Anda di halaman 1dari 20

BAB I

KONSEP MEDIS

A. Defenisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes

melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainansekresi insulin, kerja insulin, atau

kedua-duanya.

Diabetes Melitus adalah keadaan kronik,yang berkarakteristik penyakit

progresif oleh ketidakmampuan tubuh untuk metabolisme karbohidrat, lemak, dan

protein yang menuju pada hiperglikemia(peningkatan gula darah). Diabetes militus

mengacu sebagai gula yang tinggi oleh pasien dan penyedia perawatan

kesehatan (Lanywati, 2007).

Diabetes melitus tipe 2 yang dahulu disebut diabetes melitus tidak

tergantung insulin (non-insulin-dependent diabetes melitus/NIDDM) atau diabetes

onset dewasa merupakan kelainan metabolik yang ditandai dengan kadar glukosa

darah yang tinggi dalam konteks resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif.
Penyakit diabetes melitus jenis ini merupakan kebalikan dari diabetes melitus tipe

1, yang mana terdapat defisiensi insulin mutlak akibat rusaknya sel islet di

pankreas. Gejala klasiknya antara lain haus berlebihan, sering berkemih, dan lapar

terus-menerus. Diabetes tipe 2 berjumlah 90% dari seluruh kasus diabetes dan

10% sisanya terutama merupakan diabetes melitus tipe 1 dan diabetes gestasional.

Kegemukan diduga merupakan penyebab utama diabetes tipe 2 pada orang yang

secara genetik memiliki kecenderungan penyakit ini.Diabetes militus tipe

2,biasanya disebut NIDDM,adalah kerusakan genetik dan faktor lingkungan. DM


tipe 2 adalah tipe paling umum dari diabetes militus yang meliputi 90% dari

semua populasi diabetes. Biasanya didiagnosa setelah umur 40 tahun dan

umumnya menyerang orang dewasa, orang yang gemuk dan pastinya populasi

etnik dan ras (Sujono dan Sukarmin, 2008).

Diabetes militus tipe 2,dulunya disebut NIDDM(non-insulin-dependent

diabetes militus),terdiri dari 90%-95% dari contoh diabetes. Dimulai dengan

perlawanan insulin,sebuah situasi dimana sel tidak seluruhnya menggunakan

insulin. Sebagai kebutuhan untuk meningkatkan insulin,pankreas berlangsung

kehilangan kemampuan untuk memproduksinya. DM tipe 2 mempunyai

kecenderungan mempertahankan hidup dari padaa tipe 1 dan tidak menimbulkan

diabetes ketoasidosis (Lanywati, 2007).

B. Klasifikasi

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2011, klasifikasi

Diabetes Melitus adalah:

1. Diabetes Melitus tipe 1

DM tipe 1 sering dikatakan sebagai diabetes Juvenile onset atau Insulin

dependent atau Ketosis prone, karena tanpa insulin dapat terjadi kematian

dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis. Istilah juvenile onset

sendiri diberikan karena onset DM tipe 1 dapat terjadi mulai dari usia 4 tahun

dan memuncak pada usia 11-13 tahun, selain itu dapat juga terjadi pada akhir

usia 30 atau menjelang 40.

Karakteristik dari DM tipe 1 adalah insulin yang beredar di sirkulasi sangat

rendah, kadar glukagon plasma yang meningkat, dan sel beta pankreas gagal

berespons terhadap stimulus yang semestinya meningkatkan sekresi insulin.


DM tipe 1 sekarang banyak dianggap sebagai penyait autoimun. Kelainan

autoimun ini diduga ada kaitannya dengan agen infeksius/lingkungan, di mana

sistem imun pada orang dengan kecenderungan genetik tertentu, menyerang

molekul sel beta pankreas yang menyerupai protein virus sehingga terjadi

destruksi sel beta dan defisiensi insulin. Faktor-faktor yang diduga berperan

memicu serangan terhadap sel beta, antara lain virus (mumps, rubella,

coxsackie), toksin kimia, sitotoksin, dan konsumsi susu sapi pada masa bayi.

Selain akibat autoimun, sebagaian kecil DM tipe 1 terjadi akibat proses yang

idiopatik. Tidak ditemukan antibodi sel beta atau aktivitas HLA. DM tipe 1

yang bersifat idiopatik ini, sering terjadi akibat faktor keturunan, misalnya pada

ras tertentu Afrika dan Asia.

2. Diabetes Melitus tipe 2

Diabetes mellitus tipe II disebabkan oleh faktor keturunan dan juga gaya hidup

yang kurang sehat. Hampir seluruh penderita diabetes menderita tipe kedua ini.

Meskipun mengenai dihampir semua penderita diabetes, gejalanya sangatlah

lambat. Sehingga perkembangan penyakit ini membutuhkan waktu bertahun-

tahun. Kerja insulin di dalam tubuh tidak lagi efektif meskipun tidak perlu ada

suntikan insulin dari luar untuk membantu menjalani hidupnya. Tidak seperti

pada DM tipe 1, DM tipe 2 tidak memiliki hubungan dengan aktivitas HLA,

virus atau autoimunitas dan biasanya pasien mempunyai sel beta yang masih

berfungsi (walau terkadang memerlukan insulin eksogen tetapi tidak

bergantung seumur hidup). DM tipe 2 ini bervariasi mulai dari yang

predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif, sampai yang

predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin.


Pada DM tipe 2 resistensi insulin terjadi pada otot, lemak dan hati serta terdapat

respons yang inadekuat pada sel beta pankreas. Terjadi peningkatan kadar asam

lemak bebas di plasma, penurunan transpor glukosa di otot, peningkatan

produksi glukosa hati dan peningkatan lipolisis.

Defek yang terjadi pada DM tipe 2 disebabkan oleh gaya hidup yang

diabetogenik (asupan kalori yang berlebihan, aktivitas fisik yang rendah,

obesitas) ditambah kecenderungan secara genetik. Nilai BMI yang dapat

memicu terjadinya DM tipe 2 adalah berbeda-beda untuk setiap ras..

3. Diabetes Kehamilan/gestasional

Diabetes kehamilan didefinisikan sebagai intoleransi glukosa dengan onset

pada waktu kehamilan. Diabetes jenis ini merupakan komplikasi pada sekitar

1-14% kehamilan. Biasanya toleransi glukosa akan kembali normal pada

trimester ketiga.

C. Etiologi

1. Diabetes Mellitus tipe I

Diabetes Melitus tipe I ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas.

Kombinasi faktor genetik, imunologi dan mungkin pula lingkungan (misalnya,

infeksi virus) diperkirakan turut menimbulkan destruksi sel beta(Smeltzer

Suzanne C, 2001).

Menurut Maulana Mirza (2009) ada beberapa faktor yang mendukung

terjadinya diabetes mellitus tipe I diantaranya:

a. Faktor-faktor genetik

Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri, tetapi mewarisi

suatu predisposisi atau kecendrungan genetik ke arah terjadinya Diabetes


Melitus tipe I. Kecendrungan genetik ini ditemukan pada individu yang

memiliki tipe antigen HLA (human leococyte antigen) tertentu. HLA

merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen trasplantasi

dan proses imun lainnya.

b. Faktor-faktor imunologi

Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Respon

ini merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan

normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang

dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing

c. Virus dan bakteri

Virus penyebab DM adalah rubela, mumps, dan human coxsackievirus B4.

Melalui mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta, virus ini mengakibatkan

destruksi atau perusakan sel. Bisa juga, virus ini menyerang melalui reaksi

autoimunitas yang menyebabkan hilangnya otoimun dalam sel beta.

Diabetes Melitus akibat bakteri masih belum bisa dideteksi. Namun, para

ahli kesehatan menduga bakteri cukup berperan menyebabkan DM.

d. Bahan toksik atau beracun

Bahan beracun yang mampu merusak sel beta secara langsung adalah

alloxan, pyrinuron (rodentisida), dan streptozoctin (produk dari sejenis

jamur). Bahan lain adalah sianida yang berasal dari singkong.

2. Diabetes Melitus tipe II

Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan

sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik

diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.


Selain itu terdapat pula faktor-faktor resiko tertentu yang berhubungan dengan

proses terjadinya diabetes tipe II, faktor-faktor ini adalah:

a. Ras atau Etnis

Beberapa ras tertentu, seperti suku Indian di Amerika, Hispanik, dan orang

Amerika di Afrika, mempunyai resiko lebih besar terkena diabetes tipe II.

Kebanyakan orang dari ras-ras tersebut dulunya adalah pemburu dan petani

dan biasanya kurus. Namun, sekarang makanan lebih banyak dan gerak

badannya makin berkurang sehingga banyak mengalami obesitas sampai

diabetes.

b. Obesitas

Lebih dari 8 diantara 10 penderita diabetes tipe II adalah mereka yang

kelewat gemuk. Makin banyak jaringan lemak, jaringan tubuh dan otot akan

makin resisten terhadap kerja insulin, terutama bila lemak tubuh atau

kelebihan berat badan terkumpul di daerah sentral atau perut (central

obesity). Lemak ini akan memblokir kerja insulin sehingga glukosa tidak

dapat diangkut ke dalam sel dan menumpuk dalam peredaran darah.

c. Kurang Gerak Badan

Makin kurang gerak badan, makin mudah seseorang terkena diabetes.

Olahraga atau aktivitas fisik membantu kita untuk mengontrol berat badan.

Glukosa darah dibakar menjadi energi. Sel-sel tubuh menjadi lebih sensitif

terhadap insulin. Peredaran darah lebih baik. Dan resiko terjadinya diabetes

tipe II akan turun sampai 50%.


d. Penyakit Lain

Beberapa penyakit tertentu dalam prosesnya cenderung diikuti dengan

tingginya kadar glukosa darah. Akibatnya, seseorang juga bisa terkena

diabetes. Penyakit-penyakit itu antara lain hipertensi, penyakit jantung

koroner, stroke, penyakit pembuluh darah perifer, atau infeksi kulit yang

berlebih

e. Usia

Resiko terkena diabetes akan meningkat dengan bertambahnya usia,

terutama di atas 40 tahun. Namun, belakangan ini, dengan makin banyaknya

anak yang mengalami obesitas, angka kejadian diabetes tipe II pada anak

dan remaja pun meningkat.

D. Patofisiologi

Ibarat suatu mesin, tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru

dan mengganti sel yang rusak. Disamping itu tubuh juga memerlukan energi

supaya sel tubuh dapat berfungsi dengan baik. Energi yang dibutuhkan oleh tubuh

berasal dari bahan makanan yang kita makan setiap hari. Bahan makanan tersebut

terdiri dari unsur karbohidrat, lemak dan protein (Sujono dan Sukarmin, 2008).

Pada keadaan normal kurang lebih 50% glukosa yang dimakan

mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 10% menjadi glikogen

dan 20% sampai 40% diubah menjadi lemak. Pada Diabetes Mellitus semua proses

tersebut terganggu karena terdapat defisiensi insulin. Penyerapan glukosa kedalam

sel macet dan metabolismenya terganggu. Keadaan ini menyebabkan sebagian

besar glukosa tetap berada dalam sirkulasi darah sehingga terjadi

hiperglikemia.Penyakit Diabetes Mellitus disebabkan oleh karena gagalnya


hormon insulin. Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah

menjadi glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi.

Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula

darah adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi hiperglikemi maka ginjal tidak

bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam darah. Sehubungan

dengan sifat gula yang menyerap air maka semua kelebihan dikeluarkan bersama

urine yang disebut glukosuria. Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air

hilang dalam urine yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intra

selluler, hal ini akan merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus

terus menerus sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi.Produksi

insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya transport glukosa ke sel-sel

sehingga sel-sel kekurangan makanan dan simpanan karbohidrat, lemak dan

protein menjadi menipis. Karena digunakan untuk melakukan pembakaran dalam

tubuh, maka klien akan merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan yang

disebut poliphagia. Terlalu banyak lemak yang dibakar maka akan terjadi

penumpukan asetat dalam darah yang menyebabkan keasaman darah meningkat

atau asidosis. Zat ini akan meracuni tubuh bila terlalu banyak hingga tubuh

berusaha mengeluarkan melalui urine dan pernapasan, akibatnya bau urine dan

napas penderita berbau aseton atau bau buah-buahan. Keadaan asidosis ini apabila

tidak segera diobati akan terjadi koma yang disebut koma diabetik (Price dan

Wilson, 2006).

Akibat yang lain adalah astenia atau kekurangan energi sehingga pasien

menjadi cepat telah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya atau

hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk


energi. Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan

membran basalis dan perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan

terjadinya gangren.

Aterosklerosis menyebabkan aliran darah ke seluruh tubuh terganggu,

pada organ ginjal akan terlihat adanya proteinuria, hipertensi mencetuskan

hilangnya fungsi ginjal dan terjadi insufisiensi ginjal. Pada organ mata terjadi

pandangan kabur. Sirkulasi ekstremitas bawah yang buruk mengakibatkan

neuropati perifer dengan gejala antara lain : kesemutan, parastesia, baal,

penurunan sensitivitas terhadap panas dan dingin. Akibat lain dari gangguan

sirkulasi ekstremitas bawah yaitu lamanya penyembuhan luka karena kurangnya

O2 dan ketidakmampuan fagositosis dari leukosit yang mengakibatkan gangren.

DM Tipe II (NIDDM) terjadi resistensi insulin dan gangguan sirkulasi insulin yang

secara normal akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai

akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu reaksi dalam

metabolisme glukosa dalam sel. Resistensi insulin pada tipe II disertai dengan

penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk

menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.

Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang

berhubungandengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.

Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel.

Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian

reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes

tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin

menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.


Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam

darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada

penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin

yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal

atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu

mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan

meningkat dan terjadi diabetes tipe II.

Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas dari

diabetes tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk

mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya.

Karena itu, ketoasidosis diabetic tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun

demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut

lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonkotik (HHNK).

Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia lebih

dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat

(selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan

tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat

ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliura, polidipsia, luka pada

kulit yang lama tak sembuh-sembuh, infeksi vagina atau pandangan kabur.Untuk

sebagian besar pasien (kurang lebih 75%) penyakit diabetes tipe II yang

dideritanya ditemukan secara tidak sengaja (misalnya, pada saat pasien menjalani

pemeriksaan laboratorium yang rutin). Salah satu konskuensi tidak terdeteksinya

penyakit diabetes selama bertahun-tahun adalah bahwa komplikasi diabetes jangka


panjang (misalnya, kelainan mata, neuropati, perifer, kelainan vaskuler perifer)

mungkin sudah terjadi sebelum diagnosa ditegakkan.

Penanganan primer diabetes tipe II adalah dengan menurunkan berat

badan. Karena resistensi insulin berkaitan dengan obesitas. Latihan merupakan

unsur yang penting pula untuk meningkatkan efektifitas insulin. Obat hipoglikemia

oral dapat ditambahkan jika diet dan latihan tidak berhasil mengendalikan kadar

glukosa darah. Jika penggunaan obat oral dengan dosis maksimal tidak berhasil

menurunkan kadar glukosa hingga tingkat yang memuaskan, maka insulin dapat

digunakan. Sebagian pasien memerlukan insulin untuk sementara waktu selama

periode stress fisiologik yang akut, seperti selama sakit atau pembedahan (Sujono

dan Sukarmin, 2008).

E. Tanda dan Gejala

Menurut Lanywati (2007), pada klien dengan DM Tipe II sering ditemukan

gejala-gejala :

a. Kelainan kulit : gatal-gatal, bisul dan luka tidak sembuh

b. Kelainan ginekologis : gatal-gatal sampai dengan keputihan

c. Kesemutan dan baal-baal

d. Lemah tubuh atau cepat lelah

e. Trias gejala hyperglikemi (poliuri, polipagi, polidipsi) ditambah penurunan

BB

Sedangkan pada tahap awal klien dengan Diabetes Mellitus Tipe II/

NIDDM mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun dan diagnosis

hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah dan tes toleransi glukosa. Sedangkan
pada tahap lanjut klien akan mengalami gejala yang sama dengan penderita

Diabetes Mellitus Tipe I/ IDDM.

F. Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang

Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan resiko tinggi DM.

Yaitu kelompok usia dewasa tua (>40 tahun), obesitas, tekanan darah tinggi,

riwayat keluarga DM, riwayat kehamilan dengan berat badan lahir bayi >4.000 g,

riwaya DM pada kehamilan, dan dislipidemia. Pemeriksaan penyaring dapat

dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu, kadar gula darah puasa

(Tabel 53.1), kemudian dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)

standar. Untuk kelompok resiko tinggi yang hasil penyaringannya negatif, perlu

pemeriksaan penyaring ulang tiap tahun. Bagi pasien berusia 45 tahun tanpa faktor

resiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun (Tarwoto, 2012).

Tabel 1 kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik

sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)

Pemeriksaan Bukan DM Belum pasti DM DM

Kadar glukosa darah sewaktu

Plasma vena <110 110-199 >200

Darah kapiler <90 90-199 >200

Kadar glukosa darah puasa

Plasma vena <110 110-125 >126

Darah kapiler <90 90-109 >110

Cara pemeriksaan TTGO, adalah :

1. Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa.

2. Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak.


3. Pasien puasa semalam selama 10-12 jam.

4. Periksa glukosa darah puasa.

5. Berikan glukosa 75 g yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam

waktu 5 menit.

6. Periksa glukosa darah 1 jam sesudah beban glukosa.

7. Selama pemeriksaan, pasien diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

Pemeriksaan hemoglobin glikosilasi

Hemoglobin glikosilasi merupakan pemeriksaan darah yang

mencerminkan kadar glukosa darah rata-rata selama periode waktu 2 hingga 3

bulan. Ketika terjadi kenaikan kadar glukosa darah, molekul glukosa akan

menempel pada hemoglobin dalam sel darah merah.

Ada berbagai tes yang mengukur hal yang sama tetapi memiliki nama

yang berbeda, termasuk hemoglobin A1C dan hemoglobin A1. Nilai normal antara

pemeriksaan yang satu dengan yang lainnya, serta keadaan laboratorium yang satu

dan lainnya, memilikmi sedikit perbedaan dan biasanya berkisar dari 4% hingga

8%.

Pemeriksaan urin untuk glukosa

Pada saat ini, pemeriksaan glukosa urin hanya terbatas pada pasien yang

tidak bersedia atau tidak mampu untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah.

Prosedur yang umum dilakukan meliputi aplikasi urin pada strip atau tablet

pereaksi dan mencocokkan warna pada strip dengan peta warna.

Pemeriksaan urin untuk keton

Senyawa-senyawa keton (atau badan keton) dalam urin merupakan sinyal

yang memberitahukan bahwa pengendalian kadar glukosa darah pada diabetes tipe
I sedang mengalami kemunduran. Apabila insulin dengan jumlah yang efektif

mulai berkurang, tubuh akan mulai memecah simpana lemaknya untuk

menghasilkan energi. Badan keton merupakan produk-sampingan proses

pemecahan lemak ini, dan senyawa-senyawa keton tersebut bertumpuk dalam

darah serta urin.

G. Komplikasi

Komplikasi DM dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu komplikasi akut dan

komplikasi menahun.

1. Komplikasi Metabolik Akut

a. Ketoasidosis Diabetik

Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemi dan

glukosuria berat, penurunan glikogenesis, peningkatan glikolisis, dan

peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai penumpukkan benda

keton, peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis,

peningkatan ion hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan

ketonuria juga mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir

dehidasi dan kehilangan elektrolit sehingga hipertensi dan mengalami

syok yang akhirnya klien dapat koma dan meninggal.

b. Hipoglikemi

Seseorang yang memiliki Diabetes Mellitus dikatakan mengalami

hipoglikemia jika kadar glukosa darah kurang dari 50 mg/dl. Hipoglikemia

dapat terjadi akibat lupa atau terlambat makan sedangkan penderita

mendapatkan therapi insulin, akibat latihan fisik yang lebih berat dari

biasanya tanpa suplemen kalori tambahan, ataupun akibat penurunan dosis


insulin. Hipoglikemia umumnya ditandai oleh pucat, takikardi, gelisah,

lemah, lapar, palpitasi, berkeringat dingin, mata berkunang-kunang,

tremor, pusing/sakit kepala yang disebabkan oleh pelepasan epinefrin, juga

akibat kekurangan glukosa dalam otak akan menunjukkan gejala-gejala

seperti tingkah laku aneh, sensorium yang tumpul, dan pada akhirnya

terjadi penurunan kesadaran dan koma.

2. Komplikasi Vaskular Jangka Panjang

a. Mikroangiopaty

Merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola

retina (retinopaty diabetik), glomerulus ginjal (nefropatik diabetik), syaraf-

syaraf perifer (neuropaty diabetik), otot-otot dan kulit. Manifestasi klinis

retinopati berupa mikroaneurisma (pelebaran sakular yang kecil) dari

arteriola retina. Akibat terjadi perdarahan, neovasklarisasi dan jaringan

parut retina yang dapat mengakibatkan kebutaan. Manifestasi dini

nefropaty berupa protein urin dan hipetensi jika hilangnya fungsi nefron

terus berkelanjutan, pasien akan menderita insufisiensi ginjal dan uremia.

Neuropaty dan katarak timbul sebagai akibat gangguan jalur poliol

(glukosa-sorbitol-fruktosa) akibat kekurangan insulin. Penimbunan sorbitol

dalam lensa mengakibatkan katarak dan kebutaan. Pada jaringan syaraf

terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa dan penurunan kadar mioinositol

yang menimbulkan neuropaty. Neuropaty dapat menyerang syaraf-syaraf

perifer, syaraf-syaraf kranial atau sistem syaraf otonom.

b. Makroangiopaty
Gangguan-gangguan yang disebabkan oleh insufisiensi insulin dapat

menjadi penyebab berbagai jenis penyakit vaskuler. Gangguan ini berupa :

1) Penimbunan sorbitol dalam intima vaskular

2) Hiperlipoproteinemia

3) Kelainan pembekun darah

Pada akhirnya makroangiopaty diabetik akan mengakibatkan penyumbatan

vaskular jika mengenai arteria-arteria perifer maka dapat menyebabkan

insufisiensi vaskular perifer yang disertai Klaudikasio intermiten dan

gangren pada ekstremitas. Jika yang terkena adalah arteria koronaria, dan

aorta maka dapat mengakibatkan angina pektoris dan infark miokardium.

Komplikasi diabetik diatas dapat dicegah jika pengobatan diabetes cukup

efektif untuk menormalkan metabolisme glukosa secara keseluruhan.

H. Penatalaksanaan

Tujuan jangka pendek adalah menghilangkan keluhan atau gejala

sedangkan tujuan jangka panjang adalah mencegah komplikasi, tujuan tersebut

dilakukan dengan cara menormalkan kadar glukosa lipid, dan insulin. Untuk

mempermudah tercapainya tujuan tersebut kegiatan dilaksanakan dalam bentuk

pengelolaan pasien secara holistik dan mengajarkan kegiatan mandiri. Menurit

Lanywati (2007), kegiatan utama penatalaksanaan Diabetes Melitus yaitu :

1. Diet

Penderita DM ditujukan untuk mengatur santapan dengan komposisi seimbang

berupa karbohidrat (60-70 %) protein (10-15 %), dan lemak (20-25 %) yang

dimakan setiap hari. Jumlah kalori yang dianjurkan tergantung sekali terhadap

pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan kegiatan jasmani untuk
mencapai BB ideal. Jumlah kandungan kolesterol < 300 mg/hari, jumlah

kandungan serat 25 gram perhari, diutamakan jenis serat larut. Konsumsi garam

dibatasi apabila terjadi hipertensi, pemanis dapat digunakan secukupnya.

2. Pengaturan Aktifitas Fisik

Latihan fisik atau bekerja mempengaruhi pengaturan kadar glukosa darah

penderita DM. Latihan fisik membantu mempermudah transport glukosa ke

dalam sel. Agar penderita dalam melakukan pengaturan kadar glukosa yang

lebih baik, maka diperlukan pengaturan waktu yang tepat dalam melakukan

latihan fisik.

3. Agen Hipoglikemi

Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan melakukan latihan jasmani

yang teratur tetapi kadar glukosa darahnya masih belum turun, dipertimbangkan

pemakaian obat berkhasiat hipoglikemi (oral/suntikan)

I. Prognosis

Sekitar 60 % pasien DMTI yang mendapat insulin dapat bertahan hidup

seperti orang normal. Sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronik, dan

kemungkinan untuk meninggal lebih cepat.Jika kadar gula darah tidak terkontrol,

sebagian besar komplikasi jangka panjang berkembang secara progresif. Seorang

obesitas yang menderita diabetes meiltus tipe II tidak akan memerlukan

pengobatan jika mereka menurunkan berat badannya dan berolahraga secara

teratur. Namun, pada kebanyakan penderita merasa kesulitan menurunkan berat

badan dan melakukan olahraga yang teratur.

DM merupakan penyakit kronis yang memerlukan modifikasi gaya hidup

dan pengobatan selama seumur hidup. Meskipun tidak mudah dilaksanakan para
pasien DM, keberadaan bentuk-bentuk terapi DM yang baru dengan penurunan

komplikasi telah memberikan harapan bahwa mereka dapat menjalani kehidupan

yang normal dan sehat.

Kematian adalah dua sampai tiga kali lebih tinggi di antara

orang dengan diabetes tipe 2 dibandingkan pada populasi umum.

Sebanyak 75% orang dengan diabetes melitus tipe 2 akan mati

karena penyakit jantung dan 15% dari stroke.Angka kematian

akibat penyakit kardiovaskuler hingga lima kali lebih tinggi pada

orang dengan diabetes dibandingkan orang tanpa diabetes.

Untuk setiap kenaikan 1% pada level HbA1c, resiko kematian dari

penyebab diabetes meningkat terkait dengan 21% (Mirza, 2009).


DAFTAR PUSTAKA

Johnson, M.,et all. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition.
IOWA Intervention Project: Mosby
Tartowo. 2012. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Endokrin. Jakarta :
Tim)
Mirza. 2009. RSSDI Textbook Of Diabetes Melitus. Edisi 2. India : Jaypee Brother
Medical Publishers.
Lanywati, Endang (2007). Diabetes Melitus Penyakit Kencing Manis. Yokyakarta:
kanisius.
Mc Closkey, C.J., Iet all, 2008, Nursing Interventions Classification (NIC) econd
Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.
Price & Wilson (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Jakarta:
EGC.
Sujono & Sukarmin (2008). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan
Eksokrin & Endokrin pada Pankreas. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai