amerika sendiri yang
mengagungkan kebebasan itu, tidak ada kebebasan demi kebebasan semata-mata.
Tetapi, kebebasan itu harus disertai tanggung jawab seberapa kecil pun tanggung
jawab itu.”

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 77


”Tanggung jawab adalah garis batas kebebasan,” kata Daniel Dhakidae
dalam Sobur (2005:345). ”Dan sebaliknya tidak jurang benarnya yakni kebebasan
adalah garis batas tanggung jawab. Tanpa kebebasan tidak mungkin menuntut
tanggung jawab, dan tanpa tanggung jawab tidak mungkin menuntut kebebasan.
Keduanya tidak bisa dipisahkan.”
Bagi wartawan—dan tentu saja termasuk yang bukan wartawan—perlu
dipikirkan hak dan tanggung jawabnya dalam hubungan dengan orang lain. Setiap
orang yang bertindak tanpa tanggung jawab, tentu saja, akan melemahkan
tuntutannya bagi kebebasan, dan untuk orang yang tidak mempunyai kebebasan
tidak mungkin dituntut pertanggungjawaban.
Dalam konteks Indonesia, kepada siapa pers harus bertanggung jawab?
Menurut Mochtar Lubis (salah seorang wartawan senior Indonesia), seharusnya
pers itu bertanggung jawab kepada hukum dan undang-undang negara, bukan
kepada pemerintah.
Lebih jauh, S. Tasrif mengatakan, dalam menggunkan kebebasan pers itu,
seorang wartawan yang baik harus menghayati tanggung jawab ke berbagai segi,
antara lain:
(1) terhadap hati nurani sendiri;
(2) terhadap sesama warga negara yang juga memiliki hak-hak asasi;
(3) terhadap kepentingan umum yang diwakili oleh pemerintah; dan
(4) terhadap sesama rekan seprofesi.
Dalam penjelasan UU No. 40/1999, pasal 4, ayat (1) ditegaskan,
”Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran pentingnya
penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tangung
jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik, serta sesuai dengan
hati nurani insan pers. Apabila diterjemahkan ke dalam penyajian berita dan
profesi kewartawanan, hal ini mencakup tanggung jawab untuk hanya
menyebarluaskan berita yang oleh wartawan dianggap benar dalam arti sungguh-

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 78


sungguh terjadi. Kalaupun masih ada unsur keragu-raguan, berita tersebut
sebaiknya tidak disebarluaskan, apalagi jika menyangkut nama baik orang lain.”
Dalam Kode etik Jurnalistik Wartawan Indonesia, pasal 2, ihwal tanggung
jawa ini, juga ditegaskan:
”Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana
mempertimbangkan patut-tidaknya menyiarkan berita tulisan, atau gambar, yang
dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan
bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu
golongan yang dilindungi oleh undang0udnang.”
Wartawan tidak hanya bertanggung jawab terhadap pekerjaannya,
melainkan juga terhadap masyarakat. Jika dirinci, berdasarkan macamnya,
setidaknya ada empat tanggung jawab yang harus dipikul wartawan, yakni:
(1) tanggung jawab terhadap media tempat wartawan itu bekerja dan
organisasinya;
(2) tanggung jawab sosial yang berakibat adanya kewajiban melayani opini
publik dan masyarakat secara keseluruhan;
(3) tanggung jawab dan kewajiban yang berhubungan dengan keharusan
bertindak sesuai dengan undang-undang.
(4) tanggung jawab terhadap masyarakat internasional yang berhubungan
dengan nilai-nilai universal.
Dalam prakteknya, keempat tanggung jawab di atas mungkin saja masing-
masing bertentangan atau sangat berlawanan.

7.3. Kebebasan Pers


Konsep kebebasan pers muncul sebagai reaksi terhadap pers otoriteryang
berkembang sebelumnya, karena pers yang otoriter dianggap tidak demoktratis
dan tidak relevan dengan gagasan kebebasan individu yang muncul sebagai

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 79


konsekuensi dari berkembangnya paham liberalisme dan individualisme dalam
masyarakat. \
Hakikat kebebasan pers sendiri sebenarnya perlu ditegaskan terlebih dahulu,
karena pengertian kebebasan pers di pelbagai negara mempunyai pengertian yang
berbeda-beda bergantung pada filsafat negaranya, juga pola pertumbuhan
politiknya, hakikat manusianya, masyarakat dan negaranya, hubungan antara
rakyat dan negara, hakikat pengetahuan, serta kebenaran dan moral.
John C. Merrill, dalam bukunya The Dialectic in Journalism, Toward a
Responsibility Use of Press Freedom, menyebutkan bahwa kata-kata kebebasan
pers sebenarnya memiliki pengertian sebagai suatu kondisi yang memungkinkan
para pekerja pers memilih, menentukan, dan mengerjakan tugasnya sesuai dengan
keinginan mereka. (Sobur. 2001:331). Pengertian ini menyiratkan bahwa
kebebasan pers mencakup kebebasan negatif (bebas dari) dan kebebasan positif
(bebas untuk).
Tolok ukur ”bebas dari apa” akan dijawab oleh pers sebagai bebas dari
sensor. Namun demikian, dimana-mana bebas dari sensor mutlak tidak pernah ada
karena akibat pemberitaan itu tersebar dalam masyarakt luas sehingga
menyinggung bukan saja hak kebebsan eksistensial orang lain, melainkan juga
dampak-dampak darinya.

• Kebebasan Pers di Indonesia


Adakah kebebasan pers di Indonesia? Hingga kini belum ada kesatuan
pendapat yang bisa dijadikan sebagai jawaban tehadap pernyataan tersebut.
Menurut S. Tasrif, kita hanya dapat berbicara tentang diakui dan dijaminnya
kebebasan pers dalam suatu negara apabila dalam negara yang bersangkutan
terpenuhi tiga syarat. Ketiga syarat yang dimaksud adalah:
(1) tidak ada kewajiban menurut hukum untuk meminta surat izin terbit bagi
suatu penerbitan pers kepada pemerintah;

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 80


(2) tidak ada wewenang menurut hukum pada pemerintah untuk melakukan
penyensoran sebelumnya terhadap berita atau karangan yang akan dimuat
dalam suatu penerbitan pers; dan
(3) tidak ada wewenang menurut hukum pada pemerintah untuk melakukan
pemberangusan terhadap suatu penerbitan pers, baik untuk selama-
lamanya maupun untuk jangka waktu tertentu.
Apabila ketiga syarat formal di atas terpenuhi dalam suatu negara, menurut Tasrif,
barulah kita dapat mengatakan b bahwa dalam negara tersebut diakui dan dijamin
adanya kebebasan pers

• Hadiah dan Kedekatan dengan Sumber Berita


a. Amplop dan Hadiah Gratisan
Di dunia pers Indonesia ada suatu sebutan bernada mengejek yang tidak
enak didengar telinga, yaitu sebutan wartawan amplop. Yang dimaksud dengan
amplop adalah pemberian dari sumber berita kepada wartawan yang
mewawancarainya berupa amplop berisi uang. Pemberian ini ada yang
menganggap sebagai balas jasa atas kesediaan sang wartawan melakukan
wawancara dengan sumber berita bersangkutan. Tetapi, ada pula yang
menafsirkannya sebagai uang suap kepada wartawan agar beritanya benar-benar
dimuat dan berita itu memuat hal-hal yang baik-baik saja tentang si sumber berita.
Mengapa disebut wartawan amplop? Karena wartawan yang gemar menerima
amplop dari sumber berita tidak akan menulis berita hasil wawancaranya jika ia
tidak dibekali amplop oleh sumber berita tersebut.
Pemberian lainnya dalam bentuk lain adalah apa yang disebut oleh pers
Barat sebagai freebies atau diterjemahkan sebagai gratisan. Freebies yang
diberikan kepada wartawan bisa berupa tiket nonton gratis, tiket perjalanan gratis,
atau tiket pertunjukkan yang diberikan secara gratis. Hampir seluruh wartawan
Indonesia, mulai dari wartawan biasa sampai wartawan eselon paling atas dan

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 81


bahkan redaktur, menikmati freebies berupa undangan perjalanan gratis ke luar
negeri sebagai ”tamu” sebuah maskapai penerbangan atau tamu sebuah
perusahaan kaya. Bioskop-biokop atau penyelenggara-penyelenggara
pertunjukkan apa pun selalu menyediakan tiket gratis untuk wartawan.
Banyak kalangan wartawan yang beranggapan bahwa freebies bisa
diterima, asalkan jangan sampai gara-gara hadiah gratisan ini , wartawan
mempunyai beban moral untuk membuat beritanya menguntungkan dan memuji-
muji si pemberi hadiah. Tetapi tidak demikian dengan masalah ”amplop’.
Pemberian berupa amplop dianggap terang-terangan merendahkan profesi
wartawan. Dengan membiarkan sumber berita membekali wartawan dengan
amplop berisi uang, berarti membiarkan sumber berita beranggapan bahwa
wartawan atau berita itu bisa dibeli.
Pasal 4 kode etik Jurnalistik yang dikeluarkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia
menyebutkan ”Wartawan Indonesia tidak menerima imbalan untuk menyiarkan
atau tidak menyiarkan berita, tulisan, gambar, yang dapat menguntungkan atau
merugikan seseorang ataus sesuatu pihak.”
b. Jurnalisme uang
Sebaliknya dari pemberian, hadiah, amplop, freebies, atau apa pun
namanya kepada wartawan, praktik lainnya yang merupakan ”keluarga dekatnya’
adalah jurnalisme uang. Kalau politik mengenal politik uang atau money politics,
pers juga mengenal ”money journalism” atau dalam pers Barat dikenal dengan
checkbook journalism.
Dalam jurnalisme-uang, bukan sumber berita yang memberikan hadiah
atau amplop berisi uang kepada wartawan atau media berita, tetapi wartawan atau
media yang memberikan uang kepada sumber berita. Seringkali jurnalisme-uang
ini menyangkut hak siar ekslusif oleh sesuatu media atau beberapa media yang
dibeli dari sumber berita.

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 82


Contohnya penayangan hasil rekaman video tentang praktek kekerasan di Sekolah
Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) oleh SCTV sekitar bulan
September 2003 merupakan penyiaran yang sifatnya eksklusif. Artinya tidak ada
stasiun televisi lain yang menyiarkan rekaman tersebut. Rekaman video yang
menimbulkan kehebohan di masyarakat ini diduga banyak orang mungkin
diperoleh SCTV dengan membeli atau paling tidak memberikan imbalan kepada
yang menyerahkan rekaman tersebut untuk tidak menyerahkan kopi rekamannya
kepada media lain.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah praktik demikian bisa dianggap
pantas? Memang hal ini mengundang pro dan kontra. Tetapi pada umumnya
menganggap hal itu tidak apa apa. Pertimbangannya adalah bahwa informasi yang
dipegang oleh seseorang dianggap milik pribadi, terutama jika informasi itu
sifatnya sangat pribadi atau hasil dari kegiatan pribadi si pemegang informasi.
Sebagai milik pribadi, informasi tersebut wajar saja jika diperjualbelikan.

c. Konflik Kepentingan
Pokja-pokja (kelompok-kelompok kerja), seksi atau unit yang dibentuk
wartawan di setiap beat liputan seperti kepolisian, pengadilan, sekretariat negara,
hankam, dll, dianggap dapat mengakrabkan wartawan dengan sumber berita.
Keakraban dengan sumber berita bisa saja menyebabkan berita yang dibuat
wartawannya menjadi bias.
Lalu bagaimana halnya dengan wartawan yang menjadi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) baik di daerah maupun di pusat? Bagaimana pula
dengan wartawan yang menjadi pejabat hubungan masyarakat sesuatu partai atau
perusahaan? Dan bagaimana dengan wartawan yang kenal akrab dengan politisi,
pejabat, atau pengusaha? Atau, bagaimana dengan wartawan olahraga yang akrab
dengan pengurus dan atlet olahraga karena dia sendiri mantan atlet nasional?

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 83


Ada anggapan dari sebagian kalangan suratkabar bahwa keakraban
wartawan dengan berbagai lingkungan masyarakat akan memberikan kepercayaan
dari masyarakat terhadap pemberitaan suratkabar dimana wartawan itu bekerja.
Dengan demikian, adanyaa wartawan dari suatu suratkabar yang menjadi anggota
DPR, anggota partai, anggota suatu klub, dan anggota perkumpulan masyarakat
lainnya, akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap suratkabar
bersangkutan.
Yang perlu diingat, bila menghadapi dilema berkaitan dengan status
sebagai wartawan dan anggota organisasi, adalah tetap memberikan informasi
secara bertanggungjawab kepada masyarakat agar pers dapat mengamankan hak-
hak warganegara dalam kehidupan bernegara.

• Rambu-rambu Etika dan Hukum


a. Kode Etik Jurnalistik
Kode etik yang mengatur profesi wartawan Indonesia anggota PWI
adalah.Kode Etik Jurnalistik PWI. Kode etik Jurnalistik PWI ini
untuk pertama kalinya disahkan dalam dalam kongres PWI bulan Februari 1947.
Professional code ini kemudian mengalami beberapa kali perubahan dan
penyempurnaan, terakhir disahkan Kongres XXI PWI, 2-5 Oktober 2003
di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Dengan demikian, ada rambu-rambu bagi wartawan dalam
menjalankan kebebasannya yaitu Kode Etik Jurnalistik. Kode etik ini
meskipun tidak menetapkan sanksi yang tegas seperti undang-
undang, namun ketentuan-ketentuannya dipatuhi oleh setiap wartawan
karena jika tidak, martabat profesi wartawan akan terpuruk. Dengan
demikian, tegaknya professional code ini sangat mengandalkan kata hati
atau hati nurani wartawan sendiri.
b. Embargo

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 84


Salah satu ketentuan yang ditetapkan dalam Kode Etk Jurnalistik
adalah lembaga embargo. Pasal 14 Kode Etik Jurnalistik PWI berbunyi:”
Wartawan Indonesia menghormati embargo bahan latar belakang, dan
tidak menyiarkan informasi yang oleh sumber berita tidak
dimaksudkan sebagai bahan berita ...” Menurut penjelasan psal 14 Kode
Etik Jurnalistik tersebut, embargo ”yaitu permintaan menunda penyiaran
suatu berita sampai batas waktu yang telah ditetapkan oleh sumber berita
dan wajib dihormati.”

c. Off-the-record
”Wartawan Indonesia menghormati embargo bahan latar belakang,
dan tidak menyiarkan informasi yang oleh sumber berita tidak dimaksudkan
sebagai bahan berita serta tidak menyiarkan keterangan off-the-record atas
kesepakatan dengan sumber berita.”
Off-the-record terjadi berdasarkan perjanjian antara sumber berita
dan wartawan yang bersangkutan untuk tidak menyiarkan informasi yang
telah diberikan oleh sumber berita.Keterangan yang diberikan secara off
the record sebaiknya jangan diterima. Artinya, informasi atau keterangan
yang diberikan kepada wartawan dengan syarat tidak untuk disiarkan
janganlah diterima. Penolakan ini sebaiknya dilakukan kalau tidak mau
ketinggalan kereta dalam pemberitaan. Karena, apa yang diberikan,
mungkin saja akan disiarkan wartawan lain, yang mendapat berita tersebut
dengan jalan lain, tanpa syarat off the record. Selain itu, ada keburukan lain,
yaitu sekali seorang wartawan bersedia menerima keterangan mengenai
suatu masalah secara off-the-record, ia terika oleh janjinya dan sulit untuk
membuat berita mengenai masalah yang sama dengan menggunakan bahan-
bahan yang kira-kira sama dengan yang telah diterangkan kepadanya tanpa

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 85


menimbulkan anggapan, ia telah melanggar janji, sekalipun bahan-bahan
yang pada pokoknya sama itu diperoleh dari sumber-sumber lain.
Permintaan off-the-record tidak mengikat keseluruhan wartawan.
Kalau ada wartawan yang tidak langsung diminta atau didak hadir dalam
pertemuan dengan si sumber berita, maka mereka tidak terikat pada
pemberlakuan off the record tersebut.
d. Menyembunyikan Sumber Berita
Keterangan off-the-record biasanya diberikan tidak dengan syarat
mutlak harus tidak dimuat, tetapi seringkali dengan embel-embel seperti
berikut dari sumber berita:”Silakan saja jika anda ingin memuatnya,
tetapi jangan menyebut saya sebagai sumbernya..” Hal ini haruslah
diwaspadai, karena taktik ini biasany digunakan oleh sumber berita untuk
melepaskan diri dari tanggung jawab jika ada ketidakcermatan dalam
faktanya. Atau dia memang sengaja memberikan informasi bohong,
informasi yang mengakibatkan timbulnya delik pers, atau informasi itu
dimuati kepentingan pribadi.
Tetapi, terkadang menyembunyikan identitas sumber berita itu
layak dilakukan ketika kita yakin tentang keakuratan informasi sumber
berita, atau ketika menyebutkan identitasnya akan menempatkan
sumber berita dalam posisi yang memalukan, mencurigakan, dan
membahayakan dirinya. Atau memuat nama sumber berita sama baiknya
dengan tanpa menyebutkan. Dalam hal ini wartawan boleh menggunakan
kata-kata”menurut sebuah sumber”. Tetapi tidak perlu menggunakan kata-
kata ”menurut sumber yang layak dipercaya.”

7.4. Ekses Kemerdekaan Pers


Kebebasan pers di Indonesia berlaku sejak Juli 1998, ketika menteri
penerangan saat itu, Yunus Yosfiah, mempermudah prosedur mendapatkan Surat

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 86


Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Menurut data Serikap Penerbit Suratkabar
(SPSI), sejak saat itu jumlah media cetak di Indonesia yang semula hanya
mencapai sekitar 260-an sempat menolak menjadi sebanyak 1.800-an. Sebuah
lonjakan jumlah yang belum pernah terjadi dalam sejarah pers di Indonesia.
Namun lonjakan media itu hanya dalam kuantitas.
Setelah sepuluh tahun pers merdekan, pelaksanaan kebebasan pers
ternyaata masih belum seperti yang diharapkan masyarakat. Pers pada umumnya
belum mampu menerapkan kebebasan yang bertanggung jawab. Tidak salah jika
muncul tudingan bahwa kebebasan pers telah kebablasan. Eses-ekses kebebasan
pers yang kebablasan itu antara lain terlihat dari maraknya penerbitan pornografis,
serta sering terjadi pembunuhan karakter melalui pers.
Pers yang kebablasan itu umumnya memang penerbitan baru yang
dikelola oleh orang-orang yang tidak profesional atau orang-orang yang
mengambil keuntungan terhadap iklim kebebasan. Banyak media baru terbit asal-
asalan, hanya bertahan untuk dua tiga edisi dan kemudian mati. Karena sebagian
besar dari media baru tersebut terbit tanpa membawa misi jurnalisme dan tidak
memahami etika jurnalistik, melainkan sekadar berusaha mencari untung dari
kebebasan pers. Mereka tahu dunia pers menjanjikan dana pembinaan wartawan
dari pemerintah daerah, serta praktek pemberian amplop kepada wartawan.
Persolannya di kalangan masyarakat masih sulit membedakan antara pers
lama dan pers baru. Masyarakat pada umumnya tidak melihat apakah suatu
penerbitan pers dikelola secara profesional atau tidak. Apa saja yang terbit dalam
wujud majalah, tabloid, atau koran, dan dijajakn di pinggir jalan dianggap sebagai
penerbitan pers. Wartawan bodrex menerbitkan tabloid atau majalah hanya
sekadar untuk alat mencari amplop dan bahkan seabgai sarana pemerasan. Tokoh-
tokoh yang sedang bermasalah, atau diduga tersangkut korupsi, adalah lahan para
wartawan bodrex untuk melaksanakan aksi pemerasannya.

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 87


Belakangan muncul kecenderungan baru, pers yang diterbitkan untuk
memfitah atau memeras tidak lagi dikelola oleh wartawan bodrex, melainkan oleh
wartawan yang cukup profesional. Tabloid atau majalah yang mereka buat terbit
secara teratur, dan dikelola dengan cukup profesional. Mereka bahkan tidak
segan-segan menamakan diri sebagai media investigasi atau media pemantau
lembaga tertentu. Jenis media seperti ini, memberikan kesan sebagai media serius
dengan misi mulia, yaitu melakukan investigasi dan memantau penyelewengan
yang terjadi di lembaga pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kasus pemerasan tersebulung semacam itu seringkali tidak diselesaikan
melalui prosedur dan mekanisme yang lazim dalam pers, yaitu melalui hak jawab,
hak koreksi, atau pengaduan ke Dewan Pers. Menurut data di Dewan Pers, tidak
banyak pengaduan terhadap pers menyangkut praktek fitnah yang diikuti
pemerasan. Karena pada umumnya, pihak yang menjadi korban enggan
mempersoalkan kasus fitnah dan pemerasan yang dialaminya, dan cenderung
menyelesaikan di bawah tangan dengan membayar.
Tetapi ada pula kasus fitnah dan pemerasan melalui media ini oleh korban
diadukan ke pihak berwenang dan diselesaikan melalui gugatan hukum di
pengadilan. Misalnya, hal itu dilakukan oleh Gubernur Propinsi kepulauan Riau,
Ismeth Abdullah, yang merasa difitnah oleh sebuah tabloid. Pengacara Ismeth
sempat mengadu ke Dewan Pers, namun kemudian lebih memilih jalur
pengadilan.
Dalam konteks penyelesaian kasus pers yang melibatkan media tidak
bertanggung jawab, yang digunakan untuk memfitnah dan memeras, memang
tidak ada pilihan lain selain menggunakan ketentuan hukum pidana. Penyelesaian
secara etis, melalui hak jawab atau proses mediasi dengan Dewan Pers, tidak akan
mempan untuk mengingatkan atau memperbaiki kinerja pengelola media
semacam itu. Kode etik jurnalistik hanya bisa diberlakukan kepada pers yang
memang memahami dan menjalankan prinsip jurnalistik. Kesalahan etika

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 88


lazimnya terjadi karena kelalaian atau mengabaikan (negiglence) bukan karena
kesengajaan atu niat jahat (actual malice).

7.5. Problem Kemerdekaan Pers


Berita yang memenuhi standar jurnalistik profesional dan mematuhi etika,
biasanya mampu memisahkan fakta dengan opini, mengungkap fakta dan kutipan
secara akurat, tidak emosional dan sensasional, seimbang dan adil (fairness),
berupaya cover both sides, selalu menempatkan dan mempertimbangkan
kepentingan publik. Pers juga wajib menghindarkan hal-hal yang bisa
menimbulkan diskriminasi, dan menggunakan bahasa yang patut. Ada dua
keuntungan bagi pers yang menerapkan etika, pertam, berita lebih akurat dan
lengkap, kedua, bisa menghindari atau meminimalisasi tuntutan hukum.
Sebagian kalangan masyarakat masih menilai kemerdekaan pers di
Indonesia telah ”kebablasan”. Kemerdekaan pers harus dibedakan dengan produk
pers, memang adanya kemerdekaan pers tidak seratus persen menjamin
berkembangnya pers-pers yang berkualitas.
Dunia pers tidak mengenal istilah ”kebablasan” dalam kaitan dengan
kemerdekaan pers. Barangkali kemerdekaan pers yang kebablasan ialah apa yang
oleh para wartawan sendiri disebut sebagai penyalagunaan profesi media pers dan
kekurangan atau kelemahan profesionalistis wartawan. Tetapi gejala seperti ini
bukan hanya terjadi di tengah kebebasan pers, melainkan juga ketika pers tidak
memiliki kebebasan. Penyalahgunaan profesi oleh media pers dapat ditanggulangi
antara lain melalui proses hukum. Upaya lain menanggulangi kekurangan
profesionalisme wartawan di sebagian media memerlukan kesabaran. Hal ini
berkaitan dengan kondisi masyarakat, seperti masalah pendidikan yang belum
mampu mendukung pengembangan sumber daya manusia yang profesional.
Penilaian terhadap kebebasan pers sering dilihat hanya dari ekses-ekses
negatifnya saja, seperti bermunculannya pers sensasional atau lahirnya banyak

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 89


media yang dikelola sembarangan. Ekses-ekses itu memang akan selalu ada,
banyak anggota masyarakat yang akan memanfaatkan kebebasan untuk ”coba-
coba” terjun dalam bisnis media. Mereka menerbitkan media, secara tidak
profesional dan dengan modal seadanya, kemudian tutup lantaran tidak laku, atau
menerbitkan tabloid untuk tujuan non jurnalistik (vested interest). Praktek
semacam itu memang merongrong kebebasan pers, namun tidak bisa dielakkan.
Selalu asda sisi buruk dari kebebasan, apalagi untuk Indonesia yang hampir tidak
pernah mengenal kebebasan. Untuk pers yang tidak bertanggungjawab bisa
digunakan aturan hukum untuk menjerat mereka.
Sedangkan media-media yang berupaya mematuhi kode etik jurnalistik,
penyelesaian menyangkut persoalan yang diakibatkan oleh pemberitaan pers
sebaiknya dilakukan melalui mediasi Dewan Pers. Dewan Pers mendapat mandat
dan amanat dari Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers untuk
mengembangkan dan menjaga kemerdekaan atau kebebasan pers dan
meningkatkan kehidupan pers nasional serta melaksanakan fungsi-fungsi sebagai
berikut:
1. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain.
2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.
3. Menetapakn dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
4. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan
masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
5. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah.
6. Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-
peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.
7. Mendata perusahaan pers.

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 90


Penutup:
1. Jelaskan pandangan kebebasan menurut beberapa ahli!
2. Apa makna tanggung jawab pers?
3. Jelaskan mengenai kebebasan pers dan faktor-faktor yang mempengaruhi
kebebasan pers!
4. Apa saja ekses kemerdekaan pers?
5. Apa yang menjadi problema kemerdekaan pers Indonesia/

Etika Profesi; Menjadi Jurnalis Beretika 91

Anda mungkin juga menyukai